Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Tuesday, October 25, 2011

Faktor-Faktor Ketidakadilan Gender

Munculnya berbagai ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan di atas, disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Masdar F. Mas’udi, pangkal mulanya adalah disebabkan adanya pelebelan sifat-sifat tertentu (streotype) pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan. Misalnya, bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional ketimbang nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah, dan sebagainya. Berdasarkan pelebelan sifat-sifat manusia kelas dua inilah ketidakadilan terjadi atas mereka. Menurut Masdar F. Mas’udi, ada empat persoalan yang menimpa perempuan akibat dari adanya pelebelan ini, yaitu:[1]
Pertama, melalui proses subordinasi. Yaitu meletakkan perempuan di bawah supremasi lelaki, perempuan harus tunduk kepada sesama manusia, yakni kaum lelaki. Pemimpin atau imam hanya pantas dipegang oleh lelaki; perempuan hanya boleh menjadi makmum saja. Perempuan boleh sama menjadi pemimpin, tetapi hanya terbatas pada kaumnya saja; misalnya di Dharma Wanita, Muslimat, Aisyiah, Fatayat dan sebagainya yang fungsinya adalah untuk mendukung kegiatan utama lelaki.
Kedua, adanya marginalisasi perempuan. Yaitu perempuan cenderung dimarginalkan, yaitu diletakkan di pinggir. Dalam rumah tangga perempuan adalah konco wingking di dapur. Dalam kegiatan masyarakat, perempuan paling tingg hanya menjadi seksi konsumsi atau penerima tamu. Mungkin karena posisinya yang dianggap tidak penting ini, maka pendidikan untuk kalangan perempuan pada umumnya seperlunya saja. Pantas sampai hari ini  pun, ketika dunia sudah harus mamasuki abad informasi, abad pengetahuan, dua pertiga dari penduduk bumi yang buta huruf adalah perempuan. Di kalangan umat Islam, sebagai umat pemeluk agama yang paling maju dalam mempromosikan ilmu pengetahuan ternyata sangat sedikit jumlah ulama perempuan. Ibarat mencari emas dari gundukan pasir. Padahal, sepanjang sejarah jumlah perempuan selalu lebih banyak dibandingkan jumlah lelaki.
Ketiga, perempuan berada di posisi yang lemah, karenanya perempuan sering menjadi sasaran tindak kekerasan (violence) oleh kaum laki-laki. Bentuk kekerasan itu mulai dari digoda, dilecehkan, dipukul atau dicerai. Lebih menyakitkan lagi adalah diperkosa dengan segala kegerlintirannya yang jauh lebih berat dan berkepanjangan daripada yang diterima oleh pihak lelaki yang memperkosanya. Atau kalau orang bilang perempuan diyakini lebih konsisten dalam mempertahankan kehidupan keluarganya, lebih tinggi loyalitasnya kepada suami (lelaki) sebagai pasangan hidupannya dibanding loyalitas suami terhadap istri. Lebih lanjut Masdar mengatakan, kenapa yang memiliki hak untuk menjatuhkan talak justru si suami, bukannya istri atau keduanya secara bersama-sama? Selanjutnya setelah diceraikan, untuk dapat menikah kembali dengan lelaki lain perempuan harus menunggu masa iddah yang acapkali berfungsi sebagai masa berkabung, sementara yang lelaki tidak.
Dan keempat, akibat ketidakadilan gender itu perempuan harus menerima beban pekerjaan yang lebih jauh lebih berat dan lebih lama dari pada yang dipikul kaum lelaki. Lelaki yang paling aktif maksimal bekerja rata-rata 10 jam/hari. Sedangkan perempuan bekerja 18 jam/hari. Beban ini pada umumnya dianggap remeh oleh lelaki, karena secara ekonomi dinilai kurang berarti. Kalau demikian halnya, menurutnya, kenapa perempuan tidak diizinkan untuk bekerja di luar rumah pada sektor produksi untuk meraih perolehan ekonominya sendiri, sehingga dengan demikian, ia tumbuh menjadi lebih independen terhadap kesewenang-wenangan suaminya.     
