A. Kriteria Aliran Sesat
Dalam 1 dekade terakhir keberadaan bebeberapa lembaga keagamaan yang dinilai sesat berhasil menarik perhatian masyarakat Indonesia. Terlebih lagi dalam kasus yang terakhir, yaitu kontroversi Ahmadiyah yang hampir bersamaan dengan krisis energi dan implikasi sosial, politik dan ekonomi yang ditimbulkannya. Meskipun wacana ini bukan hal yang baru dalam konteks kehidupan sosial keagamaan di Indonesia, namun keberadaan aliran sesat ini cukup menarik perhatian banyak kalangan. Oleh karenanya, tema ini kita coba angkat dalam diskusi terbatas CAIREU STAIN Pontianak, dengan harapan kita dapat memahami secara lebih komprehensif fenomena tersebut. Menurut hemat kami, fenomena aliran sesat tidak lagi tepat dipandang sebagai sebuah gejala theologis normatif semata, akan tetapi fenomena ini memiliki korelasi yang kuat dengan realitas sosial, ekonomi dan politik ada. Keberadaan beberapa aliran sesat, dan termasuk juga beberapa organisasi atau yayasan yang menipu masyarakat dengan kedok keagamaan, ini agaknya simultan dengan krisis ekonomi, sosial dan politik yang melanda Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ini.
Dalam konteks makalah ini, penulis ingin mengupas secara lebih mendalam tentang fenomena aliran sesat dalam persfektif sosiologis, dengan harapan agar problem struktural dari kasus-kasus tersebut dapat dimengerti. Sejauh ini, keberadaan aliran sesat hanya disoroti dalam konteks normatif, atau benar salah, oleh karenanya bentuk penyikapan terhadap kasus-kasus tersebut juga lebih bersifat reaktif. Termasuk apa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan membuat kriteria tentang aliran sesat menurut hemat penulis juga mencerminkan dari sikap reaktif tersebut. Untuk diketahui MUI mengeluarkan 10 (sepuluh) kriteria aliran sesat, yaitu
- Mengingkari rukun iman (Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari Akhir, Qadla dan Qadar) dan rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat syahadah, sholat 5 waktu, puasa, zakat, dan Haji)
- Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran dan as-sunah),
- Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran
- Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran
- Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
- Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
- Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
- Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
- Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
- Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i
MUI menyakini jika ada aliran keagamaan yang terindikasi memiliki atau menganut salah satu dari point di atas, maka ini sudah bisa menjadi dasar untuk mengelompokkkan organisasi tersebut sebagai kelompok aliran sesat. Padahal kalau kita menelaah kesepuluh point tersebut dengan seksama, apa tidak malah terkesan sangat reaktif dan gegabah. Sebagai misal, menafsirkan al-quran tidak berdasarkan qaidah tafsir yang benar. Point ini jelas tidak memiliki batasan yang spesifik, dan jenis standar tafsir seperti apa yang menjadi ukuran tafsir yang benar. Tentu pertanyaan seperti ini akan terus muncul dan akan terus berkembang, sehingga akan terlihat bahwa, batasan seperti ini sangat kabur. Terlebih lagi kalau kita bicara tentang wilayah tafsir, wilayah ta’wil maupun persfektif yang berbeda satu sama lain, maka sebenarnya akan semakin sukar (atau dengan kata lain akan jauh lebih rumit) bagi kita untuk memberikan penilaian tersebut sebuah aliran keagamaan.
