Metode merupakan rencana program yang bersifat menyeluruh (holistik-komperhensif) yang berhubungan erat dengan tekhnik penyampaian materi secara teratur dan tidak saling bertentangan dan didasarkan pada satu approach tertentu. Kalau approach bersifat aksimatis maka metode justru bersifat prosedural
Menurut M. Atsir Semi [1] ada dua kelompok metode pembelajaran bahasa. Kelompok pertama adalah metode pembelajaran secara umum dan kedua kelompok pembelajaran khusus. Metode pembelajaran umum yang dimaksud bahwa metode tersebut bukan hanya saja dalam objek material bahasa melainkan objek-objek material lainnya juga seperti ceramah, diskusi, pengajaran individual, pengajaran audio tutorial, simulasi, laboratorium, dan lapangan. Sedangkan metode pembelajaran khusus adalah metode yang diturunkan dari pendekatan-pendekatan bahasa itu sendiri, seperti metode tata bahasa, penerjemahan, metode langsung, metode pembatasan bahasa, metode alamiah, metode linguistik, dan metode unit.
Metode adalah cara, yang didalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini berlaku baik bagi guru (metode mengajar) maupun bagi siswa (metode belajar). Makin baik metode itu makin efektif pula pencapaian tujuan.[2] Oleh karena itu peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses mengajar dan belajar, diharapkan akan tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Dengan kata lain terciptalah interaksi edukatif. Dalam interaksi ini guru berperan sebagai penggerak atau pembimbing, sedangkan siswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing. Proses interaksi ini akan berjalan baik kalau siswa banyak aktif dibandingkan dengan guru. Oleh karenanya metode mengajar yang baik adalah metode yang dapat menumbuhkan kegiatan belajar siswa.
Proses belajar mengajar yang baik hendaknya mempergunakan berbagai jenis metode mengajar secara bergantian atau saling bahu membahu satu sama lain. Masing-masing metode ada kelemahan ada pula keuntungannya. Tugas guru ialah memilih berbagai metode yang tepat untuk menciptakan proses belajar mengajar. Ketepatan penggunaan metode mengajar tersebut sangat bergantung kepada tujuan, isi proses belajar mengajar dan kegiatan belajar mengajar.
Pembelajaran bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah adalah suatu proses kegiatan yang diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina kemampuan berbahasa Arab dengan memprioritaskan pada kemampuan membaca serta memahami bahan bacaan (Qira’ah). Metode Qira’ah (bacaan) pada Madarasah Tsanawiyah dimaksudkan untuk lebih memantapkan dan mengembangkan materi yang telah dikuasai siswa dalam hiwar (percakapan). Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh komponen dengan hiwar sebagai porosnyal. Kalau pada hiwar penekanan utama adalah unsure mendengarkan, mengucapkan, memahami, dan berkomunikasi, maka pada qira’ah lebih ditekankan pada kemampuan membaca, mendengarkan dan memahami wacana. [3]
Penerapan konsep-konsep diatas dalam pengajaran bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah adalah belajar menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, bukan untuk mendalami struktur kalimat itu sendiri. Untuk lebih memantapkan masalah tersebut maka perlu dilakukan cara untuk menguji kemahiran berbahasa Arab melalui pemberian tugas. Dalam istilah sehari-hari metode pemberian tugas ini dikenal dengan sebutan pekerjaan rumah. Akan tetapi sebenarnya metode pemberian tugas ini lebih luas dari pekerjaan rumah saja, karena terdiri atas tiga fase yakni :
1. pendidik memberi tugas
2. anak didik melaksanakan tugas (belajar)
3. ia “mempertanggungjawabkan” kepada pendidik apa yang ia telah pelajari.[4]
Disamping latihan membaca, dalam qira’ah juga diiringi dengan tamrinat, yaitu latihan kebahasaan yang skopnya lebih luas dari pada tadribat. Tamrinat merupakan upaya melatih kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran yang telah disajikan, sekaligus untuk memperbaiki, memantapkan dan meningkatkan kemampuan berbahasa.