Sejalan dengan Masdar Farid Mas’udi, Mansour Fakih mengemukakan lima faktor yang menyebabkan pengingkaran dan diskriminasi terhadap perempuan. Pertama, pemiskinan ekonomi terhadap perempuan. Banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat kebijakan pertanian, yaitu kebijakan revolusi hijau, yang menfokuskan pada petani laki-laki. Kebijakan ini didasari pada asumsi bahwa petani itu identik dengan petani laki-laki, sehingga petani perempuan tergusur bersama dengan tergusurnya ani-ani. Kredit pertanian juga lebih menguntungkan kaum lelaki dan training-training pertanian lebih banyak ditujukan untuk petani lelaki. Di luar dunia pertanian, banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan yang dinilai lebih rendah, sehingga penilaian ini berpengaruh pula kepada perbedaan gaji antara yang diterima kaum lelaki dengan yang diterima kaum perempuan.
Kedua, subordinasi pada salah satu jenis kelamin. Subordinasi adalah perlakuan menomorduakan perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa menganggap penting perempuan. Atau dengan kata lain, perempuan diperlakkukan berbeda dengan laki-laki. Misalnya, perempuan tidak boleh sekolah tinggi, karena akan sia-sia saja, sebab tugas perempuan yang pas hanyalah di dapur. Karena perempuan dianggap emosional, dia tidak tepat untuk meminpin partai atau menjadi menager. Hal ini sebagai perwujudan dari subordinasi dan diskriminasi yang disebabkan oleh gender. Contoh lainnya, selama berabad-abad, atas alasan agama, perempuan tidak boleh memimpin apa pun, termasuk masalah keduniaan, tidak dipercaya untuk memberikan kesaksian, bahkan tidak berhak mendapatkan harta warisan.
Ketiga, pelebelan negatif (stereotype) terhadap perempuan yang menyebabkan terjadinya berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Misalnya, realitas dalam masyarakat yang memposisikan kaum lelaki sebagai pencari nafkah, mempengaruhi pekerjaan yang dilakukan perempuan dianggap sebagai tambahan dan boleh dibayar rendah. Dengan alasan itulah, maka gaji supir dalam suatu keluarga dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan gaji seorang pembantu, padahal tidak ada jaminan bahwa pekerjaan supir lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan pembantu.
Keempat, tindak kekerasan (violence) yang sering menimpa kaum perempuan yang disebabkan adanya perbedaan gender, seperti pemerkosaan, pemukulan dan pelecehan seksual (sexual harassment). Perbedaan gender dan sosialisasinya yang sudah cukup lama dalam masyarakat, menempatkan perempuan sebagai kaum yang lemah secara fisik, sedangkan lelaki lebih kuat. Anggapan seperti ini sering menjadi penyebab langsung terjadinya berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh kaum lelaki terhadap kaum perempuan.
Kelima, perempuan menanggung beban kerja domestik  lebih banyak dan lebih lama (burden). Dalam masyarakat terbentuk tradisi yang mengukuhkan peran perempuan yang bertanggungjawab atas urusan rumah tangga (pekerjaan domestik), seperti menjaga dan merapikan rumah. Sementara itu, dalam realitasnya, masih banyak kaum lelaki, yang secara adat dilarang untuk ikut berpartisipasi untuk mengerjakan tugas-tugas domestik. Karena itulah, maka beban kerja yang harus dipikul oleh kaum perempuan yang bekerja di luar rumah – berperan ganda – menjadi lebih berat. Bagi wanita karir seperti ini, selain bekerja di luar rumah, mereka juga harus bertanggungjawab untuk keseluruhan pekerjaan domestik. Bagi yang berekonomi cukup, pekerjaan domestik ini bisa dilimpahkan kepada pembantu – dan ini juga sering menimbulkan banyak  masalah.[2]
Sedangkan menurut Mohammad Yasir Alimi terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan gender disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor budaya, dalam masyarakat kita budaya yang cenderung male chauvinistic masih ada – kaum lelaki masih menganggap diri dan dianggap sebagai makhluk yang kuat dan superior. Kecenderungan ini bisa terjadi karena adanya pengaruh budaya/kepercayaan lokal (adat) ataupun pengaruh tafsir agama, sebagimana yang dikesankan kalangan feminis atas penafsiran yang bias jender.[3] Menurut Nasharuddin Umar, hal ini disebabkan oleh (1) belum jelasnya perbedaan antara sex dan gender dalam mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan, (2) pengaruh kisah-kisah Israillahiyah yang berkembang luas di kawasan Timur Tengah, (3) metode penafsiran yang selama ini banyak mengacu kepada pendekatan tekstual, daripada kontekstual, dan (4) kemungkinan lainnya pembaca tidak netral menilai teks ayat-ayat al-Qur’an atau terlalu dipengaruhi oleh perspektif lain dalam membaca ayat-ayat jender, sehingga dikesankan seolah-olah al-Qur’an memihak kepada laki-laki dan mendukung sistem patriarki yang dinilai oleh kalangan feminis merugikan perempuan. Pemahaman bias jender bisa diakibatkan misalnya, oleh pembacaan ayat-ayat jender secara persial. [4] 
Dalam masyarakat, kecenderungan male chauvinistic, diperkokoh dengan ideologi misoginis (sikap benci terhadap perempuan) dan ideologi patriarkhis (pandangan bahwa laki-laki berkuasa atau dominan atas perempuan di dalam keluarga ataupun dalam masyarakat).
