Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Friday, June 3, 2011

Konsep Minat Masyarakat


                                                                                                         Bahan Disertasi (Kajian Teori) Tesis dengan Judul 
Minat Masyarakat Terhadap Lembaga
Pendidikan Islam
Oleh
BUHARI LUNETO, M.Pd
(Dosen IAIN Gorontalo)  

A.    Konsep Minat
Minat merupakan salah satu aspek psikis manusia yang dapat mendorong untuk mencapai tujuan. Seseorang yang memiliki minat terhadap suatu obyek, cenderung untuk memberikan perhatian atau merasa senang yang lebih besar terhadap obyek tersebut, namun apabila obyek tersebut tidak menimbulkan rasa senang, maka ia tidak akan memiliki minat pada obyek tersebut. Crow and Crow berpendapat bahwa minat erat hubungannya dengan daya gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi atau berurusan dengan orang, benda atau bisa juga sebagai pengalaman efektif yang dipengaruhi oleh kegiatan itu sendiri. Dengan kata lain minat dapat menjadi sebab kegiatan dan sebab partisipasi dalam kegiatan itu.[1]
Grotevant, Scar & Weinberg dalam Aiken menyebutkan bahwa lingkungan keluarga sangat mempengaruhi minat seseorang. Disebutkan pula bahwa seseorang anak yang lahir dari keturunan keluarga akan tertarik pada sesuatu yang khusus dari keluarga tersebut.[2] Selain itu Crow dan Crow mengemukakan juga bahwa minat erat hubungannya dengan dorongan (drive), motif dan reaksi emosional. Misalnya minat terhadap riset ilmiah, mekanika atau mengajar bisa timbul dari tindakan atau dirangsang oleh keinginannya dalam memenuhi rasa ingin tahu seseorang terhadap kegiatan tersebut.[3] Selanjutnya Skinner juga berpendapat bahwa minat sebagai motif yang menunjukan arah perhatian individu terhadap obyek yang menarik atau menyenangkannya. Apabila individu memperhatikan suatu obyek yang menyenangkan, maka ia cenderung akan berusaha aktif dengan obyek tersebut.[4]
Dari beberapa pendapat yang disebutkan di atas, maka di dalam minat terkandung unsur motif atau dorongan dari dalam diri manusia yang merupakan daya tarik untuk melakukan aktivitas atau kegiatan sesuai dengan tujuannya.
Di samping itu Hurlock menyatakan bahwa minat merupakan sumber motivasi yang mendorong orang untuk melakukan apa yang mereka inginkan bila mereka bebas memilih.[5] Lebih lanjut disebutkan pula bahwa minat memainkan peranan yang penting dalam kehidupan seseorang dan mempunyai dampak yang besar atas perilaku dan sikap seseorang.[6] Pendapat yang sejalan juga diungkapkan oleh Anasti yang menyatakan bahwa hakikat dan kekuatan minat dan sikap seseorang adalah merupakan aspek penting dari kepribadian, di mana karakteristik ini secara materil mempengaruhi prestasi pendidikan, pekerjaan, hubungan antar pribadi, kesenangan yang didapatkan seseorang dari aktivitas waktu luang, dan fase-fase lainnya dari kehidupan sehari-hari.[7]
Selanjutnya Hezberg sebagaimana dikutip oleh Crites mengemukakan juga bahwa ada dua faktor yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang terhadap pekerjaan atau jabatan tertentu yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup: adanya daya tarik pekerjaan, ingin berprestasi, tanggung jawab, penghargaan, dan adanya sosial kerja. Sedangkan faktor ekstrinsik mencakup: gaji yang mencukupi, rasa aman, supervisi, kebijakan organisasi dan kondisi pekerjaan.[8]
