Metode Qira’ah sangat populer
di kalangan pesantren yang lazim disebut dengan istilah Metode Sorogan, yang
berarti suatu kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik
beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individual), di bawah
bimbingan seorang kiyai/guru.[1]
Teknik pembelajaran dengan sistem qira’ah
atau sorogan ini biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu dimana
tersedia tempat duduk seorang kiyai atau ustadz/guru, kemudian di depannya
terdapat bangku pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap.
Santri-santri lain duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh
kiyai/ustadz/guru kepada temannya sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran
dipanggil.[2]
Adapun pelaksanaan metode qira’ah dalam
pembelajaran Nahwu Sharaf yang lazim berlaku di pondok-pondok pesantren dapat
digambarkan sebagai berikut:[3]
a. Santri berkumpul di tempat pengajian sesuai dengan
waktu yang ditentukan dengan masing-masing membawa kitab yang hendak
dipelajari;
b. Seorang santri yang mendapatkan giliran mengahadp
langsung secara tatap muka kepada gurunya. Ia membuka bagian yang akan
dibaca/dipelajari dan meletakkannya di atas meja yang telah tersedia di depan
kiyai atau ustadz/guru;
c. Kiyai atau ustdaz/guru membacakan teks dalam kitab
itu, baik sambil melihat maupun secara hafalan, dan kemudian memberikan
artinya. Panjang atau pendeknya yang dibaca sangat bervariasi, tergantung
perkiraan guru terhadap kemampuan santri;
d. Santri dengan tekun mendengarkan apa yang
dibacakan kiyai atau ustadz/guru, dan mencocokkannya dengan kitab yang
dibawanya. Selain mendengarkan, santri melakukan pencatatan atas: Pertama, bunyi
ucapan teks Arab dengan memberikan harakat (syakal) terhadap kata-kata
Arab yang ada dalam teks kitab. Pensyakalan itu, yang sering juga
disebut pendhobitan (pemastian harakat), meliputi semua huruf yang ada
baik huruf awal, tengah, maupun akhir (i’rab). Kedua, menuliskan
arti setiap kata yang ada dengan bahasa Indonesia di bawah setiap kata Arab (diafsahi)
untuk disesuaikan dengan susunan kata dalam bahasa pengantar. Kata-kata
penyesuaian itu biasanya juga dicatat melalui perlambangan untuk menggambarkan
kedudukan kata itu dalam kalimat Arab. Misalnya kata yang berkedudukan sebagai mubtada’
(subyek) diberi tanda huruf mim (singkatan dari mubtada) dan
mengandung arti “adapun”, kata yang berkedudukan sebagai khabar (predikat)
ditandai dengan huruf kha (singkatan dari khabar) dan mengandung
arti “itu”, dan seterusnya. Namun ada pula kiyai atau ustadz yang tidak
menghendaki pencatatan demikian, melainkan semuanya harus diingat dengan baik.
e. Santri kemudian menirukan kembali apa yang
dibacakan kiyai atau ustadznya secara sama. Kegiatan seperti ini biasanya
diminta oleh kiyai atau ustadz untuk diulang pada pembelajaran berikutnya
sebelum dipindahkan pada pelajaran selanjutnya.
f. Kiyai atau ustadz mendengarkan dengan tekun pula
apa yang dibaca santrinya sambil melakukan koreksi-koreksi seperlunya. Setelah
tampilan santri dapat diterima, tidak jarang juga kiyai atau ustadz memberikan
tambahan penjelasan agar apa yang dibaca dapat lebih dimengerti.
Pada prinsipnya metode qira’ah (sorogan) dalam pembelaran Nahwu
Sharaf maupun materi-materi lainnya dapat diterapkan untuk semua tingkatan,
baik pemula, lanjutan, maupun tinggi. Karena perbeadaan metode qira’ah pada
ketiganya tidaklah begitu signifikan. Jika pada tingkat pemula kiyai atau
ustadz/guru yang memulai membaca, menerjemahkan, dan menjelaskan kedudukan
kalimat berdasarkan kaidah Nahwu pada kitab, lalu kemudian diikuti oleh santri
sesuai apa yang dibaca, diterjemahkan, dan dijelaskan kedudukan kalimatnya,
maka pada tingkat lanjutan santri/peserta didiklah yang mulai membaca. Kiyai
atau ustadz/guru hanya mendengarkan dan memperhatikan kefasihan, ketepatan
ucapan, nada dan intonasi bacaan yang sekaligus menunjukkan pemahaman santri
terhadap apa yang dibacanya. Sedangkan untuk tingkat tinggi, polanya sama
dengan pola pada tinkat lanjutan. Namun, disini santrilah yang diminta
menjelaskan sendiri apa yang difahaminya dari materi yang dibacanya, bila perlu
dengan menggunakan bahasa Arab. Interaksi yang terjadi kemudian berbentuk munaqasyah
antara santri dan kiyai atau utadz/guru.[4]
No comments:
Post a Comment