Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Thursday, June 2, 2011

Pluralisme Agama di Indonesia


Pada era tahun 1970-an hubungan antar umat beragama memasuki perkernbangan baru dengan adanya upaya kerjasarna dalam rangka pembangunan bangsa. Kerjasama antar lembaga keagamaan tidak hanya nrencegah konflik, namun lebih dari itu, untuk berpartisipasi aktif dalarn proses perubahan masyarakat melalui moderenisasi. Kondisi ini berlangsung dan mengalami perkembangan sangat mengembirakan hingga akhir tahun 1990-an.[1]
Pada masa Orde baru upaya untuk merumuskan peran agama dalam relatif lebih jeias. Meskipun demikian bahwa upaya itu lebih bersifat state centered dari pada sociaty centered meminjam istilah Bahtiar Efendi. Maksudnya formulasi yang dihasilkan lebih merupakan inisiatif dari pihak negara dan kurang melibatkan elite yang ada pada tataran rnasyarakat bawah.[2] Konsep inilah yang membuat keutuhan kerukunan antar umat beragarna di masa orde baru cepat rapuh karena paling banyak melibatkan para elit penguasa dalam membicarakan hubungan antar umat beragarna, dan mengabaikan rnasyarakat pada tataran
masyarakat bawah atau akar rumput. Kondisi yang tidak menguntungkan umat beragama ini terjadi beberapa dekade pada masa pemeriniahan orde baru.
Sejak timbulnya reformasi yang menpiakibatkan tumbangnya orde baru, dialog antar umat beragama mengalami kemunduran bahkan di beberapa wilayah tertentu terjadi konflik antar pemeluk agama. Semula hubungan antar umat beragarna sangat harmonis tiba-tiba menjadi rentan terhadap terjafiinya konflik. Perselisihan kecil yang terjadi di antara orang perorangan bisa menjalar menjadi konflik besar yang bernuansa SARA.
Terkait dengan pandangan ini, Djohan Effendi, rnengatakan bahwa salah satu cara mempertahankan status quo rezim orde baru, rupanya pemerintah tidak cukup percaya dengan kekuasaannya sehingga selalu memainkan kartu di bawah dengan membiarkan sekat-sekat primordial tetap tajam dan menanam bibit-bibit potensi konflik horisontal yang demikian bisamuncul dua sudut pandang dalam melihat relasi antar umat beragama, yakni sudut pandang struktrral dan kultural. Sudut  pandang struktual adalah faktor non agama {dalam hal ini faktor politik) yang diikutsertakan dalam rnelihat problem hubungan antar agama Sedangkan dari aspek sudut pandang kulturai lebih rnengedepankan faktor pernahaman agama atau paham keagamaan itu sendiri dalam meiihat hubungan antar agama.[3]
Semua orang rnemahami bahwa Indonesia adalah sebuah negara plural khususnya dalarn aspek agama. Tidak saja lima agama yang hidup dan berkembang
Dan berbandingan satu sama lain, akan tetapi ada banyak lagi agama-agama lainya yang sekaliupun kenyataannya agama-agama tersebut tidak mendapat pengakuan dari Negara. Keragaman ini tentu saja merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Realitas keragaman agama merupakan berkah dan rahmat dari tuhan Tuhan yang perlu diapresiasi dan sekaligus merangkulnya sebagai suatu pemberian dari Tuhan kepada umatnya. Masalah yang tersisa adalah bahwa berkah ini tidak dapat diterima tanpa memberinya arti sebagai sebuah realitas kolektif yang dinamis
Kalu disimak pluralitas agama-agama bagi kaum pluralism adalah suatu kenyataan. Tetapi berdasarkan kenyataan diprerlukan suatu paham pluralism. Hal ini seseuai dengan definisi pluralisme yaitu suatu paham pluralitas. Karena iu tidak bisa disikapi bahwa pluralitas diterima sebagai kenyataan. Sedangkan pluralitas ditolak sebagi suatu paham. Kesalah pahaman tentang, atau kecurigaan, misalnya karena pluralise itu dikaitkan dengan idiologi politik tertentu atau dengan konspirasi global dari barat.[4]
Menurut Nurcholish Majid, kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah sebuah kenyataan yang telah terjadi kehendaak Tuhan. Jika dalam kitap suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam A-Qur’an Surat Al-Hujarat : 13:
(Maaf Tidak Bisa di Tampilkan, Sahabat bisa menggunakan Aplikasi Quran In Word)
Terjemahnya:
Hai manusia" Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-rnengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara karnu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[1]