Tamrinat dibuat dalam berbagai variasi agar tidak membosankan, dan memperkaya aspek-aspek yang dilatih. Guru dapat mengembangkan tamrinat sehingga lebih luas dan mantap. Tamrinat dapat dikerjakan disekolah atau diteruskan dirumah. Nah, disinilah perlunya suatu integrasi antara metode Qira’ah dan pemberian tugas pada pelajaran bahasa Arab di madrasah Tsanawiyah yang sekaligus Guru wajib memeriksa, menilai dan membetulkan tamrinat yang dikerjakan oleh siswa itu sendiri.
Dalam proses belajar mengajar setidaknya terdapat beberapa unsur pokok yang perlu diperhatikan untuk kesuksesan pembelajaran itu sendiri. Hal-hal tersebut di antaranya adalah pendekatan pembelajaran, metode pengajaran dan teknik pengajaran. Ketiga konsep tersebut dikenal sebagai tiga istilah penting yang perlu dipahami pengertian dan konsepnya dalam pembelajaran bahasa. Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmad Fuad Effendi, dkk yang mengutip definisi yang dikemukakan oleh Edward Anthony tentang metode, pendekatan dan teknik pengajaran bahasa sebagai berikut :
Pendekatan adalah seperangkat asumsi berkenaan dengan hakekat Bahasa, dan belajar-mengajar bahasa. Metode adalah rencana menyeluruh penyajian bahasa secara sistematis berdasarkan pendekaran yang ditentukan. Adapun teknik adalah kegiatan spesifik yang diimplementasikan dalam kelas selaras dengan metode dan pendekatan yang telah dipilih. [5]
Uraian di atas mengisyaratkan adanya rambu-rambu pengajaran bahasa yang perlu mendapat perhatian. Ketiga unsur pokok tersebut sangatlah erat kaitannya dengan keberhasilan pencapaian proses belajar mengajar bahasa. Jika diperhatikan secara seksama, ketiga unsur tersebut adalah adalah tiga konsep pengajaran bahasa yang diterapkan secara runtun dan sistematis. Pengajaran Bahasa pada awalnya harus menetapkan pendekatan sebagai seperangkat asumsi dahulu, kemudian metode sebagai rencana menyeluruh pengajaran dan terakhir adalah teknik sebagai kegiatan spesifik yang diimplementasikan dalam kelas setelah menetapkan pendetakan dan metode.
Dalam pembelajaran bahasa Arab dikenal beberapa metode pengajaran bahasa yang cukup luas. Berikut ini penulis akan menyajikan penjelasan atas beberapa metode pengajaran bahasa yang paling banyak dilakukan dalam pengajaran bahasa Arab.
a. Metode gramatika-terjemah
Karakteristik ini adalah :
1) Tujuan mempelajari bahasa asing adalah agar mampu membaca karya sastra dalam Bahasa Target (BT), atau kitab keagamaan dalam kasus belajar bahasa Arab di Indonesia;
2) Materi pelajaran terdiri atas : buku nahwu, kamus atau daftar kata, dan teks bacaan;
3) Tata bahasa disajikan secara deduktif
4) Kosa kata diberikan dalam bentuk kamus dwibahasa
5) Teks bacaan berupa karya sastra klasik
6) Basis pembelajaran adalah penghafalan kaidah tata bahasa dan kosa kata
7) Bahasa ibu pelajar digunakan sebagai bahasa pengantar
8) Peran guru aktif sebagai penyaji materi, dan peran pelajar adalah pasif.[6]
Selanjutnya kelebihan dari ini adalah:
a) Pelajar menguasai dalam arti hapal di luar kepala kaidah-kaidah tata bahasa dalam bahasa target.
b) Pelajar memahami isi detail bahan bacaan yang dipejarinya dan mampu menerjemahkannya;
c) Pelajar memahami karakteristik bahasa target dan banyak hal lainnya yang bersifat teoritis, dan dapat membandingkannya dengan karakteristik bahasa ibu.
d) Metode ini memperkuat kemampuan pelajar dalam mengingat dan menghafal.
e) Bila dilaksanakan dalam kelas besar dan tidak menuntut kemampuan guru yang ideal.[7]
Berdasarkan uraian di atas nampak bahwa kelebihan metode ini adalah pada aspek kemampuan pelajar yang banyak menguasai teori dan hapalan bahasa target (BT) dan dapat membandingkannya dengan bahasa ibu pelajar.
