BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian hadits
Secara etimologi, hadits berarti sesuatu yang ( al-jadid ), lawan dari sesuatu yang lama (al-qadim ). Itulah sebabnya, secara kebahasaan, orang yang baru masuk islam biasa disebut hadits al-ahdi fi al-islam.
Sedangkan secara terminologi, para ulama memberikan definisi (ta’rif ) yang berbeda sesuai dengan latar belakang disiplin keilmuannya.[1]
Pada prinsipnya hadits adalah segala keteladanan dari rasulullah saw. Yang dijadikan oleh pelajaran bagi seluruh umat islam hingga akhir zaman. Adapun hadits terdiri dari tiga kelompok besar, yaitu : [2]
1. Perkataan rasulullah saw. Yaitu segala sesuatu yang beliau ucapkan dan disaksikan oleh para sahabat beliau.
2. Perbuatan rasulullah saw,yaitu segala tindak-tanduk, perilaku dan kebiasaan rasulullah saw. Senbagaimana disaksikan oleh para sahabat beliau.
3. Diamnya rasulullah saw, yaitu sikap diam rasulullah saw, di hadapkan suatu perbuatan yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak terlarang. Diamnya rasulullah saw. Ini pun mesti disaksikan oleh para sahabat beliau.
Kita lihat disini bahwa karena rasulullah saw. Telah wafat, maka hadits hanya mungkin sampai pada kita melalui jasa para sahabat dan penerusnya. Tidak mungkin kita mempercayai sebuah hadits yang muncul ‘begitu saja’ dari lisan seseorang yang tak pernah bersuara dengan rasulullah saw.
sebuah hadits harus di sampaikan secara bersambung hingga kepada orang yang mengaku menyaksikan sendiri dari rasulullah saw.
B. Permasalahan hadits
Mengapa harus ada hadits ? pertanyaan ini yang selalu dilontarkan oleh kaum ingkar hadits. Mereka tidak bosan-bosannya mempertanyakan hal ini, seolah tidak habis pikir mengapa Allah SWT yang maha kuasa memerlukan hadits dari manusia ( yaitu rasulullah SAW ). Untuk menuntut umat islam. Kebingungan mereka sebenarnya berasal dari kerancuan pola pikirnya sendiri, karena menganggap bahwa proses adalah gambaran dari keterbatasan Allah SWT. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.
Urgensi hadits adalah sejalan dengan urgensi keberadaan para nabi dan rasul. Yang memiliki keterbatasan di sini bukanlah Allah SWT, melainkan manusia itu sendiri. Seringkali manusia mengalami kesulitan dalam memahami persoalan-persoalan yang abstrak, karenanya, membutuhkan contoh pasti yang dapat mereka jadikan referensi. Untuk keperluan itulah, sekali lagi karena keterbatasan manusia, Allah SWT mengutus para nabi da rasul.
Karena di utus kepada umat manusia, maka yang di utus pun mestilah manusia tulen. Jika yang di utus adalah malaikat, maka manusia akan susah memahami risalah yang di bawahnya. Bagaimana mungkin bicara tentang hawa nafsu dengan makhluk yang tidak mengenal hawa nafsu ? ini sama saja mendengarkan ceramah tentang bahaya merokok dari lisan seorang guru yang kecanuan rokok. Apa yang disampaikan benar, namun tidak tercermin dalam dirinya, dan karenanya, sulit mendapatkan simpati para pendengar.
Rasulullah SAW. Adalah manusia tulen yang mengenali rasa gembira dan sedih, dan melalui beliau, Allah SWT mengajari manusia bagaimana caranya mengekspresikan kegembiraan tanpa berlebihan dan seih yang tidak mendekati kekufuran. Beliau juga memiliki kebutuhan, dan karenanya, para pengikutnya mudah memahami bagaimana cara yang benar untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Beliau juga mencari rizki Allah SWT dan para pengikutnya bisa dengan seksama meneliti cara mencari rizki yang benar. Keberadaan hadits tidak lain adalah bentuk rahmat Allah SWT, sehingga semua petunjuk-Nya dapat kita pahami dengan baik, bukan hanya teori, namun juga melangkah pada praktek.
Tentang penyampaian hadits, sebagian orang yang dengki pada islam berusaha mendiskreditkan sebagian sahabat dan ulama penerusnya dengan mengkritisi proses penyampaian penyampaian hadits. Ada yang bilang bahwa hadits-hadits masa kini sangatlah rancu karena memuat begitu banyak hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huraira ra, padahal masih ada sahabat-sahabat lain yang lebih dekat dengan rasulullah SAW, misalnya Abu Bakar ra, dan Umar bin khatab ra.