Kedua, faktor hukum, baik isi hukum (conten of law), budaya hukum (culture of law), maupun proses pembuatan dan penegakan hukum (structure of law). Hukum yang dibuat oleh negara seringkali diskriminatif terhadap perempuan, karena pembuat hukum  tidak peka terhadap kebutuhan masing-masing jenis kelamin (gender blind) dan tidak memahami kebutuhan spesifik yang khas perempuan. Hukum yang demikian itu, juga dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang tidak peka terhadap masalah gender dan didukung oleh budaya yang cenderung male chauvinistic seperti di atas. Itulah lingkaran konspirasi budaya (agama) dan sistem politik: yang mengingkari hak-hak perempuan.[5]
Dari beberapa pendapat yang berkembang, Iskandar Ritonga menyimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah disebabkan faktor, (1) adanya penafsiran terhadap teks-teks keagamaan (Islam) yang bias gender (2) adanya konsruksi sosial (adat dan budaya) yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sederajat dengan laki-laki, (3) adanya pelebelan yang merugikan kaum wanita, (4) adanya aturan hukum yang diskriminatif gender, dan (5) sikap  penegak hukum yang tidak peka terhadap masalah gencier.[6]
Semua manilestasi ketidakadilan gender di atas menunjukkan adanya saling keterkaitan dan secara dialektika, saling mempengaruhi yang kemudian tersosialisasi, baik kepada kaum laki-laki maupun perempuan, secara mantap dan lambat laun mengakibatkan lelaki maupun perempuan meniadi terbiasa. Akibatnya, dipercayai bahwa gender itu seolah-olah merupakan kodrat dan lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “dapat diterima” dan tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang salah. Munculnya berbagai ketidakadilan; tindakan diskriminatif- terhadap perempuan,  menurut Bainar, dikarenakan sistem dan struktur yang tidak adil. Menurutnya, realitas adanya bias gender dan diskriminasi tersebut, merupakan produk dari sebuah konstruksi realitas sejarah yang berjalan, yang mungkin saja ditafsir dan dikonstruksi oleh dominasi laki-laki, atau juga diproduk dan dikonstruksi oleh ketidakadilan.
