Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Saturday, June 25, 2011

Keutamaan Bangun Pagi


Satu hal yang pasti ketika anda bangun pagi, anda dapat menikmati udara segar yang belum terkena polusi, jika anda tinggal di perkotaan. Saat itu sangat tepat untuk memasukan sebanyak mungkin udara segar ke paru-paru dengan berolah raga. Dengan kata lain, membiasakan bangun pagi dapat membuat pikiran dan tubuh anda jauh lebih sehat.
Di pagi hari, anda akan melihat semua hal berbeda dibandingkan pada waktu-waktu setelahnya. Kesegaran yang hadir di pagi hari memunculkan mood yang baik untuk bekerja. Sehingga bangun pagi sebenarnya juga membuat anda lebih bersemangat dalam menjalani seluruh aktivitas setelahnya.
Bangun pagi juga dapat meningkatkan produktivitas bahkan disiplin pribadi anda. Ketika anda bangun lebih siang besar kemungkinan anda mengalami kesulitan untuk memenuhi berbagai janji atau aktivitas di pagi hari. Anda mungkin bisa menghindari kesulitan ini dengan sedikit menggeser janji ke siang hari. Namun tentu akan ada saat di mana anda harus memenuhi janji di pagi hari. Ketika hal itu terjadi akan hanya ada dua pilihan bagi anda, terlambat hadir atau datang dengan kondisi kurang segar akibat kurang istirahat. Keduanya sama-sama tidak menguntungkan. Tanpa disadari produktivitas anda terus menurun akibat beban kerja yang tidak proporsional dengan alokasi waktu yang tersedia dan anda semakin sering kehilangan berbagai peluang potensial.Bangun pagi berarti anda telah membantu tubuh untuk menyeimbangkan irama tubuh dengan irama alam. Sehingga sistem organ tubuh juga akan bekerja seimbang yang akhirnya tubuh jauh lebih sehat. Berikut manfaat bangun pagi
1.      Tubuh mendapat nutrisi penting
Dengan bangun pagi, waktu untuk sarapan pasti ada. Sarapan adalah bahan bakar bagi tubuh kita untuk melakukan berbagai aktifitas seharian. Kita pun memiliki waktu untuk menyiapkan sarapan yang sehat, lezat dan bergizi.
2.      Tubuh melakukan olah gerak
Energi penuh akan kita dapatkan dengan melakukan olahraga di pagi hari. Tubuh akan memiliki tenaga dan merasa segar sehingga kita siap melakukan pekerjaan rutin.
3.      Pikiran lebih tenang
Bangun pagi membuat kita memiliki banyak waktu sehingga kita tidak perlu tergesa-gesa dalam menyiapkan sesuatu. Tidak telat sampai ke kantor atau mengalami macet di jalanan. Sehingga keadaan yang dapat membuat kita stres pun menjauh.
4.       Tidur lebih berkualitas
Seperti diketahui dengan tidur yang cukup mampu mengurangi berbagai efek negatif pada wajah seperti penuaan dini atau kerutan. Dengan bangun pagi, irama pada tubuh akan menjadi stabil. Kondisi ini secara tidak langsung akan memperbaiki kualitas tidur.
Tip: Untuk membiasakan agar bangun pagi letakkan alarm tidak jauh dari tempat tidur anda. Atur jarum jam 30 menit lebih cepat dari biasanya selama beberapa hari.

Ilmu Dalam Perspektif Moral Sosial Dan Politik

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Perspektif
Untuk menghindari kesimpang siuran dalam memahami istilah perspektif di atas, maka terlebih dahulu pemakalah menjelaskan istilah tersebut. Kata perspektif berasal dari bahasa Latin Perspicere, memandang, melalui,. Kata perspicere  mempunyai tiga arti, antara lain; 1) Sudut pandang yang darinya sesuatu dilihat, 2) Praduga dasar yang diasumsikan secara sadar atau tidak sadar yang dengannya sebuah kesimpulan dicapai atau sebuah analisis dilakukan, 3) Pembatasan apa-apa yang mungkin atau signifikan dalam proses pengaturan dan pemecahan sebuah masalah.[1]
Dalam buku Logman Dictionary of Contemporary English dikatakan bahwa ada tiga pengertian perspektif di antaranya adalah ; “The Way in Which a Situation or Problem is Judged, So Thet (proper) Consideration and Importance is Given to Each Part.[2]
Dengan demikian dapat difahami, bahwa yag dimaksud dengan perspektif dalam kontek makalah ini, adalah cara yang digunakan dalam memandang ilmu sehingga dapat memberikan konsiderasi yang sebenarnya.

