Sahabat satu ini menjadi milyader muda berkat kegigihannya dalam berdoa dan berusaha. Ya..beliau adalah Rahmat Latief Bialangi (fb) yang juga merupakan sahabat senasib dan seperjuangan waktu menuntut ilmu di Pesantren.
Kisahnya sangat menginspirasi.
Rahmat (kiri berbaju biru) bersama ayahnya saat menonton perhelatan piala dunia di Brazil, baru-baru ini (Foto.Facebook Rahmat Latif Bialangi) |
Pondok Mahasiswa- Kisah inspirasi bisa datang dari mana saja, siapa saja. Termasuk dari anak muda Gorontalo satu ini. Anak seorang pedagang kaki lima berani melambungkan cita-citanya,dia pernah jadi jurnalis, karyawan bank, hingga menjadi pengusaha beromzet miliaran rupiah.
Simak penuturannya sebagaimana yang dituliskannya sendiri.semoga inspiratif!
Namaku Rahmat Latif Bialangi. Panggil saja aku Rahmat. Aku lahir di Bulota, sebuah desa kecil di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo pada 28 Maret 1989 silam. Aku anak sulung dari empat bersaudara. Sejak kecil aku bercita-cita jadi seorang Pengusaha.
Bapakku adalah seorang pedagang kaki lima di Limboto, sementara ibuku adalah Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Agama Kabupaten Gorontalo. Meski penghasilan orangtua pas-pasan, namun semangat mereka untuk menyekolahkanku bersama adik-adik sangat besar.
Sayangnya saat aku lulus SMA niatku kuliah di luar daerah ditentang oleh bapak . Beliau melarangku karena pesimis tidak mampu membiaya kuliahku. Belum lagi adik-adikku yang masih duduk di bangku sekolah juga butuh biaya. Awalnya aku sangat sedih dan kecewa atas keputusan Bapak. Tapi aku juga tidak bisa bersikap egois. Kalau aku memaksakan kehendak untuk kuliah di luar daerah, lantas bagaimana dengan adik-adikku?.
Bukankah mereka juga punya hak yang sama seperti aku?
Tapi tiba tiba Bapak meralat kembali keputusannya. Beliau akhirnya mengizinkanku melanjutkan kuliah di luar daerah, tepatnya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Betapa senangnya hatiku saat itu, dengan linangan air mata, aku berterima kasih kepada bapak dan ibuku.
Sebelum aku meninggalkan tanah kelahiran, Bapak berpesan agar aku belajar sungguh-sungguh dan tidak ikut pergaulan bebas yang notabene akan merugikanku dan orangtuaku.
Menginjakkan kaki di Kota Makassar adalah salah satu anugerah buatku. Tidak pernah terpikir sebelumnya aku bisa ke Kota terbesar di Indonesia Timur itu. Bermodal keberanian dan kemauan belajar aku, mendaftar di Universitas Muslim Indonesia, salah satu universitas swasta tertua di Sulawesi. Awalnya aku ingin memilih jurusan ekonomi, namun orangtua menyarankan agar aku memilih jurusan bahasa Inggris dengan alasan jurusan yang satu ini sangat besar peluang kerjanya. Aku pun mengiyakan saran mereka.
Hidup di rantau orang ternyata tidak mudah, selain dituntut untuk bisa beradaptasi, kita juga dituntut bisa pintar-pintar mengatur hidup. Apalagi tidak ada yang mengontrol kita. Segala sesuatu kita kerjakan sendiri. Aku agak lega saat bertemu dengan teman-teman baru yang juga berasal dari Gorontalo.
Berbeda denganku, tingkat ekonomi orangtua mereka di atas rata-rata . Bahkan ada beberapa teman aku merupakan anak pejabat di Gorontalo, ada pula anak konglomerat dari Gorontalo. Jadi tidak heran jika fasilitas mereka lengkap dari kost yang nyaman, ada tv hingga fasilitas sepeda motor pun mereka ada. Meski demikian aku tidak minder dan tetap bergaul dengan mereka.
Buat aku mereka sama seperti aku, toh yang kaya itu orangtuanya.
Dengan penuh kesabaran aku melewati getirnya hidup di Kota besar. Aku memilih kost yang letaknya dekat dengan kampus. Untuk mengurangi biaya transportasi, setiap hari aku jalan kaki dari kost menuju kampus tempatku menuntut ilmu.
Tak ada keluh kesah melainkan cita-cita besar yang selalu aku tanamkan dalam diriku. Alhamdulillah berkat ketekunan dan kesabaranku, saat memasuki semester dua, aku mendapatkan beasiswa. Seiring berjalannya waktu, aku berinisiatif mencari pekerjaan sampingan.
Sayangnya niatku malah jadi bahan tertawaan teman-teman yang juga berasal dari Gorontalo. Menurut mereka tidak mungkin aku bisa mendapatkan pekerjaan di Kota Makassar . “Ngana pikir ini bo Gorontalo? Ini Makassar Bro, lulusan Magister saja sulit dapat kerja apalagi ngana yang belum sarjana “ Kalimat itu masih segar dalam benakaku.
Ocehan mereka tidak membuat aku patah arang.
