BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah kajian atau kritikan terhadap teologi yang berkembang bukanlah usaha untuk menghilangkan subtansi atau membongkar total terhadap pemikiran-pemikiran yang sudah dibangun oleh para teologi yang berkembang di zamannya, namun untuk melihat kembali apakah pemikiran tersebut masih relevan di kembangkan pada zaman sekarang yang penuh dengan berbagai macamkrakteristik dan dinamika pemikiran atau pemikirantersebut perlu dikonstruksi sehingga mampu berdaptasi dengan kehidupan modern, disamping itu dapatmengkomparasikan antara beberapa pemikiran para teologyang berbeda dalam metodelogi objektifitas dankemampuan dalam memahami kebenaran /hakekat. Kajian terhadap teologi Al-Maturidiyah disini tidakdimaksudkan untuk meninggalan aspek-aspek positif dalam teologi Maturidiyah dari praktek keagamaan umatIslam seluruhnya atau sebagiannya, namun yangdiinginkan dalam wacana ini adalah mencoba mengkajikebenaran dan keabsahan konsepteologi ini sebagai landasan berfikir dan beramal umat Islam di masa kini dan mendatang.
B. Rumusan Masalah
Adapun materi yang akan dibahas adalah “Aliran Maturidiyah” dan dibagi menjadi beberapa sub-sub bab diuraikan sebagai berikut:
1) Definisi Aliran Maturidiyah
2) Sejarah Aliran Maturidaiyah
3) Doktrin-Doktrin Aliran Al-Maturidiyyah
4) Sekte-sekte Aliran Maturidiyah
5) Karya Aliran Al-Maturidi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Aliran Maturidiyah
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini. [1]
B. Sejarah Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Almaturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifa. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Dengan memperhatikan secara seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas akan terbukti bahwa pemikiran-pemikiran teologis aliran ini bersumber dari Abu Hanifah. Karena sebelum masuk ke dalam pembahasan-pembahasan fikih, Abu Hanifah pernah memiliki halaqah kajian teologi. Sejak awal ketika masalah-masalah teologi secara sederhana muncul di tengah-tengah Islam, pada waktu itu sudah terbentuk dua kelompok di tengah-tengah kaum muslimin.
1. Kelompok Ahlul Hadis yang dikenal dengan Hasywiah, Salafiah dan Hanabilah. Kelompok ini, seluruh keyakinannya disandarkan kepada makna-makna lahir dari ayat-ayat Qur’an dan sebagian besar dari keyakinan tersebut bersumber dari hadis. Mereka tidak menganggap akal sebagai sesuatu yang bernilai, dan jika di dalam kelompok ini ditemukan keyakinan-keyakinan seperti menyerupakan Tuhan dengan makhluk (tasybih) dan menganggap Tuhan adalah benda (tajsim), keterpaksaan atau determinisme (jabr), berkuasanya qadha dan qadar atas perilaku-perilaku bebas manusia, dan atau bersikeras atas keyakinan berkenaan dengan bahwa Tuhan dapat dilihat di hari kebangkitan, semuanya adalah akibat-akibat dari hadis-hadis yang tersebar di antara mereka, dan biasanya jejak tangan ulama-ulama Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani terlihat di dalam hadis-hadis tersebut. Mereka meyakini bahwa kalam Ilahi (Qur’an) adalah sesuatu yang sudah ada sebelum diciptakannya semesta ini (qadim). Seperti halnya kebanyakan orang Yahudi menganggap Taurat sebagai sesuatu yang ada tanpa didahului oleh sesuatu apapun (azali) dan begitu juga orang-orang Nasrani yang menganggap Al Masih azali, mereka juga menganggap Al Qur’an sebagai qadim dan azali.
