A. Hakekat Hasil Belajar
1. Makna belajar, pembelajaran dan hasil belajar
a) Makna belajar
Sebelum membahas bagaimana hasil belajar siswa, maka terlebih dahulu harus dipahami makna belajar, hal ini dimaksudkan agar pemaknaan tentang hasil belajar dapat dikorelasikan dengan aktivitas belajar sehingga dapat kemudian mengidentifikasi hal-hal yang sesuai dan dapat dilaksanakan pada kegiatan pembelajaran dalam rangka melakukan perubahan-perubahan pada peserta didik.
Belajar, secara gamblang hampir semua orang menganggap sebagai suatu proses perubahan tingkah laku pada diri seseorang. Dari pemahaman seperti ini dapat menghasilkan suatu pemikiran bahwa kegiatan belajar tidak begitu saja terjadi, tetapi memerlukan langkah-langkah tertentu dengan berbagai tahapan yang harus dilalui.
Dalam keseluruhan aktivitas pendidikan di sekolah, maka kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling mendasar. Hal ini kemungkinannya bahwa baik tidaknya serta berhasil tidaknya rumusan-rumusan tujuan yang telah direncanakan dapat dicapai akan sangat tergantung pada bagaimana proses belajar yang diterapkan atau dialami oleh peserta didik. James O. Whittaker mendefenisikan belajar yakni “the process by which behavior originates or is altered through training or experience” proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.[1]
Dari pengertian tersebut, tergambar bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku seseorang atau peserta didik, ketika peserta didik telah mendapatkan sejumlah latihan atau pengalaman, dengan demikian peneliti berasumsi bahwa perubahan sikap dan tingkah laku yang terjadi pada peserta didik sebagai akibat dari pertumbuhan fisik atau kematangan serta pengaruh yang tumbuh dari masing-masing individu, dalam pemahaman James bukan termasuk belajar.
Pengertian lain dikemukakan oleh Skinner bahwa belajar adalah “a process progressive behavior adaptation” yakni suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif. Dijelaskan bahwa proses adabtasi akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer).[2]
Dalam pandangan tersebut tersirat suatu makna bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan melalui kemampuan untuk beradabtasi, dengan kata lain bahwa belajar hanya akan terjadi ketika pelajar mendapatkan rangsangan yang dilakukan secara berproses dengan hasilnya bahwa pelajar tersebut dapat menyesuaikan dirinya dengan apa yang diperolehnya.
Gagne menyatakan bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.[3]
Di samping itu, terdapat beberapa persoalan yang harus dipertimbangkan oleh seorang guru dalam menentukan keberhasilan pengajalan dalam pandangan hasil dan produk yang dicapai siswa.
a. Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pengajaran nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh (konprehensif) yang terdiri atas unsure kognitif, apektif dan psikomotorik, secara terpadu pada diri siswa.
b. Apakah hasil belajar yang dicapai siswa dari prose pengajaran mempunyai daya guna dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa terutama dalam pemecahan masalah yang dihadapinya.
c. Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa tahan laa diingat dan mengendap dalam pikirannya serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya.
d. Apakah yakni bahwa perubahan yang ditunjukkan oleh siswa merupakan akibat dari proses pengajaran, ataukah perubahan itu sebagai akibat lain di luar proses pengajaran.[4]
Dalam konsep ajaran Islam secara jelas telah ditunjukkan oleh Allah swt., dalam firman-Nya surat al-Baqarah ayat 31-32 yaitu :
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Terjemahnya :
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[5]
Untuk mengantar anak pra sekolah menuju jalan yang benar melalui pendidikan Islam Hery Noer Aly menawarkan delapan metode yang terpenting untuk diterapkan berupa pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagianya kepada anggota keluarga. Namun secara garis besar penulis terapkan sesuai dengan konsumsi kebutuhan anak prasekolah sebagai berikut :
1). Keteladanan
Secara psikologi kepentingan penggunaan keteladanan ini sebagai metode pendidikan didasarkan atas adanya insting untuk beridentifikasi (anak). Identifikasi ini mencakup segala bentuk peniruan peranan yang dilakukan seorang terhadap tokoh identifikasi. Dengan perkataan lain, identifikasi merupakan mekanisme penyesuaian diri yang terjadi melalui kondisi interaksional dalam hubungan sosial antara individu dan tokoh identifikasi (orang tua).[6]
2). Pembiasaan
Pembiasaan ini sering diartikan persistent uniform artinya dalam kita berbuat hampir-hampir kita tidak sadari telah melakukan perbuatan itu. Oleh karenanya masalah pembiasaan ini sangat dianjurkan di dalam mendidik anak disebabkan anak tidak menyadari dalam bekerja, menolong orang lain, maupun ia diperintahkan untuk melakukan sesuatu. Dan pembiasaan ini salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama anak-anak pra sekolah.
