Matinya Kritisisme PMII ?
Minggu, 08 April 2009 16:59
Dipopulerkan Oleh: Fathiyah Saleh *)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi kemahasiswaan yang didirikan oleh kaum muda Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada tanggal 17 April 1960 silam. Agar PMII tidak menjadi organisasi “papan nama”, maka di usianya yang kian menua ini, kader-kader PMII dituntut untuk melakukan refleksi organisasi.
Tanpa bermaksud meminggirkan “prestasi” yang telah diukir PMII sejak awal pendiriannya, selama sepuluh tahun terakhir ini, PMII justru terkesan gagap dalam membaca dan menyikapi realitas bangsa yang dipenuhi dengan banyak persoalan. Kegagapan PMII dalam menyikapi persoalan-persoalan strategis bangsa, pada akhirnya membawa PMII ke pinggir sejarah.
Tanpa bermaksud meminggirkan “prestasi” yang telah diukir PMII sejak awal pendiriannya, selama sepuluh tahun terakhir ini, PMII justru terkesan gagap dalam membaca dan menyikapi realitas bangsa yang dipenuhi dengan banyak persoalan. Kegagapan PMII dalam menyikapi persoalan-persoalan strategis bangsa, pada akhirnya membawa PMII ke pinggir sejarah.
Kegagapan PMII dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa jelas bertolak-belakang dengan paradigma kritis yang selama ini digembar-gemborkan sebagai pisau bedah PMII. Di tangan PMII, paradigma kritis seperti pisau tumpul yang untuk mengupas buah-buahan saja tidak bisa. Padahal, di dalam paradigma kritis tersimpan energi gerakan yang jika dimanfaatkan dengan baik akan menghasilkan perubahan luar biasa. Energi yang dimaksud adalah keberpihakan paradigma kritis terhadap kaum yang tidak beruntung.
Ketika paradigma kritis dipakai untuk menyikapi persoalan kemiskinan, misalnya, maka keberpihakan PMII hanya dipersembahkan kepada kaum miskin itu sendiri. Persoalan kemiskinan yang telah mengorbankan sejumlah masyarakat Indonesia seperti Iis Maya yang meninggal di kontrakannya di daerah Tangerang (13/3/08) tentu bukan melulu disebabkan oleh faktor kultural seperti sikap malas masyarakat untuk bekerja, dan bukan hanya karena faktor alamiah seperti bencana alam, melainkan di luar faktor kultural dan alamiah tersebut terdapat faktor struktural yang melegitimasi ketidakadilan ekonomi. Inilah yang disebut dengan kemiskinan struktural.
Ideologi neoliberalisme yang dibawa oleh globalisasi adalah penyebab dominan dari terpeliharanya penyakit sosial bernama kemiskinan yang hingga kini masih bertahan dan mendikte berbagai kebijakan pemerintah Indonesia. Neoliberalisme sendiri adalah paham yang memperjuangkan leissez faire (kompetisi bebas). Dalam kompetisi bebas, bisa dipastikan hanya kaum borjuis saja yang mampu keluar sebagai pemenang, sementara kaum pinggiran yang tidak memiliki modal apa-apa akan terus tergusur.
Dalam bukunya, Bebas dari Neoliberalisme (2003), Mansour Fakih memetakan lima agenda neoliberalisme yang harus dilawan, termasuk oleh kader-kader PMII. Pertama, biarkan pasar bekerja. Pasar dimitoskan bisa memperbaiki nasib masyarakat miskin. Kedua, pangkas subsidi negara seperti yang samar-samar terlihat dalam program insentif dan disinsentif listrik yang belum lama ini digulirkan pemerintah. Ketiga, realisasikan deregulasi ekonomi dengan memangkas peran negara. Keempat, wujudkan privatisasi seperti privatisasi lembaga pendidikan yang telah mengakibatkan harga pendidikan mahal. Kelima, masukkan paham sosial dan solidaritas masyarakat ke keranjang sampah.
Menyikapi persoalan semacam ini, PMII perlu menggunakan paradigma kritis sebagai kritik ideologi (neoliberalisme). Dalam bukunya, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif (2006), Donny Gahral Adian menuturkan bahwa paradigma kritis sebagai kritik ideologi bertitik-tolak dari pemikiran Karl Marx. Marx memahami ideologi sebagai sistem kepercayaan dan persepsi sesat tentang realitas. Marx lalu mengajukan teorinya sebagai sains untuk membongkar kebobrokan ideologi kapitalisme yang berlindung di balik klaim rasionalitas.