Pluralitas memrrut Nurcholish Majid, meningkat menjadi pluralisme yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Juga terdapat penegasan tentang kemajemukan dalam pandangan dan cara hidup antara manusia yang tidak perlu digusarkan dan hendaknya dipakai sebagai pangkal tolah untuk berlomba-lomba menuju berhgai kehikan.[2]
Dalam kitab suci juga disebutkan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan yang positif,, yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah, Surat Ar rum : 22 :




Ayat;;




Terjemahannya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah mencipakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.[3]

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, baik negara maupun MUI tidak berhak menyatakan bahwa agama yang satu benar dan aganra yang lain salah atau yang satu sesat dan menyesatkan. Semua agama harus dianggap benar, tetapi benar menurut keyakinan pemeluk agama masing-rnasing. Pandangan ini merupakan landasan bagi keadilan, persamaan hak, dan kerukunan antar umat beragarna.[4]
Untuk menghindari kontroversi tentang pluralisme, menurut M. Amin Abdullah, sebagaimana dikuiip oleh Dawam Rahardjo, maka yang pertu dijelaskan adalah apa maksud pandangan bahwa semua agama itu baik dan benar ?.
Pertama, pernyataan bahwa semua agama itu baik dan benar perlu dijelaskan dengan arif dan bijaksana. Ini  didasarkarn pada kenyataan bahwa setiap pemeluk agama akan berkeyakinan bahwa klaim kebenaran agama merekalah yang paling baik dan benar. Oleh karena itu pernyataan bahwa sesunggguhnya agama yang diterima di sisi Allah itu (hanya) Islam hanya benar bagi orang Islam. Sedaagkan umat Kristiani
tenrtu akan berpendapat bahwa keselamatan hanya ada dalam (iman kepada) Kristus, sebagaimana dinyatakan oleh Vatikan sebelum tahun 1965. Setelah itu konsili Vatikan mengakui bahwa keselamatan itu juga terdapat (bisa rnelalui) agama-agama lain
Kedua, kebenaran dan keselamatan agama itu ada dua macam. Yang pertama kebenaran ekslusif, yang kedua kebenaran iriklusif. Kebenaran ekskulusif adalah kebenaran tertentu yang hanya diyakini dalam agama tertentu. Misalnya doktrin Trinitas. Umat Islam tidak nnrngkin rnenerirna doktrin tersebut. Namun doktrin itu bersifat fundamental bagi umat Kristen. Sedangkan ajaran cinta kasih dalam agama dalam Kristen merupakan kebenaran inkiusif yang bisa diterima oleh pemeluk semua agama.
Ketiga, semua agama itu sana, dalam arti semua itu dalam perspektif masing-masing agama pada hakekatnya merupakan jalan menuju kebenaran dan kebajikan. Tidak ada agarna mengajarkan kesalahan dan keburukan Namun memang subtansi dari kebenaran dan kebaikan itu berbeda dari suatu agama ke agama yang lain.
Keempat, setiap agama mendukung kebenaran bukan saja bagi pemeluk agama yang bersangkutan tetapi juga bisa di lihat oleh pemeluk agama yang lain. Sebagai contoh, umat Islam dan Kristen bisa memetik kebenaran dari kitab Baghwatgita atau buku-buku Taotisrne dan Konfusianisme. Itulah sebabnya Raja penyair pujangga baru, yang juga dianggap seorang sufi..Tidak ada salahnya atau


