BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan menjawab pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.
Apakah kriteria kebenaran? Apakah kriteria bahwa suatu pernyataan adalah benar?; Suatu pernyataan adalah benar jika sesuai dengan fakta; A criterion of truth is “correspondence with reality.”; Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut” (Jujun, 1984: 57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk mendukung kebenaran suatu pernyataan
Apakah kriteria kebenaran?: Suatu pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar” (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah kebenaran matematika (mathematical truth) dan logika deduktif (Scruton, 1996: 239)
B. RUMUSAN MASALAH
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud teori tentang kebenaran?
2. Dari mana asal dan gagasan positivisme logis?
3. Apa yang dimaksud dengan positivisme didalam ilmu pengetahuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Tentang Kebenaran
Teori Tentang Kebenaran Beberapa teori telah dilahirkan untuk mencoba mendekati arti dari kebenaran yang dimaksud. Beberapa teori itu adalah:
1).Teori Korespondensi :
"Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya" (L. O. Kattsoff)
Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
2). Teori Konsistensi :
"Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri " (A.C. awing, The Fundamental Question of Philosophy).
Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv, dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
3). Teori Pragmatis :
"Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut " (Charles S. Baylin).
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia” (Jujun, 1984: 58-9). Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our ptactice. We act as if there were a God” (James, 1982: 51-55). Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
Sedangkan teori kebenaran menurut pandangan positiveme, Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Kebenaran menurut pandangan positivisme menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. dilihat dari Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan validitas metodenya.
Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak mencukupi.
Jadi, yang dimaksud dengan kebenaran menurut pandangan positivisme adalah kebenaran yang pernah dialami oleh pancaindera(empiris), yang realistis dan memiliki fakta-fakta yang sebenarnya. Aliran ini tidak meyakini hal-hal yang berhubungan dengan metafisika ataupun gaib yang tidak disertai dengan fakta-fakta yang ada. Aliran ini hanya meyakini paham-paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Manusia adalah mahluk berfikir yang dengan itu menjadikan dirinya ada. Prof. Dr. R.F Beerling, seorang sarjana Belanda mengemukakan teorinya tentang manusia bahwa manusia itu adalah mahluk yang suka bertanya. Dengan berfikir, dengan bertanya, manusia menjelajahi pengembaraannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian lingkungannya bahkan kemudian sampai pada hal-hal lain yang menyangkut asal mula atau mungkin akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang sedikit berbeda dengan hewan. Sebagaimana Aristoteles, filsuf yunani yang lain, mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reason). W.E Hacking, dalam bukunya What is Man, menulis bahwa: "tiada cara penyampaian yang meyakinkan mengenai apa yang difikirkan oleh hewan-hewan, namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berfikir dari hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis sejarah......."
William P. Tolley, dalam bukunya Preface To Philosophy A Tex Book, mengemukakan bahwa "our question are endless,......what is a man, what is a nature, what is a justice, what is a god ? Berbeda dengan hewan, manusia sangat concern mengenai asal mulanya, akhirnya, maksud dan tujuannya, makna dan hakikat kenyataan. ....Mungkin saja ia adalah anggota marga satwa, namun ia juga adalah warga dunia idea dan nilai.. .."
Dengan menempatkan manusia sebagai hewan yang berfikir, berintelektual dan berbudaya, maka dapat disadari kemudian bila pada kenyataannya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan fikirannya mengembara dan akhirnya bertanya. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran; mencari jawaban tentang alam dan Tuhan adalah mencari kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah pengetahuan, teknologi, kepercayaan (atau mungkin agama ??) Lalu apakah kebenaran itu ? atau apakah atau keadaan yang bagaimanakah yang dapat disebut benar ?
Sulit untuk mengatakan apakah ketiga teori tentang kebenaran tersebut diatas adalah bertentangan atau saling melengkapi. Namun yang pasti, seharusnya kebenaran tidaklah menjadi klaim salah satu golongan saja. Sebagaimana Harold H. Titus mengatakan "The way of knowledge may be many rather then one ". Proses berfikir tidak boleh berhenti pada satu hal yang kelihatannya sudah pantas untuk diyakini, karena ketika keyakinan akan suatu obyek mulai tumbuh, maka seiring dengan itu proses berfikir tentang obyek tersebutpun akan berhenti. Keyakinan adalah penjara kebebasan berfikir, dan tulisan inipun dibuat agar pembaca terus berfikir.
Marxis, dalam sebuah penjelasannya mengungkapkan "apabila sensasi kita, persepsi kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, apabila itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan semua itu benar; pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran".
1. Agama
Apakah agama dapat dikatakan sebuah kebenaran ? Ataukah agama adalah suatu bentuk terakhir yang bisa diwujudkan manusia atas kegagalannya mendefinisikan sesuatu?
