Kemajemukan bangsa lndonesia telah melahirkan perpaduan yang sangat indah dalam berbagai bentuk mozaik budaya dan adat istiadat. Berbagai suku, agama, adat-istiadat dan budaya dapat hidup berdampingan dan memiliki ruang interaksi komunikasi dan negosiasi yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Kemajemukan masyarakat Indonesia dilihat dari latar agama merupakan realitas yang tidak bisa dielakkan. Adanya perbedaan agama dan aliran keagamaan yang ada mengandung potensi terjadinya konflik dalam kaitannya dengan hubungan antara umat beragama. Penyebab timbulnya kerawanan hubungan antar umat beragama bersumber dari beberapa faktor antara lain :
(1) sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah/misi seperti Islam Kristen dan budha {2) kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan orang lain (3) kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan apa dan toleransi dalam kehidupan masyarakat (4) kecurigaan masing-masing pihak akan kejujuran pihak lain, baik interen umat beragama maupun antar umat beragama maupun antara unnat beragama dengan pemerintah, (5) perbedaan yang cukup mencolok dalam status social, ekonomi, dan pendidikan antara berbagai golongan agama (6) kurangnya komunikasi pemimpin masing-masing umat beragama dan(7) kecendrungan fanatisme yang berlebihan yang mendorong munculnya sikap kurang menghormati bahkan memandang rendah orang lain'[1].
Agama adalah sistem total, sama totalnya dengan kebudayaan. Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat akodrati (supernatural), ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai perorangan maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga member dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan dimikiain secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motivasi diri dalam kehidupan yang transenden dan transcendental. Motif yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan non agama, baik dokrin maupun idiologi yang bersifat profane (tidak sacral).
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu system nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka pikir dan acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai system nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk cirri khasnya. Yang paling mudah dikenali dari agama adalah fungsinya sebagai pelayan manusia dalam melampiaskan kerinduan terhadap perlindungan dan kedamaian yang dijanjikan oleh Tuhan, dengan begitu, agama harus berurusan dengan wilayah unspeakable (yang tak terkatakan) atau wilayah yang tidak terungkap oleh kata-kata (batin) yang melembaga dibagian terdalam dari diri manusia, hati nurani atau intuisi. Kepekaan hati itulah yang pertama kali memahami arti penting kesadaran akan kehadiran Tuhan, atau bahkan arti agama bagi manusia.
Permasalahan yang timbul dalam dunia keagamaan sekarang ini Nampak bahwa agama mengalami penciutan signifikansinya dalam kehidupan manusia. Hal ini sekal- kali tidak berarti bahwa manusia tidak lagi beragama, tetapi religiusitas manusia itu telah terjatuh menjadi sekedar bagian dai kehidupan manusia. Akibat timbulnya kesibukan luar biasa dalam wilayah kehidupan tertentu yang memang tidak
dibatasi secara tegas oleh agama. Di sini agama terkena fait accomple (kadaan yang harus dihadapi), tidak hanya ia hanya harus mengakui arti penting, dan dengan demikian memberi wewenang pada kesibukan tersebut[2] walaupun begitu unik fenomna ini, agama sebagai sebuah jalan menuju “Tuhan” ternyata bukan saja menyediakan ruang privacy (pribadi) bagi teraktualisasinya potensi spiritual manusia, namun dia juga ditantang untuk berkomunikasi/berdialog dengan kecerdasan, pergolakan fisik dan perubahan mental para pemeluknya. Watak komunikasi umat beragama itukah salah satu yang mengilhami manusia untuk membangun perdamaian dan peradaban sekarang ini.
Perdamaian, toleransi, keramahan, kerukunan umat beragama, bukan berarti mencampur-adukkan agama, atau dalam rangka sinkretisme, tetapi hal itu dimaksudkan untuk memperdalam waawasan keagamaan dan spiritual. Berbagi pengalaman spritual dengan penganut agama lain. Pengamalan yang diperoleh dari agama lain akan dapat rnemperkaya khasanah pengalaman dalam membangun
dan memperkokoh agama itu sendiri. Oleh karena itu rasa takut untuk melahirkan pengembangan spritual ke dalam jantung agama lain harus dihilangkan. Walaupun transparansi aqidah masih terasa tabu dan berat bagi sebagian umat beragama.
