Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Thursday, June 2, 2011

Tafsir Hermeneutik

 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Lahirnya Tafsir Hermeneutik
Hermeneutika merupakan metode baru yang digunakan oleh pemikir muslim kontemporer dalam memaknai Al-Qur-an. Ilmu yang diadopsi dari barat ini berkembang pesat dibeberapa pusat kajian ke-islam-an juga dibeberapa perguruan tinggi Islam, terutama di Indonesia.
Hal ini tentu tidak dapat dipisahkan dari pengaruh hegemoni Orientalisme Barat dan Missionaris Kristen terhadap kajian ke-islam-an terutama pada periode abad XX-an. Pelajar muslim yang sudah belajar di Barat  menjadikan hermenuetika sebagai ‘oleh-oleh’ ke dalam dunia kajian islam.  Serta menjadikan hermenuetika sebagai sebuah metodologi dalam memahami teks, terutama Al-Qur’an dan Al-Hadits. Pada awalnya, metode ini sebenarnya digunakan untuk menafsirkan Bibel yang sudah terkontaminasi oleh kondisi para pengarangnya ketika kitab tersebut ditulis. Sejalan dengan perkembangan zaman, metode ini dibawa kedunia Islam untuk menafsirkan teks-teks keagamaan terutama Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan alasan kontekstualitas teks dan perkembangan zaman.[1]
Hermenuetika yang berasal dari tradisi Kristen kini telah menjamur sangat pesat di dalam kajian ke-Islaman. Metode ini dibawa oleh misionaris Kristen dan didukung oleh pelajar muslim yang belajar di Barat. Hermenuetika kemudian berkembang sebagai metode penafsiran Bibel yang kemudian dikembangkan oleh para teolog dan filosif di Barat sebagai sebuah metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. sejarah yang melatar belakangi lahirnya hermeneutika adalah sejarah pemalsuan kitab suci dan monopoli penafsiran pihak gereja. Baru setelah abad ke-20, anggapan ini dikembangkan oleh kaum terpelajar Muslim yang belajar di Barat, sehingga seakan-akan ummat Islam menghadapi persoalan dengan kitab suci mereka, seperti yang dihadapi ummat lain. Muncul Fazlur Rahman dan Arkoun, disusul Nashr Abû Zayd, Sebut saja Amin Abdullah dan lain – lain[2]

B.     Pengertian Hermeneutika
Istilah Hermeneutika, dipinjam dari bahasa Inggris, hermeneutics; kata yang sama sebelumnya dipinjam dari bahasa Yunani Kuno (Greek), hermeneuo, yang berarti mengartikan, menerjemahkan dan menafsirkan. Pada abad ke 17 dan 18 kata hermeneutika ini digunakan untuk menunjukakan ajaran tentang aturan – aturan yang harus didikuti dalam mengerti (memahami) dan menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, terutama kitab suci[3].