Golongan atheis menuduhkan pernyataan yang kedua bagi agama- agama. Sementara disisi lain, kebenaran agamapun masih menjadi klaim dan rebutan masing-masing pemeluknya. Masih sering terdengar ungkapan kesombongan dari pemeluk suatu agama bahwa agamanya adalah yang terbaik dan paling benar, yang ia sendiri lupa bahwa seharusnya kebenaran tersebut hanyalah menjadi milik Tuhan yang ia puja. Bahkan ada kesengajaan secara sistemik mengajarkan kepada pemeluknya tentang perbedaan agama-agama. Ada yang disebut agama langit (samawi) dan ada agama bumi. Agama samawi adalah agama yang diwahyukan oleh Tuhan (tentu saja dengan penjelasan lebih lanjut bahwa satu-satunya agama samawi adalah agama yang mereka anut). Sedangkan agama bumi adalah agama yang dilahirkan oleh cita-karsa atau kebudayaan manusia.....dan menjadi sangat memprihatinkan ketika faham tersebut akhirnya menghegemoni pemeluknya sampai menghilangkan sisi logika yang seharusnya menjadi ciri khas setiap manusia. Inilah yang penulis maksud diatas, keyakianan adalah penjara kebebasan fikiran sebagai sesuatu hal yang berbahaya.
Bila kemudian kita mencoba menoleh pada berbagai teori kebenaran diatas, hal manakah yang bisa disebut kebenaran ? Sulit mencari menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
B. Asal Dan Gagasan Positivisme Logis
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
1. Kritik
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan
dapat digolongkan sebagai ilmiah.
C. Positivisme Di Dalam Ilmu Pengetahuan
Buku Mikhael Dua ini tampaknya lebih mau menanggapi isu pertama, yakni suatu refleksi terhadap logika internal ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seluruh buku ini bisa dilihat sebagai pembongkaran internal analitis terhadap paradigma posivitisme yang, terutama di Indonesia, tampaknya masih melekat di dalam asumsi dasar para ilmuwan kita.
Apa itu positivisme? Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.
Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas metodenya.
Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak memadai.
1. Kritik Terhadap Positivisme
Yang juga dikritik oleh Mikhael Dua adalah suatu aliran filsafat yang disebut sebagai positivisme logis, atau juga disebut sebagai positivisme modern, yakni suatu aliran pemikiran yang berpendapat bahwa “tugas utama filsafat adalah berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya untuk membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris” (hal. 31).
Di dalam seluruh pemaparannya, Mikhael Dua tampak selalu ‘bertegangan’ dengan paradigma positivisme ini, baik secara jelas maupun secara implisit. Dengan menggunakan berbagai teori di dalam filsafat ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para pemikir, seperti Karl Popper dengan teori falsifikasinya (hal. 51-80), Hempel (hal. 83-105), Thomas Kuhn (hal. 109-137), dan beberapa pemikir lainnya, Mikhael Dua tampak menabuh genderang perang terhadap positivisme!
Lalu, apa implikasi dari refleksi ini bagi kehidupan manusia secara keseluruhan? Setidaknya, ada dua. Yang pertama, kritik terhadap positivisme logis maupun positivisme klasik hendak menyelamatkan
manusia dari reduksi pengetahuan tentang dunianya ke dalam data-data empiris dan analisis-analisis logis semata, sekaligus memberi ruang untuk pengetahuan yang secara dialektis mampu mencakup keseluruhan (hal. 226).
Yang kedua, refleksi yang dilakukan Mikhael Dua ini juga dapat membantu kita untuk menempatkan kembali ilmu pengetahuan di dalam totalitas kehidupan manusia yang pada hakekatnya bersifat dialektis. “Tidak ada sebuah teori”, demikian tulisnya, “yang berdiri sendiri tanpa dilihat dalam kerangka dialektis tersebut… dengan teori-teori yang lain.” (hal. 240)
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah bagian dari totalitas kehidupan manusia, dan oleh karenanya juga tidak luput dari cacat-cacat yang pada akhirnya bisa menghancurkan manusia itu sendiri. Refleksi metodologis terhadap ilmu pengetahuan sangatlah perlu, sehingga kita bisa secara kritis menanggapi berbagai isu –isu yang tentang ilmu pengetahuan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari validitas suatu teori ilmiah, sampai dampak ilmu pengetahuan bagi totalitas kehidupan manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebenaran menurut pandangan positivisme adalah dikatakan benar apabila sesuai kenyataan, dan ada fakta pendukungnya serta bersifat empirisme. Didalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
B. Saran
Penyusun menyadari dalam segala hal bahwa yang namanya manusia tidak pernah luput dari khilaf dan salah. Oleh karena itu, kami dari penyusun sadar bahwa penyusunan tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kami sangat mengharapkan saran ataupun kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Junjun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
http//www.wikipedia.com. 2011
No comments:
Post a Comment