Selain itu Hurlock menyebutkan juga bahwa semua minat mempunyai dua aspek yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif didasarkan atas konsep yang dikembangkan dari bidang yang dikembangkan dari minat itu sendiri, sedangkan aspek afektif atau bobot emosional adalah konsep yang membangun aspek kognitif minat yang dinyatakan dalam sikap terhadap kegiatan yang ditimbulkan dari minat.[9] Namun dalam perkembangannya minat hanyalah sesuatu yang timbul dari sebuah permainan penting antara pengetahuan dan sikap dalam belajar dan perkembangan.[10]
Dari beberapa pendapat tersebut di atas pada dasarnya mempunyai kesamaan pengertian. Meskipun dalam bahasa dan rumusan yang berbeda, arah dan sasaran obyeknya sama. Secara garis besar dapat ditarik benang merah antara beberapa pokok-pokok pikiran dari pendapat para ahli mengenai minat tersebut yang dijabarkan sebagai berikut:
a.       Pada aspek kognitif minat dapat menjadi dorongan dalam mencapai tujuan atau kebutuhan sehingga segala sesuatu yang dikerjakannya memberi nilai tambah bagi dirinya. Sedangkan pada aspek sikap, sesuatu yang dikerjakannya akan memberikan kesenangan, kebahagiaannya dan tidak menimbulkan kebosanan. Oleh karena itu minat menjadi sumber energi untuk melaksanakan tugas atau kegiatannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
b.      Minat menentukan kepada pemilihan antara suka dan tidak suka terhadap suatu obyek, nilai-nilai, pengalaman, perbuatan, kesenangan, perhatian dan partisipasi seseorang terhadap suatu kegiatan yang disukainya.
c.       Minat menekankan keharusan sebagai sambutan yang sadar, jika tidak maka minat itu tidak mempunyai arti sama sekali.
Jones mendefinisikan minat sebagai perasaan suka yang berhubungan dengan suatu reaksi terhadap suatu yang khusus atau situasi tertentu.[11] Di sisi lain Garret menjelaskan sebagai aktivitas yang menyertai seorang individu melalui nilai-nilai, perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang disukainya.[12] Thorndike dan Hagen merumuskan sebagai kecenderungan yang berkenaan dengan partisipasi dan mencari pilihan yang disukai dalam aktivitas-aktivitasnya.[13]
Selanjutnya Witty dalam Tarigan memberikan rumusan minat sebagai ciri keinginan yang dilakukan melalui tindakan oleh individu yang dicobanya melalui obyek yang dipilihnya, kegiatannya, keterampilannya dan ditujukan pada hal-hal yang disukai.[14]
Pendapat lain dalam buku yang sama menjelaskan pula bahwa dalam minat adalah karakter yang diatur dari pengalaman yang memaksa seseorang untuk mencari fakta-fakta obyektif, kegiatan, pengertian, kecakapan atau pengalaman.[15] Garrison mendeskripsikan minat sebagai sarana terakhir yang merupakan nilai seseorang karena kegunaannya, kesenangannya, atau kesesuaian dengan masyarakat dan dunia kerjanya.[16] Sax mengemukakan bahwa minat merupakan kesukaan terhadap sesuatu kegiatan melebihi kegiatannya lainnya.[17] Kemudian Crow and Crow lebih menekankan pada peran minat sebagai daya gerak atau motivasi. Selain itu yang menjadi pusat minat tidak hanya kegiatan, melainkan juga orang dan benda. Dalam definisinya ia menjelaskan bahwa minat dapat menunjuk kemampuan atau memberi stimuli yang mendorong kita untuk memperhatikan seseorang, sesuatu barang atau benda atau kegiatan, atau sesuatu yang dapat memberi pengaruh terhadap pengalaman yang telah distimuli oleh kegiatan itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa minat dapat menjadi sebab suatu kegiatan yang menghasilkan partisipasi seseorang dalam kegiatan tersebut.[18]
Selanjutnya Nasution dan kawan-kawan menjelaskan bahwa minat adalah sesuatu yang sangat penting bagi seseorang dalam melakukan kegiatan dengan baik. Sebagai suatu aspek kejiwaan, minat bukan saja dapat mewarnai perilaku seseorang, tetapi lebih dari itu minat mendorong orang untuk melakukan suatu kegiatan dan menyebabkan seseorang menaruh perhatian dan merelakan dirinya untuk terikat pada suatu kegiatan.[19]