Adanya ketimpangan dan ketidakadilan gender di atas, semakin jelas setelah muncul beberapa teori sebagai instrumen pembedah munculnya berbagai ketidakadilan dan ketimpangan gender, khususnya di Indonesia, seperti teori femenis, baik yang bersifat liberal, radikal maupun yang sosialis. Menurut teori pertama, bahwa masalah yang menimpa kaum perempuan adalah akibat dari kondisi individual dari kehidupan mereka sendiri, yakni kebodohan dan sikap irrasionalitas yang melekat pada pribadi-pribadi manusia perempuan. Tidak ada urusan keterbelakangan yang diderita kaum perempuan dengna ketimpangan struktural yang didominasi oleh kaum lelaki. Satu-satunya jalan bagi penyelesaian bagi kemelut perempuan dalam hubungannya dengan kaum lelaki adalah pendidikan dan partisipasi mereka dalam modernisasi pembangunan.[7]
Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan ekualitas berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya hak dan kesempatan kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu ada pembedaan kesempatan antara lelaki dan perempuan. Hal ini katena adanya asumsi bahwa perempuan adalah makhluk rasional juga. Oleh karena itu, ketika menyoal mengapa kaum perempuan tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hai itu disebabkan oleh salah mereka sendiri. Dengan kata lain, jika sistemnya sudah memberikan kesempatan yang sama kepada lelaki dan perempuan, kemidian perempuan tidak mampu bersaing dan kalah, maka yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan sendiri. Patut ditambahkan bahwa kelompok pendudukung teori femenis liberal ini mendasari gerakannya pada prinsip-prinsip filsafat liberal, yang meyakini bahwa setiap orang  diciptakan dengan hak-hak yang sama. Untuk itu, setiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Karena hal tersebut belum diberikan kepada perempuan, maka kelompok ini menuntut pelaksanaannya. Menurut Farha Ciciek, untuk mencapai tujuan ini mereka menempuh dua cara. Pertama, mengadakan gerakan penyadaran. Kedua, menuntut pembaharuan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan.[8] Diantaranya dengan cara merubah undang-undang yang menempatkan suami sebagai kepala rumah tangga hal ini menurut mereka tidak sesuai dengna konsep kebebasan individu untuk mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Konsep kepala keluarga ini menurut mereka dapat membuat perempuan menjadi terus tergantung pada laki-laki.[9]
 Atas dasar itu, untuk memecahkan masalah kaum perempuan, mereka mangajukan cara menyiapkan kaum perempuan untuk bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas tersebut. Sebagaimana dari usaha ini dapat dilihat, misalnya dalam program women in development (WID), yakni dengan menyediakan program intervensi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga, seperti pendidikan, keterampilan, serta kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan perempuan untuk mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Pendekatan yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum perempuan itu problemnya terletak pada kaum perempuan sendiri, sehingga diperlukan usaha untuk menggarap kaum perempuan kini diperlakukan sebagai mainstream dalam memecahkan masalah kaum perempuan. Bagi mereka, diskriminasi akibat idiologi patriarki seperti yang diyakini oleh fenisme radikal maupun analisis atas struktur kelas politik ekonomi serta gender seperti faham fiminis sosialis tidaklah dipertanyakan. Bagi mereka, sejak awal perempuan dianggap sebagai masalah (anomaly) bagi ekonomi modern atau partisipasi politik maupun pembangunan. Keterbelakangan kaum perempuan bagi mereka adalah akibat dari sikap irrasional yang bersumber dari berpegang teguh pada peran gender tradisional. Oleh karena itu, melibatkan perempuan dalam industrialisasi dan pembangunan dianggap sebagai jalan untuk meningkatkan status perempuan. Keduanya dianggap akan berakibat positif pada perempuan, yakni akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara lelaki dan perempuan.[10]
Analisis ini mendapat kritik dari feminis radikal. Mereka adalah yang mengedepankan relasi seksual sebagai isu yang mendasar. Kelompok feminis radikal ini berjuang untuk melenyapkan struktus patriarki yang terdapat dalam masyarakat. Kelompok paling ekstrim feminis lesbian dari varian ini malah sama sekali memutuskan hubungan dengan laki-laki. Mereka beranggapan bahwa dalam relasi heteroseksual terletak kekuatan kaum laki-laki, modal untuk mendominasi perempuan..[11] Menurut teori femenis radikal, unsur seksual atau biologis memainkan seiumlah peranan penting dalam politik alamiah hubungan antar kelamin tersebut. Karena itu, menurut mereka penyebab ketidakadilan pada perempuan sepenuhnya terletak pada dominasi kaum lelaki. Sejak awal sejarah, dunia ini dikuasai oleh oleh idiologi patriarki, yang menganggap lelaki secara kodrati memiliki superioritas atas kaum perempuan, bukan saja dalam kehidupan pribadi; keluarga dan masyarakat, tetapi juga dalam arena kehidupan negara. Untuk membongkar ketidakadilan ini, adalah dengan cara membongkar dominasi kelelakian (patriarki) di semua tingkatan, mulai dari tingkat keluarga sampai dengan negara. Mereka menginginkan posisi perempuan harus seimbang atau lebih dominan daripada posisi kaum lelaki.[12]
Dengan demikian, menurut teori ini, bahwa kaum lelaki secara biologis maupun secara politis adalah bagian dari pernasalahan. Sementara masalah pokoknya adalah patriarki yang merupakan sistem hierarki seksual di mana lelaki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi.