2. Kelompok Mu’tazilah yang menganggap akal sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai, mereka menolak hadis dan riwayat yang bertentangan dengan hukum akal, dan sumber keyakinan-keyakinan mereka diambil dari teks-teks ayat Qur’an dan hadis Nabi Saw yang pasti dan juga dari hukum akal. Sesuatu yang perlu dikritisi dari mereka adalah sikap mereka yang memberikan penilaian terlalu tinggi terhadap akal melebihi kapasitasnya dan begitu banyak teks-teks Qur’an yang pasti yang ada di syariat suci Islam dikesampingkan, karena dianggap muatannya mengandung pemikiran yang bertentangan dengan akal. Bertahun-tahun lamanya berlangsung peperangan pemikiran yang tiada hentinya di antara kedua kelompok ini, dan kemenangan salah satu kelompok atas kelompok yang lainnya bergantung kepada bantuan-bantuan para penguasa di masa lalu; penguasa-penguasa tersebut berpihak kepada salah satu kelompok dan berusaha melemahkan kelompok yang lain.
Dari sisi fikih, aliran Hanafi menyebar di daerah Khurasan secara sempurna, pada saat yang sama kebanyakan penduduk Basrah bermazhab Syafi’i, dari sudut pandang ini para pengikut mazhab Hanafi memiliki kecenderungan yang tinggi kepada aliran Maturidiyah, sedangkan para pengikut mazhab Syafi’i lebih dari yang lainnya memilih aliran Asy’ari. Sebagian dari pemikiran aliran Maturidiyah diperoleh dari Abu Hanifah dan terpengaruh oleh bukunya yang berjudul Fiqhul Akbar yang membahas permasalahan keyakinan. Oleh karena itu kebanyakan pengikut aliran Maturidiyah hidup di Khurasan dan dalam masalah fikih mereka adalah pengikut mazhab Hanafi, seperti:
1. Fakhrul Islam Muhammad bin Abdul Karim Bazwadi (493 Hijriah).
2. Abu Hafs Umar bin Muhammad Nasafi (573 Hijriah).
3. Sa’adudin Taftazani (791 Hijriah).
4. Kamaludin Ahmad Bayadzi (abad 11).
5. Kamaludin Muhammad bin Himamudin (861 Hijriah).
Dengan memperhatikan dengan seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas terbukti bahwa ia dan pemikiran-pemikiran teologisnya bersumber dari Abu Hanifah, karena sebelum terjun ke dalam pembahasan fikih, Abu Hanifah memiliki lingkaran pengkajian teologi, dan ketika ia berhubungan dengan Hamad bin Abi Sulaiman ia meninggalkan kajian teologinya dan masuk ke dalam pembahasan fikih. Bukan hanya Maturidi saja yang keyakinan-keyakinan teologinya bersumber dari Abu Hanifah, akan tetapi orang yang sezaman dengannya, Abu Ja’far Thahawi (321 hirjiah) penulis buku Keyakinan-keyakinan Thahawiah, pemikiran-pemikiran teologinya juga bersumber dari Abu Hanifah, sampai-sampai di pendahuluan bukunya ia mengatakan: "risalah ini adalah keyakinan para ahli fikih umat Islam, selepas itu ia mengutip nama Abu Hanifah dan dua murid terkenalnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Syaibani." Abdul Qahir Baghdadi penulis buku Al Farqu baina Al Firaq dalam bukunya yang lain yang bertema Ushuludin mengingatkan bahwa Abu Hanifah memiliki sebuah buku berjudul Al Fiqhul Akbar yang di dalamnya ditulis sanggahan bagi aliran Qadariah, dan dalam karyanya yang lain membenarkan kayakinan Ahlu Sunnah dalam sebuah permasalahan.Akan tetapi karya-karya yang diwariskan Abu Hanifah bukan hanya dua buku ini saja.