Demikian pula Barbirn memberikan pengertian minat sebagai kesadaran seseorang bahwa suatu obyek, orang, hal atau keadaan mempunyai hubungan atau kepentingan baginya. Minat harus dianggap sebagai respon sadar, jika tidak, respon itu sama sekali tidak bermakna.[20]
Menurut Krathwohl dan kawan-kawannya (1956), minat terletak pada ranah afektif. Secara taksonomis ranah afektif terdiri atas lima tingkatan yaitu: 1) tingkat penerimaan, 2) tingkat penanggapan, 3) tingkat penghargaan, 4) tingkat pengorganisasian, dan 5) tingkat kepribadian. Adapun minat hanya meliputi tiga tingkatan saja yaitu  tingkat penerimaan, tingkat penanggapan, dan tingkat penghargaan.[21]
Uraian yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
1)      Tingkat penerimaan (receiving), yang merupakan tingkat yang paling rendah, yang meliputi kesadaran, kemauan menerima, dan kemauan untuk memilih. Adapun tanda-tanda bahwa seseorang mau menerima  antara lain adalah : mau mendengarkan, mau menghadiri, mau memperhatikan, mau menerima aturan, atau kebiasan yang berlaku, tidak mengganggu dan bersikap sopan.
2)      Tingkat mau menanggapi (responding), yang meliputi tanggapan dengan rasa senang, sampai tanggapan dengan rasa puas. Adapun tanda-tanda bahwa seseorang telah sampai pada tingkat ini antara lain adalah : mau menjalankan peraturan yang berlaku, mau membuat pekerjaan rumah, mau menjawab, mau bertanya, mau mengemukakan pendapat, mau mempraktekkan, mau mendiskusikan, mau mencatat, mau memberitahukan kepada orang lain.
3)      Tingkat mau menghargai (valuing), yang meliputi penerimaan terhadap sistem nilai, sampai pada menyukai terhadap sistem nilai yang tersebut. Adapun tanda-tanda bahwa seseorang telah sampai pada tingkatan ini antara lain adalah: menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh, mengusulkan sesuatu untuk perbaikan, memprakarsai suatu kegiatan, memamerkan atau menunjukkan objek yang dihargainya itu kepada orang lain dengan rasa bangga, mengajak orang lain, mau menjelaskan pada orang lain, berperan serta secara aktif, bekerja sama, mempelajari dengan sungguh.
4)      Tingkat mau mengorganisir diri dalam sistem nilai (organization), yang meliputi kemauan mengorganisir diri secara konseptual sampai melibatkan diri dalam suatu gerakan/kegiatan. Adapun tanda-tanda bahwa seseorang telah sampai ke tingkat ini antara lain adalah: mau melibatkan diri secara aktif dalam suatu sistem nilai, mau menerima tanggung jawab (misalnya jadi pengurus), mau mengorbankan waktu, tenaga, pikiran untuk sesuatu yang diyakininya itu.
5)      Tingkat karakterisasi (characterization by a value complex), meliputi keyakinan atau memiliki filsafat hidup sesuai dengan apa yang diyakininya itu, sampai kepada memiliki tabiat/karakter sesuai dengan keyakinannya.
Adapun tanda-tanda bahwa seseorang telah sampai ke taraf ini antara lain adalah: mau melakukan sesuatu atas prakarsa sendiri, melakukan sesuatu secara tekun, dengan ketelitian dan kedisiplinan yang tinggi. Melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinannya itu di mana saja, kapan saja atas inisiatif sendiri.
Berdasarkan pokok-pokok pikiran yang disarikan dari berbagai ahli, maka untuk kepentingan analisis minat masyarakat terhadap madrasah dapat dikemukakan  bahwa minat merupakan suatu faktor yang berasal dari dalam diri manusia dan berfungsi sebagai pendorong dalam berbuat sesuatu yang akan terlihat pada indikator “dorongan dari dalam”, “rasa senang”, “memberi perhatian” dan “berperan serta dalam kegiatan”.
