Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Saturday, June 4, 2011

Strategi Pengembangan Materi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di Madrasah



A.      Strategi Pengembangan Materi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di Madrasah

1.        Pentingnya Materi Pembelajaran SKI di Madrasah
Pengertian Sejarah kebudayaan Islam yang terdapat di dalam kurikulum Madrasah Aliyah adalah:
Salah satu bagian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati Sejarah Kebudayaan Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman dan pembiasaan.[1]
Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam mempunyai fungsi yang dapat menjelaskan ketercapaian yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diterapkan di madrasah. Fungsi dasar mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam meliputi:
1)      Fungsi edukatif
Sejarah menegaskan kepada peserta didik tentang keharusan menegakkan nilai, prinsip, sikap hidup yang luhur dan islami dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
2)      Fungsi keilmuan
Melalui sejarah peserta didik memperoleh pengetahuan yang memadai tentang masa lalu Islam dan kebudayaannya.
3)      Fungsi transformasi
Sejarah   merupakan   salah   satu   sumber   yang   sangat   penting   dalam merancang transformasi masyarakat.[2]
Mata      pelajaran      Sejarah      kebudayaan      Islam      di      Madrasah Aliyah memiliki tujuan sebagai berikut:
1)        Memberikan pengetahuan tentang Sejarah Agama Islam dan Kebudayaan Islam pada masa Nabi Muhammad saw. Dan khulafaur Rasyidin kepada peserta didik, agar ia memiliki konsep yang obyektif dan sistematis dalam perspektif histories.
2)        Mengambil hikmah, nilai dan makna yang terdapat dalam sejarah.
3)        Menanamkan penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk, berdasarkan cermatnya atas fakta sejarah yang ada.
4)        Membekali peserta didik untuk membentuk kepribadiannya berdasarkan tokoh-tokoh teladan sehingga terbentuk kepribadian yang luhur.[3]

Oleh karena itu, dalam setiap usaha untuk memahami hakekat dalam hal-hal terkait dengan pendidikan hendaklah terlebih dahulu di maknai apa yang di maksud dengan pembelajran. Karena tanpa memahami hakekat pembelajaran, maka suatu kegiatan pendidikan akan menemukan kebutuhan pada dimensi praktek.
Pemahaman yang benar terhadap hakekat pembelajaran dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan. Kekeliruan dalam menafsirkan dan mempersepsikan hakekat belajar dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan dan proses pembelajaran yang pada akhirnya sangat mempengaruhi mutu dan hasil pembelajaran.[4]

Menurut pengertian ini, pembelajaran adalah merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Pembelajaran bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Pengertian ini sangat berbeda engan pengertian yang lain tetang pembelajaran, yang menyatakan bahwa belajar adalah memperoleh pengetahuan, pembelajaran adalah latihan pembentukan kebiasaan secara otomatis dan seterusnya.[5]
Secara implisit, di dalam pembelajaran, ada kegiatan memilih, menetapkan dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.[6] Pada konteks ini, pembelajaran lebih menekankan pada cara-cara untuk mencapai tujuan dan berkaitan dengan bagaimana cara mengorganisasikan isi pembelajaran, menyampaikan isi pembelajaran dan mengelola pembelajaran.
Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu di ciptakan adanya sistem lingkungan (kondisi) belajar yang kondusif. Hal ini akan lebih berkaitan dengan mengajar. Mengajar diartikan sebagai suatu usaha penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran. Sistem lingkungan belajar ini sendiri di pengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masing akan saling mempengaruhi. Komponen-komponen itu misalnya tujuan pembelajaran yan ingin di capai, materi yang ingin diajarkan, guru dan siswa yang memainkan peranan serta dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan serta sarana belajar mengajar yang tersedia.

2.        Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SKI
Salah satu isi kurikulum yang diajarkan di Madrasah Aliyah adalah mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Diantara standar kompetensi (SK) pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) adalah mengambil manfaat dari sejarah perkembangan kebudayaan Islam (sejarah Islam) dalam kehidupan sehari-hari. [7]
McAshan, sebagaimana dikutip oleh Sanjaya, memberikan definisi kompetensi sebagai :
“…A knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which became part of his or her being to the exent her or she can satisfatorily perform particular cognitive, afective and psychomotor behaviors.[8]