B. Pengertian Aliran Sesat
Pertanyaan kita apakah aliran sesat itu semakna dengan gerakan sempalan. Martin van Bruinussen mengatakan memang agak sedikit sukar membedakan antara mana gerakan sempalan, mana gerakan yang dinilai menyimpang atau sesat dan mana gerakan keagamaan yang dilarang karena kepentingan politik. Dalam konteks sosiologis gerakan keagamaan, secara sederhana hanya dikenal dua terminologi yaitu aliran ortodoks (atau mainstream) dan aliran sempalan. Gerakan ortodoks atau mainstream dianggap Islam yang paling ”tepat” dan (dalam batas-batas tertentu) dinilai paling benar, disamping dianut oleh banyak orang. Dalam konteks Indonesia, menurut Martin gerakan ini diwakili oleh organisasi seperti MUI, Muhammadiyah maupun NU misalny. Sedangkan istilah gerakan sempalan menurut Martin lazim dipakai secara normatif untuk aliran agama yang dinilai sesat dan membahayakan. Namun, Martin menegaskan bahwa, kedua istilah tersebut berlaku secara kontekstual, dalam artian status ortodoksi dan sempalan atau sesat itu tidak berlaku tetap, akan tetapi dinamis. Kemudian, Martin juga menyadari bahwa, taksonomi seperti ini memang beresiko, karena dalam sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam terlihat bagaimana antara kalangan tradsionalis dan modernis saling menilai ”sesat” satu sama lain, meskipun penilaian ini ada yang dinyatakan secara eksplisit ada yang tidak.
Batasan terhadap pengertian atau istilah yang kita gunakan menjadi sangat penting, untuk menghindari kesewenang-wenangan tafsir atas gerakan keagamaan. Terus terang saja, khusus untuk kata aliran atau kelompok sempalan (apakan lagi aliran sesat) dalam kosa kata Indonesia bermakna peyoratif, baik dalam konteks sosial maupun politik. Term ini oleh pemerintah Orde Lama dan Orde Baru di jadikan instrumen untuk mengkooptasi beberapa gerakan keagamaan yang dinilai ”mengancam” stabilitas dan integrasi bangsa. Ternyata instrumen linguistik ini efektif untuk ”membasmi” kelompok-kelompok yang dikelompokkan sebagai ekstrim kanan.
Seiring dengan perubahan waktu dan perkembangan masyarakat, ternyata terma ini juga tetap bermakna peyoratif dan tetap efektif untuk mengeliminasi keberadaan kelompok lain yang dinilai ”berseberangan” dengan sikap dan pendirian ”Kita”. Hanya dengan satu kata, ”sesat”, ”menghina”, orang tanpa pikir panjang bisa serta merta kehilangan kendali rasionalitas dan rasa kerahiman antara sesama manusia. Ironisnya, terkadang ”mereka” bertindak tanpa mengetahui duduk persoalan secara persis dan mendalam. Terlebih lagi, jika institusi atau tokoh-tokoh kharismatik yang menjustifikasi penilaian tersebut, mereka akan semakin yakin, seakan-akan membawa SK pembenaran untuk merusak, memukul dan membunuh satu sama lain.
Dalam konteks ini, sekali lagi untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam menjustifikasi keberadaan pluralitas paham, kita perlu membuat batasan yang lebih rasional dan jernih, bukan semata-mata atas dasar ketidaksenangan, apalagi prasangka. Kalau kita menelaah secara lebih mendalam tentang keberadaan paham-paham keagamaan, tidak memadai menilai sesat sebuah paham jika semata berdasarkan karena orang berbeda paham dengan kita. Kemudian, jika kita ingin mengatakan bahwa, ini atau itu adalah ajaran yang sesat, setidaknya kita dapat menjelaskan, atas dasar apa kita menilai sebuah ajaran itu sesat.