Istilah tersebut merujuk kepada seorang tokoh mitologis yang disebut Hermes, yaitu seorang utusan dewa yng bertugas menerjemahkan pesan Yupiter yang menggunakan bahasa langit agar lebih mudah dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa bumi. Hermes adalah tokoh yang banyak mewarnai  tradisi besar masa lampau, dalam tradisi yang berbahasa latin Hermes dikenal dengan sebutan Mercurius, sementara dalam peradaban arab islam, Hermes disebut sebagai Nabi Idris, dikalangan yahudi dalam mitologi mesir kuno Hermes dikenal sebagai dewa Toth yang tidak lain adalah Nabi Musa. Hermes  adalah penghubung dan penerjemah ajaran tuhan kepada manusia, yang tidak ubahnya seperti peran Nabi dan Rasul dalam islam. Gerhard ebeling membuat interpretasi yang banyak dikutip mengenai proses penerjemahan yang dilakukan hermes, menurutnya, proses tersebut mengandung tiga makna yang mendasar : 1) mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih berada dalam pikiran melalui kata – kata sebagai medium penyampaian, 2). Menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya masih samar – samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti, 3). Menerjemahkan suatu bahasa yang asing kedalam bahasa lain yang lebih dikuasai pemirsa.[4]
Dapat dipahami bahwa asosiasi hermeneutika dengan Hermes tidak lain untuk menggambarkan pentingnya proses dalam memahami sebuah teks., A. Karim Sourosh mengatakan bahwa Hermeneutika adalah penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema. Epistema —bahasa Yunani Kunonya, epistémé, atau bahasa Inggerisnya, epistemic— adalah teori pengetahuan tentang: (a) asal-usul, (b) anggapan, (c) karakter, (d) rentang, dan (e) kecermatan, kebenaran atau keabsahan pengetahuan. selanjutnya Arkoun mengetakan bahawa hermeneutika merupakan metode baru, digunakan untuk mengkaji asal-usul wahyu atau kalam Allah, dan al-Qur’an[5].
C.     Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir
Hermeneutika merupakan metode tafsir yang berkembang pesat dilingkungan gereja untuk memahmi pesan – pesan Yesus. Origen (Hidup Tahun 185 – 254) dikenal sebagai orang yang telah memperkenalkan metode itu untuk memahami ajaran – ajaran yesus. Dalam islam , Hasan Hanafi merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan hermeneutika, ungkapan itu menurut Ilham B. Saenong dalam bukunya Hermeneutika Pembebasan. Karya karya Hasan Hanafi dibidang hermeneutik terbilang klasik, bahkan jauh mendahului karya – karya yaang muncul dan lebih populer belakangan ini, seperti karya Fazrul Rahman, Arkoun, Farid Esack, Nasr Hamid Abu Zaid, Dan Muhammad Syahrur[6]. Tanpa harus–memperpanjang uraian tentang hermeneutik, perlu diketahui bahawa hermeneutika pada umumnya merupakan pembicaraan mengenai ”Metode Penafsiran” terhadap teks – teks, khusunya kitab – kitab suci. Di kemudian hari barulah hermeneutika dengan sengaja direfleksikan secara filosofis menjadi metode – metode penafsiran dalam disiplin ilmu – ilmu sosial – humaniora, seperti yang dilakukan oleh Schleirmacher dan terutama oleh Wilhem Dilthey. Hasan Hanafy menawarkan sebuah cara baca baru terhadap teks al – qur’an pada dimensi – dimensi liberasi dan emansipatoris dari Al – Qur’An.
Adian Husaini mengatakan bahawa Hermenuetika sangat cocok untuk menafsiri Bibel, karena konsep teks Bibel yang merupakan teks yang ditulis manusia yang mendapat inspirasi dari Roh Kudus. Sedangkan       Al-Qur’an memiliki konsep teks yang berbeda dengan Bibel, yaitu kitab yang tanzil, tafzhan wa ma’nan yaitu teks yang lafaz dan maknanya bersumber dari Allah.  maka metode hermenuetika ini tidak cocok untuk dijadikan alat Bantu dalam menafsirkan Al Qur’an. Namun Sebagian pendukung hermenuetika telah memasuki wilayah yang sangat rawan sehingga mempersoalkan dan menggugat otentitas Al Qur’an sebagai kitab yang lafazh dan maknannya dari Allah.
D.  Hermenuetika Sebagai Metode Baru dalam menafsirkan Al Qur’an
Dalam sejarah hermeneutika tafsir al – qur’an, setidaknya terbagi menjadi dua ; Hermeneutik Al – Qur’an Tradisional Dan Hermeneutik Al – Qur’an Kontemporer.
