Sebelum melangkah lebih jauh membahas tentang pemikiran filsafat helenisme, tentunya akan lebih baik jika kita memahami terlebih dahulu apa itu filsafat dan apa itu helenisme, agar pembahasan ini dapat difahami secara sistematis dan secara kronologis.
Berbicara tentang filsafat, sebenarnya kita sedang berbicara mencari hakikat sesuatu. Dan sesuatu inilah yang pada akhirnya menjadi obyek pembahasan filsafat, yaitu hakikat Tuhan, hakikat Manusia dan hakikat Alam. Diawali dari rasa ingin tahu akan hakikat sesuatu, dan rasa ketidak pastian atau ragu-ragu, seseorang secara terus menerus berfikir untuk mencari jawabannya. Maka upaya seseorang untuk mencari hakikat inilah sebenarnya ia sedang berfilsafat. Dan upaya–upaya untuk menyingkap hakekat segala sesuatu yang wujud, telah lama dilakukan oleh bangsa Yunani. [1]
Filsafat memiliki beberapa arti yang telah berkembang cukup banyak dari para filosof. Dan ternyata kata filsafat ini telah muncul dan dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Ini menunjukan bahwa filsafat memang sudah ada dan berkembang pada bangsa tersebut. Menurut catatan para sejarawan, orang yang pertama kali menggunakan istilah filsafat adalah Pythagoras dari Yunani (582 – 496 SM). Pada waktu itu arti filsafat belum begitu jelas. Kemudian arti filsafat itu diperjelas seperti yang banyak dipakai sekarang ini.[2]
Salah satu pendapat mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata yaitu Philein yang berarti cinta dan Shopos yang berarti hikmat, kebijaksanaan (wisdom). Akan tetapi orang Arab memindahkan kata Yunani Philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikannya dengan tabiat susunan kata-kata Arab, yaitu falsafa dengan fa`lala, fa`lalatan dan fi`lal. Dengan demikian kata benda dari kata kerja falsafa adalah falsafah dan filsaf, yang memiliki arti hikmah. Hikmah menurut Ibnu Arabi adalah proses pencarian hakikat sesuatu dan perbuatan. Akan tetapi Ar-Raghib memberikan definisi yang lebih simple, yaitu ashabtul haqi bil`ilmi wal aql (memperoleh kebenaran dengan ilmu dan akal).
Filosop Yunani, seperti Plato misalnya memberikan definisi filsafat sebagai suatu pengetahuan tentang segala sesuatu. Sedangkan Aritoteles beranggapan, bahwa kewajiban filsafat ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu yang umum sekali.
Yunani adalah sebuah Negara di Eropa yang telah memiliki pemikiran peradaban yang maju sejak berabad-abad tahun yang lalu (Yunani kuno). Istilah Helenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or make Greek). Helenisme Klasik: Yaitu kebudayaan Yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Helenisme Secara Umum: Istilah yang menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia Kecil, Syiria, Mesopotamia, dan Mesir yang lebih tua. Lama periode ini kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM (Masa Alexander Agung atau Meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM (Berkembangnya Agama Kristen atau Jaman Philo)
Jadi pemikiran filsafat helenisme adalah filsafat Yunani untuk mencari hakikat sesuatu atau sebuah pemikiran untuk mencari suatu kebenaran yang terjadi pada masa Yunani kuno. Nah bagaimanakah pemikiran filsafat helenisme tersebut, secara singkat akan dibahas di makalah ini.
Kita mengkaji seputar sejarah filsafat Yunani, dari mulai Thales, Socrates sampai Aristoteles. Sejarah filsafat Yunani sebagaimana pertumbuhan hidup manusia. Masa kecilnya, menurut beliau, bermula dengan tampilnya Thales ke muka, Thales melahirkan pandangan baru dalam alam pikiran Yunani. Masa ini berlanjut sampai kepada Sokrates. Selanjutnya menuju ke masa gagah dan bijaksana (muda) ialah masa filsafat klasik, yang puncaknya terdapat pada masa Aristoteles. Sesudah masa Aristoteles berlalu, maka selanjutnya adalah masa tua. Masa tua itu meliputi masa yang sangat lama sekali, dari tahun 322 sebelum Masehi sampai tahun 529 setelah Masehi. Delapan setengah abad lamanya, dari meninggalnya Aristoteles sampai ditutupnya sekolah filsafat yang penghabisan oleh Kaisar Bizantin, Justinianus. Sesudah itu filsafat Yunani kembali ke dalam sejarah. [3]
Pasca Aristoteles, Filsafat Yunani mengalami penurunan yang signifikan. Pengkajian tentang filsafat tidak lagi semarak sebagaimana terjadi pada masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan munculnya ilmu-ilmu spesial yang berkembang dan berdiri sendiri. Seperti ilmu alam, gramatika, filologi, sejarah kesusasteraan dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini menyebabkan ilmu filsafat tidak lagi menjadi prioritas utama. Di samping itu, dalam fase ini filsafat juga telah menyimpang dari asas pokoknya, yaitu dari akal ke arah mistik.