Setidaknya menurut penulis, untuk sampai kepada penilaian tentang sesat tidaknya sebuah ajaran agama adalah; Pertama, harus dibedakan antara sengaja merusak dan menghina ajaran agama dengan sekedar perbedaan persfektif dalam melakukan penafsiran; Kedua, wilayah mana yang dinilai telah ”dirusak” oleh mereka yang dinilai sesat, seperti wilayah peribadatan yang telah berlaku qath’i, atau wilayah aqidah atau mu’amalah yang terbuka peluang terjadinya dialog dengan menghadirkan beragam persfektif, seperti filosofis, mistik (tashawuf), logika dan ilmu pengetahuan; Ketiga, dilihat dari aspek teleologis, yaitu apakah ajaran tersebut cenderung membawa orang kepada kemudharatan atau semangat pembangkangan (perlawanan) terhadap kemashalatan umum. Inipun membutuhkan satu kajian yang lebih mendalam, agar tidak terjadi tyrani atas nama kebenaran dan menghindarkan kemudharatan bagi ummat; Keempat, hal yang paling penting, dan ini jarang terjadi dalam kehidupan nyata, perlu ada ruang dialog terbuka secara santun dan rasional, tidak untuk memeriksa kepercayaan (tahkim), akan tetapi untuk memahami konstruksi atau persfektif mereka yang memiliki pandangan keagamaan yang berbeda. Hemat penulis, jika keempat hal ini kita praktekkan, setidaknya dapat mengurangi praktek kesewenang-wenangan dalam penafsiran.
C. Aliran Sesat Dilihat Dari Persfektif Sejarah Perkembangan Aliran Keagamaan
Sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu bahwa, tema sesat seringkali digunakan secara sewenang-wenang, dan dalam beberapa kasus dijadikan instrumen justifikasi untuk melakukan pembungkaman (silencing) terhadap ”kemerdekaan” berpikir. Ditambah lagi, jamak dalam sejarah perkembangan Islam, seringkali intrik politik berhasil menyelinap ke dalam justifikasi normatif keagamaan, sehingga sukar menilai bahwa, proses justifikasi kesesatan sebagai murni fenomena normatif keagamaan, akan tetapi ”kental” dengan kepentingan ideologi dan politik praktis.
Dikemukakan oleh R. Hrair Dekmejian berikut memperlihatkan bahwa, konflik senantiasa mewarnai proses peralihan kekuasaan politik dalam Islam. Kalau kita mengkaji secara lebih mendalam, juga akan terlihat dalam konstelasi politik tersebut, juga inklud proses justifikasi normatif keagamaan, sebagai sarana untuk meningkatkan konsolidasi diri. Sebagai contoh, ketika terjadi konflik antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Syofyan, kemudian berbuntut dengan penguatan afiliasi pengikut menjadi Syi’ah dan Ahl Sunnah, memperlihatkan bagaimana konflik ini tidak hanya memecah ummat Islam ke dalam afiliasi politik praktis, akan tetapi juga membuat ummat Islam terjebak pada posisi diametral untuk saling mengkafirkan (atau saling mengklaim sesat) antara satu dengan lainnya.
D. Fenomena Aliran Sesat Dalam Pandangan Teoritikus Ilmu SosiaL
Ada beberapa sosiolog yang berupaya menerangkan tentang keberadaan gerakan sempalan (terutama dalam masyarakat Eropa), diantaranya adalah Troeltsch dan Bryan Wilson. Troeltsch memulai analisanya dengan membedakan antara dua jenis wadah ummat beragama yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan, yaitu tipe gereja dan tipe sekte. Tipe gereja yang dimaksudkan oleh Troeltsch adalah Gereja Katolik pada abad pertengahan, dimana organisasi ini mencakup dan mendominasi seluruh masyarakat dan segala aspek kehidupan. Institusi ini kemudian menjadi sangat mapan, dan kemudian cenderung bersifat konservatif, formalistik dan memiliki hubungan yang kuat dengan elit penguasa (baik politik maupun ekonomi). Kemudian dalam organisasi ini juga terdapat struktur hirarkhi yang ketat dan ada sebagian ulama yang dianggap memiliki otoritas mutlak dalam bidang ilmu dan memonopoli tafsir kebenaran agama.