Pandangan analisis pendukung teori ini, dianggap ahistoris oleh golongan feminis Marxist.[13] Meskipun kelompok femenis radikal menggunakan bahasa Marxist seperti kelas dalam melakukan analisis hubungan antara lelaki dengan perempuan, namun mereka tidak menggunakan kerangka teori kelas secara sungguh-sungguh. Hubungan gender direduksi pada perbedaan natural yang bersumber pada biologis. Bagi mereka, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum lelaki. Semboyan terkenal mereka adalah personl is political.
Tentu pandangan femenis radikal ini bertentangan dengan pandangan feminisme Marxist. Mereka digolongkan sebagai feminis Marxist karena mendasarkan dirinya pada teori.-teori Marxist. Mereka mengutamakan periuangan pada sistem sosial-ekonomi. Menurut rnereka, penindasan terhadap perempuan berakar pada adanya struktur kelas yang eksploitatif. Jika revolusi proletar berhasil meruntuhkan sistem kelas, maka penindasan terhadap perempuan akan lenyap pula.[14] Karena itu, mereka melihat penindasan perempuan sebagai realitas objektif. Gagasan biologi sebagai dasar pembedaan gender mereka tolak. Sebab, penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam relasi produksi. Women guestion selalu diletakkan dalam kerangka kritik pada kapitalisme. Meskipun, dalam teorinya Marx sendiri tidak dijelaskan posisi kaum perempuan dalan perubahan sosial, kecuali Engels. Sahabat Marx ini mengulas masalah ini dalam seiarah prakapitalisme. Engels menjelaskan  bahwa sejarah jatuhnya status perempuan bukan disebabkan oleh perubahan teknologi, melainkan karena perubahan organisasi kekayaan. Munculnya era hewan piaraan dan petani menetap, yakni suatu masa awal penciptaan surplus adalah dasar munculnya privat proverty yang kemudian menjadi dasar bugi perdagangan dan produksi untuk exchange. Oleh karena lelaki mengontrol produksi untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik, sementara perempuan direduksi menjadi bagian dari properti belaka.[15]
Pandangan ini berbeda dengan analisis kaum feminis liberal yang memfokuskan analisis mereka pada sistem kapitalisme. Menurut mereka, kapitalisme yang melanggengkan penindasan perempuan melalui berbagai cara dan alasan. Di antaranya melalui apa yang disebut eksploitasi pulang ke rumah, yakni suatu proses yang diperlukan guna membuat lelaki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh lelaki yang bekerja di pabrik dan di eksploitasi oleh kapitalis selanjutnya pulang ke rumah dan terlibat suatu hubungan kerja dengan istri mereka. Dalam analisis ini posisi kaum perempuan lebih ditujukan demi akumulasi kapital. Kaum perempuan juga dianggap  bermanfaat bagi kapitalisme dalam memproduksi buruh murah.  Di negara kapitalis, struktur dan sistem masyarakat menguntungkan pihak kapitalis dari segi terjaminnya persediaan buruh. Masuknya perempuan sebagai buruh juga menguntunglm sistem kapitalisme, karena upah buruh perempuan seringkali lebih rendah dibandingtan dengan upah buruh lelaki. Upuh buruh yang lebih rendah ini membantu pihak kapitalis untuk mengakumulasi kapital secara lebih lebih cepat. Disamping itu, masuknya kaum perempuan ke sektor perburuhan merupakan proses penciptaan buruh cadangan yang tak terbatas. Besarnya cadangan buruh ini akan lebih memperkuat posisi tawar kaum kapitalis di hadapan buruh,  sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh. Bagi penganut feminisme Marxist, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang  bersifat struktural.  Oleh karena itu, mereka tidak menganggap patriarki kaum lelaki sebagai permasalahan.[16]