Al Quran telah memberikan cara yang terbaik dalam berhubungan dengan agama lain. Semuanya itu menunjukkan adanya keluhuran Al Qur’an terwujud secara nyata bukan saja hanya dalam kerangka kaum muslim yang menjadikannya sebagai kitab suci dan sumber idiologi, tetapi juga menuntut keseluruban mahluk Tuhan di muka bumi. Diantara keluhuran dan keterbukaan Al Quran adalah adanya banyak ayat Al Quran yang mengapreasiasi para tokoh dan ajaran agama lain seperti Yahudi dan Kristen Tokoh Yesus dan Isa al Masih adalah sosok yang paling banyak disebutkan dalam Al Quran.
Perdamaian dalam konteks kehidupan pluralis agama adalah ketika umat beragama yang satu menghorrnati dan menghargai umat beragama yang lain. Rasa hormat dan menghargai ini bukan karena kepentingan tertentu, tetapi dengan tulus, jujur. Kondisi ini bisa terjadi bila masing-masing mampu nnenguatkan dirinya agar tidak mudah dipengaruhi oleh apapun dan siapapun juga, yang memaknai agama atau meperalat umat beragama untuk melalukan hal-hal yang rneremehkan rasa hormat terhadap kepelbagaian. Konsekuensinya adalah masing-masing agama harus terbuka untuk melakukan autokritik, sekaligus terbuka untuk dikritik dan melakukan. komunikasi yang bersifat dialogis. Disinilah nilai-nilai kemanusiaan dipertaruhkan, dan makna nilai-nilai agama menjadi konkrit.[3]
Kedamaian, keharmonisan dan kerukunan merupakan dambaan umat manusia Sebagian besar umat manusia yang menganut Islam, Kristen, dan Yahudi, dan agama-agama lainnya ingin hidup rukun, damai dan tentram. Islam , Kristen dan Yahudi adalah "Abraham religions" (rumpun agami Nabi lbrahim). Agama-agama Nabi Ibrahim yang mengajarkan hidup rukun Namun ketika agama samawi ini dalam sebuah priode historis, dengan demikian dapat pula disebut sebagai siblings (saudara kandung). Azyumardi Azra, menyebutnya sebagai kakak-adik yang disamping kesamaan-kesamaan dan kemiripan-kemiripan rnereka juga menampakkan perbedaan-perbedaan yang kadang menimbulkan konflik antar umat beragama tersebut. Di sisi lain ketiga lembaga agama yang terbesar ini secara normatif dan doktriner selalu mengajarkan kebaikan, cinta kasih, dan kerukunan.[4]
Meskipun secara teologis ketiga agama ini memiliki ciri khas yang sama namun dalarm sejarahnya banyak mengalami konflik, bahkan hingga saat ini keragaman ini tentu saja merupakan berkah dan anugrah dari Tuhan" dan merupakan kenyataan yang tidak ternilai harganva. Masalah yang tersisa adalah berkah dan anugrah tidak dapat hanya diterima tanpa memberi makna sebagai sebuah
realitas kolektif yang dinamis. Dengan realita ini timbul suatu pertanyaan bagaimana keragaman ini mampu hidup berdampingan secara dinamis, sebuah peradaban yang ramah dan menghormati nilai-nilai pluralis di tengah masyarakat.
Konflik umat beragama tersebutt disamping dipicu oleh faktor ekonomi, politik, social, juga disebabkan sikap ekslusif di antara pemeluk agama Sebagai missal konflik yang terjadi di beberapa daerah di wilayah Indonesia, seperti Tasikmalaya, Sutobondo, Sambas, Ambon dan Poso yang sampai sekarang mengalami perluasan wilayah konflik.
Usaha untuk membangun tradisi komunikasi lintas agama yang berbasis pluralis sebenarnya merupakan sebuah pilar untuk memberi ruang hidup bagi berlangzung sebuah negara yang dernokratis. Negara yang yang demokatis seharusnya dibagun di atrs pla{orm cMl saciety (cita-cita masyarakat madan) yang plural. Mengedepankan kesatuaq membangun dialog sekalipun sangat tajam tetapi tetap menghargai tradisi non kekerasan.
Komunikasi lintas antara umat beragama bukankah ujaran kosong, rrelainkan suatu strategi yang bertujuan untuk rrembangun kembali harnpni kesepalaman sebagai prasyarat untuk membangun kembali persatuan bangsa. Komunikasi adalah jalan satu-satunya untuk men$aunb mis kamunikasi dan dis komunifrari antar uma beragarna dan sekaligus dapat menciptakan iklim baru" nuansa baru yang mampu mencabut pemicu konflik dan rnengakhiri segala bentuk kekerasan, keterasingan,dan kelemahan komunikasi dan interkoneksi antar berbagai kekuatan yang saling berseberangan.