3). Memberi nasehat.
Demikian pula pemberian nasehat merupakan metode yang amat penting diterapkan sebagaimana metode-metode sebelumnya. Dengan metode ini pendidikan menanamkan pengaruh yang baik ke dalam jiwa apabila digunakan dengan cara yang dapat mengetuk relung jiwa melalui pintunya yang tepat. Maka dengan itu metode memberi nasihat ini sebagaimana diterangkan Allah SWT., dalam Al Qur’an Surat. Perkembangan Belajar
Perkembangan belajar anak merupakan sebuah proses yang dilalui oleh setiap anak ketika telah mengalami proses pembelajaran. Dalam perkembangannya yang lebih dominan adalah pengaruh secara psikologis dan intelektual. Kedua potensi yang dimiliki oleh setiap manusia termasuk anak didik tersebut sangat berpeluang untuk mengarahkan pola hidup dan perilaku dalam berbagai aktivitas manusia.
Dalam kaitan dengan perkembangan tersebut, maka ada beberapa unsur dalam situasi yang perlu dipahami sebagai proses perkembangan yang dilalui oleh peserta didik yaitu :
a) Kesanggupan yaitu kemampuan intelegensi individu
b) Pengalaman yang didapatkan melalui berbagai peristiwa yang dapat mempermudah munculnya insight.
c) Taraf kompleksitas dari suatu situasi
d) Latihan mendorong peningkatan kemampuan insight
e) Tirial and Eror pemecahan masalah melalui eksperiman atau percobaan.[7]
Hasil belajar apabila didefinisikan pada dasarnya akan memiliki pengertian yang hampir sama dengan prestasi belajar. Jika dicermati secara seksama prestasi adalah hasil yang telah dicapai dari yang telah dikerjakan / dilakukan. Dengan demikian hasil belajar dapat diidentikkan dengan prestasi belajar yang memiliki pengertian “perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antar individu dengan individu, serta individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.”[8]
b) Pembelajaran
Pembelajaran adalah terjemahan dari instruction atau teaching, dalam bahasa arab diistilahkan ta’lim yakni mengajar atau membelajarkan.
Gagne dan Briggs, 1979 (dalam Arif S. Sadiman) sebagai mana dikutip oleh Ahmad Rohani mengatakan bahwa instruction mencakup semua events yang mungkin mempunyai pengaruh langsung terhadap proses belajar manusia dan bukan saja terbatas pada events (peristiwa-peristiwa) yang dilakukan oleh guru, dosen atau instruktur, Akan tetapi mencakup pula tentang kejadian-kejadian yang diturunkan oleh bahan cetakan, gambar atau kombinasinya.[9]
Corey (1977) sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rohani mengatakan bahwa instruction sebagai sub-sub atau bagian dari pendidikan, yang merupakan suatu proses dimana lingkungan seseorang dengan sengaja dikelola agar memungkinkan orang tersebut dapat belajar melakukan hal tertentu dalam kondisi tertentu atau memberikan respon terhadap situasi tertentu pula.[10]
Selanjutnya, sebagaimana dikutip oleh Irfan Abd Gafar dan Moh. Jamil B.; Tardif (1987) mengatakan bahwa instruction sebagai suatu proses pendidikan yang sebelumnya direncanakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan, Reber (1988) mengartikan sebagai perbuatan mengajarkan ilmu pengetahuan; dan Degeng (1989) mengistilahkan pembelajaran sebagai upaya membelajarkan pebelajar.[11]
Berangkat dari beberapa penafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pada hakikatnya merupakan totalitas aktivitas pembelajaran yang diawali dengan perencanaan dan diakhiri dengan evaluasi yang keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai cita-cita tujuan yang ditetapkan. Hal ini dapat dipahami bahwa objek utama dari kegiatan pembelajaran adalah bagaimana membelajarkan siswa, yang secara subtansial menekankan pada cara-cara mencapai tujuan, yaitu berkaitan dengan bagaimana cara mengorganisasi, menyampaikan isi pelajaran, mengelola pembelajaran serta melaksanakan evaluasi.