Dalam hermeneutik Al – Qur’an tradisional, perangkat metodologi yang digunakan sebatas pada lingustik dan riwayah.jadi belum ada rajutan sistemik antara teks, penafsir, dan audiens sasaran teks. Sedangkan hermeneutik Al – Qur’an kontemporer telah melakukan perumusan sistematis yang didalamnya suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tetapi penafsir di satu sisi dan audiens disisi yang lain.
Dalam tradisi study Al – Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting dalam pemahaman teks Al – Quran, sebab, nabi muhammad SAW, diyakini sebagai penafsir pertama terhadap Al – Qur’an. Dampak yang ditimbulkan dari aplikasi hermenuetika terhadap Al Qur’an sangat berbahaya, diantaranya :
1.      Para pengaplikasi hermenuetika akan dituntut untuk berpaham relativisme, artinya tidak ada tafsir yang tetap karena tafsir dipandang sebagai produk akal yang terbatas.
2.      Para hermenuetikan tidak akan segan-segan memberikan tuduhan yang membabi buta terhadap ulama islam. 
Muhamad Abduh pernah mengembangkan hermeneutik Al – Qur’an untuk masyarakat umum dan mengeitkannya dengan kehidupan sehari – hari. Pada akhir tahun 1980 – an, muncul hermeneutik Al – Qur’an feminis yang dikemukakan oleh Riffat Hasan, sepuluh tahun kemudian, muncul hermeneutik Al – Qur’an tetntang Pluralisme Religius dan pembebasan yang didasarkan pada ruang pengalaman sosial penafsir yang di munculkan oleh Farid Esack. Dalam peta hermeneutik Al – Qur’an kontemporer, masih banyak pemikir muslim yang membuat rumusan baru mengenai hermeneutik Al – Qur’an[7].
Kaitannya dengan tafsir di indonesia memenag telah melahirkan perubahan penting, yang ini tentu tidak lepas dari hermeneutik al – qur,an kontemporer, misalnya ; Argumen Kesetaraan Jender. Yang diungkapkan oleh  Nasarudin Umar tentang relasi antara laki – laki dan perempuan. Ia mengatakan itu tidak cukup menganalisi kata rajul dalam konteks bahasa, tetapi  didalam al – qur’an dipakai kata an nisa, al zakar, dan al – unsa. Kata rijal yang sering dipahami dalam pengertian jenis kelamin, ternyata dalam al – qur’an mempunyai makna yang beragam; gender laki – laki, orang, nabi atau rasul, tokoh masyarakat, dan budak[8].
Kebobrokan Tafsir Hermeneutika
Untuk membuktikan kebobrokan tafsir hermenutika —atau interpretasi-epistemologis— ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan menggunakan kerangka epistema, seperti yang dilakukan oleh Dr. Ugi Sugiarto, dosen ISTAC-UIA Kuala Lumpur. Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermenutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Dengan teori linguistik, mereka susun tahap wahyu untuk menjustifikasi keabsahan tafsiran mereka, yang sama-sama bersumber dari wahyu, Meski begitu, hermeneutika tetap tidak bisa menyelamatkan kitab suci mereka dari praktek pemalsuan, termasuk tidak lepas dari problem besar, Realitas ini tidak dihadapi ummat Islam. Ummat Islam tidak pernah menghadapi problem seperti ummat Yahudi maupun Kristiani, baik menyangkut soal pemalsuan kitab suci maupun monopoli penafsiran. Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh hermeneutika. Jika akal tidak tunduk pada kedua sumber tersebut, berarti al-Qur’an —seperti yang dituduhkan Arkoun— hanya menjadi alat justifikasi. Justru inilah yang menyandera tafsir hermeneutika Fazlur Rahman, Arkoun, Nash Abû Zayd dan kawan-kawannya.
Di sinilah letak persoalan metode tafsir hermeneutika yang mereka kembangkan, ketika anggapan-anggapan dasar yang seharusnya digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an semuanya dibuang, seperti akidah dan syariat Islam, misalnya. Justru anggapan-anggapan kufur sengaja dikembangkan dan menjadi asumsi dasar tafsir hermeneutika mereka, misalnya: Al-Qur’an Adalah Produk Budaya, Al-Qur’an Adalah Kompilasi Kata Tuhan Dan Kata Muhammad, Al-Qur’an Sudah Tereduksi Menjadi Korpus Resmi Tertutup, Dan Karenanya Harus Didekonstruksi[9]. Akibatnya, apa saja yang berbau syara’ harus dibuang, demi —apa yang mereka klaim sebagai— obyektivitas. Maka, teori hermeneutika yang memang lahir dari ranah budaya Yahudi dan Kristen itu, tentu tidak mampu untuk menjangkau apa yang dimaksud oleh al-Qur’an itu sendiri.