Kompetensi dalam pengertian ini adalah suatu pengetahuan, keterampilan dan kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki oleh seseorang yang telah menjadi bagian
dari dirinya sehingga mewarnai perilaku kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Dari pemahaman ini maka kompetensi harus di dukung oleh pengetahuan, sikap dan apresiasi, tanpa pengetahuan dan sikap mustahil lahir suatu kompetensi.
Acuan yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran dan memantau perkembangan mutu pendidikan adalah standar kompetensi. Standar kompetensi dapat didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai peserta didik serta tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu mata pelajaran.
Standar Kompetensi mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah berisi mata pelajaran yang harus dikuasai peserta didik. Kemampuan ini berorientasi pada perilaku aspek afektif , peserta didik memiliki: keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWt. Sesuai ajaran Agama Islam yang tercermin dalam perilaku sehari-hari memiliki nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan humaniora, serta menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara baik lingkup nasional maupun global. Berkenaan dengan aspek kognitif, menguasai ilmu, teknologi, dan kemampuan akademik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berkenaan dengan aspek psikomotorik, memiliki keterampilan berkomunikasi, kecakapan hidup, mampu beradaptasi dengan perkembangan lingkungan sosial, budaya dan lingkungan alam baik lokal, regional, maupun global, memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang bermanfaat untuk melaksanakan tugas / kegiatan sehari-hari.
Standar kompetensi mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam juga mengacu pada struktur keilmuan mata pelajaran Sejarah kebudayaan Islam. Berdasarkan pokok-pokok pikiran tersebut, standar kompetensi mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah adalah sebagai berikut:
1)     Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang sjarah pembentukan dinasti Umayah, biografi dan kebijakan khalifah-khalifah dinasti Umayah (Muawiyah bin Abi Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Azis dan Hisyam bin Abdul Malik), kemajuan dinasti Umayah (bidang politik dan militer).
2)     Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang kemajuan dinasti Umayah bidang (ilmu agama islam) dan mengkaji sebab-sebab keruntuhannya, sejarah terbentuknya dinasti Abbasiyah, geografi dan kebijakan khalifah-khalifah Abbasiyah, geografi dan kebijakan khalifah-khalifah Abbasiyah yang terkenal (Abu Jafar al Mansur, Harun al Rasyid dan Abdullah al Makmun), kemajuan dinasti Abbasiyah (bidang sosial budaya, politik dan militer).
3)     Kemampuan membiasakan diri untuk mencari, menyerap, menyampaikan dan menggunakan informasi tentang kemajuan-kemajuan dinasti Abbasiyah (bidang ilmu pengetahuan dan bidang ilmu agama islam), dan mengkaji sebab-sebab keruntuhannya serta kemajuan-kemajuan dinasti Al Ayubiyah.[9]

3.      Model, Pendekatan, Strategi, Metode SKI
Sejarah Kebudayaan Islam secara substansial memberikan motivasi kepada peserta didik untuk memperaktekan nilai-nilai keyakinan keagamaan (tauhid) dan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari.
4.       
Kenyataannya, setelah ditelusuri, pendidikan Sejarah Kebudayaan Islam menghadapi beberapa kendala, antara lain: waktu yang disediakan terbatas sedangkan materi begitu padat dan memang penting, yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan kepribadian yang berbeda jauh dengan tuntunan terhadap mata pelajaran lainnya. Kelemahan lain, materi Sejarah Kebudayaan Islam, lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif). Dalam implementasinya juga lebih didominasi pencapaian kemampuan kognitif, kurang mengakomodasikan kebutuhan afektif.[10]
Kendala lain adalah lemahnya sumber daya guru Sejarah Kebudayaan Islam dalam pengembangan pendekatan, metode yang lebih variatif serta dalam mengusahakan media yang digunakan untuk mengefektifkan kegiatan belajar mengajar (KBM) dan minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan bagi guru Sejarah Kebudayaan Islam. Padahal guru Sejarah Kebudayaan Islam merupakan tenaga kependidikan dan salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) yang mempunyai kedudukan strategis dan menentukan keberhasilan pembelajaran di sekolah. Untuk itu, guru Sejarah Kebudayaan Islam harus senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya agar dapat mengelola kegiatan pembelajaran secar efektif dan efisien.
Strategi pembelajaran SKI baru dapat berlangsung secara efektif dan efisien, jika Guru harus dapat mengetahui keadaan yang tepat untuk memulai proses belajar mengajar. Keadaan siswa yang memiliki konsentrasi atau perhatian yang penuh tentu akan dapat dengan mudah menerima pelajaran yang diberikan kepadanya. Siswa yang memiliki konsentrasi penuh akan belajar lebih cepat dan lebih mudah. Selain itu, mereka mengingat informasi lebih lama. 
4.  Pendekatan Pembelajaran dan penilaian dalam Pembelajaran SKI
Pendekatam terpadu dalam Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam meliputi:
a)      Keimanan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya tuhan sebagai sumber kehidupan makhluk hidup di jagat raya ini
b)      Pengalaman, memberikan peluang kepada peserta didik untuk mepraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan ibadah dan akhlak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah kehidupan
c)      Pembiasaan, memberikan peluang kepada peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku baik yang sesuai dengan ajaran islam dan budaya bangsa dalam menghadapi kehidupan
d)      Rasional, usaha memberikan peranan rasio (akal) siswa dalam memahami dan membedakan berbagai bahan dalam standar materi serta kaitannya dengan perilaku yang baik dan buruk dalam kehidupan duniawi
e)      Emosional, upaya menggugah perasaan (emosi) siswa dalam menghayatiperilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa
f)        Fungsional, menyajikan bentuk semua standar materi (Al-qur’an, Hadist, Keimanan, Akhlak, Fiqih, Tarikh), dari segi manfaatnya bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas
g)      Keteladanan, yaitu menjadikan fitur guru agama dan nonagama serta petugas madrasah lainya maupun orang tua siswa, sebagai cermin manusia berkepribadian agama.[1]