Kelemahan ini adalah sebagai berikut:
1) Metode ini lebih banyak mengajarkan “tentang bahasa” bukan mengajarkan “kelemahan berbahasa”.
2) Metode ini hanya mengajarkan kemahiran membaca, sedang tiga kemahiran yang lain (menyimak, berbicara, menulis) diabaikan.
3) Terjemahan harfiah sering mengacaukan makna kalimat dalam konteks yang luas, dan hasil terjemahannya tidak lazim menurut citarasa bahasa ibu siswa.
4) Pelajar hanya mempelajari satu ragam bahasa, yaitu ragam bahasa tulis klasik, sedangkan bahasa tulis moder dan bahasa percakapan tidak diperoleh.
5) Kosa kata, struktur dan ungkapan yang dipelajari siswa mungkin sudah tidak dipakai lagi atau dipakai dalam arti yang berbeda dalam bahasa modern.
6) Karena otak siswa dipenuhi oleh masalah-masalah tata bahasa maka tidak tersisa lagi tempat untuk ekspresi dan kreasi berbahasa.[8]
b. Metode Langsung
Metode ini muncul akibat ketidakpuasan terhadap hasil pengajaran bahasa dengan metode gramatika terjemah yang dikaitkan dengan kebutuhan nyata di masyarakat. Adapun ciri-ciri metode ini adalah sebagai berikut :
1) Tujuan utamanya ialah penguasaan bahasa target secara lisan, agar siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa target.
2) Materi pelajaran berupa: buku teks yang berisi daftar kosakata dan penggunaannya dakam kalimat. Kosakata itu umumnya kongkrit dan ada di lingkungan siswa.
3) Kaidah-kaidah bahasa diajarkan secara induktif yakni berangkat dari contoh-contoh kemudian diambil kesimpulan;
4) Kata-kata konkret diajarkan melalui demonstrasi, peragaan, benda langsung, dan gambar. Sedangkan kata-kata abstrak melalui asosiasi, konteks, dan definisi.
5) Kemampuan komunikasi lisan dilatihkan secara tepat melalui tanya jawab yang terencana dalam pola interaksi yang bervariasi.
6) Kemampuan berbicara dan menyimak kedua-duanya dilatihkan
7) Guru dan pelajar sama-sama aktif, tetapi guru berperan memberikan stimulus berupa contoh ucapan, peragaan, dan pertanyaan. Sedangkan siswa hanya merespon dalam bentuk menirukan, menjawab pertanyaan, meragakan dan sebagainya.
8) Ketepatan pelafalan dan tata bahasa ditekankan;
9) Bahasa target digunakan sebagai bahasa pengantar secara ketat, dan penggunaan bahasa ibu bagi siswa sama sekali dielakkan.
10) Kelas diciptakan sebagai lingkungan bahasa target buatan atau menyerupai ”kolam bahasa” tempat siswa berlatih secara bahasa target secara langsung.[9]
Kelebihan metode langsung atau adalah :
1) Pelajar terampil menyimak dan berbicara
2) Pelajar menguasai pelafalan dengan baik seperti atau mendekati penutur asli.
3) Pelajar mengehatahui banyak kosa kata dan pemakaiannya dalam kalimat.
4) Pelajar memiliki keberanian dan spontanitas dalam berkomunikasi karena dilatih berfikir dalam Bahasa Target (BT) sehingga tidak terhambat oleh proses penerjemahan.
5) Pelajar menguasai tatabahasa secara fungsional tidak sekedar teoritis, artinya berfungsi untuk mengontrol kebenaran ujarannya.[10]
Kelebihan metode ini adalah siswa dapat menguasai dua keterampilan berbahasa sekaligus yakni keterampilan menyimak dan berbicara selain kemampuan penguasan kosa kata.
Kelemahan :
1) Pelajar lemah dalam kemampuan membaca karena materi dan latihan ditekankan pada bahasa lisan.
