BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan sosial yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya.
Sebagai agama, Islam mempunyai berbagai aspek. Salah satunya adalah mistik, dikenal tasawuf atau sufisme. Tasawuf ini mempunyai jalan sejarah panjang dan unik, khususnya ketika tasawuf ini dipengaruhi oleh ajaran maupun budaya di luar Islam. Melihat perjalanan sejarah tasawuf di Indonesia ini menarik ditindaklanjuti sebagai upaya melacak jejak-jejak pengaruhnya di Indonesia. Lebih jauh, mempelajari sejarah perjalanan tasawuf paling tidak sama nilainya, atau bahkan mungkin lebih, jika dibandingkan dengan mempelajari aspek-aspek Islam lainnya.
Kita ketahui bersama bahwa sebagian ahli sejarah berkata agama islam masuk ke indonesia tidak langsung dari tanah arab tetapi melalui negeri persia dan india. Dibawa oleh pedagang yang khusus untuk menyebarkan agama islam. Jika kita memperhatikan bahwa agama islam masuk ke indonesia sekitar abad ke empat dan kelima hijriyah, maka paham-paham sufi dan atasawuf yang sedang tersebar luasdan mendapat perhatia umum dalam negara-negara islam ketika itu, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari materi dakwah yang disampaikan di indonesia. Maka secara langsung atau tidak termasuk paham semisal wahdad al wujud menurut tafsiran junaid dan hallaj disamping elemen ajaran islam lainya yang berhubungan dengan persoalan itu. Dalam sejarah wali songo kita dapati tokoh semisal syekh siti jenar yang mempertahankan pendirian fana dan kesatuan antara khalik dan mahluk, yang dinmakan abu yazid al-bustami sebagai ‘ittihad, disamping sunan kali jaga yang memperthankan pendirian ahli sunnah bersama dengan wali-wali yang lain, lalu mengambil tindakan terhadap syekh siti jenar itu. Kita lihat pula di aceh hamzah fansuri menyiarkan paham yang sama sementara ‘Abd al-rauf singkil menyiarkan yang sebaliknya.
Oleh karena itu di indonesia sejak saat itu sudah terdapat pertentangan paham gerakan ilmu lahir dan ilmu batin, golongan yang dinamakan syari’at dan golongan yang dinamakan hakikat. Terutama dijawa pemahaman ilmu batin, pikiran,pikiran sufi, yang disiarkan oleh wali songo itu sangat mempengaruhi kehidupan islam di jawa, dan sampai sekaranga masih kelihatan gemanya dalam gerakan-gerakan batin yang tumbuh di beberapa tempat.
B. Permasalahan
1. Bagaimana wali songo memperknalkan islam di indonesia?
2. Ajaran apa yang di ajarkan syeh Siti Jenar di indonesia ?
3. Bagaimana proses penyebaran islam di indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wali Songo Dan Ajaranya dalam penyebaran islam di indonesia
Walisongo berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim,Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah wali yang tertua diantara sembilan wali. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Indonesia merupakan negara luas yang memiliki tingkat keanekaragaman yang besar. Keanekaragaman itu menjadi amat menawan untuk dicermati.Warna-warni yang ada memperindah atmosfer berbangsa dalam jalinan kebersamaan.
Keanekaragaman ini bisa dilihat dari beragamnya etnis seperti melayu,tiong hoa,india dan arab.Kemudian dari beranekaragamnya suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasanya sendiri-sendiri seperti Jawa,Sunda,Batak,Madura dan Minangkabau.Sementara agama yang berkembang di Indonesia ada Kristen Protestan dan Katholik,Hindu,Budha,Kong Hucu dan yang merupakan agama mayoritas, Islam.
Dibalik keberagamannya, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dari sekitar 230 juta jiwa lebih penduduknya 85,2 % adalah Muslim.Dalam sejarahnya, proses islamisasi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran besar Walisongo.Jika kita memperhatikan pola penetrasi budaya yang mereka lakukan ternyata para Walisongo ini sama sekali tidak menempuh jalur kekerasan sedikitpun.Namun mereka amat memahami pluralitas yang ada di Indonesia dan secara bijak larut kedalamnya dan turut berpartisipasi dalam menentukan alur sejarah bangsa.Mereka juga terlibat dalam peran-peran pembaharuan dan pencerdasan masyarakat.
Hal ini menjadi menarik untuk dicermati seiring saat ini isu pluralisme tengah menghangat.Seperti kata sebuah ungkapan “Seringkali bukan masalah benar dan salah yang menyebabkan kita berselisih,namun hanya karena kita berbeda seringkali kita berselisih”.Potensi keanekaragaman ini jangan sampai menjadi kontraproduktif bagi bangsa dan negara.Dengan memahami sejarah banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam konteks masa kini.Kiprah para Walisongo bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita mengenai sikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan.
Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya “penolong” ini merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan,kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang,tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar pengaruhnya,Hindu dan Budha.Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana.Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka.Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.
Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi Nusantara semenjak 1500 tahun yang lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animismeberupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang,bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan.Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat.Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka,sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah,doktrin keesaan tuhan dalam Islam.Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam.Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru.Wajahnya miring,leher dibuat memanjang,lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.
Disamping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya,para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Kelebihan intelektual yang mereka miliki sebagai kelompok yang datang dari peradaban yang lebih maju mereka abdikan untuk membangun masyarakat Indonesia pada saat itu.Sarana lain yang mereka lakukan dalam dakwah mereka adalah dengan membentuk keluarga-keluarga Islam dengan jalan menikahi penduduk pribumi serta putri para raja.Selanjutnya mereka berhasil mengislamkan keluarga kerajaan serta mengangkat harkat hidup mereka dari segi intelektual maupun ekonomi.Para penyebar agama Islam yang kebanyakan merupakan pedagang memiliki bargaining position yang kuat serta disegani oleh masyarakat.Selain itu akhlak mereka juga mampu mengambil simpati masyarakat.
Para Walisongo juga membangun pusat-pusat penyebaran agama Islam berupa pesantren.Dengan adanya pesantren-pesantren ini penyebaran Islam di tanah Jawa berlangsung dengan cepat.Selanjutnya dari pusat-pusat kegiatan sosial ini berkembang lahan-lahan pertanian dan perikanan termasuk juga aktivitas politik dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Fakta sejarah memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam hadir ke bumi pertiwi tidak dengan penumbangan kekuasaan maupun agresi militer ataupun jalan-jalan pemaksaan lainnya,namun melalui jalan damai yaitu akulturasi budaya.Secara cerdas Walisongo menginisiasi pencerdasan dan pembangunan masyarakat secara kultural dan dari sanalah penyebaran Islam dilakukan.Sebuah pelajaran berharga mengenai bagaimana menyikapi perbedaan.Bahkan kita melihat bagaimana wayang sekalipun yang notabene berasal dari ajaran animisme yang sangat kontras dengan ajaran Islam dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan Islam setelah dilakukan modifikasi terlebih dahulu.Para penyebar agama Islam di tanah air dahulu mencoba menggali dan memahami adat istiadat dan khazanah budaya yang ada terlebih dahulu untuk kemudian dimanfaatkan untuk berdakwah.
Pelajaran lainnya adalah bagaimana misi keagamaan yang diemban para wali disertai dengan kerja-kerja sosial sehingga menghasilkan sebuah kerja relijius yang lebih membumi dan mampu diterima dengan basis penerimaan yang kuat.Upaya mereka dengan membangun pusat-pusat pendidikan dan penggerak ekonomi merupakan buktinya.
Hal ini menjadi pelajaran bagi segenapa elemen bangsa bahwa perbedaan keyakinan agama diantara kita tidak menjadi panghalang untuk bersama menjalin harmonisasi dalam melaksanakan pembangunan.Bahkan aktivitas relijius sepatutnya juga memiliki implikasi positif bagi tatanan sosial masyarakat bukan sekedar upaya propaganda jargon-jargon kosong semata bahkan malah berujung pada konflik atau bahkan kekerasan terhadap sesama.Walisongo dan para penyebar agama Islam pada masa lalu di Nusantara telah membuktikan bahwa ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin dan dapat menjadi harapan dalam memperbaiki dan membangun masyarakat.
B. Sytekh Siti Jenar Dan Ajaran Tasawufnya.
Syekh Siti Jenar di kenal dengan nama lemah abang berasal dari cirebon, ayahnya bernama Resi Bungsu. Nama asli syekh ini adalah Ali Hasan alias abdul Jalil. Tahun kelahilaranya sulit dilacak kemungkinan dia hidup disekitar abad ke 16 Masehi. Syekh Siti Jenar adalah tokoh kontroversial sekaligus legendaris dalam sejarah Islam di Jawa, karena “pembangkangan tasawuf”-nya dan mitos kesaktian yang dimilikinya.[1]
Sudah jelas bahwa pada saat itu, peran ulama yang terorganisir dalam Wali Songo mengambil ruang paling besar dalam legitimasi agama. Kehadiran Siti Jenar dengan ajarannya yang jauh berbeda dari “kebenaran” yang digariskan Wali Songo menjadi ganjalan besar, baik untuk penyebarluasan Islam maupun pengaruh politik Wali Songo sendiri.
Pemikiran syekh siti jenar dianggap amat liberal dan kontroversial, beliau dianggap melawan arus besar keagamaan yang dibangun oleh kolaborasi kekuasaan (kerajaan demak bintara pimpinan raden patah) dan dan elit agamawan terdiri dari wali songo. Menurut syekh siti jenar hidup di dunia sebagai kematian dan lepasnya nyawa sebagai awal kehidupan, dan baginya syariat islam berlaku sesudah manusia mengalami pasca kematian. [1] Abdul Munir Mulkan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, November 1999 h. 109
No comments:
Post a Comment