Analisis dan pandangan kaum feminisme Marxist ini berbeda dengan feminisme sosialis. Kelompok ini dikenal memusuhi dua sistem sekaligus, yaitu sistem masyarakat yang patriarkis dan sistem ekonomi yang  eksploitatif (kapitalisme). Menurut kelompok ini, kaum perempuan secara bersama telah dieksploitasi oleh dua sistem ini. Karena itu, untuk membebaskan perempuan permasalahan ketertindasan hanya dapat dilakukan melalui upaya ganda yakni pemberdayaan ekonomi dan sosial-politik kaum perempuan sekaligus. [17] Atau dalam bahasa Ratna Megawangi, agar tercapai kesetaraan gender, kaum feminisme sosial mengadakan restruktrurisasi masyarakat. Sebab, sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labor, termasuk di dalam keluarga telah melahirkan ketimpangan jender. Untuk itu, kelompok feminisme sosialis mengadopsi teori praxis marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar para perempuan sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini akan membuat para perempuan bangkit emosinya, dan mereka sadar serta bangkit untuk merubah keadaannya. Proses penyadaran ini adalah tema sentral gerkan ini, karena menurut mereka banyak para perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki. Contohnya, dengan menonjolkan isu-isu betapa perempuan diperlakukan dengan tidak manusiawi, di kurung di sangkar emas, sampai pada isu mengapa harus perempuan yang membuat kopi untuk para suami, dan sebagainya.[18]
Dengan demikian, menurut analisis femenis sosialis, penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Karena itu, mereka menolak visi marxist klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu, analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dengan begitu, kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme pada saat yang sama harus disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan. Penindasan perempuan bagi mereka, juga bisa menimbulkan kesadaran revolusi, tetapi bukan kesadaran women as sex model feminis radikal. Sebaliknya, bagi mereka, ketidakadilan terhadap perempuan lebih karena idiologi (social construction) terhadap perbedaan lelaki perempuan. Ketidakadilan juga bukan karena kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat, melainkan karena manifestasi dari ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi sosial. Oleh karena itu, yang mereka perangi adalah konstruksi visi dan idiologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun di atas bias gender.
Konfigurasi dialektika wacana feminisme yang diuraikan di atas, menunjukkan adanya peran gender yang berakibat diskriminasi gender. Perbedaan gender yang selanjutnya melahirkan peren gender sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah atau tidak perlu digugat. Kalau secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ repsoduksinya bisa hamil, melahirkan, dan menyusui lalu mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya hal ini tidak menimbulkan masalah dan karenanya tidak perlu digugat. Yang perlu digugat dan dipersoalkan adalah adanya peran gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibandingkan peran gender lelaki. Dengan ungkapan lain, peran gender tidak menjadi masalah, selama tidak menimbulkan ketidakadilan gender.
Karena itu, dewasa ini analisis gender menjadi alat analisis untuk menjelaskan sistem ketidakadilan gender. Sebab, analisis gender membantu untuk memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, di mana baik lelaki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut. Dan analisis atas materi fikih yang diajarkan pada Madrasah Aliyah Kota Gorontalo, mendasarkan pada bantuan analisis gender untuk menemukan bias gender dalam materi fikih tersebut.


[1]Masdar Farid Mas’udi, “Perempuan Dalam Wacana Keislaman”, dalam Smita Notosutanto dan E. Kristi Poerwandari (Penyunting), Perempuan dan Pemberdayaan: Kumpulan Karangan Untuk Menghormati Ulang Tahun ke-70 Ibu Saparinah Sadli (Jakarta: Obor, 1997), h. 55-57.
Maaf Pustakanya Eror.....

2 comments:

  1. kok gk ada referensinya....
    ne pasti plagiat.......
    copy paste dri blog lain.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Sahabat Aslan telah memberikan komentarnya. Adapun referensinya telah saya jelaskan diatas. Masih error M.s Word, Karena menggunakan sistem Footnote. Pondok Mahasiswa mencoba menyajikan Artikel tanpa Copy Paste dari Blog lain, Bila di Paste di Blog ini tentu kami memberikan sumber yang jelas. Bisa anda coba mengkopy paragrap pertama di atas dan paste di google search. Pasti kembali lagi di Blog ini. Terima kasih ya komentarnya.. Mohon like GroubFB kami. Sering berkunjung ya...

      Delete