Kemudian tipe sekte yaitu organisasi yang lebih kecil, dengan hubungan antara anggotanya yang lebih besifat longgar dan egaliter. Anggota dari sekte ini biasanya lebih bersifat sukarela, dan sebagian besar tidak lahir dalam tradisi sekte, akan tetapi mereka secara suka rela atau atas kehendak sendiri untuk bergabung. Namun demikian, mereka termasuk orang-orang yang kuat memegang prinsip, menuntut ketaatan kepada nilai moral yang ketat, dan senantiasa mengambil jarak dari penguasa dan kenikmatan material. Dalam sekte juga berlaku doktrin yang mengajarkan bahwa ajaran yang mereka anut lebih murni, lebih konsisten dalam menjalani perintah kitab suci. Ciri lain dari tipe sekte adalah bersifat eksklusif, yaitu ada perbedaan yang tajam antara ajaran yang mereka pegang dengan orang yang ada di luar sekte tersebut. Secara sosiologis, sekte biasanya muncul di kalangan masyarakat yang secara ekonomi dan pendidikan dinilai “lemah” atau “rendah”.
Kemudian gerakan mistisisme (atau gerakan individualisme religius) yang merupakan bentuk reaksi terhadap ortodoksi gereja. Reaksi ini timbul karena gereja dianggap kehilangan otentisitas ajarannya, sehingga terkesan kering dan formal. Disamping itu, institusi gereja juga dinilai terlalu “dekat” dengan kekuasaan. Akhirnya, gerakan mistisisme ini berupaya memusatkan perhatiannya pada proses penghayatan ruhani secara individual dan mulai “meninggalkan” kehidupan nyata dalam masyarakat. Secara sosiologis, para penganutnya bisa datang dari kalangan yang mapan (establised), baik secara ekonomi maupun latar belakang pendidikan.
Richard Niebuhr (sosiolog agama Amerika Serikat) juga pernah melakukan penelitian serupa, seputar dinamika sekte dan lahirnya denominasi. Konon menurut Martin van Bruinessen teori Richard mirip dengan teori sejarah Ibn Khaldun. Menurut Richard bahwa, banyak sekte yang semula lahir sebagai lembaga untuk melakukan gerakan protes terhadap konservatisme dan kekakuan gereja dan Negara. Tapi, gerakan ini lambat laun menjadi lebih lunak, mapan (establish) dan terorganisir secara rapi dan formal. Dalam satu hingga tiga generasi, dan semakin banyak generasi yang lahir dalam tradisi sekte tersebut, maka kesukarelaan yang selama ini menjadi ciri sekte menjadi hilang. Semua anggota sudah tidak sama lagi, hirarkhi mulai terbentuk dan bermunculanlah kaum pendeta yang mulai mengklaim bahwa, mereka diperlukan oleh kaum awam. Jadi, gerakan yang semula merupakan gerakan sekte kemudian bermetamorfosa menjadi semacam gereja sendiri, salah satu diantara sekian banyak denominasi. Sebagai akibatnya, akan muncul gerakan sempalan baru yang berupaya mengkritisi dan memurnikan gerakan tersebut. Gerakan pemurnian ini kemudian akan menjadi denominasi baru. Demikianlah siklus ini akan terus menerus berlangsung.
Menurut Martin Van Bruinessen bahwa, teori yang dikemukakan oleh Richard Niebuhr dianggap terlalu skematis; karena dalam kenyataanya sekte- sekte tidak selalu menjadi denominasi. Pendapat Niebuhr semata berdasarkan dari pengalaman kehidupan beragama di Amerika Serikat. Berdasarkan pengamatannya bahwa, semua gereja di Amerika Serikat memang merupakan denominasi yang pernah mulai sebagai gerakan sempalan dari denominasi lain. Siklus perkembangan yang begitu jelas, agaknya, berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat Amerika Serikat terdiri dari para immigran, yang telah datang gelombang demi gelombang
Setiap gelombang pendatang baru menjadi lapisan sosial paling bawah; dengan datangnya gelombang pendatang berikut, status sosial mereka mulai naik. Pendatang baru yang miskin seringkali menganut sekte-sekte radikal; dengan kenaikan status mereka sekte itu lambat laun menghilangkan radikalismenya dan menjadi sebuah denominasi baru.