Kaitannya dengan minat masyarakat terhadap madrasah aliyah, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pilihan seseorang terhadap suatu lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh apakah dia berminat atau tidak. Penelitian Said Subhan Posangi misalnya menemukan bahwa masyarakat masih menaruh minat yang besar terhadap lembaga pendidikan Islam hal ini dapat dilihat ketika mereka mendaftarkan anak-anaknya ke lembaga pondok pesantren atau madrasah.[22]
B.     Konsep Masyarakat
1.      Pengertian Masyarakat ( tambah tradisonal, modern)
            Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.[23] Masyarakat dapat juga diartikan sebagai sekumpulan manusia yang saling berinteraksi.[24] Jadi, secara sederhana dapat dirumuskan bahwa masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Dari pengertian itu maka dapat kita bayangkan bagaimana anatomi dari masyarakat yang berbeda-beda. Dapat dijumpai  misalnya ada; masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat Indonesia, masyarakat dunia, masyarakat Jawa, masyarakat Islam, masyarakat pendidikan, masyarakat politik dan sebagainya.Semua jenis masyarakat tersebut pastilah terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda tetapi mereka menyatu dalam satu tatanan sebagai wujud dari kehendak bersama. Karena adanya dua atau beberapa kutub; yakni berasal dari unsur yang berbeda-beda tetapi bermaksud menyatu dalam satu tatanan, maka dari kutub pertama ke kutub ke dua ada proses yang membutuhkan waktu yang panjang.
Masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan individu-individu yang saling berinteraksi dan memiliki komponen perubahan yang dapat mengikat satu individu dengan individu lain dengan perilakunya. Sedangkan perubahan merupakan peralihan kondisi yang tadinya buruk, menjadi baik. Masyarakat yang berubah adalah masyarakat yang terdiri dari individu berkepribadian (personality) baik. Personality tidak dibentuk dari performance dan style seseorang, melainkan dari adanya daya intelektual dan perbuatan. Selanjutnya, tidak hanya membentuk saja, tapi juga disertai upaya menjadikan personality tersebut berkualitas. [25]
Menurut R. Linton, seorang ahli antropologi mengemukakan, bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya berfikir tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu[26].
Kalau mengikuti definisi Linton, maka masyarakat itu timbul dari setiap kumpulan individu, yang telah lama hidup dan bekerjasama dalam waktu yang cukup lama. Kelompok manusia yang dimaksud di atas yang belum terorganisasikan mengalami proses fundamental, yaitu; a) adaptasi dan organisasi dari tingkah laku para anggota, b) timbul perasaan berkelompok secara lambat laun.
Proses ini biasanya tanpa disadari dan diikuti oleh semua anggota kelompok dalam suasana triar and error. Dari uraian itu dapat dilihat bahwa masyarakat dapat mempunyai arti yang luas dan arti sempit. Dalam arti luas masyarakat dimaksud keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya. Atau dengan kata lain, kebulatan dari semua perhubungan dalam hidup bermasyarakat. Dalam arti sempit masyarakat dimaksud sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, misalnya territorial, bangsa dan golongan.
Jika dikaji dengan perspektif antropologi, maka ada kecendeungan untuk melihat 2 tipe masyarakat; pertama satu masyarakat kecil yang belum begitu kompleks, yang belum mengenal pembagian kerja, belum mengenal struktur dan aspek-aspeknya masih dapat dipelajari sebagai satu kesatuan.
Kedua, masyarakat yang sudah kompleks, yang sudah jauh menjalankan spesialisasi dalam segala bidang, karena ilmu pengetahuan modern sudah maju, teknologi maju, sudah mengenal tulisan, satu masyarakat yang sukar diselidiki dengan baik dan didekati sebagian saja[27].