B.    Ilmu dalam Perspektif Moral
            Sebelum membahas tentang kaitan ilmu dan moral, terlebih dahulu dikemukakan pengertian tentang moral, kata moral berasal dari bahasa Latin Mos bentuk jamaknya adalah Mores yang berarti adalah adat atau cara hidup.[3] Poerwadarminta mengartikan sebagai ajaran tentang baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan.[4]          
            Della Summers mengartikan moral sebagai berikut :
1.    Hal yang berkenaan dengan atau berdasar pada prinsip-perinsip tingkah laku yang benar dan salah serta perbedaan antara yang baik dan yang buruk.
2.    Ide yang lebih menekankan pada apa yang benar dan bukan apa yang boleh.[5]

Sementara Moh. Amin dalam bukunya Pengantar Ilmu Akhlak mengatakan bahwa moral adalah ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia yang baik dan wajar sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.[6]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa moral adalah ajaran yang menjelaskan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan atau benar salahnya suatu tindakan, serta menekankan untuk melakukan apa yang benar menurut ukuran yang umum diterima dalam suatu lingkungan tertentu.
Dalam hubungannya dengan ilmu, apakah ilmu seseorang merupakan suatu jaminan moral ?. Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita simak pernyataan imajintif Taufik Ismail yang dituangkan dalam sebuah puisi yang dikutip oleh Jujun Surya Sumantri bahwa penalaran otak orang itu luar biasa. Demikian kesimpulan ilmuan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah sedangkan sebodoh-bodoh umat kerbau, kita tidak dapat curang dan serakah.[7]
Pernyataan yang lugu ini, namun benar dan kena sungguh menggelitik nurani kita. Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita, apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi oleh analisis yang hakiki, atau malah sebaliknya? Makin cerdas, maka makin pandai pula ia berdusta ?.[8]
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu dan teknologi, berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi. Namun dalam kenyataannya, apakah ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang membawa malapetaka dan kesengsaraan.[9]
Abad keduapuluh satu ini sering disebut sebagai abad ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perkembangannya telah dilemparkan kritik bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah dikembangkan demi kesejahteraan ummat manusia, namun ternyata berkembang secara ironis telah menjadi alat untuk merusak manusia itu sendiri. Untuk hal ini banyak disebut-sebut akibat jatuhnya bom atom di Hiroshima, penggunaan senjata kimia di medan perang, seperti Vietnam dan Afghanistan, begitu juga pembuatan senjata nuklir secara besar-besaran seerta peluru kendali antar benua yang memungkinkan semua ini  menghancurkan manusia dengan segala aspeknya,[10] jelas bukan merupakan berkah sehingga teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarat yang memberikan kemudahan bagi kehidupan, justeru manusia harus membayar mahal dengan kehilangan sebagian dari kemanusiaannya, manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi.[11] Hal ini terjadi karena kemajuan ilmu dan teknologi tidak dipandu oleh sistem moral yang sesuai dengan kebutuhan zaman atau dengan kata lain karena ilmu dan teknologi yang berkembang bebas dari nilai moral minimal karena hanya terkait secara lemah. Menghadapi kenyataan semacam ini maka moral harus tampil sebagai benteng pengaman. Ilmu tidak boleh dibiarkan berkeliaran secara bebas, menjelajah secara liar tanpa kontrol dan kawalan moral. Dengan kata lain moral harus tampil membimbing ilmu dan sekaligus mengawasi perkembangannya.

