Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Wednesday, June 1, 2011

Tafsir Bil Matsur Dan Tafsir Bir Ra’yi

BAB  I
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Tafsir bil ma’tsur
Tafsir bi al- Ma’tsur adalah tafsir yang merujuk pada penafsiran Al Qur’an dengan Al Qur’an, atau penafsiran Al Qur’an dengan Al-Hadis melalui penuturan para sahabat. Metode ini merupakan dua tafsir tertinggi yang tidak dapat diperbandingkan dengan sumber lain, karena menyaksikan disaat  turunnya wahyu. Penafsiran merekalah yang layak untuk dijadikan sumber. Di samping itu mereka adalah orang yang di didik oleh Rasulullah saw, dalam berbagai aspek.
Berikut dikemukakan contoh tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an, Al Qur’an dengan sunah nabi, dan tafsir Al Qur’an dengan menggunakan perkataan sahabat.

1.      Tafsir AL Qur’an dengan Al Qur’an
Sebagai contoh firman Allah dalam AL Qur’an;
ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ
...Dihalalkan bagimu binatang ternak ,kecuali yang akan dibacakan kepadamu “, (QS.5:1)
 Dengan penjelasan pengecualian makanan yang diharamkan pada ayat lain yang menjelaskan:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
”diharamkan bagimu (memakan ) bangakai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah ….”(QS 5:3).[1]

2.      Tafsir Al Quran dengan sunnah
Rasulullah adalah mufassir yang paling baik, sebab dia secara spiritual telah ditunjuk oleh Allah untuk mencerahkan wahyu kepada manusia. Rasul juga telah menjelaskan pada manusia untuk memahami AL Qur’an. Ketika Rasulullah ditanya tentang suatu ayat, jawab jawaban yang diberikan menjadi tafsir ayat-ayat yang paliing tepat (otoritatif).[2]
Misalnya ketika beliau menjelaskan firman Tuhan:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ  
”orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezhalima ,mereka itulah orang-orang yang yang mendapat keamanan dan mereka it adalah orang yang mendapat petunjuk.”(QS.6:82)
 Ketika ayat ini diturunkan, orang mendapatkan kesulitan dalam memahami dan menangkap maksudnya. Oleh karena itu, mereka bertanya kepada nabi, sehingga tidak ada seorang pun yang berbuat dhalim kepada dirinya.Rasul menjelaskan makna “al-Dhulm”itu adalah “syirik”, (menyekutukan Allah). Pengertian ini sudah pernah dijelaskan pada ayat lain dalam Al Qur’an sebagai “dhulm
( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
…Sesungguhnya mempersekutukan Tuhan adalah benar-benar kejaliman yang besar.
Al Qur’an dengan sunnah nabi, merupakan metode tafsir yang paling tinggi kualitasnya. Oleh karena, metode inilah yang mesti diterima. Metode pertama karena hanya Allah yang maha mengetahui tafsirnya. Metode kedua, metode Rasul, bersandarkan pada maksud ayat kepada manusia seperti diisyaratkan dalam Al Qur’an;
Ï3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î)
“Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka,…”(Q.S. 16:44).[3]

3. Tafsir Al-Qur’an dengan penjelasan perkataan sahabat
Bagian ketiga tafsir bi al-ma’tsur  tetap menjadi pembahasan di sini yang juga layak diterima karena para sahabat hidup dengan Rasul dan dapat menangkap makna sesungguhnya, mereka juga menyaksikan saat turunnya wahyu dan penuh perhatian-perhatian terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan wahyu tersebut, mereka memiliki ketenangan dan kesempurnaan jiwa serta sifat-sifat yang terpuji, kemampuan yang tinggi, kelancaran dan kefasihan berbicara dan kemampuan-kemampuan lainnya. Mereka mempunyai kualifikasi yang tinggi dalam hal kebenaran dan kesempurnaan memahami kalam Allah swt. Mereka juga mempunyai kesadaran yang lebih tinggi dalam menangkap rahasia Al-Qur’an dibanding dengan orang lain. Dalam menerima tafsir mereka,  Ibn katsir menyatakan:”Jika kita tidak menerima tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau hadits Nabi, kita harus kembali kepada perkataan para sahabat yang paling mengetahui seluk-beluknya. Hal ini karena mereka menyaksikan turunnya wahyu dan kepekaan terhadap kondisi saat itu.
Al-Hakim menegaskan bahwa tafsir Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat didasarkan atas kesaksian mereka secara langsung terhadap wahyu yang mengandung untuk dan ijtihad yang dapat ditelusuri sampai kepada nabi Muhammad saw. Mengenai keasliannya dengan demikian tafsir ini dapat di terima tafsir bil-ma’tsur..
Contoh ayat yang ditafsirkan oleh sahabat adalah:
t4 @è% þÎn1§ ãNn=÷ær& NÍkÌE£ÏèÎ/ $¨B öNßgßJn=÷ètƒ žwÎ) ×@Î=s% 3 Ÿxsù Í$yJè? öNÍkŽÏù žwÎ) [ä!#zÉD #\Îg»sß
“Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja...” (QS. 18: 22)