Masyarakat Gorontalo yang menjadi obyek penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di perkotaan. Masyarakat perkotaan sering juga disebut urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Ada beberapa ciri menonjol pada masyarakat kota menurut Abu Ahmadi[28]; Pertama, Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa. Kegiatan-kegiatan keagamaan hanya kelihatan di tempat-tempat peribadatan, sedangkan di luar itu, kehidupan masyarakat berada dalam lingkungan ekonomi perdagangan. Pada masyarakat kota Gorontalo, cirri pertama ini sulit ditemukan mengingat masyarakat kota meski disibukkan dengan rutinitas baik sebagai aparat pemerintah maupun professional di bidang perdagangan dan perekonomian, tetap kelihatan sifat keberagamannya. Sebut saja setiap sholat 5 waktu, masjid-masjid di kota Gorontalo mengumandangkan azan. Setiap ada warga yang berduka, beramai-ramai menghadiri acara takziah di rumah duka, yang diselenggarakan bukan oleh keluarga yang berduka, tetapi oleh organisasi sosial dan profesi di mana yang berduka terlibat di dalamnya.
Kedua, Orang kota umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada  orang-orang lain. yang terpenting di sini adalah manusia perorangan atau individu. Di kota-kota kehidupan keluarga sukar untuk disatukan, sebab perbedaan kepentingan, paham politik, perbedaan keyakinan, dsb. Ciri ini sangat tipis kelihatannya. Setiap ada keluarga yang ada hajatan, akan turut dihadiri oleh keluarga lain yang berdatangan dari berbagai tempat. Kecuali satu atau dua orang anggota keluarga yang sulit bergabung karena mengikuti kegiatan yang lebih penting atau urusan kantor.
Ketiga, Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Meskipun warga kota Gorontalo telah mengalami diferensiasi dan spesialisasi, tetapi tidak sepenuhnya berlaku pada semua warganya. Hanya sebagian saja warga yang sudah mengalami hal itu. Sebab dalam kenyataannya, masih ada pegawai yang memiliki pekerjaan sambilan, atau pedagang dan tukang yang memiliki penghasilan lain selain pekerjaan utamanya. Pergaulan pun belum terlalu ada batasan, misalnya para pegawai tetap kelihatan bercengkerama dengan para tukang bentor, dan sebagainya.
Keempat, Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa. Pekerajaan warga desa lebih bersifat seragam, terutama dalam bertani. Di kota jenis-jenis pekerjaan tersedia mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pada yang bersifat teknologi. Kondisi ini memang sudah mulai kelihatan pada masyarakat kota Gorontalo, namun demikian, masih terdapat pula anggota masyarakat yang belum memiliki pekerjaan tetap, serta lowongan pekerjaan yang masih terbatas, baik di sektor formal maupun informal.
Kelima, Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. Kondisi ini sudah mulai mewabahi masyarakat kota Gorontalo. Baik interaksi sesame masyarakat maupun interaksi kelas atas dan kelas bawah. Para penguasa hanya mau melayani rakyatnya ketika hendak menyelenggarakan pemilihan kepala daerah atau legislatif. Setelah itu, menunggu lima tahun lagi.
Keenam, Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu. Meski demikian, budaya terlambat dan suka mengulur-ulur waktu masih dominan pada masyarakat kota Gorontalo.
Ketujuh, Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Hal ini sering menimbuklkan pertentangan antara kaum muda dengan kaum tua. Pertentangan seperti ini pada masyarakat Gorontalo lebih kelihatan pada masyarakat pedesaan.
2.      Stratifikasi Masyarakat Gorontalo (cari di BPS Kota)
Pitirim A. Sorokin (1959) menyebutkan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas lebih rendah. Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban dan tangungjawab, nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat[29].
Adanya sistem berlapis-lapis pada suatu masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat tersebut, tetapi ada juga yang terjadi dengan disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang terakhir ini biasanya dilakukan terhadap organisasi-organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik atau perkumpulan-perkumpulan masyarakat. Kekuasaan dan wewenang merupakan unsur yang khusus dalam sistem pelapisan masyarakat[30].