Peralihan filsafat Yunani menjadi filsafat Helen-Romawi disebabkan terutama oleh seorang yang bernama Alexandros, murid Aristoteles. Tindakannya yang imperialis menyatukan seluruh dunia Grik ke dalam satu kerajaan Macedonia. Sesudah itu ia menaklukkan bangsa-bangsa di Asia Minor dan mengembangkan kekuasaannya sampai ke India. Semuanya itu dijadikan beberapa propinsi kerajaan Macedonia. Bahkan Imperium Persia, kekaisaran terbesar yang pernah disaksikan dunia, diremukkan lewat tiga pertempuran.[4]
Keadaan demikian menyebabkan filsafat Yunani bukan lagi murni produk asli Yunani, tetapi telah terpengaruh oleh budaya bangsa lain. Adat istiadat kuno bangsa Babilonia, beserta takhayul kuno mereka menjadi tak asing lagi bagi pemikiran orang Yunani, demikian pula dualisme Zoroastrian dan agama-agama India, pun membaur dengan pemikiran Yunani. Dan pada akhirnya melihat kawasan yang ditaklukkan semakin luas, akhirnya Alexandros memberlakukan kebijakan yang menganjurkan pembauran secara damai antara bangsa Yunani dengan bangsa lainnya.
Pada era ini, orang berpaling lagi kepada sistem metafisika yang bercorak keagamaan. Dengan bersatunya beberapa bangsa yang dipimpin oleh kerajaan Roma, telah merampas hak-hak bangsa lain yang ingin merdeka. Hal itu menimbulkan lagi pandangan keagamaan, memupuk lagi hati manusia untuk hidup beragama. Tindakan bala tentara Roma yang keras dan ganas dapat memperkuat rasa kemanusiaan, dan dipupuk pula oleh berbagai macam agama lama, yaitu agama Kristen dan Budha. Maka pada saat itu, ajaran filsafat dan ajaran agama kembali berkontaminasi.
Menurut Bertrand Russell, pengaruh agama dan non Yunani terhadap dunia Hellenistis pada dasarnya buruk, meski tak sepenuhnya demikian. Hal ini semestinya tak perlu terjadi. Kaum Yahudi, Persia, dan Buddhis semuanya memiliki agama yang jauh lebih unggul daripada politeisme rakyat Yunani, dan bahkan bisa dipelajari oleh para filosof terbaik dengan hasil yang bermanfaat. Sayangnya, adalah bangsa Babilonia, atau Chaldea, yang menananamkan pengaruh paling mendalam terhadap imajinasi bangsa Yunani. Maka masa Hellen-Romawi adalah suatu fase filsafat yang tidak hanya didominasi oleh filsafat asli Yunani. Akan tetapi filsafat pada fase ini bisa dikatakan sebagai filsafat Trans Nasional.
Filsafat Yunani pada masa Hellen-Romawi dalam garis besarnya dapat dibagi dua; masa etik dan masa religi. Berikut penjelasannya.
Daftar Pustaka
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1986, cet. 3.
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, cet. 2.
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Penerjemah: Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, cet. 1.
Abd. Rachman Assegaf Dr., Studi Islam Kontekstual, Yogyakarta: Gama Media, 2005, Cet. 1
Ahmad Syadali, H. Drs. M.A., Filsafat Umum, Bandung: CV Pustaka Setia, 2004, cet. 2.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta : Surya Multi Grafika, 2005
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung : Pustaka setia, 2009
Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1973
Panut Panuju, Kuliah Filsafat Islam, Lampung : Gunung Pesagi, 1994
[1] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat; dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,h. 67
[3] Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Penerjemah: Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, h. 87
[4] Ibid, h. 88
artikel yang menarik,,,jangan lupa mampir ya...
ReplyDelete