C.    Ilmu dalam Perspektif Global
Secara normatif subjektif, manusia menurut al-Qur’an adalah makhluk yang disiapkan Allah untuk menjadi tangan kanan (mandataris Allah). Oleh karena itu manusia harus memegang kekuasaan terhadap al-Asma, yaitu pemahaman teoritis tentang alam semesta. Sementara kejadian manusia dari tanah sebagai asal kejadian, berarti bahwa manusia harus kembali ke bumi untuk bersahabat dengannya dan seluruh penghuninya terutama manusia.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup di atas dunia yang fana ini, maka dalam mengelola alam manusia harus menguasai ilmu.[12], dan  mengkomunikasikannya secara terbuka kepada masyarakat serta pemanfaatannya bersifat sosial. Dengan kreatifitas yang didukung oleh komunikasi yang terbuka menyebabkan proses pengembangan ilmu maju dengan sangat efektif. Bahkan penemuan individual yang menonjol telah mengubah wajah dan peradaban manusia.[13]
Manusia sebagai anggota masyarakat, adalah sebagai pelaku yang harus bergerak dan bertanggung jawab. Jadi persentuhan antara ilmu dan masyarakat terjadi melalui ilmuan sebagai anggota masyarakat yang harus bertanggung jawab terhadap lingkungan dan menyebarluaskan ilmunya agar manfaatnya dapat dirasakan secara umum. Bertanggung jawab terhadap kaderisasi pelanjut yang akan memegang tongkat estafet agar kelestarian ilmu dapat terjamin.[14] Jika gagal maka ilmu tidak akan banyak membantu mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kehidupan yang lebih baik.
Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat, namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.[15]
Singkatnya, dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuan harus membumikan dan mensosialisasikan pengetahuannya sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Dengan demikian seberapa jauh keterlibatan ilmuan dalam masyarakat, sejauh itu pul aperan ilmu yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat tersebut.

D.  Ilmu dalam Perspektif Politik
            Kata politik berasal dari bahasa Inggris politic yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Relating to a Citizen yang berarti berhubungan dengan warga negara, warga kota. Kedua kata tersebut berasal dari kata “politis” yang bermakna “city” kota.[16]
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa politik adalah segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara.[17]
Sementara Deliar Noer seperti yang dikutip oleh Abdul Muin Saalim mengatakan bahwa politik adalah segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jelas mengubah dan mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.[18]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa politik adalah perilaku manusia baik berupa perbuatan, tindakan dan sikap yang berhubungan dengan warga negara atau pemerintahan yang bertujuan untuk mempengaruhi atau mempertahankan tatanan masyarakat atau pemerintahan suatu negara dengan menggunakan kekuasaan.
Mengenai asal mula negara, ada analisa sederhana yang dikemukakan oleh Plato bahwa suatu negara terbentuk karena tidak seorangpun di antara kita yang sanggup mandiri, kita membutuhkan banyak hal. Karena manusia memiliki begitu banyak keinginan dan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan kekuatan dan kemampuan sendiri, maka manusia lalu bersatu dan bekerja sama.  Kerjasama manusia demi kepentingan bersama, melahirkan kecakapan, keterampilan dan spesialisasi serta pembagian tugas yang semakin lama  semakin terorganisasi dengan baik. Persekutuan hidup dan kerja sama yang semakin lama semakin terorganisasi dengan baik itu, kemudian membentuk apa yang disebut dengan negara.[19]
Setiap masyarakat atau negara pasti mempunyai tokoh pemimpin atau pemerintah yang berkausa. Untuk tetap berkuasa maka harus tahu cara mempertahankan kekuasaan tersebut, pengetahuan tentang cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan disebut ilmu politik.
Sebagian orang menuduh bahwa politik itu kotor. Kiranya pertama-tama bahwa berpolitik  berarti mencari dan mempertahankan kekuasaan. Dan kekuasaan itu katanya kotor. Untuk memperebutkannya orang harus keras, licik, harus pintar main bujuk ataupun memeras. Lawan harus dipukul tanpa ampun dan sahabat yang menjadi terlalu kuat harus dijegal sebelum menjadi ancaman. Demi mempertahankan kekuasaan kawan yang paling dekat pun harus dikhianati dan cita-cita paling luhur harus dikesampingkan.
Menurut pandangan ini jangan kita mengandalkan kesetiaan dan jangan percaya pada cita-cita para politisi, yang mereka cari hanya kekuasaan, dan demi kekuasaan itu segala nilai harus dikorbankan.[20]
Tindakan di atas memuat bahwa orang berpolitik hanya demi pamrih pribadi. Para politisi dianggap orang yang hanya mau memperkaya diri dengan sasaran agar tetap berkuasa, karena kekayaan adalah sumber kekuasaan.
Dalam pandangan Plato, kekayaan bukan sumber kekuasaan, demikian pula pangkat, kedudukan dan  jabatan. Plato menobatkan ilmu pengetahuan yang harus duduk di atas tahta pemerintahan, karena hanya pengetahuan yang dapat membimbing dan menuntun manusia jika pengetahuan menduduki tempat  dan memegang peranan penting maka akan benarlah jika dikatakan bahwa pengetahuanlah sumber kekuasaan. Itulah sebabnya Plato mengatakan pengetahuan adalah kekuasaan.[21]
Selanjutnya sebagaimana yang diungkap oleh Plato bahwa asal mula negara itu adalah terletak dalam keinginan dan kebutuhan manusia maka itu berarti negara dibentuk oleh dan untuk manusia sesuai dengan ajaran etik yang dikembangkannya, bagi Plato tujuan negara sinkron dengan tujuan hidup manusia yaitu kesenangan dan kebahagiaan warga.[22] Sementara ilmu menurut Burhanuddin Salam adalah hasil budaya manusia di mana lebih mengutamakan kuantitas yang obyektif  dan mengesampingkan kualitas subyektif yang berhubungan dengan keinginan pribadi, sehingga dengan ilmu manusia tidak akan mementingkan  dirinya sendiri.[23]
Dengan demikian, seorang politisi yang menghayati tujuan negara dan kegunaan ilmu maka ia akan mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan masyarakat bukan untuk kepentingan pribadinya. Dengan demikian, jelas bahwa ilmu mempunyai peranan penting dalam kehidupan berpolitik.