Pemikiran tentang pentingnya komunikasi antarumat beragama muncul karena adanya tuntutan masyarakat plwalis yang sering menghadapi situasi konflik' Konsep yang muncul melihat realita )ang ada bahwa suatu masyarakat yang saling berhadapan dan berbeda keyakinan agarna sangat ruhm. Kerukunan dalam konteks kehidupan beragama adalah ketika umat beragama yang satu menglrormati dan menghargai umat beragama lain Rasa hormdt dan rnenghargai ini bul€n kerna kepentingan tertentg, tetapi dengan tulus, jujur dan kodusif. Kondisi ini bisa terjadi bila masing-masing agama nlampu nrenguatkandirinya agar tidak rnudahdipengaruhi
oleh apapun dan siapapun juga, yang mernakai agama atarr memperalat umat beragama untuk melakukan hal-hal yang meremehkan rasa hormat
Konsekuensinya adalah masing-masing agama harus terbuka untuk melalcukan autokritik, sekaligus terbuka untuk dikritik dan rnelakukan kornunikasi yang sifatnya dialogis. Dalam kondisi ini nilai-nilai kemanusiaan dipertaruhkan, dan mak ra nilai-nilai agama rnenjadi konkrit. Kerukunan, dengan demikian bukankah sebuah mimpi yang maya melainkan suatu realitas obyektif yang konkrit dialami manusia.
Atas dasar uraian di atas, maka agar tidak menimbulkan pro-kontra tentang pluralisme maka yang perlu dijelaskan bahwa pandangan semua agama itu baik dan benar. Pernyataan bahwa semua agama itu baik dan benar perlu dijelaskan dengan Keterangan” bagi Para Pemeluknya.
Kebersamaan adalah ungkapan lain dari persatuan dan kesatuan, dalam konteks ke Indonesia-an. Membangun persatuan dan kesatuan adalah perjanjian luhur bangsa Indonesia. Di dalamnya tersirat satu janji yang diikrarkan, bahwasanya kelestarian bangsa dan Negara Indonesia hanya akan dijamin apabila persatuan dan kesatuan dipelihara serta dibina.
Sinyalemen ini terbukti dalam sejarah umat manusia, banyak peperangan yang diberi label agama terjadi di Indonesia khususnya dan di belahan dunia umumnya Di Indonesia pun untuk tujuh tahun terakhir ini mengalami hal serupa. Kerusuhan terjadi di beberapa daerah antara lain rli Sutubonda, Tasikmalaya, Kupang, Sambas, Ambon bahkan di Poso konfliknya sampai tulisan ini masih mengalami perluasan daerah.
Kondisi ini tentu saja sangat mengagetkan, sebab konon orang-orang Indonesia sangat toleran satu agama dengan agama lainnya. Perbedaan agama di Indonesia bukanlah gejala baru, sebab itu sudah ada sejak dulu. Sejak dulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang penuh tenggang rasa. Rasa sinyalemen ini tidak terlalu keliru kalau memperhatikan berbagai kehidupan asli di aras akar rumput masyarakat pedesaan di Indonesia. Konflik-konflik dengan emosi keagamaan itu
hampir tidak terjadi. Sayang sekali situasi damai seperti itu diusik secara brutal oieh berbagai kepentingan sempit dari pihak-pihak yang menginginkan orang lain celaka demi kepentingan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Afif Rifai, Agama, Fragementasi Politik dan Kekerasan Rakyat di Era Indonesia Kontenporer, (Balitang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003), hlm.35
[2] Nasir Tamara, Saiful Anwar Hashem, Agama dan Dialog Anar Peradaban, dimuat dalam Agama dan Dilaog Antar Peradaban, Editor M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Yakarta, Paramadina, 1996), hlm.xiii.
[3] Budi S. Tanuwibowo, Dkk, Pluralisme, Konflik, dan Perdamaiyan, Studi bersama antar-iman, Pengantar Elga Sarapung (Jokyakarta, Institut DIAN/interfidei dan Asia Foundation, , 2002), hlm 12.
[4] Azyumardi Azra, Merajut Kerukunan Hidup Beragama Antara Cita Dan Fakta, Dianut dalam Jurnal Harmoni, Merajut Kerukunan Hidup Beragama Antar Cita dan Fakta, (Yakarta, Puslitbang Kehidupan beragama, Badan Libang Agama & Diklat Keagamaan, Departemen Agama, 2003), hlm. 8.
No comments:
Post a Comment