Kesempatan pun tiba-tiba datang, aku mendapat informasi kalau ada penerimaan wartawan di koran terbesardi Indonesia Timur yaitu Harian Fajar Makassar. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan dengan bekal pernah aktif di dunia jurnalis waktu di bangku Sekolah,aku pun langsung mengirim data diri dan surat lamaran kerja ke Harian Fajar. Berharap-harap cemas dengan sabar aku menunggu pengumuman. Hingga tak terasa tiga minggu telah berlalu. Aku mulai pesimis dan tidak lagi berharap untuk bisa lolos. Pada akhirnya tak disangka-sangka waktu aku menghadiri bazar HPMIG Cabang Makassar, tiba-tiba temanku langsung mengucapkan selamat atas lolosnya aku sebagai calon wartawan Fajar. Sontak aku kaget dan bingung. Padahal aku tidak pernah memberitahukan pada siapapun jika aku melamar di Fajar. Ternyata informasi tersebut mereka tahu karena pengumumannya tercetak di Harian Fajar edisi hari itu. Betapa senangnya aku saat itu. Meskipun ada yang menyindir bahwa pengumuman itu belum final. Tapi buat aku itu tidak penting, aku tetap optimis dengan hasil pengumuman tersebut. Alhamdulillah dengan kegigihanku mengikuti segudang seleksi di setiap tahapnya. Aku pun resmi diterima sebagai wartawan Fajar di bagian pendidikan dan hiburan.
Sejak aku bergabung di Fajar, banyak hal yang bisa aku dapatkan. Berkat Fajar aku bisa berbaur dengan para elit dan Pejabat Kota Makassar. Dan satu hal yang paling istimewa adalah saat aku ketemu dengan artis dan selebriti Indonesia dengan mudahnya. Padahal dulu aku harus rela berebutan untuk bisa melihat artis idola dari dekat. Sekarang aku bisa dekat dan bercerita langsung dengan mereka, di antaranya Ungu, The Virgin, Marcel, Agnes Monica,Derby Romero, dan masih banyak lagi. Sementara untuk kalangan pejabat di antaranya Mantan Wakil Presiden, Yusuf Kalla, Gubernur Sulsel, Syarhrul Yasin Limpo,Mantan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin dll. Meski sibuk meliput sana sini, namun amanah orangtua agar aku bisa menyelesaikan studi tepat waktu selalu aku ingat.Terbukti aku selalu dahulukan dan prioritaskan urusan kuliah.
Tak terasa waktu begulir. Aku tidak lagi jalan kaki ke kampus. Sejak aku aktif di dunia jurnalis, aku bisa beli motor. Selain aktif sebagai Jurnalis, aku juga aktif dibeberapa organisasi, salah satunya KNPI Provinsi Sulsel. Satu hal yang buat orangtuaku bangga adalah aku bisa menyelesaikan kuliah dalam kurun waktu tiga tahun empat bulan. Setelah aku meraih gelar Sarjana Sastra Inggris aku memutuskan untuk keluar dari Fajar dan Alhamdulillah aku diterima sebagai karyawan di salah satu Bank.
Aku pun hijrah ke Kabupaten Pinrang karena ditempatkan di sana. Beruntung di Pinrang ada orangtua angkatku yang biasa aku panggil Ayah dan Bunda, mereka tidak lain Muhammad Abrar Usman dan Suharni. Aku sangat bersyukur pada saat itu karena dianggap jadi bagian dari keluarga mereka.
Berstatus sebagai pegawai Bank tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri buat aku dan keluarga. Tapi lama- kelamaan aku merasakan sesuatu yang aneh. Rutinitas yang harus aku jalani sebagai pegawai bank membuat aku jenuh dan merasa tidak nyaman. Hingga akhirnya aku mengambil keputusan untuk keluar. Tentu saja keputusan itu ditentang keras oleh keluarga aku. Menurut mereka, tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Dalam situasi itu aku coba tenangkan diri dan berpikir positif. Di saat genting itulah aku memutuskan untuk melirik peluang usaha yang ada. Hingga akhirnya aku tertarik dengan bisnis traveling. Berangkat dari sebuah keberanian, akhirnya aku mulai mempelajari bisnis Jasa Pariwisata. Awalnya aku ragu tetapi akhirnya aku membulatkan diri untuk menjajaki bisnis tersebut.
Rupanya bisnis ini membawa keberuntungan buat aku, aku pun mulai menekuninya. Hingga tak disangka-sangka dalam kurun waktu satu tahun usaha yang bisa dikatakan tanpa modal seperpun ini meraup omzet yang fantastis bagi wirausaha pemula seperti aku, Yah, omzet yang aku dapatkan sekitar Rp 1,5 M dalam waktu satu tahun.
Berkat usaha tersebut, sebagai rasa syukurku aku pun menunaikan ibadah umrah, sementara kedua orangtuaku rencananya ingin langsung menunaikan ibadah haji. Tak hanya itu impianku ingin jalan-jalan ke luar negeri bukan lagi isapan jempol belaka. Bahkan baru-baru ini aku memboyong bapakku ke Negeri Samba, Brazil untuk menyaksikan langsung piala dunia 2014. Betapa bahagianya hatiku kala bapak menangis terharu saat aku menyodorkan tiket brazil padanya. Ternyata rahasia Allah benar-benar luar biasa buat keluargaku. Bagaimana tidak, ketika piala dunia 1998, bapak saya rela berdiri dari balik jendela rumahnya orang hanya untuk menyaksikan langsung pertandingan final Prancis lawan Brazil. Tidak ada pilihan lain karena saat itu kami belum punya tv.
Kini usaha yang aku geluti telah berbadan hukum yang kuberi nama PT. Insan Andrasta Tour dan berkantor di Kabupaten Pinrang. Meski demikian para konsumen yang mempercayakan perjalanannya pada kami tersebar di berbagai daerah. Selain memiliki perusahaan yang bergerak dibidang jasa perjalanan, aku juga mendirikan sebuah yayasan yang bergerak di bidang kursus bahasa inggris yang kuberi nama My Star English School.
RAHMAT LATIEF BIALANGI