Konstruksi pemikiran Marx sebenarnya merupakan ketidakpuasan terhadap dialektika roh Hegel yang dianggap terlalu abstrak dan tidak menyentuh realitas. Marx membalik dialektika roh Hegel menjadi dialektika materi. Jika Hegel yakin bahwa kesadaranlah yang menentukan realitas, maka Marx mendekonstruksinya dengan menyatakan bahwa praksis materiallah yang menentukan kesadaran. Inilah yang membawa Marx pada keyakinan akan adanya penindasan kelas borjuis terhadap kelas proletar yang wajib dilawan.
Pemikiran Marx tentu sangat berpengaruh di dunia. Puncaknya, ketika pemikiran Marx dilembagakan menjadi ideologi negara komunis Uni Soviet pada tahun 1919. Setelah pemikiran Marx dilembagakan menjadi sebuah ideologi negara komunis, Marxisme kehilangan daya kritisnya. Marxisme lalu menjadi dogma yang harus dipatuhi dan ditegakkan tanpa kritik. Pendeknya, Marxisme telah berubah dari pemikiran yang bersifat emansipatoris menjadi ideologi obyektif yang mendasarkan dirinya kepada determinisme ekonomi.
Ideologi sebetulnya merupakan tafsiran manusia atas realitas yang dijadikan pedoman karena dilegalisasi oleh kekuasaan. Ideologi yang dilegalisasi inilah yang menjadi sasaran kritik para filsuf Mazhab Frankfurt seperti Jurgen Habermas yang populer dengan dua mahakarya-nya, The Theory of Communicative Action Vol. I: Reason and the Rationalization of Society (1984) dan The Theory of Communicative Action Vol II: Lifeworld and System (1989). Habermas melihat ideologi dari kacamata dialektika, dimana daya kritis harus tetap ada.
Karena itulah, sebagai sebuah organisasi gerakan kemahasiswaan berskala nasional, PMII tidak boleh kehilangan kritisismenya. Pada saat yang sama, merujuk kepada Ben Agger di buku The Discourse of Domination (1992), PMII dituntut untuk mentransformasikan kematangan intelektualnya guna melakukan investasi sosial, politik, dan kultural. Hal semacam inilah yang akhirnya akan memandu arah gerakan PMII kini dan ke depannya, bukan kepentingan politik praktis belaka.
Akhirnya, semoga PMII mampu menghidupkan kembali kritisismenya. Kritisisme sangat dibutuhkan oleh organisasi gerakan seperti PMII untuk memerangi persoalan kemiskinan yang diderita oleh 34,96 juta masyarakat Indonesia (data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik pada Maret 2008), sekaligus guna melawan rasio instrumentalis yang menjangkiti elite-elite politik di republik ini. Rasio instrumentalis telah memosisikan masyarakat miskin sebagai komoditas politik yang bisa dieksploitasi.(*)
Sumber : http://pmiiponorogo.blogspot.com
Ketika paradigma kritis dipakai untuk menyikapi persoalan kemiskinan, misalnya, maka keberpihakan PMII hanya dipersembahkan kepada kaum miskin itu sendiri. Persoalan kemiskinan yang telah mengorbankan sejumlah masyarakat Indonesia seperti Iis Maya yang meninggal di kontrakannya di daerah Tangerang (13/3/08) tentu bukan melulu disebabkan oleh faktor kultural seperti sikap malas masyarakat untuk bekerja, dan bukan hanya karena faktor alamiah seperti bencana alam, melainkan di luar faktor kultural dan alamiah tersebut terdapat faktor struktural yang melegitimasi ketidakadilan ekonomi. Inilah yang disebut dengan kemiskinan struktural.
Ideologi neoliberalisme yang dibawa oleh globalisasi adalah penyebab dominan dari terpeliharanya penyakit sosial bernama kemiskinan yang hingga kini masih bertahan dan mendikte berbagai kebijakan pemerintah Indonesia. Neoliberalisme sendiri adalah paham yang memperjuangkan leissez faire (kompetisi bebas). Dalam kompetisi bebas, bisa dipastikan hanya kaum borjuis saja yang mampu keluar sebagai pemenang, sementara kaum pinggiran yang tidak memiliki modal apa-apa akan terus tergusur.