2. Hukum Tafsir dengan Al-Ma’tsur
Tafsir dengan ma’tsur inilah yang wajib diikuti dan diambil, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah. Kata ibnu Abbas, Tafsir itu ada empat macam bentuknya. Bentuk yang dikenal oleh orang Arab dari kata-katanya. Tafsir yang tidak menjadi halangan karena jahilnya seseorang. Ada tafsir itu yang hanya diketahui oleh ulama-ulama saja. Dan ada pula tafsir itu yang tidak diketahui oleh seorang juga selain Allah swt. Adapun tafsir yang tidak diketahui oleh orang Arab ialah tafsir yang dikembalikan kepada ucapan mereka dengan penjelasan bahasa.
Dan yang menjadi ujur bagi seseorang karena  jahilnya yaitu apa yang cepat dipahami artinya itu dari nash-nash yang mengandung syari’at, hukum dan dalil-dalil dan tauhid. Tiap-tiap orang-orang harus memikirkan arti tauhid dari firman  Allah yang berbunyi
فَـاعَْـلَـمْ اَنَـهُ لاَ اِلـهَ الاَّ اللهِ
"Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan selain Allah.”
   
Adapun yang tidak diketahui selain Allah itu ialah hal-hal yang ghaib seperti terjadinya kiamat, dan mengenai hakikat roh. Adapun apa yang diketahui oleh ulama yaitu yang dikembalikan kepada ijtihad mereka. Berdasarkan bukti-bukti dan dalil-dalil, bukan hanya semata-mata ra-i, dari keterangan mujmal, atau mentakkhirkan a’m, atau hal-hal yang seperti itu.
Ibnu Jarir At Thabariy pernah menyebutkan hal-hal yang seperti itu, katanya, menjelaskan dengan  keterangan Allah yang berbunyi, - apa-apa yang diturunkan oleh Allah (Al Qur’an) kepada  Nabi-Nya. Dan apa-apa yang tidak  terjangkau oleh ilmu,  maka harus ditakwilkan,  selain dari itu dengan keterangan-keterangan Rasulullah SAW.  Mentakwilakn semua yang terdapat dalam Al Qur’an, yang wajib, yang sunat, yang ditunjukannya, jenis-jenis laranganya, hal-hal yang menjadi haknya dan hukuman-hukuman Allah SWT.
Menyampaikan hal-hal yang wajib, ketentuan-ketentuan yang biasa tentang akhlak. Demikian juga apa-apa  yang menyerupai hukum-hukum  yang dikemukakan oleh ayat-ayat yang tidak terjangkau oleh ilmu pengetahuan kecuali  dengan keterangan Rasulullah kepada umatnya.  Inilah bentuk yang tidak boleh bagi seseorang, kecuali dengan keterangan Rasulullah SAW. Dialah  yang mentakwilkanj sebagian nash-nash atau dalil-dalil yang oleh Nabi diserahkan kepada umutnya untuk  menakwilkanya.[4]

3. Sebab-sebab kelemahan  tafsir bil ma’tsur         
Kita telah mengetahui bahwasanya tafsir bil ma’tsur, mencakup tafsir Al Qur’an denga Al Qur’an, mencakup tafsir Al Qur’an dengan As Sunnah (Al Hadits),sebagaimana pula mencakup tafsir Al-qur’an dengan pendapat-pendapat sahabat atau tabi’in.
Menafsirkan Al-qur’an dengan Al-qur’an sendiri dan menafsirkan  Al-qur’an dengan hadits yang shahih datangnya dari nabi, jelas harus diterima.
   Mengenai penafsiran Al-qur’an dengan pendapat-pendapat yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in, mengandung banyak kelemahan karena beberapa sebab.
Pertama, banyak riwayat yang disisipkan oleh musuh-musuh Islam, seperti yang disisipkan oleh orang-orang Zindiq, baik dari bangsa Yahudi maupun dari bangsa persi. Mereka memang bermaksud merusakkan agama dengan jalan menyisipkan hal-hal yang tidak ada didalam agama, karena mereka tidak dapat menghancurkan agama dengan jalan kekuatan senjata dan dengan jalan kekuatan dalil.
Kedua, usaha-usaha yang dilakukan oleh penganut-penganut mazhab yang terlalu jauh menyimpang dari kebenaran, seperti yang dilakukan oleh kaum syiah yang telah menyandarkan kepada Ali ra. Riwayat-riwayat yang sesungguhnya tidak pernah dikataknnya, dan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang mencari muka kepada khulafa-khulafa ’Abbasiyah yang telah membuat bermacam-macam riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas sama sekali tidak pernah menyebut riwayat itu.
Ketiga, bercampur baurnya riwayat-riwayat yang shahih dengan tidak shahih dan banyaknya ucapan-ucapan yang dibahasakan kepada sahabat, atau tabi’in tanpa menyebut sanad dan tanpa menyaring, sehingga bercampurlah yang hak dan batil.[5]