Tigapuluh tahun sesudah Niebuhr, sosiolog Amerika yang lain, Milton Yinger (dalam Martin van Bruinessen, 1992), merumuskan kesimpulan dari perdebatan mengenai sekte dan denominasi, bahwa sekte yang lahir sebagai protes sosial cenderung untuk bertahan sebagai sekte, tetap terpisah dari mainstream, sedangkan sekte yang lebih menitikberatkan permasalahan moral pribadi cenderung untuk menjadi denominasi. Itu tentu berkaitan dengan dasar sosial kedua jenis sekte ini - sekte radikal cenderung untuk merekrut anggotanya dari lapisan miskin dan tertindas. Dengan demikian hubungan sekte ini dengan negara dan denominasi yang mapan akan tetap tegang. Jenis sekte yang kedua lebih cenderung untuk menarik penganut dari kalangan menengah, dan akan lebih mudah berakomodasi dengan, dan diterima dalam, status quo.
Klasifikasi sekte dalam beberapa jenis dengan sikap dan dinamika masingmasing
dikembangkan lebih lanjut oleh seorang sosiolog Inggeris, Bryan Wilson. Ia berusaha membuat tipologi yang tidak terlalu tergantung kepada konteks budaya Kristen Barat. Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sektesekte terhadap dunia sekitar.[8] Wilson melukiskan tujuh tipe ideal (model murni) sekte. Sekte-sekte yang nyata biasanya berbeda daripada tipe-tipe ideal ini, yang hanya merupakan model untuk analisa. Dalam kenyataannya, suatu sekte bisa mempunyai ciri dari lebih dari satu tipe ideal. Tetapi hampir semua tipe ideal Wilson terwakili oleh gerakan sempalan yang terdapat di Indonesia.
dikembangkan lebih lanjut oleh seorang sosiolog Inggeris, Bryan Wilson. Ia berusaha membuat tipologi yang tidak terlalu tergantung kepada konteks budaya Kristen Barat. Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sektesekte terhadap dunia sekitar.[8] Wilson melukiskan tujuh tipe ideal (model murni) sekte. Sekte-sekte yang nyata biasanya berbeda daripada tipe-tipe ideal ini, yang hanya merupakan model untuk analisa. Dalam kenyataannya, suatu sekte bisa mempunyai ciri dari lebih dari satu tipe ideal. Tetapi hampir semua tipe ideal Wilson terwakili oleh gerakan sempalan yang terdapat di Indonesia.
Tipe pertama adalah sekte conversionist, yang perhatiannya terutama kepada perbaikan moral individu. Harapannya agar dunia akan diperbaiki kalau moral individu-individu diperbaiki, dan kegiatan utama sekte ini adalah usaha untuk meng-convert, men- tobat-kan orang luar. Contoh tipikal di dunia Barat adalah Bala Keselamatan; di dunia Islam, gerakan dakwah seperti Tablighi Jamaat mirip tipe sekte ini.
Tipe kedua, sekte revolusioner, sebaliknya mengharapkan perubahan masyarakat secara radikal, sehingga manusianya menjadi baik. Gerakan messianistik (yang menunggu atau mempersiapkan kedatangan seorang Messias, Mahdi, Ratu Adil) dan millenarian (yang mengharapkan Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia meletusnya zaman emas) merupakan contoh tipikal. Gerakan ini secara implisit merupakan kritik sosial dan politik terhadap status quo, yang dikaitkan dengan Dajjal, Zaman Edan dan sebagainya. Gerakan messianistik, seperti diketahui, banyak terjadi di Indonesia pada zaman kolonial -- dan memang ada sarjana yang menganggap bahwa gerakan jenis ini hanya muncul sebagai reaksi terhadap kontak antara dua budaya yang tidak seimbang. Kalau harapan eskatologis tetap tidak terpenuhi, suatu gerakan yang semula revolusioner akan cenderung untuk tidak lagi bekerja untuk transformasi dunia sekitar tetapi hanya memusatkan diri kepada kelompoknya sendiri atau keselamatan ruhani penganutnya sendiri - semacam uzlah kolektif. Mereka mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Wilson menyebut gerakan tipe ini introversionis. Gerakan Samin di Jawa merupakan kasus tipikal gerakan mesianistik yang telah menjadi introversionis.