c) Hasil belajar
Hasil belajar adalah pengukuran keseluruhan kegiatan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[12] Hasil belajar pada hakekatnya menunjuk pada prestasi belajar yaitu untuk mengukur penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai yang diberikan guru.[13]
Jika dikaitkan dengan “standar” dalam mengukur sebuah prestasi atau hasil belajar, maka paling tidak ada dua aspek tolak ukur yang digunakan yaitu
1. Standar erat hubungannya dengan tujuan pendidikan yang harus dicapai sekolah sesuai dengan kurikulum. Tujuan ini dapat dikemukakan dalam bentuk tujuan kognitif maupun non kognitif, tetapi juga dapat dibuat operasional dalam bentuk dan perilaku nyata.
2. Kemampuan sesuatu jenis sekolah untuk mencapai tujuan dapat diungkapkan dalam bentuk statistik deskriptif.[14]
Berdasarkan kedua hal di atas, maka untuk mengukur suatu prestasi, pertanyaan yang mula-mula muncul adalah sejauhmana capaian kognitif dan non kognitif yang diperoleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Adapun capaian kognitif dimaksud meliputi aspek pengenalan (recognition), aspek mengingat kembali (recal), dan aspek pemahaman (komprehension). Sedangkan capaian non kognitif meliputi aspek penerimaan, aspek sambutan, karakteristik, reaktif, interaktif, dan sebagainya.[15]
Selanjutnya untuk mengetahui hasil belajar siswa, maka digunakanlah penilaian sebagai bagian dari evaluasi. Sedangkan penilaian itu sendiri memiliki persyaratan khusus untuk dipenuhi, yaitu ; (1) validitas atau harus benar-benar dapat di ukur, (2) reliabilitas atau mempunyai ketetapan skor/hasil, (3) Objektivitas yaitu harus jelas, tegas, dan tanpa ada intervensi atau menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, (4) Efisien yaitu dapat digunakan dengan sedikit biaya, dalam waktu yang singkat, dan dengan hasil yang memuaskan, (5) Kegunaan/praktisan yaitu berguna bagi guru untuk memperoleh data tentang keadaan siswanya.[16]
Jika kelima kriteria tersebut di atas telah dilaksanakan dalam proses penilaian, maka dengan sendirinya seorang guru sudah dapat mengetahui hasil belajar siswa dalam hal menentukan jenis dan tingkat kesulitan belajar serta faktor-faktor penyebabnya, dapat menetapkan siswa mana yang memperoleh rangking atau ukuran dalam rangka kenaikan kelas, dan sebagai penyediaan data penempatan siswa pada sekolah jurusan berdasakan kemampuannya. Disamping itu pula, evaluasi hasil belajar memiliki tujuan-tujuan tertentu, yaitu;[17]
1. Memberikan informasi tentang pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan guru
2. Memberikan informasi tentang hal-hal yang mempengaruhi ketidak tercapinya tujuan pembelajaran yang dilaksanakan
3. Memberikan informasi tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajar melalui berbagai kegiatan belajar
4. Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk membina kegiatan-kegiatan belajar siswa lebih lanjut, baik keseluruhan kelas maupun masing-masing individu
5. Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa, menetapkan kesulitan-kesulitannya dan menyarankan kegiatan-kegiatan remedial (perbaikan)
6. Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa, menetapkan pengayaan (percepatan) materi pelajaran kepada mereka yang mencapai hasil belajar yang memuaskan
7. Memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mendorong motivasi belajar siswa dengan cara mengenal kemajuannya sendiri dan merangsangnya untuk melakukan perbaikan.
8. Memberikan informasi tentang semua aspek tingkah laku siswa, sehingga guru dapat membantu perkembangannya menjadi warga masyarakat dan pribadi yang berkualitas.