2) Memerlukan guru yang ideal dari segi keterampilan berbahasa dan kelincahan dalam penyajian pelajaran.
3) Tidak bisa dilaksanakan dalam kelas besar.
4) Tidak diperbolehkannya pemakaian bahasa ibu pelajar bisa berakibat terbuangnya waktu untuk menjelaskan makna satu kata abstrak, dan terjadinya kesalaham persepsi atau penafsiran pada siswa.
5) Model latihan menirukan dan menghafalkan kalimat-kalimat yang tidak bermakna atau tidak realistis membosankan bagi orang dewasa.
6) Metode ini juga dikritik oleh para ahli dari segi kelemahan dasar teoritisnya, yang menyamakan pemerolehan bahasa pertama dengan bahasa kedua/asing.[11]
Karakteristik siswa dalam aspek usia dan jumlah siswa dalam kelas, serta tidak realistisnya kalimat yang diucapkan merupakan kendala atau kelemahan penggunaan metode langsung atau
c. Metode Membaca
Al-Qur’an adalah Kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw, melalui perantaraan Malaikat Jibril, sebagai salah satu rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta. Di dalamnya terkumpul wahyu Ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi orang yang membacanya, mempelajarainya, mengimaninya dan mengamalkannya. Al-Qur’an memberikan pedoman dan bimbingan dalam mencapai cita-cita bangsa dan negara, masyarakat yang adil dan sejahtera di bawah payung rahmat dan ridha Allah SWT.
Membaca Al-Qur’an merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan kaum muslimin baik dalam rangkaian ibadah maupun dalam rangka mempelajari ilmu pengetahuan agama dalam berbagai aspek. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa bahkan digalakkan sejak dari anak-anak baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan membaca Al-Qur’an telah dijadikan suatu kebiasaan oleh sebagian masyarakat / kaum muslim seperti misalnya, seorang yang akan memasuki jenjang pernikahan disyaratkan khatam Al-Qur’an.
Pada setiap bulan Ramadhan di Masjid-masjid, Mushalah bahkan di rumah-rumah orang membaca Al-Qur’an dan setelah selesai membaca Al-Qur’an 30 juz, dilakukan khatam, karenanya Al-Qur’an diajarkan oleh orang tua atau guru ngaji di rumah-rumah dan di masjid-masjid, mushallah maupun tempat-tempat yang dijadikan tempat pengajian. Bahkan dalam mengajarkan Al-Qur’an digunakan Lembaga-Lembaga pendidikan seperti Sekolah Dasar. SLTP maupun sampai sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Ciri-ciri metode metode membaca adalah sebagai berikut :
1) Tujuan utamanya adalah kemahiran membaca, yaitu agar pelajar mampu memahami teks ilmiah untuk keperluan studi mereka;
2) Materi pelajaran berupa buku bacaan utama dengan suplemen daftar kosa kata dan pertanyaan-pertanyaan isi bacaan, bacaan penunjang untuk perluasan dan buku latihan mengarang terbimbing dan percakapan;
3) Basis kegiatan pembelajaran adalah memahami isi bacaan
4) Membaca diam (silent reading) lebih diutamakan dari pada membacan keras.
5) Kaidah bahasa diterangkan seperlunya tidak boleh berkepanjangan.[12]
Metode membaca al-Qira’ah pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pelajar dalam membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Hal ini dipandang cukup penting mengingat sumber bacaan pelajaran bahasa Arab sebagian besar berbahasa Arab. Dengan demikian maka metode ini penting sekali untuk diterapkan pada sebuah pengajaran bahasa Arab.
d. Metode Audiolingual
Metode audio-lingual adalah sebuah metode yang bersifat intensif dan berbasis penyajian lisan atau ujaran dengan mendengarkan bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk kata atau kalimat, kemudian mengucapkannya sebelum siswa membaca dan menulis.[13]
Metode audiolingual ini didasarkan atas beberapa asumsi, antara lain bahwa bahasa itu pertama-tama adalah ujaran. Oleh karena itu pengajaran bahasa harus dimulai dengan memperdengarkan bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk kata atau kalimat kemudian mengucapkannya, sebagai pelajaran membaca dan menulis.[14]
Metode ini memiliki karakterisik sebagai berikut :
1) Tujuan pengajarannya adalah penguasaan empat keterampilan berbahasa secara seimbang.