tidak berdosa bagi kaum pluralis untuk mengutif hikmah dari ajaran agama-agama lain dalarn khotbah di masjid atau di gereja.
Kelima, terdapat kesamaan antara agama-agama. Misalnya ajaran The Ten Commantments atau sepuluh Perintah Tuhan dari agama Yahudi, dapat ditemui juga pada agama-agama lain. Ajaran puasa juga dapat ditemui pada agama-agama lain, walau tidak semua pemeluk agama lain bisa menganggap bahwa ajaran puasa itu adalah suatu ajaran yang benar, karena tujuannya adalah mendidik kemarnpuan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu.
Keenam, semua agama itu pada lahir atau detailnya atau pada tingkat syari'at memang bervariasi, karena pada tingkat itu sudah berperan pemikiran dan perumusan manusia yang dipengaruhi oleh kondisi dan sejarah. Namun pada tingkat yang lebih tinggi (tarekat dan makrifat) akan dijumpai persamaan-persanraan dan pada akhirnya mencapai titik temu pada tingkat trensenden (hakikat). Inilah teori yang disebut trancendent unity yang dikembangkan, baik teolog Kristen maupun rnuslim.
Walaupun dalam wacana timbul pro-kontra. Di lingkungan Islam, teori semacam ini dikemukakan oleh para sufi seperti al Hallaj, Ibn al Araby, dan Jalaluddin Rumi.
Ketujuh, semua agama dipandang sama dan benar dimaksudkan sebagai pandangan yang halus diambil oleh negara atau pemerhtalr Sebab negara harus bersikap adil setiap individu dan kelompok. Tidak boleh berpandangan bahwa suatu agama saja yang baik dan benar, sedangkan yang lain salah. Inilah sebenarnya salah satu unsur dari sekuralisme yang dianut dalam sebuah negara yang demokratis, termasuk di Indoneisa. Tapi di indonesia sendiri yang beridiologi Pancasila, juga
memandang setiap agama itu benar dan baik. Dengan demikian setiap agama diharapkan berkonstribusi terhadap pembangunan negara dan masyarakat. Pada hal Al Quran telah mensinyalir akan munculnya bentuk truth claim. Klaim kebenaran yang muncul baik dalam intern umat beragama maupun pada antar urnat beragama. Kedua-duanya, sama-sama tidah pavorit dan tidak kondusif bagi upaya membangun
tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.[5]
Pemahaman pluralisme dalam bingkai bhineka tunggal ika merupalian asset bangsa yang sangat menguntungkan bila dilihat dari aspek ekonorni serta menguntungkan bagi proses pembelajaran dan pemahaman bahwa masyarakat berbeda-beda tetapi satu dalam kesatuan sosial. Delam arti belajar dari perbedaan yang ada akan memunculkan pemahaman  hidup dalam konaunitas yang berbeda-beda tanpa harus melihat perbedaan menjadi pengahalang bagi suatu
persahabatan dan kerjasama. Akan tetapi pluralisme akan menjadi bencana kalau masyarakat tidak belajar dan berusaha menghargai perbedaan yang ada Akibatnya pluralisme akan berubah rnenjadi bom waktu yang akan rneledak kapan dan dimana saja. Inilah dilema pluralisme kalau tidak dikelola
Baidhawy mengatakan bahwa.

Pluralisme agama yang terungkap dalam kebebasan beragama berdasarkan pada konsep individualistik tentang hak-hak univrsal dalam persamaan prinsip fonnal. Pluralisme agama diartikulasikan dalam hak-hak kolektif denominasi diperbagian atas dasar gagasan tentang hak-hak parsial dan hakhak khusus kelompok dan mengandaikan ketidaksamaanm formal.[6]

Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku./etnik, bahasa, budaya clan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda Tapi, pluralism harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama oleh negara (pemerintah).
Problem sekarang adalah bagaimana mempertahankan dan mengembangkan masyarakat yang plural ini menjadi kesatuan yang dinamis dan konstruktif seiring dengan emansipasi penuh. Pertanyaan ini menuntut perhatian penrerintah dan pimpinan agama untuk iebih pro aktif menyikapi keberagaman dalam masyarakat dengan tetap memberikan kontibusi nyata terhadap agenda demokrasi dan nondiskriminasi.
Pluralisme adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan dan kekhasan. Karena itu pluralisme tidak dapat terwujud kecuali sebagai atitesis dan objek kornparatif dari keseragaman dan kesatuan (unity) yang merangkurn seluruh dimensinya. Pluralisme tidak bisa disematkan pada situasi cerai-berai dan permusuhan yang tidak memiliki ikatan persatuan dan persaudaraan yang mengikat semua pihak dari kepelbagial perbdaan yang ada. Anggotanya suatu keluarga rnerupakan contoh pluralisme dalam skop kecil dalarn kerangka kesatuan keluarga atitesis darinya Tanpa ada kesatuan yang mencakup seluruh segi maka tidak dapat dibayangkan adanya kemajemukan, keunikan dan pluralisme.[7]