Memberikan informasi yang tepat untuk membimbing siswa memilih sekolah, atau jabatan yang sesuai dengan kecakapan, minat dan bakatnya.
Dalam batasan yang lebih sederhana, dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan prestasi adalah “hasil yang telah dicapai”.[18] Berdasarkan pengertian di atas maka prestasi berkenaan dengan hasil yang telah dicapai oleh anak didik dan dapat diukur melalui capaian hasil penguasaan materi pelajaran yang telah diberikan dengan cara melakukan evaluasi atau penilaian.
Prestasi sebagaimana dikemukakan dalam buku prestasi belajar dan kompetensi guru dikarang oleh Drs. Syaiful Bahri Djamarah mengemukakan bahwa : Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun kelompok .13 Mas′ud Khasan Abd Wahab juga mengemukakan bahwa prestasi adalah : Apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja.
Sedangkan menurut Nasrun Harahap dan kawan-kawannya mengatakan bahwa : Prestasi adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa yang berkenaan denga penguasaan bahan pelajaran yang disajikan pada mereka serta nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum.
Hasil belajar adalah pengukuran keseluruhan kegiatan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[19] Hasil belajar pada hakekatnya menunjuk pada prestasi belajar yaitu untuk mengukur penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai yang diberikan guru.
Selanjutnya untuk mengetahui hasil belajar siswa, maka digunakanlah penilaian sebagai bagian dari evaluasi. Sedangkan penilaian itu sendiri memiliki persyaratan khusus untuk dipenuhi, yaitu ; (1) validitas atau harus benar-benar dapat di ukur, (2) reliabilitas atau mempunyai ketetapan skor/hasil, (3) Objektivitas yaitu harus jelas, tegas, dan tanpa ada intervensi atau menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, (4) Efisien yaitu dapat digunakan dengan sedikit biaya, dalam waktu yang singkat, dan dengan hasil yang memuaskan, (5) Kegunaan/praktisan yaitu berguna bagi guru untuk memperoleh data tentang keadaan siswanya.[20]
2. Hal-hal yang mempengaruhi hasil belajar.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi hasil belajar sebagaimana uraian Sumadi Suryabrata terdiri atas:
a. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dan ini masih dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu : 1) Faktor-faktor non sosial, dan 2) faktor-faktor sosial.
b. Faktor –faktor yang berasal dari dalam diri si pelajar yang terdiri atas dua golongan yakni : 1) Faktor fisiologis, dan 2) faktor psikologis.[21]
Dalam pembahasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang akan menjadi fokus utamanya adalah faktor sosial anak didik sebagai faktor dari luar dirinya yang mempengaruhi hasil belajar. Upaya memfokuskan ini diharapkan dapat lebih memperkaya bahasan tentang faktor sosial yang searah dengan pembahasan dalam penelitian ini.
Sumadi Suryabrata mengemukakan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor soaial adalah faktor manusia (sesama manusia), baik manusia itu ada (hadir) maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan, dalam artian tidak secara langsung hadir dan mempengaruhi proses belajar. Faktor sosial dalam hal ini manusia yang cukup mempengaruhi adalah orang tua atau keluarga dekat sang anak. [22]
Mutu pendidikan mempunyai kaitan dengan kualitas lulusannya, sedangkan kualitas lulusan ditentukan oleh proses belajar. Prestasi belajar yang diraih mahasiswa setelah proses pembelajaran, mempunyai makna bagi mahasiswa bersangkutan maupun bagi lembaga pendidikan, karena prestasi belajar yang tinggi menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, sedangkan bagi lembaga pendidikan, prestasi belajar mahasiswa yang tinggi menunjukkan keberhasilan lembaga dalam proses pembelajaran.