[1] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1995), h. 247

[2] Della Summers (et.al). Logman Dictionary of Contemporary English, (England; Logman Group, UK Limited, 1997), h. 767

[3] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta; Rajawali Press, 1995), h. 13

[4] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1984), h. 654

[5] Della Summers (et.al), Op.cit., h. 77

[6] Moh.Amin, Pengantar Ilmu Akhlak, (Surabaya; Expres, 1987), h. 11

[7] Jujun S. Surya Sumantri,. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Cet. X, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 229

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Cet. III, Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h. 24-25

[11] Jujun S. Surisumantri, Filsafat Ilmu, h. 231
[12] Burhanuddin Salam, Op.cit., h. 25
[13] Burhanuddin Salam, Logikal Material, h. 272-273

[14] Yusuf Qardawi, ar-Rasul wa al’Ilm, diterjemahkan oleh Kamaluddin A. Marzuki dengan judul, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu; Perspektif Sunnah, (Cet. II, Bandung; Remaja Rosda Karya Offset, 1991), h. 69
[15] Jujun S. Surya Sumantri, Op.cit., h. 237

[16] John M. Echolls dan Hassan Shadaly, Kamus Inggris Indonesia, (Cet. XXI; Jakarta; Gramedia, 1995), h. 437

[17] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. II, Cet. II, Jakarta; Balai Pustaka, 1994), h. 780

[18] Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Cet. II, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1994), h. 37

[19] J.H. Rapan, Filsafat Politik Plato, (Cet. II, Jakarta; CV. Rajawali, 1991), h. 62

[20] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik; Butir-Butir Pemikiran Kritis, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 114-115

[21] J.H. Rapan, Op.cit., h. 97

[22] Ibid., h. 63

[23] Burhanuddin Salam, Loc.cit.