Permasalahan sebenarnya teramat sederhana. Selama masih ada sahabat Rasululllah SAW yang hidup maka hadits masih di mungkinkan untuk bertambah. Di sini, para sahabat memegang kunci. Ketika generasi sahabat telah wafat semuanya, maka hadits tidak mungkin lagi bertambah, karena para saksinya telah tiada.
Bertambahnya hadits, biasanya di picu oleh adanya persoalan-persoalan mutakhir atau munculnya pertanyaan-pertanyaan dari generasi muda umat islam. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. Sebagai khalifah, kecil sekali kemunkinan munculnya pertanyaan munculnya pertayaan tentang tata cara shalat Rasulullah SAW. Abu Bakar ra, wafat hanya dua tahun setelah Rasulullah SAW. Wafat rang-orang yang hidup pada jaman pemerintahan Abu Bakar ra, rata-rata pernah berjumpa Rasullah SAW, dan kalaupun tidak mereka bisa mendapatka informasi dengan mudah tentang shalat Rasulullah SAW. Hanya dengan mendatangi masjid-masjid di Mekkah dan Madinah yang bis di pastikan akan di imani oleh para sahabat Rasulullah SAW.
Para ulama yang hidup pada masa belakangan telah mengarang satu kitab khusus untuk mengungkap suatu hadits, dan menerangkan keadaannya. Salah satu kitab yang ternasyhur dan paling luas adalah kitab : “ al-maqosida al-hasanah fi bayani katsiran minal ahaadits al-musthaharah ‘alal alsinah” yang dikarang oleh Al Hafidh As Sakhowi, dan kitab-kitab yang semisalnya, dari kitab-kitab “ Takhrijul hadits “ ( kitab yang menjelaskan hadits ).
C. Permasalahan hadits masa kini
Masalah hadits senantiasa diperdebatkan dalam forum-forum, terutama di era cyber seperti sekarang. Jika anda melihat di forum situs MY QURAN. Anda akan menemukan begitu banyak thread yang dikhususkan untuk diskusi dan perdebatan mengenai masalah hadits. Sebagian besar masalah, berasal dari kesalahpahaman yang halus namun fatal terhadap hadits, dan masalah yang sama kemudian terulang kembali lantaran ada saja yang ingin mengungkit-ungkitnya.
Kenyataan bahwa saat ini sangat jarang atau hampir tidak ada ahli hadits yang mengkontrasikan diri menghafal sanad dan matan hadits merupakan imbas kebijakan masa lalu. Pendidikan formal dan nonformal mulai tingkat bawah sampai perguruan tinggi belum mampu mewacanakan pentingnya pengetahuan terhadap seluk-beluk hadits.
Syuhudi, dengan berbagai idenya mengenai teori kaidah sanad matan hadits dapat menjadi inspirasi bahwa ilmu hadits, secara epistemologi masih sangat mungkin untuk di kembangkan.
Ketika pintu ijtihad dinyatakan terbuka, sebuah konsesus baru perlu disempurnakan dan pembacaan atau penafsiran baru terhadap teks-teks dasar islam yakni al-Quran dan sunnah menjadi sangat penting. Hadits misalnya, prinsip-prinsip kritisisme hadits trdisional harus digalakkan kembali. Menyeru kembali kepada teks-teks sumber yakni al-Quran dan sunnah nabi yang otentik untuk menghasilkan pemahaman modern yang segar dengan cara penafsiran tradisional adalah suatu keniscayaan. Memguatkan seruan itu, menurut Hasa Hanafi ( Hasan Hanafi, 2008 : 114 ), sesuatu yang diketahui dengan pasti kontradiksi dengan nalar, indra atau konjungitas, sesuatu yang kontradiksi dengan teks yang definitif, yakni al-kitab dan sunnah shahihah atau konsesus piblik dan sesuatu yang ditegaskan falsifikasinya oeh publik yang banyak sekali, sesuatu yang seperti itu adalah berita yang harus ditolak atau di tentang.
Para peneliti hadits baik di kalangan akademisi, intelektual dan pondok pesantren maupun ma’had-ma’had kajian hadits selama ini masih menyandarkan penilaian hadits-hadits yang diteliti berdasar penelitian-penelitian serupa terhadap hadits-hadits serupa yang pernah dilakukan oleh ulama-ulama hadits terdahulu, tanpa meneliti ulang apa yang telah mereka lakukan.