2) Urutan penyajiannya adalah menyimak dan berbicara baru kemudian membaca dan menulis
3) Model kalimat bahasa asing diberikan dalam bentuk percakapan untuk dihafalkan.
4) Penguasaan pola kalimat dilakukan dengan latihan-latihan pol (pattern-practice).
5) Kosa kata dibatasi secara ketat dan selalu dihubungkan dengan konteks kalimat atau ungkapan, bukan sebagai kata-kata lepas yang berdiri sendiri.
6) Pengajaran sistem bunyi secara sistematis (berstruktur) agar dapat digunakan/dipraktekkan oleh pelajar, dengan teknik demonstrasi, peniruan, komparasi, kontras dan lain-lain
7) Pelajaran menulis merupakan representasi dari pelajaran berbicara dalam arti pelajaran menulis terdiri dari pola kalimat dan kosa kata yang sudah dipelajari secara lisan.
8) Penerjemahan dihindari. Pemakaian bahasa ibu apabila sangat diperlukan untuk penjelasan, diperbolehkan secara terbatas.
9) Gramatika (dalam arti ilmu) tidak diajarkan pada tahap permulaan. Apabila diperlukan pengajaran gramatika pada tahap tertentu hendaknya diajarkan secara induktif, dan secara bertahap dari yang mudah ke yang sukar.
10) Pemilihan materi ditekankan pada unit dan pola yang menunjang adanya perbedaan struktural antara bahasa asing yang diajarkan dan bahasa ibu pelajar.
11) Kemungkinan-kemungkina terjadinya kesalahan siswa dalam memberikan response harus sungguh-sungguh dihindarkan.
12) Guru menjadi pusat dalam kegiatan kelas.
13) Penggunaan bahan rekaman, laboratorium bahan rekaman, laboratorium bahasa, dan visual aids sangat dipentingkan.[15]
Kelebihan :
1) Para pelajar memiliki keterampilan pelafalan yang bagus
2) Para pelajar terampil membuat pola-pola kalimat baku yang sudah dilatihkan
3) Pelajar dapat melakukan komunikasi lisan dengan baik karena latihan menyimak dan berbicara yang intensif
4) Suasana kelas hidup karena para pelajar tidak tinggal diam, harus terus menerus merespon stimulus guru.[16]
Adapun kelemahan metode Audiolingual adalah sebagai berikut :
1) Respon pelajar cenderung mekanistis, sering tidak mengetahui atau tidak memikirkan makna ujaran yang diucapkan.
2) Pelajar bisa berkomunikasi dengan lancar hanya apabila kalimat yang digunakan telah dilatihkan;
3) Makna kalimat yang diajarkan biasanya terlepas dari konteks sehingga pelajar hanya memahami satu makna, padahal satu kalimat atau ungkapan memiliki beberapa makna.
4) Keaktifan siswa di dalam kelas adalah keaktifan yang semu karena mereka hanya merespon rangsangan guru.
5) Karena kesalahan dianggap sebagai “dosa” maka pelajar tidak dianjurkan berinteraksi secara lisan atau tulis sebelum menguasai benar pola-pola kalimat yang cukup banyak
6) Latihan pola bersifat manipulatif, tidak kontekstual dan tidak realistis.[17]
e. Metode Komunikatif
Metode komunikatif didasarkan atas asumsi bahwa setiap manusia memiliki kemampuan bawaan yang disebut alat pemeroleh bahasa (language acquisition device). Oleh karena itu kemampuan berbahasa bersifat kreatif dan lebih ditentukan oleh faktor internal. Oleh karenanya relevansi dan efektivitas kegiatan pembiasaan dengan model latihan stimulus-respense-inforcement diperolehkan.