Wittrock mendefinisikan belajar sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses melalui perubahan. Selanjutnya dikatakan bahwa erubahan yang terjadi akibat proses belajar, bersifat permanen dan meliputi perubahan dalamranah pengertian, sikap pengetahuan, informasi, kemampuan, dan keterampilan[23]. Sementara itu menurut Winkel bahwa belajar adalah aktifitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap[24]. Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan[25]
Hasil belajar, menurut Azwar, merupakan cerminan apa yang telah dicapai oleh siswa dalam belajar.[26] Disamping itu, hasil belajar sering digunakan sebagai suatu indikator kemampuan belajar, karena semakin tinggi hasil belajar dalam mata pelajaran terentu semakin tinggi tingkat kemampuan belajar dalam mata pelajaran tersebut[27]. Ditambahkan pula oleh Sudjana bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.[28]
Kingsley dalam Sudjana[29] membagi tiga macam hasil belajar, yakni:
a. Keterampilan dan kebiasaan
b. Pengetahuan dan pengertian
c. Sikap dan cita-cita
Sedangkan Gagne dalam Sudjana[30] membagi lima kategori hasil belajar, yakni:
a. Informasi verbal
b. Keterampilan intelektual
c. Strategi kognitif
d. Sikap
e. Keterampilan motorik
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotoris.11
a. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.
b. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
c. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran.
2. Hasil belajar peserta didik
Hasil belajar yang dicapai para siswa menggambarkan hasil usaha yang dilakukan oleh guru dalam memfasilitasi dan menciptakan kondisi kegiatan belajar siswa.[31] Dengan kata lain tujuan usaha guru itu diukur dari hasil belajar mereka. Oleh sebab itu, untuk mengatahui seberapa jauh tujuan itu tercapai, ia perlu mengetahui tipe hasil belajar yang akan dicapai melalui kegiatan mengajar.
Sistem pengajaran di sekolah sekarang ini mengelompokkan tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam tiga bidang. Yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik.[32] Sebagai tujuan yang hendak dicapai, tiga bidang tersebut harus nampak dan dipandang sebagai hasil belajar siswa dari proses pengajaran yang dilakukan oleh guru. Sebagai hasil belajar perubahan pada tiga aspek tersebut secara teknis dirumuskan dalam pernyataan verbal melalui tujuan pengajaran (tujuan intruksional).
Taksonomi yang dikembangkan oleh Benyamin S Bloom, merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi tujuan.[33]
Ada beberapa kritikus yang menyangkal manfaat taksonomi tujuan intruksional. Alasan mereka, dengan taksonomi, perilaku siswa dicoba dipisah-pisahkan menjadi beberapa kelompok. Padahal dalam kenyataannya perilaku siswa itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Perilaku manusia menurut mereka, bukan semata-mata kognitif, atau afektif, atau psikomotorik, melainkan perpaduan dari ketiganya. Meskipun pendapat mereka mungkin benar, ada baiknya kalau guru memperhatikan perilaku siswa dari segi kognitif, atau afektif, atau psikomotorik. Dengan demikian guru akan dapat menyelidiki lebih teliti mutu serangkaian tujuan instruksional.
Selanjutnya, tiap-tiap segi dari taksonomi tersebut diurai menjadi taraf-taraf yang tampak membentuk hirarki. Penguraian seperti ini dimaksudkan untuk mencoba menggolong-golongkan jenis perilaku siswa yang termasuk dalam tiap-tiap segi.
a. Segi kognitif
Segi kognitif memiliki enam taraf, meliputi pengetahuan (taraf yang paling rendah) sampai evaluvasi (taraf yang paling tinggi).
1) Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan mencakup beberapa hal, baik khusus maupun umum, hal-hal yang bersifat faktual, disamping pengetahuan yang mengenai hal-hal yang perlu diingat kembali seperti metode, proses, struktur, batasan, peristilahan, pasal, hukum, bab, ayat, rumus dan lain-lain.
Ciri utama ini adalah ingatan. Untuk memperoleh dan menguasai pengetahuan dengan baik, siswa perlu mengingat dan menghafal. Cara yang dapat digunakan adalah mengulang-ulang dengan menggunakan teknik mengingat memo teknik yang lazim disebut “jembatan keledai”.[34]
Dalam rangka evaluasi hasil belajar, pengetahuan hampir tidak menuntut lebih dari sekedar mengingat kembali suatu bahan tertentu.Tipe hasil belajar ini pada taraf yang paling rendah jika dibandingkan dengan hasil belajar lainnya. Meskipun demikian, tipe hasil belajar merupakan prasyarat untuk menguasai dan mempelajari tipe hasil belajar lain yang lebih tinggi. Misal, siswa yang ingin menguasai kecakapan shalat, harus lebih dahulu hafal bacaan-bacaan shalat.