Tipe keempat, yang dinamakan Wilson manipulationist atau gnostic("ber-ma'rifat") mirip sekte introversionis dalam hal ketidakpeduliannya terhadap keselamatan dunia sekitar. Yang membedakan adalah klaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus, yang biasanya dirahasiakan dari orang luar. Untuk menjadi anggota aliran seperti ini, orang perlu melalui suatu proses inisiasi (tapabrata) yang panjang dan bertahap. Tipe ini biasanya menerima saja nilai-nilai masyarakat luas dan tidak mempunyai tujuan yang lain. Klaim mereka hanya bahwa mereka memiliki metode yang lebih baik untuk mencapai tujuan itu. Theosofie dan Christian Science merupakan dua contoh Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia jenis sekte ini di dunia Barat. Di Indonesia, ada banyak aliran kebatinan yang barangkali layak dikelompokkan dalam kategori ini; demikian juga kebanyakan tarekat, yang mempunyai amalan-amalan khusus dan sistem bai'at.
Tipe kelima adalah sekte-sekte thaumaturgical, yaitu yang berdasarkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan atas alam gaib. Pengobatan secara batin, kekebalan, kesaktian, dan kekuatan "paranormal" lainnya merupakan daya tarik aliran-aliran jenis ini, dan membuat para anggotanya yakin akan kebenarannya. Di Indonesia, unsur-unsur thaumaturgical terlihat dalam berbagai aliran kebatinan dan sekte Islam, seperti Muslimin-Muslimat (di Jawa Barat).
Tipe ke-enam adalah sekte reformis, gerakan yang melihat usaha reformasi sosial dan/atau amal baik (karitatif) sebagai kewajiban esensial agama. Aqidah dan ibadah tanpa pekerjaan sosial dianggap tidak cukup. Yang membedakan sekte-sekte ini dari ortodoksi bukan aqidah atau ibadahnya dalam arti sempit, tetapi penekanannya kepada konsistensi dengan ajaran agama yang murni (termasuk yang bersifat sosial).
Gerakan utopian, tipe ketujuh, berusaha menciptakan suatu komunitas ideal di samping, dan sebagai teladan untuk, masyarakat luas. Mereka menolak tatanan masyarakat yang ada dan menawarkan suatu alternatif, tetapi tidak mempunyai aspirasi mentransformasi seluruh masyarakat melalui proses revolusi. Tetapi mereka lebih aktivis daripada sekte introversionis; mereka berdakwah melalui contoh teladan komunitas Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia mereka. Komunitas utopian mereka seringkali merupakan usaha untuk menghidupkan kembali komunitas umat yang asli (komunitas Kristen yang pertama, jami'ah Madinah), dengan segala tatanan sosialnya. Di Indonesia, kelompok Isa Bugis (dulu di Sukabumi, sekarang di Lampung) merupakan salah satu contohnya, Darul Arqam Malaysia dengan "Islamic Village"nya di Sungai Penchala adalah contoh yang lain.
Berdasarkan pisau analisa yang dibuat oleh Troeltsch, Richard Niebuhr, Milton Yinger dan Bryan Wilson di atas lebih memberikan perhatian terhadap latar belakang lahir gerakan sempalan dan karakteristik dari masing-masing gerakan tersebut. Beberapa bagiannya (terlebih karakteristik Wilson) berguna untuk mengidentifikasi gerakan sempalan maupun alisan sesat keagamaan di Indonesia. Namun, beberapa teori di atas belum memadai untuk menerangkan secara lebih terperinci tentang faktor yang menyebabkan timbulnya aliran-aliran keagamaan yang dinilai sesat.