Kelebihan metode Komunikatif ini adalah :
1) Pelajar termotivasi dalam belajar karena pada hari pertama pelajaran langsung dapat berkomunikasi dengan BT
2) Pelajar lancar berkomunikasi dalam arti menguasai kompetensi gramatikal, sosiolinguistik, wacana dan strategis
3) Suasana kelas hidup dengan aktivitas komunikasi antar pelajar dengan berbagai model interaksi dan tingkat kebebasan yang cukup tinggi, sehingga suasana belajar tidak membosankan.[18]
Motivasi, komunikasi yang lancar dan suasana kelas yang hidup dengan aktivitas komunikasi merupakan kelebihan dari metode Komunikatif (ar-thariqah al-ittisha:liyah). Sehingganya metode ini banyak diminati meskipun membutuhkan kemampuan guru yang ideal dalam penguasan keterampilan-keterampilan bahasa target.
Selanjutnya kelemahan metode ini adalah :
1) Memerlukan guru yang menguasai keterampilan komunikatif secara memadai dalam bahasa target.
2) Kemampuan membaca, dalam keterampilan tingkat ambang, tidak mendapatkan porsi yang cukup
3) Loncatan langsung ke aktivitas komunikatif bisa menyulitkan siswa pada tingkat permulaan.[19]
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka pada hakikatnya metode-metode pembelajaran Bahasa Arab cukup beragam dan guru dapat saja memiliki keleluasaan dalam pemilihannya. Hanya saja hal pokok yang perlu untuk diperhatikan adalah karakteristik siswa, kuantitas siswa dalam artian jumlah siswa, materi yang diajarkan dan tidak kalah lagi adalah kemampuan guru itu sendiri.
A. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa Arab
Adapun factor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa Arab adalah sebagai berikut:
a) Motivasi
Belajar atau menguasai bahasa ibu adalah sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Sebab, tergantung kepada keterampilan berbahasa itulah keperluan hidupnya dapat terpenuhi, keinginannya dapat diraih. Begitu juga keadaan dirinya seperti sakit, sedang marah, atau senang, dapat diketahui orang lain. Jadi, semua itu tidak akan bisa diketahui orang lain tanpa diungkapkan dalam bahasa yang tepat.
Dengan demikian motivasi yang mendorong anak-anak untuk mempelajari bahasa orang-orang yang ada di sekitarnya merupakan motivasi intrinsiks yang menjadikan belajar bahasa ibu merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai tujuan akhir. Sementara kalau kita amati motivasi yang ada pada anak didik yang belajar bahasa asing, motifnya adalah bersifat ekstrinsiks, sebab keinginan yang ingin dicapai dengan bahasa itu bersifat sementara bahkan hanya ilusi.[20]
b) Lingkungan
Lingkungan tempat anak belajar bahasa ibunya sangat mendukung sekali, karena ia belajar bahasa di lingkungan bahasa itu digunakan dan berada di tengah-tengah orang-orang yang menggunakan bahasa itu. Dal hal semacam ini tidak diperoleh oleh anak-anak yang sedang belajar bahasa asing, sebab biasanya bahasa asing diajarkan bukan di lingkungan tempat bahasa itu dipakai dalam percakapan sehari-hari.
c) Contoh-contoh kebahasaan
Di antara dampak belajar bahasa asing bukan pada lingkungan bahasanya adalah kurangnya contoh-contoh atau model-model kebahasaan yang bisa ditiru oleh si anak secara terus menerus. Karena kita tahu bahwa salah satu faktor keberhasilan belajar bahasa asing itu adalah banyaknya contoh-contoh bahasa yang baik yang dapat diperoleh anak setiap saat sehingga ia bisa meniru.
Si anak ketika belajar bahasa ibunya di lingkungan sendiri selalu di kelilingi oleh banyak contoh kebahasaan, baik dari bapaknya, ibunya, atau saudara-saudara nya yang kesemuanya merupakan orang-orang yang sangat dicintainya. Keberadaan mereka mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap bahasa si anak.