2) Pemahaman (compherension)
Pemahaman lebih tinggi dari suatu tingkat dari pengetahuan yang sekedar bersifat hafalan. Pemahaman memerlukan kemampuan menangkap makna dari suatu konsep. Oleh sebab itu, diperlukan adanya hubungan antara konsep dan makna yang ada di dalamnya.
Pemahaman dapat digolongkan menjadi tiga. Pertama, penerjemahan, yaitu kesanggupan memahami makna yang terkandung di dalam suatu objek.misalnya, menerjemahkan kalimat bahasa Arab atau ayat Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia, mengartikan lambang Negara, Bhineka Tunggal Ika dan lain-lain. Kedua Penafsiran, seperti menafsirkan grafik, menghubungkan dua konsep yang berbeda, serta membedakan yang pokok dan yang bukan pokok. Ketiga, pemahaman ektrapolasi, yakni kesanggupan melihat di balik yang tertulis, tersirat dan tersurat, meramalkan sesuatu , atau memperluas wawasan.[35]
Ketiga macam tipe pemahaman di atas kadang-kadang sulit dibedakan dan bergantung kepada konteks isi pelajaran.
3) Penerapan (aplikasi)
Aplikasi adalah kesanggupan menerapkan abtraksi dalam suatu situasi konkret. Abtraksi dapat berupa prosedur, konsep, ide, rumus, hukum, prinsip dan teori.[36] Misalnya, menetapkan hukum yang baru dengan menggunakan metode qiyas. Micontoh lain yaitu dengan menerapkan dalil-dalil Al-Qur'an tentang birrul walidayn (berbakti kepada kedua orang tua) dalam perbuatan-perbuatan konkret. Jadi, dalam aplikasi harus ada konsep, teori, hukum , rumus dan lain sebagainya. Dengan perkata lain, aplikasi bukan merupakan keterampilan motorik tapi lebih banyak merupakan keterampilan mental.
4) Analisis
Analisis adalah kesanggupan mengurai suatu integritas (kesatuan yang utuh) menjadi unsur-unsur atau bagian yang mempunyai arti, sehingga hirarkinya menjadi jelas.[37] Analisis seperti di maksudkan untuk menunjukan cara, menimbulkan efek maupun dasar dan penggolongannya. Analisis merupakan tipe hasil belajar yang kompleks, yang memanfaatkan tipe hasil belajar sebelumnya, yakni pengetahuan, pemahaman dan aplikasi. Analisis sangat dipelukan bagi para siswa , Sekolah Menengah apalagi di Perguruan Tinggi.
Kemampuan menalar pada hakikatnya mengandung unsur analisis. Dengan memilki kemampuan analisis, seorang akan dapat mengkreasi sesuatu yang baru.
5) Sintesis
Sintesis adalah lawan dari analisis. Kalau analisis menekankan kesanggupan menguraikan suatu integritas menjadi unsur-unsur yang bermakna, maka Sintesis menekankan kesanggupan menyatukan unsur-unsur menjadi satu integritas. Dengan kata lain, Sintesis merupakan tipe hasil belajar dalam bentuk kegiatan menghubungkan potongan-potongan, bagian-bagian, unsur-unsur, dan sebagainya, serta menyusunnya sehingga terbentuk suatu pola atau struktur yang sebelumnya tidak tampak dengan jelas. Berpikir Sintesis adalah berfikir devergent , sedangkan analitis adalah berfikir convergent.
Dalam berfikir Sintesis diperlukan kemampuan hafalan, pemahaman, aplikasi, dan analisis. Dengan Sintesis dan analisis maka berfikir kreatif untuk menemuakn suatu yang inovatif akan lebih mudah dikembangkan.
6) Evaluasi
Evaluasi adalah kesanggupan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu berdasarkan kriteria yang dipakainya. Tipe hasil belajar ini dikategorikan paling tinggi, dan terkandung semua tipe hasil belajar yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis dan Sintesis.