[1] Departemen Pendidikan Agama RI, Pedoman Khusus Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Departemen Pendidikan Agama RI, 2004), h 7



[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2004 Kerangka Dasar, (Jakarta: Departemen Pendidikan nasional, 2004), h. 68
[2] Departemen Pendidikan Agama RI, Pedoman Khusus Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Departemen Pendidikan Agama RI, 2004), h 2
[3] Ibid, h 3
[4] Ibid;  h 18
[5] Ibid, h 37

[6] M. Sobry Sutikno, Pembelajaran Efektif; Apa dan Bagaimana Mengupayakannya, (Mataram: NTP Press, 2005) h. 28
[7] Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan  Indonesia 3, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1985. Hal. 3

[8] Dr. Wina Sanjaya, M.Pd., Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Prenada Media, 2005) h. 6
[9] Departemen Agama RI, op.cit., h. 3-

Kompetensi Mengajar Bahasa Arab


Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.[1] Dalam hal ini kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif,afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu. Dengan demikian terdapat hubungan antara tugas-tugas yang dipelajari peserta didik disekolah dengan kemampuan yang diperlukan oleh dunia kerja.
Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud hasil belajar peserta didik yang mengacu pada pengalaman langsung. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai criteria pencapaian secara eksplisit, dikembangkan berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan memiliki kontribusi terhadap kompetensi-kompetensi yang sedang dipelajari. Penilaian terhadap pencapaian kompetensi perlu dilakukan secara objektif, berdasarkan kinerja peserta didik, dengan bukti penguasaan mereka terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap sebagai hasil belajar. Dengan demikian dalam pembelajaran yang dirancang berdasarkan kompetensi, penilaian tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan yang bersifat subyektif.[2]
Kaitannya dengan masalah tersebut diatas, maka kompetensi pembelajaran bahasa Arab mutlak diperlukan. Sebab tuntutan dunia global yang terus menerus berubah merupakan salah satu dorongan untuk mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini menyediakan butir-butir kompetensi berbahasa dan indicator pencapaian yang baisa digunakan guru sebagai rambu-rambu dalam mengembangkan strategi dan tekhnik pengajaran serta penilaianya. Maka pelajaran bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mata pelajaran agama islam sebagai suatu keseluruhan.
Sebagai implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah perlunya singkronisasi sebagai prinsip pengembangan kurikulum. Singkronisasi tidak hanya singkron dalam aspek hirarki standar kompetensi yang meliputi fungsi dan tujuan pendidikan nasional, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi lulusan, kompetensi bahan kajian dan kompetensi mata pelajaran kelas. Tetapi juga singkron dengan standar kompetensi yang ada diatasnya atau antar jenjang. Dengan ini diharapkan seluruh kegiatan kurikuler searah, setujuan dan seirama sehingga proses pembelajaran yang dilaksanakan dapat mencapai tingkat keberhasilan yang dapat dilihat dari kompetensi dasar, materi pokok dan indicator pencapaian.
Kurikulum bahasa Arab ditingkat madrasah Tsanawiyah merupakan kurikulum dasar awal, dengan alokasi waktu yang relatif terbatas. Dalam kelas bahasa Arab, peserta didik didorong untuk secara aktif terlibat dalam kegiatan membaca, menulis, mengungkapkan pendapat, membandingkan dan mendiskusikan suatu teks. Peserta didik didorong untuk mempelajari dan mendalami sejumlah literature yang dapat ditemui sehari-hari, baik berupa media cetak maupun media elektronik.
Dengan bekal sejumlah pengetahuan tersebut, mereka dapat mempelajari budayanya sendiri dan juga budaya lain. Mereka kemudian dapat menggunakan teks tersebut untuk mempelajari suatu konsep dan berfikir secara kritis mengenai dunia mereka dan komunitas global. Oleh karenanya strategi mencapai  4 (empat) kompetensi yakni :
a)      Kompetensi mendengar, merupakan kemampuan siswa dalam menangkap dan memahami apa yang di sampaikan oleh pembicara
b)      Kompetensi berbicara adalah kemampuan siswa dalam berdialog dengan teman mereka
c)      Kompetensi membaca adalah kemampuan siswa dalam membaca bahasa Arab.
d)     Kompetensi menulis adalah kemampuan siswa dalam menulis bahasa Arab.
adalah upaya untuk membantu peserta didik dalam menguasai kompetensi yang ditetapkan.


[1] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, ( Bandung; Remaja Rosdakarya), h. 37.
[2] Ibid, h. 38.