Dalam bukunya, Bebas dari Neoliberalisme (2003), Mansour Fakih memetakan lima agenda neoliberalisme yang harus dilawan, termasuk oleh kader-kader PMII. Pertama, biarkan pasar bekerja. Pasar dimitoskan bisa memperbaiki nasib masyarakat miskin. Kedua, pangkas subsidi negara seperti yang samar-samar terlihat dalam program insentif dan disinsentif listrik yang belum lama ini digulirkan pemerintah. Ketiga, realisasikan deregulasi ekonomi dengan memangkas peran negara. Keempat, wujudkan privatisasi seperti privatisasi lembaga pendidikan yang telah mengakibatkan harga pendidikan mahal. Kelima, masukkan paham sosial dan solidaritas masyarakat ke keranjang sampah.
Menyikapi persoalan semacam ini, PMII perlu menggunakan paradigma kritis sebagai kritik ideologi (neoliberalisme). Dalam bukunya, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif (2006), Donny Gahral Adian menuturkan bahwa paradigma kritis sebagai kritik ideologi bertitik-tolak dari pemikiran Karl Marx. Marx memahami ideologi sebagai sistem kepercayaan dan persepsi sesat tentang realitas. Marx lalu mengajukan teorinya sebagai sains untuk membongkar kebobrokan ideologi kapitalisme yang berlindung di balik klaim rasionalitas.
Konstruksi pemikiran Marx sebenarnya merupakan ketidakpuasan terhadap dialektika roh Hegel yang dianggap terlalu abstrak dan tidak menyentuh realitas. Marx membalik dialektika roh Hegel menjadi dialektika materi. Jika Hegel yakin bahwa kesadaranlah yang menentukan realitas, maka Marx mendekonstruksinya dengan menyatakan bahwa praksis materiallah yang menentukan kesadaran. Inilah yang membawa Marx pada keyakinan akan adanya penindasan kelas borjuis terhadap kelas proletar yang wajib dilawan.
Pemikiran Marx tentu sangat berpengaruh di dunia. Puncaknya, ketika pemikiran Marx dilembagakan menjadi ideologi negara komunis Uni Soviet pada tahun 1919. Setelah pemikiran Marx dilembagakan menjadi sebuah ideologi negara komunis, Marxisme kehilangan daya kritisnya. Marxisme lalu menjadi dogma yang harus dipatuhi dan ditegakkan tanpa kritik. Pendeknya, Marxisme telah berubah dari pemikiran yang bersifat emansipatoris menjadi ideologi obyektif yang mendasarkan dirinya kepada determinisme ekonomi.
Ideologi sebetulnya merupakan tafsiran manusia atas realitas yang dijadikan pedoman karena dilegalisasi oleh kekuasaan. Ideologi yang dilegalisasi inilah yang menjadi sasaran kritik para filsuf Mazhab Frankfurt seperti Jurgen Habermas yang populer dengan dua mahakarya-nya, The Theory of Communicative Action Vol. I: Reason and the Rationalization of Society (1984) dan The Theory of Communicative Action Vol II: Lifeworld and System (1989). Habermas melihat ideologi dari kacamata dialektika, dimana daya kritis harus tetap ada.
Karena itulah, sebagai sebuah organisasi gerakan kemahasiswaan berskala nasional, PMII tidak boleh kehilangan kritisismenya. Pada saat yang sama, merujuk kepada Ben Agger di buku The Discourse of Domination (1992), PMII dituntut untuk mentransformasikan kematangan intelektualnya guna melakukan investasi sosial, politik, dan kultural. Hal semacam inilah yang akhirnya akan memandu arah gerakan PMII kini dan ke depannya, bukan kepentingan politik praktis belaka.
Akhirnya, semoga PMII mampu menghidupkan kembali kritisismenya. Kritisisme sangat dibutuhkan oleh organisasi gerakan seperti PMII untuk memerangi persoalan kemiskinan yang diderita oleh 34,96 juta masyarakat Indonesia (data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik pada Maret 2008), sekaligus guna melawan rasio instrumentalis yang menjangkiti elite-elite politik di republik ini. Rasio instrumentalis telah memosisikan masyarakat miskin sebagai komoditas politik yang bisa dieksploitasi.(*)
Sumber : http://pmiiponorogo.blogspot.com
No comments:
Post a Comment