Tipe hasil belajar evaluasi menekankan pertimbangan sesutau nilai, mengenai baik buruknya, benar salahnya, indah jeleknya, atau kuat lemahnya, dan sebagainya, dengan menggunakan kriteria tertentu. Membandingkan kriteria dengan sesuatu yang nampak, aktual atau terjadi akan mendorong sesorang untuk mengambil putusan tentang nilai sesuatu tersebut.
Taraf-taraf yang telah diuraikan di atas masih dapat dirinci menjadi beberapa kategori. Evaluasi, umpamanya, dapat dikategorikan ke dalam (a) evaluasi dengan menggunakan kriteria internal, dan (b) evaluasi dengan menggunakan kriteria external. Namun, kiranya apabila guru membagi taksonomi kognitif itu menjadi dua kategori saja (a) taraf yang paling rendah yaitu pengetahuan, dan (b) taraf lebih tinggi yang meliputi pemahaman sampai evaluasi. Pembagian ke dalam dua kategori ini sudah memungkinkan guru untuk mengenali proporsi tujuan yang termasuk taraf kognitif paling rendah. Ini merupakan kegunaan paling penting dari taksonomi kognitif, yaitu membuat guru tahu beberapa banyak tujuan yang ditentukannya termasuk ke dalam taraf paling rendah tersebut.
b. Segi afektif
Segi afektif dapat diuraikan menjadi lima taraf, tetapi guru barangkali akan mengalami kesulitan untuk menggolongkan tujuan pengajaran kedalam taraf-taraf ini. Walau bagaimana pun penggolongan ini sedikit banyak akan merangsang guru untuk memikirkan berbagai tujuan.
1. memperhatikan (receiving/attending)
taraf pertama ini berkenaan dengan kepekaan siswa terhadap rangsangan fenomena yang datang dari luar. Taraf ini dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu kesadaran fenomena, kesediaan menerima fenomena dan perhatian yang terkontrol atau terseleksi terhadap fenomena.
2. merespons (Responsding)
Pada taraf ini siswa sudah lebih dari sekedar memperhatikan fenomena. Ia sudah memiliki motivasi yang cukup, sehingga tidak saja mau memperhatikan, tetapi juga bereaksi terhadap rangsangan. Dalam ini termasuk ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.
3. Menghayati nilai (Valuing)
Pada taraf ini siswa sudah menghayati dan menerima nilai. Perilakunya dalam situasi-situasi tertentu sudah cukup konsisten, sehingga sudah dipandang sebagai orang yang sudah menghayati nilai.
4. mengorganisasikan
Pada taraf ini siswa mengembangkan nilai-nilai kedalam satu sistem organisasi, dan menentukan hubungan satu nilai dengan nilai yang lain, sehingga menjadi sistem nilai. Termasuk dalam proses organisasi ini adalah memantapkan dan memprioritaskan nilai-nilai yang tekah dimilikinya. Nilai-nilai itu terdapat dalam berbagai situasi dan pelajaran, terutama Sejarah dan Agama.
5. Menginternalisasi nilai
Pada taksonomi afektif tertinggi ini, nilai-nilai yang dimiliki siswa telah mendarahdaging serta mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Dengan demikian, ia dapat digolongkan sebagai orang yang memegang nilai.
c. Segi psikomotorik
Segi psikomotorik dapat diuraikan ke dalam taraf-taraf di bawah ini:
1) Persepsi
Taraf pertama dalam melakukan kegiatan yang bersifat motorik ialah menyadari objek, sifat atau hubungan-hubungan melalui alat indra. Taraf ini mencakup kemampuan menafsirkan rangsangan , peka terhadap rangsangan, dan mendiskriminasikan rangsangan. Taraf ini merupakan bagian utama dalam rangkaian situasi yang menimbulkan kegiatan motorik.
2) Kesiapan (set)
Pada taraf ini terdapat kesiapan untuk melakukan sesuatu tindakan atau bereaksi terhadap sesuatu kejadian menurut cara tertentu. Kesiapan mencakup tiga aspek, yaitu intelektual, fisis dan emosional.
Karenanya pada taraf ini terlihat tindakan sesorang bahwa ia sedang berkosentrasi dan menyiapkan diri secara fisis maupun mental.