Dengan kerangka epistema seperti ini, teori hermeneutika juga tidak menyentuh nâsikh-mansûkh, atau penggunaan teks di luar konteks historisitasnya, sebagaimana yang dibakukan dalam kaidah: Al-‘Ibrah Bi ‘Umûm Al-Lafdhi La Bi Khushûsi As-Sabab. Sebab, keduanya bersumber dari sumber syara’. Dengan teori ini, ayat-ayat yang telah dinasakh dianggap masih berlaku, misalnya, surat Ali ‘Imrân [03]: 130, yang membolehkan riba, asal tidak berlipat ganda. Padahal, ayat ini sudah dinasakh dengan surat Al-Baqarah [02]: 278. Kasus yang sama juga berlaku pada ayat-ayat khamer, sehingga baik riba maupun khamer menjadi boleh. Inilah produk tafsir hermeneutika. Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: Muthlaq-Muqayyad, seperti dalam kasus As-Sâriqu Wa As-Sâriqatu surat Al-Mâ’idah (05): 38, yang muthlaq kemudian di-taqyîd dengan hadits: majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul hanya dianggap sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-Syâri’. Akibatnya, tindakan ‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik (‘âm ar-ramâdah) dianggap sebagai tidak menerapkan hukum potong tangan. Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq-muqayyad.
Dengan Rasul yang diposisikan sebagai tokoh historis,. Dari sini jelas, bahwa kebobrokan tafsir hermeneutika justru terletak pada kerangka epistemologisnya, ketika menolak anggapan yang justru terjebak dengan anggapan. Dan, ini yang mereka akui sendiri, atau seperti yang mereka sebut dengan hermeneutic circle. Masalah ini terjadi, karena tafsir hermeneutika merupakan bagian dari metode berfikir rasional, bukan metode ilmiah. Metode berfikir rasional, tidak bisa dipisahkan dari anggapan atau informasi. Maka, kebobrokan tafsir hermeneutika justru terjadi karena kebobrokan metode berfikirnya. Akibatnya, bangunan pemikiran yang lahir dari kebobrokan ini penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi..
Kesimpulan Secara epistemologis, hermeneutika —sebagai teori interpretasi-epistemologis—bukan dari Islam, tetapi merupakan produk Barat. Pengetahuan yang lahir dari akidah dan pandangan hidup yang berbeda dengan Islam. Sebagai metode berfikir, hermeneutika justru mengalami kebobrokan dari dalam, terutama ketika meniadakan anggapan-anggapan dasar, yang nota bene dibutuhkan oleh sebuah metode berfikir rasional seperti ini. Dan, sebagai teori interpretasi-epistemologis, atau kaidah penafsiran, tafsir hermeneutika hanya bisa digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an jika dibangun berdasarkan angggapan yang salah terhadap al-Qur’an. Seperti anggapan, bahwa al-Qur’an hanyalah produk budaya; al-Qur’an itu tunduk pada sejarah; al-Qur’an itu kompilasi Kata Tuhan dan kata Muhammad; al-Qur’an —karena kehendak sejarah, bukan karena perintah Tuhan. Dari sinilah, lahir tahap-tahap pewahyuan Arkoun, yang dipengaruhi oleh pandangan Paul Ricoeur itu. Begitu juga, ketika al-Qur’an hanya dianggap sebagai kitab sastra Arab, dan bukan kitab tasyrî’, maka keterbatasan hermeneutika itupun bisa digunakan untuk menjamah kitab suci ini. Namun, jika anggapan terhadap al-Qur’an itu benar, teori epistema seperti ini pasti tidak mempunyai tempat di sisi al-Qur’an yang mulia itu. Di atas semuanya itu, seperti keinginan Arkoun, semuanya itu dimaksud untuk melakukan sinkritisme, agar nilai kebenaran kitab suci itu bisa diterima oleh semua “ahli kitab” (Yahudi, Nasrani dan Islam), atau mengkompromikan Islam dengan kekufuran.


 Daftar Pustaka

[1] Sumber : Bulettin Al Hikam, Oktober 2008  Resentor : Syah Azis Perangin Angin
[2] September 21, 2007 oleh khalidwahyudin  Drs. Hafidz Abdurrahman, M.A.
[3] Ahmad hidayat, asep, Filsafat Bahasa, P.T Remaja Rosdakarya, Bandung 2006
[4] Saenong, ilham B, Hermeneutika Pembebasan, Teraju, Jakarta 2002
[5]  September 21, 2007 oleh khalidwahyudin  Drs. Hafidz Abdurrahman, M.A.
[6] Op.cit
[7] Gusmian, islah, Khazanah Tafsir Indonesia, Teraju, Jakarta 2003
[8] Saenong, ilham B, Hermeneutika Pembebasan, Teraju, Jakarta 2002
[9] September 21, 2007 oleh khalidwahyudin  Drs. Hafidz Abdurrahman, M.A.

No comments:

Post a Comment