Pelapisan sosial pada masyarakat Gorontalo tidak serumit pelapisan sosial di kota-kota besar. Secara umum dapat dikategorikan ke dalam 3 lapisan utama, yaitu lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan atas. Pelapisan ini lebih bisa disederhanakan menjadi kelas menengah ke atas dan kelas menengah ke bawah. Lapisan atas adalah lapisan yang jumlahnya terbatas, biasanya dihuni oleh kalangan elit politik, elit pemerintahan dan para pengusaha besar. Sementara kelas menengah diduduki oleh kaum cerdik pandai, pegawai negeri sipil, pedagang besar dan pekerja swasta. Sementara lapisan bawah sebagai kelompok terbesar dalam pelapisan ini didiami oleh komunitas petani, pedagang kecil, guru honorer, buruh bangunan, nelayan kecil, sopir angkot, tukang bentor, dan pembantu rumah tangga.
Ukuran-ukuran yang dipakai biasanya berkenaan dengan besaran gaji atau pendapatan yang diterima dan status sosial yang dimiliki oleh individu yang menjadi anggota masyarakat Gorontalo. Besaran pendapatan misalnya oleh anggota legislatif yang menerima gaji, honor dan tunjangan yang melimpah. Semakin sedikit pendapatan yang diterima, maka gaya hidupnya pun sangat rendah sehingga dapat diasumsikan sebagai kelas bawah. Selain ukuran pendapatan atau kekayaan, masyarakat Gorontalo juga mengukur seseorag sebagai kelas atas dari status sosial. Mungkin bagi masyarakat di daerah lain memandang naik haji adalah sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan tidak berpengaruh kepada status sosial, tetapi bagi masyarakat Gorontalo, seseorang yang telah naik haji dipandang sebagai kelas atas. Tidak mengherankan, masyarakat Gorontalo menuliskan identitas haji pada nama seperti halnya gelar akademik. Dalam pertemuan formal atau informal, penghormatan biasanya ditujukan bukan hanya kepada tokoh pemerintah dan tokoh agama yang menghadiri pertemuan, tetapi juga ditujukan kepada bapak haji dan ibu hajah.
Dalam penelitian ini, stratifikasi sosial menjadi bagian penting untuk menganalisis minat masyarakat terhadap madrasah aliyah. Di mana oleh sebagian masyarakat, madrasah aliyah sebagai sekolah murahan hanya dapat menampung para siswa yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Sementara sekolah umum yang menjadi favorit di Gorontalo hanya dapat diakses oleh kelas menengah ke atas.
3.      Mobilitas Sosial Masyarakat Gorontalo
Mobilitas sosial merujuk pada perubahan kedudukan anggota masyarakat, atau keadaan yang menunjuk pada kemungkinan individu bergerak naik dan turun dari kedudukan atau lapisan dan tingkat kekuasaan. Perubahan kedudukan dapat terjadi pada tingkat yang sama (horizontal) atau pergerakan dari atas ke bawah atau bawah ke atas (vertikal).
Menurut Joseph S. Rouchek dan Roland L. Warren (1984) menyebutkan bahwa pergerakan ke atas dalam tingkat sosial masyarakat pada umumnya dapat dicapai melalui kekayaan, perserikatan dan pendidikan. Pendidikan adalah penting, bukan saja untuk melengkapi seseorang memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, juga untuk memberinya atribut nyata tentang kepentingan dan tingkah laku kelas atasan[31].
Pada masyarakat Gorontalo, tingkat pendidikan menjadi sarana bagi individu untuk menaikkan status sosial. Tidaklah mengherankan, para orangtua berusaha menyekolahkan anak-anaknya bagaimanapun adanya. Masyarakat Gorontalo mulai menyadari bahwa kebodohan dan keterbelakangan sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan. Maka para orangtua yang tidak pernah mengenyam pendidikan berusaha menyekolahkan anak-anaknya agar kelak anak-anak mereka tidak seburuk status yang mereka rasakan sekarang.