Inilah yang pada kenyataannya mengakibatkan model kritik dalam studi hadits masih berjalan di tempat. Di satu sisi peliknya studi hadits itu sendiri sehingga di sadari atau tidak menimbulkan kemalasan berfikir dan di sisi lain kita sudah terlanjur puas dan merasa final dengan apa yang ditorehkan oleh pendahulu-pendahulu kita sehingga mengkaji hadits semakin hari semakin berkurang peminatnya.
Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan model kritik studi disiplin ilmu yang lainnya semisal tafsir, fiqih ataupun ilmu kalam atau ushludidn sekalipun. Studi kritik terhadap disiplin ilmu-ilmu di atas semakin intens dan semakin “ berani “ melampaui apa yang pernah di gariskan oleh ahli di bidangnya masing-masing dahulu kala.
Implikasi penelitian ini terhadap pengajat studi hadits adalah perlunya kajian studi hadits yang itegral dengan menggunakan pendekatan fiqihnya. Artinya studi hadits harus diajarkan tidak terpisah dengan studi penting yang merupakan penggalian sumber hukumnya, yaitu fiqih, dengan mengintegralkan keduanya, pengajaran menjadi utuh, utuh dalam satu bidang yang di bahas dan utuh dalam satu kesimpulan.
Pengalaman pengajaran studi hadits selama ini di lembaga-lembaga akademis selalu diajarkan terpisah dengan dosen yang berbeda pula. Inila menurut penulis yang selama ini masih menyisakan kesan sektarian antara hadits dan fiqh, yang akir-akhir ini semakin gencar di sorot dan kritik oleh imntelektual-intelektual muslim dewasa ini.
Menilik hal di atas, perlu kiranya reformasi pengajaran fiqih-hadits yang selama ini terpisah dan menjadikannya dalam satu paket dan merupakan suatu keharusan kebutuhan mendesak yang perlu segera direalisasikan, dan tidak perlu terus menerus hanya berkutat dalam lingkup dan ranah wacana. Sehingga dengan demikian pelajaran hadits menjadi elastis tidak rigit dan kaku serta tidak terkesan menjemukan. Demikiana pula bagi pengajaran fiqih, tidak terkesan terlalu liar dan liberal yang sering di tuduhkan orang selama ini, dengan anggapan mengabaikan sandaran sumber hukumnya dan pengkajian dalil-dalilnya yang dalam hal ini adalah hadits. Akhirnya fiqih tidak terkontrol, miskin dan lemah dasar hukumnya , bahkan terkadang mengabaikan dasar hukum tersebut.
Sementara itu keberagaman kaum muslimin sehari-hari, dari mulai aktivitas sejak terbit matahari hingga terbenam, dari bangun tidur hingga kembali keperaduan, dari urusan rumah tangga hingga negara, tidak bisa lepas dari keberadaan dan keterkaitannya dengan hadits-hadits nabi sebagai tuntutan, pegangan, pijakan dan sandaran hukum.
D. Paradigma Pemahaman Hadits Modern
Hadits adalah sebuah pernyataan historis yang bersifat singular dan merupakan deskripsi menyeluruh mengenai bagian tertentu dari masa silam. Hadits menceritakan bahwa Nabi SAW pernah memutuskan perkara berdasarkan satu saksi dan satu sumpah adalah sebuah pernyataan singular mengenai satu peristiwa, yaitu peristiwa pemutusan perkara dengan satu saksi dan satu sumpah. Jadi tampa bahwa hadits adalah satu pernyataan singular di sekitar Nabi SAW.
Kaitannya dengan ajaran agama bagi para ulama agama sepertinya halnya bagi seluruh sejarawan adalah penting bahwa pernyataan singular historis itu benar. Bagi para ulama kebenaran hadits atau penyusunan singularsekitar Nabi SAW itu memiliki arti penting karena pernyataan-pernyataan tersebut menjadi permis-permis yang kepadanya dikaitkan kebenaran doktrin agama yang di simpulkan dari pernyataan historis tersebut. Lalu di sini kita berhadapan dengan masalah mengenai apa yang di maksud dengan pernyataan “ benar “ itu. Dalam filsafat efistimologi dikembangkan beberapa teori kebenaran, namun untuk mengkaji kebenaran laporan sejarah, ada dua teori yang di anggap relevan, yaitu teori korespondensi dan teori koherensi.