3) Gerakan terbimbing (respons terbimbing)
Taraf ini merupakan permulaan pengembangan keterampilan motorik. Yang ditekankan ialah kemampuan-kemampuan yang merupakan bagian dari keterampilan yang lebih kompleks,. Respons terbimbing adalah perbuatan individu yang memberi contoh. Umpamanya, anak ikut menyapu halaman bersama orang tuanya.
4) Gerakan terbisaa
Pada taraf ini siswa sudah yakin akan kemampuannya dan sedikit banyak terampil melakukan suatu perbuatan. Di dalam dirinya sudah terbentuk kebisaaan memberi respons sesuai dengan jenis-jenis perangsang dan situasi yang dihadapi. Jadi, siswa sudah berpegang pada pola-pola.
5) Gerakan (respons) kompleks
Pada taraf ini siswa dapat melakukan perbuatan motoris yang kompleks, karena pola gerakan yang dituntut memang sudah kompleks. Perbuatan itu dapat dilakukan secara lancar, luwes, supel, gesit, atau lincah, dengan menggunakan tenaga dan waktu yang sesedikit mungkin.
Taraf yang disebut terakhir ini masih bisa dikembangkan dengan keterampilan menyesuaikan diri dan bervariasi. Lebih tinggi dari itu muncul kreativitas untuk berinisiatif dan menciptakan sesuatu yang baru. DAFTAR PUSTAKA
[1] Jean Piaget, Psychology and Education Hadder and Staughton, (London, Sydney-Aucland, 1997), h. 29, lihat juga Ahmadi Abu dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 119
[2] Danial Lenox, Barlow, Educational Psyichology: The Teaching-Learning Proces (Chicago: The Moody Bible Institute, 1985), h. 82. Lihat Juga, Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 60
[3] Gagne dalam Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Cet. XV; Bangung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 84
[4] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), h. 38
[5] Departemen Agama, RI., al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: Surya Cipta Aksara, 1993), h. 14
[6] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), h. 178
[7] Ibid., h. 31
[8] Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawaty, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, (Bandung : Remaja Rosda Karya, Cet II 2001)., 4
[9] Ahmad Rohani. Pengelolaan Pembelajaran. (PT Ridera Cipta: Jakarta, 2004), h. 67
[10] Ibid.
[11] Irfan Abd. Gafar dan Moh. Jamil B. RE-Formulasi Rancangan Pemmbelajaran Pendidikan Agama Islam. (Nur Insani: Jakarta. 2003), h. 22
[12] Oemar malik, kurikulum dan pembelajaran, (Jakarta: bumi aksara, 2003) h. 159
[13] Departemen Pendidikandan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1997 ), h. 787
[14] Tursten Husen, Masyarakat Belajar, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, t.th. ), h. 43
[15] Oemar Malik, Tekhnik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan, (Bandung: Mandar Maju, 1997)
[16] Oemar Malik, Kurikulum dan Pembelajaran,jakarta: bumi aksara 2003 h. 157
[17] Ibid
[18] Pius. A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry Kamus Iliah Populer, ( Surabaya : Arkola, 1994) h. 623
13 Syaiful Bahri Djamara,Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, (Surabaya:Usaha Nasional,1994,h.19-20
[19] Oemar Malik, kurikulum dan pembelajaran, (Jakarta: bumi aksara, 2003) h. 159
[20] Oemar Malik, Kurikulum dan Pembelajaran,jakarta: bumi aksara 2003 h. 157
[21] Ibid., h. 233
[22] Ibid., h. 234
[23] 3Thomas I. Good, Jere E. Brophy, Educational Psycology, A Realistic Approach, New York: Longman, 1990, h.124.
[24] W.S.Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo,1996.h.53.
[25] Muhibin Syah, Psikologi Pendiikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Rosda Karya, 1997,h.94.
[26] Saifuddin Azwar, Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h.14.
[27] Ministry Of Education and culture, Education Development in Indonesia, Jakarta: MOEC, 1997, h. 129.
[28] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, h. 22.
[30] ibid
[31] H.M. Suparta dan Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Amisco, 2002), h. 44
[32] Ibidi., h. 52
[33] Ibid.
[34] Ibid., h. 54
[35] Yunus Namsa, Metodologi Pengajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 34.
[36] Ibid, h. 35
[37] H.M. Suparta dan Herry Noer Aly, Op.Cit., h. 46
No comments:
Post a Comment