Istilah
“kurikulum” memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh pakar-pakar
dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai sekarang.
Tafsiran-tafsiran tersebut berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, sesuai
dengan titik berat inti dan pandangan dari pakar bersangkutan.
Pengertian-pengertian tersebut antara
lain:
Kata “Currculae” yang berasal dari bahasa
latin, artinya jarak yang harus ditempuh
oleh seorang pelari. Jadi pada waktu itu, pengertian kurikulum adalah jangka
waktu yang harus ditempuh oleh seorang siswa yang bertujuan untuk memperoleh
ijazah.[1] Arti lain dalam pengertian harafiahnya
yang juga berasal dari bahasa latin yakni “a little racecourse” (suatu jarak
yang harus ditempuh dalam pertandiangan olah raga) yang kemudian dialihkan menjadi “circle of
instruction” suatu lingkaran pengajaran” dimana guru dan murid terlibat di
dalamnya.
Istilah kurikulum kemudian digunakan untuk
menunjukkan segala mata pelajaran yang pelajari dan semua pengalaman yang harus
diperoleh serta semua kegiatan yang harus dilakukan anak. Akan tetapi bila
dibicarakan tentang apa yang disebut “experience curriculum” atau “activity
curriculum”, maka hal itu akan
menyangkut masalah metode pendidikan.[2]
Sesungguhnya apa yang disebut “experience
and activity curriculum” itu, dalam pengertian modern sekarang termasuk
kurikulum, bukan termasuk metode, oleh karena berkaitan dengan penemuan
pengalaman dan kegiatan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Pendek
kata kurikulum bukan sekedar rangkaian ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam
kelas, melainkan menyangkut juga semua hal yang mempengaruhi proses belajar-mengajar.[3]
Kurikulum sebagaimana dikemukakan
oleh para ahli seperti . J. Galen Sailon dan Welliam M. Alexander dalam bukunya
'Curriculum Planning for Better Teaching and Learning' menjelaskan arti
kurikulum sebagai usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam
ruang kelas, halaman sekolah, atau di luar sekolah termasuk kurikulum.
Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra kurikuler. B. Othane
Smith, W.O Stanley memandang kurikulum sejumlah pengalaman yang secara
potensial dapat diberikan kepada anak dan remaja, agar mereka dapat berpikir
dan sesuai dengan masyarakatnya. [4]
Dari
dua pendapat para ahli kurikulum di atas, di satu sisi kurikulum dipandang
suatu usaha sekolah terhadap anak, sehingga kurikulum di sini diartikan secara
sempit hanya sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan oleh satu institusi
pendidikan dalam hal ini sekolah. Institusi pendidikan lainnya yang justru
merupakan faktor terbesar dalam hal pengaruh mempengaruhi dunia pendidikan anak sebagai individu yakni institusi pendidikan informal sebagai
lembaga pembentuk konsepsi dasar pendidikan semenjak usia pra sekolah, dan
institusi pendidikan non formal sebagai lokus manifestasi sosialisasi diri
individu-individu secara integralistik yang juga memiliki nilai pengaruh
mempengaruhi.
Pada sisi lain, Doll
menjelaskan bahwa kurikulum sudah tidak bermakna lagi sebagai rangkaian bahan
yang akan dipelajari serta urutan pelajaran yang akan dipelajari siswa, tetapi
seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik dibawah arahan
dan bimbingan sekolah.[5]
Dalam undang-undang RI tahun 2003
tentang pendidikan kurikulum
diartikan sebagai seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.[6]
Sehingganya dapat
disederhanakan dimana kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara
potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir
dan berbuat sesuai masyarakatnya, akan tetapi mengingat kehidupan masyarakat
yang selalu mengalami perubahan demi perubahan secara temporer, maka akan
sulitlah suatu sistem pendidikan yang hanya menghasilkan pola berpikir dan
berbuat anak yang sesuai dengan masyarakatnya, tanpa memiliki nilai-nilai
inovatif dan renofatif sebagai respon
anak terhadap gejala sosial dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.
a.