Menurut teori kebenaran korespondensi, suatu pernyataan benar adalah apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta, dan sebaliknya, apabila tidak sesuai dengan fakta, maka pernyataan itu tidak benar. Jadi inti dariteori.[3] kebenaran korespondensi adalah penekanan paa ekuivalensi kebenaran dengan kenyataan atau fakta. Misalnya untuk menguji pernyataan “ sekarang hujan “ adalah benar kita harus pergi ke luar rumah dan melihat apakah faktanya memang hujan atau tidak. Hanya apabila diluar sana benar-benarada hujan, pernyataan tersebut adalah benar. Secara sederhana dengan fakta dimaksudkan kenyataan yang mewujud telepas dari subjek yang memikirkannya. Sebagai demikian fakta yang dilawankan dengan teori yang yang merupakan penjelasan terhadapnya dan menjadikannya sebagai kerangka acuan. Teori berwujud proposisi-proposisi, keputusan-keputusan atau pernyataan yang di ucapkan atau di tulis. Fakta adalah materi yang mengenainya proposisi atau pernyataan itu di rumuskan.
Contoh hujan yang di kemukakaan di atas adalah contoh fakta sederhana. Persoalannya adalah bahwa fakta tidak selalu sederhana dan tidak selalu mudah untuk di tangkap guna menjadi acuan kebenaran suatu pernyataan. Fakta sering di rumuskan dan di tetapkan. Apabila kita hendak menguji pernyataan “ dalam kelas itu ada dua anak berprestasi tinggi”. Fakta “ anak berprestasi tinggi” harus dirumuskan terlebih dahulu dan setelah itu baru dilihat apakah anak seperti rumusan itu memang ada dua orang dalam kelas tersebut. Begitu pula seorang dokter mata yang hendak menentukan tingkat kerusakan mata pasiennya, harus mencocokkan hasil pemeriksaannya dengan jawaban-jawaban pasien terhadap pernytaan sang dokter itu. Jadi kalau begitu fakta tidak selamanya bebas dari subjek
yang menelitinya. Hal ini akan lebih kentara lagi dalam penyelidikan historis mengenai zaman lampau yang telah lenyap buat selamanya dan karenanya fakta itu harus di rekonstruksikan.2
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya penilaian dan menyegarkan kembali pemahaman terhadap hadits-hadits nabi dari dulu hingga sekarang selalu menyisakan masalah baru. Masalah itu adalah konflik antara suatu aliran fiqih ( baca : madzhab ) di satu sisi dengan hadits-hadits itu sendiri di sisi lain. Alih-alih membuka mata umat islam dan menyadarkan pemahaman mereka melalui hadits-hadits rasul yang semaksimal mungkin di teliti baik kedla’ifan maupun keshahihannya. Ketika suatu ajaran dalam fiqih yang telah berurat berakar di dalam dunia pengalaman umat islam dihadapkan face to face dengan hadits. Maka yang terjadi bisa ditebak, terjadi ketidak sinkronan.
Ketidak harmonisan antara ahli fiqih dan ali hadits yang mendorong kepada konflik, sebenarnya masih dapat didiskusikan kembali karena di antara fuqaha pun ada yang ketat dalam menilai hadits, sehingga suatu hadits dinilai lemah. Sementara itu, ulama lain menilai hadits itu shahih. Ibn Hazm, misalnya seperti dipaparkan Muhammad al-Ghajali, menolak ke shahih-an yamg menerangkan tentang larangan menyanyi karena pada rawi-nya ada orang yang bernama lays dan sa’id bin abi ruzayn, orang yang bernama lays ini dla’if dan sa’id bin abi ruzayn majhul. Muhammad al-Ghazali sendiri menghimpun kurang lebih tiga belas topik tentang hadits yang di perselisihkan antara “fuqaha” dan ahli hadits.
Karena itulah, bagaimanapun diperlukan adanya antara fuqaha dan ahli hadits dalam menetukan status hadits dan memahami hadits, tidak semata-mata literal. Kerja sama ini di butuhkan karena utuk menjadi ahli hadits dan sekaligus fuqaha amat sulit, walaupun idealnya memang menuntut demikian.
B. Saran
Dariseluruh materi yang kami sajikan ini jika seandainya ada yang masih kurang atau kurang jelas. Kami sebagai penyusun makalah ini mengharapkan saran dan kritikan yang bisa memperbaiki makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammadiya Amin, Ilmu Hadits, Gorontalo: Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2008.
Fazlur Hahman, Wacana Studi Hadits Kontemporer, yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002.
[1] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadits, (Gorontalo: Sultan Amai Perss IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2008), h. 1
[2] Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadits Kontemporer, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 157-159
[3] Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadits Kontemporer, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 157-159
ko g bs dicopy yh
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkuncung. Cara copynya di blo tulisannya terus pakai Keyboard CTRL+C
Delete