Ada pandangan di masyarakat yang begitu kuatnya untuk menyekolahkan anak-anak adalah ungkapan, Ami mongodula a, dila molola harata uti, bo poti siko-sikola timongoli bo uwito umo o salamati tutumuli mongoli dunia akherati. (orangtua tidak akan meninggalkan harta benda yang penting bagi kalian adalah bersekolah karena dengan bekal pendidikan hidup kalian akan selamat dunia akhirat). Ada pula ungkapan yang paling ekstrim; openu bo hepongiita u lu obu timongoli asali poti siko-sikola (meski hanya dengan modal mengikis kuku, bersekolahlah kalian).
Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Gorontalo berkeinginan kuat untuk melepaskan anak-anak mereka dari jerat kebodohan dan keterbelakangan. Mereka semakin sadar bahwa kebodohan identik dengan kemiskinan, dan kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran.
Berkat keinginan yang kuat dari para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, perlahan tapi pasti mulai merubah status sosial masyarakat. Di daerah pedesaan, orangtua yang bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke tingkat atas menjadi kebanggaan keluarga, tidak penting jurusan dan status sekolah yang menjadi tempat bersekolah. Tidaklah mengherankan, banyak keluarga miskin yang dahulunya diremehkan warga sekitar, menjadi terangkat harkat dan martabatnya karena anak-anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan hingga ke perguruan tingi dan memperoleh gelar sarjana. Lebih lengkap lagi manakala anak-anak yang sudah sarjana itu dapat lolos menjadi pegawai negeri sipil. Orangtua yang bersangkutan akan dipuji dan dihargai masyarakat meski seorang petani miskin atau pegawai rendahan.
Menjadi sarjana dan pegawai negeri adalah media yang paling efektif bagi masyarakat Gorontalo untuk meningkatkan status sosialnya. Tidaklah mengherankan, status pekerjaan sebagai pegawai negeri merupakan pekerjaan yang paling bergengsi pada masyarakat Gorontalo. Sedemikian rupa, sehingga seorang sarjana yang belum berhasil menjadi pegawai negeri sipil dianggap belum memiliki pekerjaan meskipun sang sarjana telah berwirausaha atau bekerja di sector informal.
Fakta-fakta tentang perbedaan status sosial pegawai negeri sipil dan pekerja di sector informal dapat dilihat pada penulisan jenis pekerjaan pada kartu tanda penduduk (KTP) atau surat ijin mengemudi (SIM). Jika dilakukan pengamatan, pekerjaan pada umumnya hanya dua jenis yaitu pegawai negeri sipil dan swasta. Orang Gorontalo akan malu menuliskan jenis pekerjaan pada kartu identitas hanya sebagai tukang bentor atau petani, sebagai gantinya, agar kelihatan lebih terhormat jenis pekerjaan rendahan dituliskan sebagai pekerjaan swasta. Padahal  lazimnya pegawai negeri sipil bukanlah jenis pekerjaan melainkan status pekerjaan.
Kondisi ini semakin mendorong masyarakat Gorontalo untuk mendorong anak-anaknya bersekolah. Dan untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka mendapatkan masa depan yang cemerlang bagi anak-anaknya, mereka memilih sekolah yang umum, dengan asumsi bersekolah di sekolah umum akan lebih cepat diangkat menjadi pegwai negeri sipil atau bisa masuk menjadi polisi. Persepsi yang salah ini akhirnya berakibat pada pandangan bahwa bersekolah di madrasah aliyah tidak menjadikan hidup di masa depan yang cemerlang. Kalau mau masa depan yang cemerlang, maka bersekolah di sekolah umum.



 DAFTAR PUSTAKA

[1] Lester D. Crow, & Alice Crow, Educational; Psychology, alih bahasa oleh Abd. Rachman Abror (Yokyakarta: Nur Cahaya, 1989) h. 302-303.