4. Tafsir-tafsir bil Ma’tsur yang terkenal
    a. Tafsir Ibnu Jarir
Ibnu Jarir adalah AbuJa’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ath Thabary. Beliau dilahirkan padatahun 224 H dan wafat pada tahun 310 H. Beliau seorang ulama yang jarang diperoleh tolok bandingnya, dalam segi ilmu, segi amal, segi kedalaman pengetahuannya mengenai Al-qur’an dan jalan-jalan riwayat,baik yang shahih, maupan yang dha’if, serta keadaan-keadaan sahabat dan tabi’in.
Oleh karena itulah tafsirnya dipandang sebagai puncak tafsir bil ma’tsur, paling shahih, sebagaimana dipandang sebuah kitab yang dapat mengumpulkan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan tafsir, baik dari sahabat, maupun dari tabi’in.
 b. Tafsir Abu Laits As Samarkandy
Tafsir ini juga salah satu dari antara tafsir-tafsir yang menafsirkan ayat dengan riwayat. Didalamnya diterangkan pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in. Sayangnya tidak menyabutkan sanad, sehingga sulit bagi kita meneliti riwayat-riwayat itu.
c.Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur              
Tafsir ini adalah hasil karya Jalaluddin As Sayuthy.Di dalam muqqaddimahnya diterangkan  bahwa tafsir in adalah hasil kesimpulan dari tafsir yang dinamakan Tarjumanul Quran . Tafsir ini menerangkan maksud ayat dengan menyebut riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah saw.[6]

B. Pengertian
1. Tafsir bir ra’yi
Tafsir bir ra’yi, yaitu apa yang dijadikan pedoman oleh ahli tafsir dalam menerangkan arti untuk memahamkannya secara khusus. dan mengambil kesimpulan dengan ra’yi semata-mata. Tidak termasuk ke dalam hal ini faham yang telah disepakati di samping jiwa syari’at. Dan dikaitkan kepada nash-nash. Hanya semata-mata ra’yi, tidak mempunyai bukti-bukti yang lengkap dalam kitabullah. Kebanyakan orang-orang yang membuat  tafsir dengan ra’yi ini ialah orang-orang bid’ah yang mempunyai mazhab-mazhab bathil disamping berpedoman kepada Al-Qur’an.

2. Hukum tafsir dengan Ra-yi
Menafsirkan Al-qur’an itu hanya semata-mata dengan ra’yi, dan ijtihad tanpa berdasarkan  Al-qur’an dan sunah maka hukumnya adalah haram. Tidak boleh dikemukakan. Berfirman tuhan dalam Al-qur’an.                                          
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS.17:36).

Nabi SAW. bersabda:
قَلَ رَسُوْلُ اللهُِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: مَنْ قَلَ فِي القُرْآنِ بِغَيْرِ اِلْمٌ فليتبوا مَقْعَدُهُ مِنَ النَّار.
,“Barang siapa yang berkata (menafsirkan) Al-qur’an dengan ra’yinya sendiri atau dengan apa yang tidak diketahuinya, maka hendaklah dia bersedia menduduki tempat didalam Neraka.
Pada lafaz lain dikatakan bahwa,“Barangsiapa berkata tentang Al-qur’an dengan ra-inya maka kebenaran katanya itu adalah salah.  Untuk ulama salaf merasa sulit memecahkan masalah tafsir  menurut apa yang mereka tidak ketahui. Kata Said Al Musayab,- apabila dia ditanya orang mengenai tafsir ayat Al Quran, katanya, -Aku tidak mengatakan sesuatu dalam Al Quran.[7]
Menurut Abdullah Qasim bin Salam, Abu Bakar Sidik pernah ditanya orang mengenai lafadz ( الاب ) di dalam firman Tuhan yang berbunyi:
ZpygÅ3»sùur $|/r&ur ÇÌÊÈ                
            Dan buah-buahan serta rumput-rumput (QS. 80 : 31)