Pengamatan ilmiah dan bahasa ilmiah


BAB
PEMBAHASAN

A.    Pengamatan Ilmiah
Secara umum dapat dipahami, bahwa pengamatan adalah hasil tanggapan dari indera terutama mata terhadap obyek tertentu sehingga menimbulkan kesan pada rasio (nalar) tentang pengertian. Indera merupakan salah satu alat untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan. Firman Allah :" Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikanmu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur". (QS. An-Nahl (16) : 78)
Dalam ayat diatas dijelaskan, bahwa ada satu kegaiban dan keajaiban yang dekat pada manusia. Manusia mengetahui fase-fase pertumbuhan janin, tetapi manusia tidak mengetahui bagaimana jalannya proses perkembangan janin yang terjadi dalam rahim itu sehingga mencapai kesempurnaan.[1]
Selanjutnya, diantara indera-indera eksternal hanya pendengaran dan penglihatan yang disebut, karena keduanya merupakan alat-alat utama yang membantu seseorang dalam memperoleh pengetahuan akan dunia fisik.[2]
Dalam proses ini terdapat rahasia hidup yang tersembunyi, Allah Ta'ala mengeluarkan manusia dari rahim ibu, pada waktu itu ia tidak mengetahui apa-apa. Allah telah memberikan potensi pada setiap manusia berupa kemampuan untuk menggunakan inderanya, dan dengan alat yang diberikan Allah kepada manusia inilah, manusia mulai dapat mengenal alam fisik di lingkungannya, sebagai kelengkapan dari kedua indera, ini Allah juga telah pula memberikan hati atau kadang disebut dengan budi (af-idah) atau sering disebut juga fu'ad.
Bila kita rangkum potensi manusia untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan, adalah berupa :
1.      Indera eksternal, atau yang biasa dikenal dengan panca indera, dimana dengan indera ini pengamatan dan ekperimen dapat dilakukan;
2.      Intelektual, atau biasa disebuat dengan rasio (logika), dan tentunya yang tidak dikotori dengan sifat-sifat buruk yang menguasai kehendak-kehendak dan khayalan-khayalan, serta bebas dari peniruan buta (taqlid);
3.      Inspirasi, hal ini berada diluar dari kemampuan nalar manusia, karena datangnya atau kehadirannya bisa begitu saja datang atau secara tiba-tiba saja terbesit di dalam benak kita (tanpa proses pembelajaran).
Ketiga potensi yang ada pada manusia diatas, saling menunjang antara yang satu dengan yang lain. Indera untuk mengamati atau observasi terhadap gejala-gejala alam, kemudian rasio untuk berfikir tentang rahasia di balik fenomena alam yang beaneka ragam, dan imajinasi untuk mengembangkan hasil- hasil penemuannya, dan dari hasil penemuan-penemuan yang diperolehnya itu, selanjutnya diolah, diteliti lebih lanjut, dan yang kemudian diterapkan menjadi teknologi seperti yang ada sekarang ini, salah satunya adalah apa yang sedang kita pergunakan sa'at ini (internet).
Jadi jelaslah kiranya dari uraian-uraian diatas, bahwa Al-Qur'an memberikan peluang kepada manusia untuk menggunakan pengamatan dan penalarannya untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Mansur Malik mengemukakan konsep penalaran ilmiah dalam Al-Qur'an, sebagai berikut[3] :
Pertama, Penalaran ilmiah dalam Al-Qur'an, ialah upaya untuk menarik pada suatu kesimpulan, adakalanya melalui kerja-sama antara akal (rasio) dengan panca indera, atau hanya dengan mempergunakan daya akal dengan cara menghubungkan pengertian-pengerti an yang terkait dalam suatu hal.
Kedua, Alasan-alasan yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan ialah ;
1.      Alasan-alasan yang bersifat induktif, artinya dari fakta-fakta yang khusus ditarik pada kesimpulan yang umum.
2.      Alasan yang bersifat deduktif, yakni penafsiran kesimpulan berdasarkan ketentuan umum yang telah diakui kebenarannya.
3.      Al-Qur'an juga meng-isyaratkan diperlukannya penalaran yang bersifat analistis, yaitu penalaran mengenai obyek pikir atas bagian untuk mengenal hakikat, sifat, atau peran masing-masing bagian tersebut. Dengan kata lain, hakekat; menggambarkan esensi pokok keberadaan suatu wujud: ciri, sifat dan fungsi dari wujud tersebut baik secara internal maupun wujud eksternal.[4] 
Ketiga, disamping diperlukan penalaran kualitatif terhadap fenomena sosial, Al-Quran meng-isyaratkan pula penalaran kuantitatif berkenaan dengan fenomena alam.
Keempat, Al-Qur'an menekankan perlunya dicapai kualitas tertinggi hasil berfikir yang disebut dengan al-haqq (kebenaran), yakni dapat ditemukan atau dibuktikannya kebenaran suatu informasi atau ajaran, teori atau hukum, maupun hikmah penciptaan dan pengaturan alam.
Kelima, Guna menguji suatu kebenaran, Al-Qur'an menyuruh melakukan verifikasi dan dengan ilmu yang dimiliki, dan mendorong untuk membuat prediksi.