[2] Grotevant, Scar & Weinberg dalam Lewis R. Aikin, Pshicological Testing and Assesment, Nine Edition,  (Boston, london, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn and Bacon), h. 233-303.
[3]  Crow and Crow, op. cit. h. 303-304.
[4] C. E. Skinner., Essential of Fundamental Psychology  (New York: Practice Hall, Inc., England, Cliff, 1958) h. 274.
[5] Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid 2 alih bahasa oleh dr. Med. Meitasari Tjandrasa  (Jakarta: Erlangga) h. 114.
[6] ibid.
[7] Anne Anastasi, Psychological Testing, 7 th ed. Alih bahasa oleh Robertus Hariono S. Imam, Jilid 2 (Jakarta : Prenhalindo, 1977) h. 29.
[8] John O. Crites, Vocational Psychology  (New York : McGraw Hill, 1969), h. 472-473., 166-117.
[9] Hurlock op. cit., hh. 116-117.
[10] The Role of Interest in Learning and Development http://www.erlbaum.com2024.htm), Walter Dick and Robert Reiser,  Planning Efective Instruction (Boston: Allyn and Bacon, 1988), h.11.
[11] Arthur S. Jones, Principles of Guidance  (New York: Mc Graw-Hill Book Company, Inc., 1968), h. 95.
[12] Henry E. Garret, Testing for Teacher  (New York: American Book Company, 1965), h.187.
[13] Robert L. Thorndike and Elizabeth H. Hage, Measurement and Evaluation in Psychology and Education  (New York: John Wiley & Sons., 1977), h. 395.
[14] . H. H.Tarigan, Membaca dalam Kehidupan (Bandung: Angkasa, 1989), h.104.
[15] ibid.
[16] Karl C. Garrison, Psychology of Adolescence (New Jersey: Printice Hall Inc., 1965), h.124.
[17] Gibert Sax, Principles of Educational and Psychological Measurement and Evaluation, Second Edition (Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1980), h. 473.
[18] Crow and Crow, op.  cit., h. 248.
[19] Nasution, Minat Membaca Sastra Pelajar SMA Kelas III DKI Jakarta (Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1981), h. 1.
[20] Raminah Barbirin, Teori dan Apresiasi Puisi (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990), h.16-17.
[21] Krathwohl, et.al., Taxonomy of Educational Objectives, The Classification of Educational Goals, Handbook II : Affective Domain, (1956), th.
[22] Said Subhan Posangi Studi tentang Persepsi Masyarakat terhadap eksistensi Lembaga Pendidikan Islam, Tesis, UIN Alauddin Makassar, 2004 , h.106.
[23] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 721
[24] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 120
[25] Surakhmat, Kuliah Komunikasi dalam www.damandiri.com, diakses pada tanggal 25 April 2011.
[26] H. Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Cet. III. Jakarta: Rineka Cipta, 2003) h. 225
[27] Sebenarnya pembagian masyarakat dalam dua tipe ini hanya untuk keperluan penyelidikan saja. Dalam satu sejarah antropologi, masyarakat yang sederhana itu menjadi obyek penyelidikan dari antripologi, khususnya antropologi sosial. Sedang masyarakat yang kompleks adalah menjadi obyek penyelidikan sosiologi. Sekarang ruang lingkup penyelidikan antopologi dan sosiologi tidak mempunyai batas-batas yang jelas. Hanya pada metode-metode penyelidikan ada beberapa perbedaan. Antropologi sosial mengarahkan penyelidikannya kea rah perkotaan, sedang sosiologi melebarkan studinya ke pedesaan, sebernarnya dua tipe masyarakat itu berbeda secara gradual saja, bukan secara prinsipil.

[28] H. Abu Ahmadi, loc.cit.
[29] Dewi, Wulansari, Sosiologi Konsep dan Teori, (Cet. I, Bandung, Refika Aditama, 2009), h.101
[30] ibid
[31] Ibid., h. 123

No comments:

Post a Comment