E. Analisa Sosiologis Terhadap Aliran Sempalan
Untuk memahami fenomena aliran yang dinilai sesat dalam konteks Indonesia, penulis melihatnya sebagai sebuah gejala sosio-politis, ketimbang sebagai sebuah gejala keagamaan murni. Secara sosiologis, bermunculan banyak aliran sesat dan fenomena masyarakat mudah ”percaya” dengan segala janji-janji yang instan, ini dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah; ketika masyarakat sedang mengalami diorientasi hidup, ketika masyarakat mengalami frustasi secara sosial, politik dan ekonomi (atau ketika masyarakat terlalu lama berada dalam kondisi ”penderitaan”), ketika masyarakat tidak mampu lagi menghadapi kenyataan hidup yang serba sulit. Disorientasi hidup adalah kondisi dimana manusia tidak lagi memiliki arah atau pedoman hidup yang jelas. Segala jalan yang mereka tempuh tidak memberikan arti dan bermakna lagi bagi mereka. Akibatnya mereka terus menerus mencari pemuasan diri, namun rasa dahaga juga bergerak (berbanding terbalik) dari hasrat pemuasan tersebut. Akibatnya, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh hanya kesenangan yang bersifat semu dan palsu (pseudo) belaka. Kondisi seperti ini yang disebut dengan disorientasi hidup, akibatnya mereka akan sangat mudah diombang-ambing oleh situasi (keadaan), karena mereka berharap dapat menemukan kepuasan yang mereka cari, meskipun kadang akal sehat mereka tidak lagi berfungsi sepenuhnya.
Kondisi kedua adalah ketika masyarakat mengalami frustasi secara sosial, politik dan ekonomi. Akibat terlalu lama menderita secara ekonomi dan sosial, orang akan merasa kehilangan harapan (hopeless), kehilangan masa depan (futureless) dan kehilangan gairah (passionless) yang pada akhirnya akan ”meruntuhkan” kepercayaan secara politik (kepada otoritas politik). Pekerjaan sulit, cari makan sulit, sehari-hari kita hidup dalam ”dunia yang terancam” dan lingkaran kekerasan, kebengisan melihat tabiat para pemimpin (atau mereka yang mengklaim suara rakyat) ataupun kemarahan terhadap sepak terjang para penegak hukum, kondisi-kondisi ini akan mendorong timbulnya kemarahan yang menggumpal, yang akan berbuntut rasa frustasi secara sosial, ekonomi maupun secara politik. Kondisi mental seperti akan membuat kita tidak stabil, baik secara intelektual, mental dan sosial. Orang yang ”rapuh” situasi intelektual, mental dan sosial tersebut akan sangat gampang terjebak kepada lingkaran kemarahan (kekerasan) atau mengambil jalan pintas ”escafe from reality” (lari dari kenyataan). Pilihan untuk menjadi penganut ajaran-ajaran sesat yang menjanjikan dengan cepat solusi atas persoalan tersebut. Atau malah mengambil bagian dari gerakan perlawanan sosial –sebagai bentuk reaksi-- terhadap keadaan yang dinilai korup (despotism, meskipun dalam tafsiran kesemestaan dirinya sendiri), dimana kekerasan adalah salah satu manifestasi dari semangat pembebasan tersebut.