Kondisi seperti ini berbeda dengan kondisi anak-anak ketika belajar bahasa asing bukan pada lingkungannya. Mereka kurang medapat contoh-contoh bahasa yang diperlukan karena orang-orang di sekeliling mereka hanya temannya sendiri.
d) Waktu yang kurang
Bahasa adalah keterampilan, dan penguasaan keterampilan sangat tergantung kepada ketersediaan waktu untuk berlatih. Waktu yang tersedia bagi anak untuk belajar bahasa asing sangat minim sekali. Ia hanya tersedia waktu belajar di sekolah dalam jumlah jam yang sangat tidak memadai, sementara untuk belajar bahasa pertama seluruh waktunya selama 24 jam digunakan untuk belajar bahasa baik langsung maupun tidak langsung, kecuali waktu untuk tidur. Ia tidak banyak kehilangan banyak waktu untuk belajar bahasa, sebab ia bisa belajar sambil hanya mendengar. Jika terlewat pada suatu waktu, ia yakin akan mendengarnya di waktu yang lain.
e) Situasi yang tidak alami
Anak di dalam lingkungannya bisa membiasakan pola-pola bahasa baru melalui bermain bahasa, dan bentuk pembiasaan dalam berbagai situasi, itulah yang membantu anak untuk belajar bahasa, meskipun kadang dampak baik atau kurang baik. Si anak bisa bermain bahasa ibunya saat ia sendiri atau ketika ada orang lain.
Di samping itu situasi dan kondisi yang dilalui anak ketika belajar bahasa ibunya sangat alami dan riil. Tidak ada rekayasa sama sekali. Ketika ia berusaha ingin mengatakan mau es memang ada tukang es dan ia mau es itu. Bukan hanya sekedar ngomong. Situasi dan kondisi semacam ini, sangat berbeda ketika si anak belajar bahasa asing, situasi dan kondisinya tidak alami dan direkayasa.[21]
f) Keadaan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan utama dalam proses belajar. Keadaan yang ada dalam keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam pencapaian prestasi belajar misalnya cara orang tua mendidik, relasi anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua.
g) Keadaan sekolah
Lingkungan sekolah adalah lingkungan di mana siswa belajar secara sistematis. Kondisi ini meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, metode belajar dan fasilitas yang mendukung lainnya.
h) Keadaan masyarakat
Siswa akan mudah kena pengaruh lingkungan masyarakat karena keberadaannya dalam lingkungan tersebut. Kegiatan dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, lingkungan tetangga merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi siswa sehingga perlu diusahakan lingkungan yang positif untuk mendukung belajar siswa.[22] [1] M. Atsar Semi, 1990, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Angkasa, Bandung, hal.118-126.
[2] Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar (Bandung;Tarsito), h. 96
[3] Departemen Agama RI, Buku Pelajaran Bahasa Arab untuk Madrasah Tsanawiyah, (Jakarta; Dirjen Binbagais) h. 9.
[4] Winarno Surakhmad, Ibid, h. 114.
[5] Ahmad Fuad Effendy at, al Metode dan Teknik Pengajaran Bahasa Arab ( Malang: Laporan Hibah Pengajaran Proyek DUE-Like Bath III, Program Studi Pendidikan Bahasa Arab, Universitas Malang, 2002), h. 7.
[6] Ibid., h. 38
[7] Ibid., h. 39
[8] Emzir, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab di SMU. (Jakarta: Bahan Ajar Diklat Guru Bahasa Arab SMU Tingkat Lanjut, PPG Bahasa, 2004), h. 40.
[9] Ibid. h. 35.
[10] Ahmad Fuad Efendy at, al Op Cit, h. 44.
[11] Ibid., h. 45.
[12] Ibid., h. 46.
[13] Nuril Huda, Metode Audio Lingual vs Metode Komunikatif, (Jakarta: Makalah dibacakan dalam seminar di Unika Atmadjaya; Jakarta, 1990) h. 75.
[14] Ahmad Fuad Effendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab ( Malang : Misykat, 2005) h.46.
[15] Ibid.,h. 47-48
[16] Ibid., h. 49
[17] Ibid., h. 49-50
[18] Ibid., h 69.
[19] Ibid,
[21] Matsna hs, http//: identity hypothetis dalam pembelajaran bahasa arab, htm, di akses 21 november 2010.
Cipta. H, 90
No comments:
Post a Comment