Keenam, Seiring dengan petunjuk-petunjuk bagaimana cara berfikir yang baik, Al-Qur-an juga mengingatkan kesalahan-kesalahan dalam berfikir, terutama kesalahan yang disebabkan subyektifitas pemikir atau karena faktor penginderaan kita yang acapkali keliru atau terbatas kemampuannya.
Untuk itu, patutlah kita menyadari betapa lemah dan terbatasnya potensi inderawi kita, dan begitu pula halnya dengan rasio yang juga tidak mampu menangkap hal-hal diluar jangkauannya, maka satu-satunya cara adalah dengan bantuan petunjuk Allah Ta'ala berupa wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, wahyu memegang perananan penting, manakala manusia biasa tidak lagi mampu mengungkap kebenaran melalui pengamatan maupun penalaran, dikarenakan ada beberapa hal yang memang tidak mungkin indera atau rasio (logika) dapat mengungkapkannya.
Oleh karena manusia biasa tidak bisa atau tidak dapat menerima wahyu sebagaimana para Nabi dan Rasul, maka diturunkanlah Al-Qur'an melalui Rasulullah Muhammad s.a.w, sebagai "wahana konsultatif" untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dengan keyakinan bahwa kebenaran Al-Qur'an adalah "mutlak", namun untuk mencapai kebenaran tersebut manusia memerlukan upaya bukan hanya orang perorang, dan disamping itu juga bilamana perlu, dengan menggunakan pendekatan "inter-disipliner" , artinya untuk memecahkan persoalan hidup manusia baik masa kini maupun untuk masa yang akan datang, terutama berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Coba perhatikan alasannya mengapa kita memerlukan juga pendekatan inter-disipliner? , ada isu menyesatkan perihal berkembangnya cerita bahwa dewasa ini, dunia kedokteran di Barat dapat menghidupkan jenazah, juga tentang media elektronik yang telah berhasil menangkap bayangan orang yang telah mati ratusan tahun yang lalu.[5]
Hal ini merupakan tugas manusia, terutama umat Islam yang telah merindukan kejayaan kembali dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. sebagaimana yang telah pernah dicapai pada zaman keemasannya, (lih. The Golden Age of Islam. pen)
Bila wahyu itu merupakan petunjuk langsung yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, maka praktis para manusia biasa (termasuk ilmuwan), tidak mungkin mendapatkan wahyu, tidak juga orang-orang yang mengaku telah memperoleh wahyu, seperti apa yang akhir-akhir ini berkembang ditengah masyarakat kita yang jelas-jelas menyesatkan. Alasannya jelas dan tegas, bahwa Allah ta'ala tidak mengutus Nabi atau Rasul-Nya lagi, setelah Rasulullah Muhammad s.a.w, yang adalah penutup para Nabi.
Dengan demikian dapat kita simpulkan berdasarkan ayat-ayat yang telah kita singgung diatas, bahwa wahyu memegang peranan penting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bila menghadapi persoalan yang belum dapat atau tidak bisa dipecahkan oleh kemampuan indera maupun rasio. agar manusia tidak tersesat karena hanya mengandalkan kemampuannya, maka wahyu merupakan penuntun ke jalan yang benar.
Untuk itu, orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan penghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, adalah tidak benar!, dan menghadapi orang-orang yang menyebarkan alasan itu, hendaklah kita sebagai umat Islam harus berhati-hati menyikapinya, dan ironisnya isu tersebut justru di-hembuskan ditengah-tengah atau di-kalangan para ilmuwan Muslim, yang jelas maksudnya agar para ilmuwan Muslim itu di-dalam melakukan kajian ilmiahnya berlepas diri dari Al-Qur'an, yang sebenarnya justru melindunginya dari kesesatan berpikir.
Atas dasar sekedar kenyatan tersebut diatas, maka ada beberapa saran yang semoga bermanfaat :
1.      Sudah sa'atnya para ilmuwan menyadari sepenuhnya, bahwa betapapun hebatnya manusia sehingga dapat menguasai alam ini. pada hakikatnya tetap adalah mahluk yang lemah yang penuh denga keterbatasan, untuk itu dengan kemajuan yang diperoleh hendaknya tidak untuk menyombongkan diri serta menjauhi Sang Maha Pencipta Seluruh Alam Semesta.
2.      Telah dikemukakan, bahwa Al-Qur'an bukanlah penghambat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan Al-Qur'an sebagai nara sumber yang dijadikan landasan berpikir oleh ilmuwan muslim pada masa lalu. Karena itu, hendaknya mendapat perhatian yang serius untuk dikaji kembali bukan hanya ayat-ayat tersurat saja, melainkan juga pada ayat yang tersirat berupa fenomena alam dan isinya.
Demikian sekedar kajian kita dalam artikel kali ini, dan apabila ada yang salah itu pasti datangnya dari saya, untuk itu saya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.