Atas dasar uraian di atas, maka agar tidak menimbulkan pro-kontra tentang pluralisme maka yang perlu dijelaskan bahwa pandangan semua agama itu baik dan benar. Pernyataan bahwa semua agama itu baik dan benar perlu dijelaskan dengan Keterangan” bagi Para Pemeluknya.
Kebersamaan adalah ungkapan lain dari persatuan dan kesatuan, dalam konteks ke Indonesia-an. Membangun persatuan dan kesatuan adalah perjanjian luhur bangsa Indonesia. Di dalamnya tersirat satu janji yang diikrarkan, bahwasanya kelestarian bangsa dan Negara Indonesia hanya akan dijamin apabila persatuan dan kesatuan dipelihara serta dibina.
Sinyalemen ini terbukti dalam sejarah umat manusia, banyak peperangan yang diberi label agama terjadi di Indonesia khususnya dan di belahan dunia umumnya Di Indonesia pun untuk tujuh tahun terakhir ini mengalami hal serupa. Kerusuhan terjadi di beberapa daerah antara lain rli Sutubonda, Tasikmalaya, Kupang, Sambas, Ambon bahkan di Poso konfliknya sampai tulisan ini masih mengalami perluasan daerah.
Kondisi ini tentu saja sangat mengagetkan, sebab konon orang-orang Indonesia sangat toleran satu agama dengan agama lainnya. Perbedaan agama di Indonesia bukanlah gejala baru, sebab itu sudah ada sejak dulu. Sejak dulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang penuh tenggang rasa. Rasa sinyalemen ini tidak terlalu keliru kalau memperhatikan berbagai kehidupan asli di aras akar rumput masyarakat pedesaan di Indonesia. Konflik-konflik dengan emosi keagamaan itu
hampir tidak terjadi. Sayang sekali situasi damai seperti itu diusik secara brutal oieh berbagai kepentingan sempit dari pihak-pihak yang menginginkan orang lain celaka demi kepentingan sendiri.


 DAFTAR PUSTAKA

[1] Departemen Agama  RI, Al-Qur'an dan Terjemahanya,  (Semarang: Karya Toha Putra, 1999), h.421.
[2] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan, dan kemoderenan, Cet (Keenpat, Jakarta Yayasan Paramadina, 2000), hlm. Xxv.
[3] Ibid, h. 324
[4] Dawan Rahardjo
[5] M. Amin Abdulah, Studi Agama, Normarivitas atca Historistas?, (Jogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. 1, 1996) hlm. 68.
[6] Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agarna, Konflik dan Nirikekerasan ( Jogyakarta,
LESFI, 2002) hlm. 23.
[7] Muhammad lmarah, Islam d^m ffurelitas; Perbedaan dan kenajemuknn dalan Eingkai
Persaluan ( Jakarta Gema Insani, 1999)hhn. 9


[1] Hasyim Muhammad, Kristologi Qur’ani, telaah kontekstual doktrin kekristenan dalam al-qur’an (Jogyakarta, Pustaka pelajar, 2005). h. 2.
[2] Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, perbincangan mengenai Islam, masyarakat madani dan etos kewirausahawan (Jogyakarta, Galang Press, 2001). hlm.18.
[3] Djohan Efendi, Dalam pengantar buku Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis Wacana Kaum Beriman, (Jakarta SriGunting, 2004), hlm. XLI-XLII
[4] Dewan Rahardjo, Demi Toleransi Plularisme, Editor Ihsan Ali Fauzi, et. el, (Jakarta, Paradima, Jakarta, 2007). hlm. 189. 

No comments:

Post a Comment