Dikarenakan permasalahan-permasalahan teologi di dalam buku Abu Hanifah tidak tersusun dengan tertib, Kamaludin Bayadzi di abad kesebelas Hijriah menertibkan masalah-masalah tersebut dan menulis buku bertajuk Isyaratul Maram min Ibaratil Imam, dan dalam buku tersebut dikatakan: "saya menyusun dan menertibkan masalah-masalah ini dengan bersandar kepada buku-buku: 1. Al Fiqhul Akbar 2. Ar Risalah 3. Al Fiqhul Absath 4. Kitabul Alim wal Mutaalim 5. Al Wasiat, yang kesemuanya itu dikutip dari Abu Hanifah dengan perantara Masyaikh." Dari semua yang telah kita saksikan, jelas bahwa akar dan pondasi aliran Maturidiyah secara khusus kembali kepada aliran ini sendiri dan dengan cara tertentu kembali kepada Abu Hanifah; dan seperti yang akan kita saksikan, aliran ini adalah aliran yang moderat yang tidak memihak Ahli Hadis maupun Mu’tazilah. Lebih dari itu, bahkan akan kita saksikan bahwa aliran ini dalam metode berpikir lebih dekat kepada Mu’tazilah ketimbang aliran Ahli Hadis.[2]
C. Doktrin-doktrin Aliran Al-Maturidiyyah
a. Akal dan Wahyu
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al-Qur’an dan akal, akal banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al-Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu,Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.
b. Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenag-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d. Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama). Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
e. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam Al-Qur’an:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
“ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri,Kepada Tuhannyalah mereka melihat.(QS Al-Qiyaamah:22-23)
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara denagn kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
g. Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain: Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h. Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
i. Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
j. Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al-Qur’an:
* ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôt ß`»yJM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãèÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qßuur w Nä3÷GÎ=t ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÍÈ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu.
D. Sekte-Sekte Aliran Maturidiyah
Berdasarkan beberapa referensi yang kami peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:
1. Golongan Samarkand
Al-Maturidi berpendapat bahwa yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. maturidi dan asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham qadariyah. Maturidi menolak paham-paham mu’tazilah, antara lain maturidiyah tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-qur’an itu makhluk. Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan wajah tuhan, dan sebagainya seperti pengambaran al-qur’an. Mesti diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang dengan pendapat asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).
2. Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.[3]
E. Karya Aliran Al-Maturidi
Abu Mansur mewariskan banyak karya dan yang ada sekarang tidak lebih dari tiga buku saja, dua di antaranya sudah dicetak dan yang lainnya masih berupa tulisan tangan.
1. Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.
2. Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an. Dan buku tersebut diterbitkan oleh Dr. Ibrahim Iwadzain dengan bantuan yang lainnya di Kairo. Ketika dibandingkan, jelas terlihat bahwa kedua buku ini satu sama lain betul-betul memiliki kesamaan dalam hal pembahasan masalah-masalah aqidah dan keyakinan.
3. Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:
1. Akhdzu Al Syara’i
2. Al Jadal fi Ushul Al Fiqh
3. Bayan wa Hum Al Mu’tazilah
4. Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
5. Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
6. Al Rad ala Ushu Al Qaramathah
7. Rad Tahdzib Al Jadal Lil Ka’bi
8. Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi
9. Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan seperti berikut;
1. Aliran maturidiah dinisbatkan kepada Imam Almaturidy. Nama lengkapnya Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Abu Mansur Al Maturidy.
2. Aliran ini timbul akibat reaksi dari aliran Mu’tazilah.
3. Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari.
4. Al Maturidi berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Oleh karena Allah sendiri memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Ini menunjukkan bahwa dengan akal, manusia dapat mencapai ma’rifat kepada Allah.
5. Al Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu.
B. Saran
Penyusun menyadari dalam segala hal bahwa yang namanya manusia tidak pernah luput dari khilaf dan salah. Oleh karena itu, kami dari penyusun sadar bahwa penyusunan tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kami sangat mengharapkan saran ataupun kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Subhani Ayatullah Jakfar, Sejarah Singkat Aliran Maturidiyah. http//www.taghrib.ir/Indonesia/index.com. 13 April 2011.
Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam, (Cet. 2; Remaja Rosdakarya; 2003). h. 190.
Hanafi.A, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), h. 167.
[2] Ayatullah Jakfar Subhani, Sejarah Singkat Aliran Maturidiyah. http//www.taghrib.ir/Indonesia/index.com. 13 April 2011.
No comments:
Post a Comment