Jawabnya, berarti langit yang menaungi Aku. Dan juga berarti bumi yang aku injak  jika aku berkata mengenai kitabullah tentang apa yang tidak aku ketahui. Kata at thabariy,- berita-berita ini dapat diragukan mengenai sahnya. Kami mengatakan, orang-orang yang mentawilkan apa saja yang terdapat dalam Al Qur’an itu tidak boleh dengan ilmu yang berdasarkan pemikiran semata. Melainkan harus dengan nash  yang diterangkan oleh Rasulullah SAW. Atau dengan nash yang menunjukan kepada itu. Tidak boleh bagi seseorang mengatakan dengan ra’yi. Bilamana itu orang  yang berkata dengan ra’yinya  itu sekalipun benar apa yang dikatakanya itu namun salah dari segi perbuatannya.
Kata At Thabariy, ahli-ahli tafsir itu harus berhati-hati dan berpegang kepada kebenaran dalam menafsirkan Al Qur’an. Dia harus mengetahui jalan-jalan yang akan ditempuh dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mereka harus menjelaskan hujah tentang apa yang ditakwilkan dan ditafsirkan. Ada yang ditakwilkan itu dikaitkan kepada Rasulullah SAW bukan kepada umatnya. Ada yang dari pihak apa yang terdapat dari nakal yang sudah tersiar, dan ada pula dari nakal yang menyimpang dari yang telah ditetapkan,yaitu dari nakal yang tidak tersiar,atau dari dalil yang dapat dipastikan sahnya itu. Mensahkan bukti-bukti apa yang diterjemahkan dan dinyatakan tentang itu.  Dan ada pula dengan bukti-bukti menurut perasaan. Demikianlah orang-orang yang mentakwilkan dan yang menafsirkan.[8] 
   
3. Macam-macam Tafsir bil ra’yi
Tafsir bil ra’yi dibagi dalam dua kategori; tafsir yang terpuji (mamduhah) dan tafsir yang tercela (mazdmumah)
1)      Tafsir yang terpuji
      Tafsir yang terpuji ialah tafsir Al Qur’an yang didasarkan dari ijtihad yang jauh dari kebodohan dan menyimpang. Tafsir ini sesuai dengan peraturan bahasa arab, karena tafsir ini tergantung kepada metodologi yang tepat dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an. Barang siapa yang menafsirkan            Al Qur’an berdasarkan pikirannya dengan memenuhi persyaratan dan berdasarkan kepada makna-makna Al Qur’an. Penafsiran ini dibolehkan dan dapat diterima.
2)      Tafsir yang tercela
Tafsir yang tercela adalah penafsiran Al Qur’an tanpa dibarengi dengan pengetahuan yang benar. Yaitu tafsir yang hanya didasarkan kepada keinginan seseorang dengan mengabaikan peraturan dan persyaratan tata bahasa serta kaidah-kaidah hukum Islam. Tafsir ini merupakan penjelasan kalamullah atas dasar pikiran atau aliran yang sesat dan penuh bid’ah.

4.    Tafsir bil ra’yi yang terpenting
a)      Tafsir Al Jalalain
Tafsir ini bernilai tinggi, mudah kita memahaminya, walaupun uraian-uraiannya sangat pendek. Hampir boleh kita katakan tafsir inilah yang banyak berkembang dalam masyarakat dan berkembang di antara para ulama sekarang ini.
b)      Tafsir Al Baidhawy
Tafsir ini juga bernilai tinggi dan baik kupasannya yang mengumpulkan antara tafsir dan takwil, berdasar pada tata bahasa arab serta menetapkan dalil-dalil yang sesuai dengan dasar-dasar yang dipergunakan ahlus sunnah.[9]



BAB II
KESIMPULAN


            Setelah menyelesaikan beberapa materi pokok di atas tentang tafsir bil ma’tsur dan bil ra’yi, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:
  1. Tafsir  bil ma’tsur adalah tafsir yang merujuk pada penafsiran Al Qur’an dengan Al Qur’an,atau penafsiran Al Qur’an dengan Al Hadits melalui penuturan para sahabat.
  2. Tafsir bil ra’yi adalah apa yang dijadikan pedoman adalah ole ahli tafsir dalam menerangkan arti untuk memahamkannya secara khusus.
  3. Karena dengan adanya tafsir bil ma’tsur dan bil ra’yi orang berpedoman atas sahmya apa yang dipindahkan itu menurut susunan yang di atas tentang syarat-syarat ahli tafsir.

DAFTAR PUSTAKA

Hasbi, Muhammad, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002)

Ushama, Thameem, Metodologi-Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Riora Cipta, 2000)

Quthan, Mana’ul, Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2, cet; I, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1995)

www.jamal-alfath.blogspot.com/tafsir/bil/matsur/dan/tafsir/bir/ra’yi.html



[1] Thameem Ushama,  Metodologi-Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 6.
[2] Ibid.
[3] Ibid., h. 8.
[4] Mana’ul Quthan,  Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2, cet; I, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1995), h. 192.

[5] Muhammad Hasbi,  Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002),         h. 226.

[6] Ibid., h. 228.
[7] Mana’ul Quthan, op.cit., h. 194.
[8] Ibid., h. 196.
[9] Muhammad Hasbih, op.cit., h. 248.

No comments:

Post a Comment