Kebijakan Pengembangan Kurikulum
Perubahan wewenang pengembangan kurikulum nasional ini
tidak menjadikan Pusat Kurikulum kehilangan pekerjaan. Tugas Pusat Kurikulum
berubah antara lain menjadi membantu sekolah untuk mampu menyusun kurikulum
sekolah masing-masing. Pekerjaan ini bukan pekerjaan yang ringan karena saat
ini di Indonesia ada 43.461 SD; 12731 SMP, 4499 SMA, 2655 SMK, belum termasuk
Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Luar Biasa dan madrasah. Banyaknya
sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia tidak memungkinkan Pusat Kurikulum
membantu sekolah satu persatu. Harus ada strategi agar sekolah mampu menyusun
kurikulum masing-masing.[7]
Dengan adanya hak maupun tanggung jawab sekolah untuk menyusun
kurikulum masing-masing yang disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan
kekhasannya maka diperlukan upaya untuk memberdayakan sekolah dan daerah agar
mereka mampu memahami kebutuhan, kondisi dan kekhasan masing-masing. Harapannya
adalah agar mereka dapat mengembangkan kurikulum yang mampu menjadi tulang
punggung dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusia daerah tersebut
melalui pendidikan yang berdaya saing nasional bahkan internasional sesuai
dengan potensi dan kebutuhan masing-masing, baik dalam menciptakan sekolah
bertaraf internasional, sekolah berbasis keunggulan lokal, sekolah mandiri
maupun sekolah standar.
b. Diversifikasi Kurikulum
Pengembangan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan,
potensi, dan kondisi daerah maupun sekolah memerlukan penerjemahan dari pihak
sekolah maupun daerah tentang mau ke mana pendidikan di sekolah maupun di
daerah itu. Pemerintah pusat tidak memiliki kemampuan untuk menerjemahkan ini
sehubungan dengan kompleksitas dan variasi masing-masing daerah dan sekolah.
Kemampuan untuk menerjemahkan kebutuhan, potensi, kondisi daerah, dan sekolah
sehingga menjadi kurikulumsekolah masing-masing harus dimiliki oleh “stakeholder” daerah dan sekolah tersebut. Kemampuan ini diharapkan mampu membuat
pengembangan kurikulum sekolah terus menerus berkembang sehingga menjadi
kurikulum yang sesuai untuk sekolah dan daerah tersebut. Oleh karena itu bukan
hanya penyusunan kurikulum sekolah saja yang penting, tetapi kemampuan untuk
melakukan pengembangan kurikulum yang terus menerus lebih penting lagi. Siklus
(penyusunan, pelaksanaan, evaluasi) dalam pengembangan kurikulum untuk mencapai
kesempurnaan harus berjalan baik di tingkat sekolah maupun daerah. Stakeholder
di daerah dan sekolah harus tahu kurikulum macam apa yang
diperlukan oleh mereka. [8]
Adanya kondisi tersebut di atas menumbuhkan pemahaman pada Pusat
Kurikulum bahwa membantu sekali saja untuk mengembangkan kurikulum awal
masing-masing sekolah tidak cukup. Yang penting adalah kemampuan sekolah untuk
menyusun dan melakukan perbaikan terus menerus sehingga kurikulum sekolah
masing-masing menjadi sempurna. Sehingga yang diperlukan adalah pemberdayaan
daerah dan sekolah agar mereka akhirnya mampu secara mandiri melakukan
pengembangan kurikulum masing-masing. Mereka menjadi mampu menyusun dan
mengembangkan kurikulum masing-masing dan mampu berinisiatif kepada siapa harus
mencari pertolongan jika mengalami kesulitan dalam perjalanannya melakukan
penyempurnaan kurikulum. Itulah pentingnya pemberdayaan sekolah dan daerah.
c. Pemberdayaan
Sekolah
Usaha pemberdayaan sekolah dan daerah dalam pengembangan
kurikulum oleh Pusat Kurikulum dilakukan melalui bantuan teknis pengembangan
kurikulum, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kab/kota. Di tingkat
provinsi diharapkan adanya TPK yang memiliki kemampuan untuk melakukan
pengembangan kurikulum sehingga mampu memberikan bantuan teknis pengembangan
kurikulum kepada Tim Pengembang Kurikulum kabupaten/kota. Pemberdayaan di
tingkat provinsi dikonsentrasikan pada usaha pengembangan kurikulum secara luas
sampai dengan kemampuan tim untuk melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan
kurikulum di daerah masing-masing. Pemberdayaan di tingkat kabupaten/kota
dikonsentrasikan pada kemampuan tim untuk melakukan pendampingan pengembangan
kurikulum di sekolah. Sehingga kompetensi melakukan analisis konteks untuk
menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, potensi dan kekhasan sekolah
diperlukan.