Kondisi ketiga adalah ketika masyarakat tidak mampu lagi menghadapi kenyataan hidup yang serba sulit. Menurut Hrair Dekmejian (Profesor Ilmu Politik Universitas Souther California Los Angeles) dalam bukunya Islam and Revolution: Fundamentalism in the Arab World (Syracuse University Press, 1985) mengatakan bahwa, ada relevansi antara krisis sosial dengan kebangkitan agama. Dengan mengambil sampel yang terjadi di dunia Islam (selama 14 abad) memperlihatkan bahwa, Islam telah menunjukkan kapasitasnya yang unik untuk memperbarui dan mereformulasi dirinya melalui suatu sistem yang ia sebut self-regenerating social mechanism (mekanisme sosial regenerasi diri). Mekanisme ini berfungsi merespon suasana dimana ideologi-ideologi dan kekuatan-kekuatan sosial sedang bertempur satu sama lain. Mekanisme tersebut berfungsi “secara otomatis” pada saat integritas moral atau eksistensi umat sedang terancam. Dekmejian berupaya membuktikan tesisnya bahwa, siklus dinamika krisis dan kebangkitan ini terimplementasikan pada hampir sepanjang sejarah Islam. Reaksi kebangkitan dalam sejarah dunia Islam beragam, mulai dari gerakan radikal (revivalis) hingga gerakan neo-moderen (liberalis). Jika analisa Dekmejian ini kita pakai, ketika krisis yang terjadi (baik dalam konteks sosial, ekonomi dan politik) terus menerus terjadi tanpa ada penyelesaian, lambat laun ia akan membnetuk siklus dinamika krisis, dalam kondisi seperti ini maka akan muncul beragam reaksi (kebangkitan), mulai dari gerakan yang ”diam” (seperti ajaran-ajaran agama yang menyimpang), tapi ada juga yang memilih gerakan yang sifatnya ”ramai” (dengan cara kekerasan). Fenomena FPI hemat saya merupakan salah satu bentuk dari reaksi terhadap krisis yang terjadi dalam masyarakat yang terus terjadi berulang-ulang. Krisis sosial (kemiskinan, kebodohan, prostitusi, perjudian dlsb), krisis ekonomi (kenaikan harga BBM, kesulitan mencari lapangan kerja dan rasa hopeless), krisis politik (runtuhnya kepercayaan terhadap pemimpin dan elit politik).
Kondisi ini menurut hemat penulis dapat menerangkan mengapa akhir-akhir ini bermunculan gerakan-gerakan keagamaan yang menyimpang (deviant religious movements / organizations). Termasuk maraknya gerakan yang dinilai sesat dan berbagai organisasi yang menjanjikan uang dan materi lainnya
.
Literatur
Martin van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural background"), dalam Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992, 16-27. Diakses dari http://igitur-archive.library.uu.nl/let/2007-0313-203322/bruinessen_92_gerakan_sempalan.pdf (diakses Selasa, 24 Juni 2008)
Majelis Ulama Indonesia (MUI), ”10 (Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat”, 9 November 2007. Diakses dari http://www.media-islam.or.id/2007/11/09/mui-sepuluh-kriteria-aliran-sesat/ Pada hari Kamis, 12 Juni 2008.
Eka Hendry Ar. 2008. Kontroversi Islam Liberal di Indonesia: Menuju Mayarakat Beragama yang Demokratis dan Berkeadaban. (Draft buku) STAIN Press. Pontianak.
-------------------. 2007. Perkembangan Pemikiran Moderan Dalam Islam. STAIN Press. Pontianak.
-------------------. 2003. Monopoli Tafsir Keagamaan. Kalimantan Persada Press. Pontianak.
Martin van Bruinessen, "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural background"), dalam Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992, 16-27. Diakses dari http://igitur-archive.library.uu.nl/let/2007-0313-203322/bruinessen_92_gerakan_sempalan.pdf (diakses Selasa, 24 Juni 2008)
Majelis Ulama Indonesia (MUI), ”10 (Sepuluh) Kriteria Aliran Sesat”, 9 November 2007. Diakses dari http://www.media-islam.or.id/2007/11/09/mui-sepuluh-kriteria-aliran-sesat/ Pada hari Kamis, 12 Juni 2008.
Eka Hendry Ar. 2008. Kontroversi Islam Liberal di Indonesia: Menuju Mayarakat Beragama yang Demokratis dan Berkeadaban. (Draft buku) STAIN Press. Pontianak.
-------------------. 2007. Perkembangan Pemikiran Moderan Dalam Islam. STAIN Press. Pontianak.
-------------------. 2003. Monopoli Tafsir Keagamaan. Kalimantan Persada Press. Pontianak.
No comments:
Post a Comment