Berbagai kendala untuk mewujudkan usaha pemberdayaan daerah dan
sekolah agar mampu menyusun kurikulum masing-masing selalu ada. Pada awalnya,
kemampuan staf Pusat Kurikulum yang kurang memadai merupakan kendala utama.
Dengan melakukan pengembangan kemampuan staf sambil memberikan bantuan teknis
ke daerah mengakibatkan staf bisa belajar sambil bekerja sehingga kemampuan
terasah dan terserap cepat. Ketidakstabilan pendanaan untuk sosialisasi KTSP
menyebabkan Pusat Kurikulum juga mengalami pemotongan dana yang cukup besar.
Akibatnya perencanaan yang telah matang dilakukan pada awalnya menjadi sangat
terhambat dalam pelaksanaannya sehingga ketidakpercayaan daerah pada Pusat
Kurikulum timbul. Tetapi semangat daerah yang besar dalam menyambut kurikulum
baru ini menjadi obat yang sangat mujarab bagi Pusat Kurikulum untuk berbuat
yang terbaik bagi terlaksananya pendidikan yang berkualitas yang sesuai dengan
kebutuhan, potensi dan kekhasan daerah.
Sampai saat ini dari hasil monitoring yang telah dilakukan oleh Pusat
Kurikulum sebagian besar daerah telah memulai melaksanakan KTSP. Walaupun
sebagian besar dari sekolah melaksanakan masih adopsi atau adaptasi dari model
kurikulum yang ada. Diharapkan dengan bantuan teknis pengembangan kurikulum
yang dilakukan oleh berbagai pihak akan semakin mematangkan sekolah dan daerah
tentang konsep dan filosofi KTSP sehingga mendorong mereka untuk menyusun KTSP
sesuai dengan kondisi masing-masing.
Semakin kuat keyakinan tentang perlunya penyusunan kurikulum sekolah
yang mengacu pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan dan disesuaikan
dengan kebutuhan, potensi dan kekhasan sekolah masing-masing ketika saya datang
di dua SMP yang berdekatan. Meskipun dua SMP ini berada di lingkungan yang
berdekatan tapi ternyata kondisi muridnya sangat berbeda jauh. SMP A mempunyai
peserta didik yang hampir seluruhnya datang dari kalangan menengah ke atas
dengan prestasi belajar tinggi. Semua ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Sedangkan SMP B mempunyai peserta didik yang sebagian besar datang dari
kalangan sosial ekonomi yang kurang beruntung sehingga bagi mereka segera lulus
SMP dan bekerja untuk memperoleh penghasilan adalah tujuan utama bersekolah.
Masing-masing sekolah tersebut akan menyusun kurikulum yang sangat berbeda. SMP
A akan menfokuskan pada pelajaran dengan higher order thinking yang memungkinkan peserta didik memiliki cara berpikir akademis yang
tinggi supaya mampu masuk perguruan tinggi. Sedangkan SMP B akan memperkaya
mata pelajaran dengan kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan
keterampilan-keterampilan untuk bekerja sehingga peserta didik merasa memiliki
manfaat besar telah bersekolah di SMP B. Dua SMP ini
harus mampu menyusun kurikulum masing-masing yang sangat berbeda. Kompetensi
minimal lulusannya akan sama, tetapi kompetensi tambahannya akan berbeda. Hanya
dengan melakukan pemberdayaan daerah dan sekolah untuk mampu melakukan
pendampingan penyusunan kurikulum pada kondisi yang berbeda-beda inilah maka
pelaksanaan diversifikasi kurikulum seperti diamanatkan UUSPN akan terjadi.[9]
REFERENSI (Ket. Footnote)
[1]
Mohon maaf Kami Tidak Dapat Menampilkan Referensinya, Silahkan Anda
Masukan Link Alamat Ini Sebagai Referensinya : Contoh " Pondok Mahasiswa, JUDUL POSTING, (Online ) LINK, Diakses tanggal ...............201...,.
[2]
Bila anda memang memerlukan suatu bahan materi ataupun
(Tesis/Skripsi/Makalah) yang sudah jadi yang mempunyai Referensi Buku
yang Jelas, Maka Silahkan Hubungi no. Hotline Kami 081340102992, namun
sebelumnya dengan mentranfer uang Rp. 50.000, ke No.
Rekening BRI : 5133-01-000526-50-1. Materi (Tesis, Skripsi, tersebut
akan di Format "Zip Archip" dan langsung dikirimkan ke email anda.
KEPERCAYAAN MODAL UTAMA PONDOK MAHASISWA