B.     Bahasa ilmiah
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan dalam pengertian bahasa ilmiah yaitu : suatu susunan bahasa yang dipakai pengguna baik lisan maupun tulisan dengan menggunakan istilah-istilah yang telah dibakukan.
1.      Ciri-ciri Bahasa Ilmiah adalah sebagai berikut :
a)      Bahasa Ilmiah harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar ataupun mendua.
b)      Bahasa Ilmiah mendefinisikan secara tepat istilah, dan pengertian yang berkaitan dengan suatu penelitian, agar tidak menimbulkan kerancuan.
c)      Bahasa Ilmiah itu singkat, jelas dan efektif.
2.      Ragam Bahasa Ilmiah :
a)      Cendekia, Bahasa yang cendekia mampu membentuk pernyataan yang tepat dan seksama, sehingga gagasan yang disampaikan penulis dapat diterima secara tepat oleh pembaca.
b)      Lugas, Paparan bahasa yang lugas akan menghindari kesalah-pahaman dan kesalahan menafsirkan isi kalimat dapat dihindarkan. Penulisan yang bernada sastra perlu dihindari.
c)      Jelas, Gagasan akan mudah dipahami apabila (1) dituangkan dalam bahasa yang jelas dan (2) hubungan antara gagasan yang satu dengan yang lain juga jelas. Kalimat yang tidak jelas, umumnya akan muncul pada kalimat yang sangat panjang.
d)     Formal, Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ilmiah bersifat formal. Tingkat keformalan bahasa dalam tulisan ilmiah dapat dilihat pada lapis kosa kata, bentukan kata, dan kalimat. Kalimat formal dalam tulisan ilmiah dicirikan oleh; (1) kelengkapan unsur wajib (subyek dan predikat), (2) ketepatan penggunaan kata fungsi atau kata tugas, (3) kebernalaran isi, dan (4) tampilan esei formal. Sebuah kalimat dalam tulisan ilmiah setidak-tidaknya memiliki subyek dan predikat.
e)      Obyektif, Sifat obyektif tidak cukup dengan hanya menempatkan gagasan sebagai pangkal tolak, tetapi juga diwujudkan dalam penggunaan kata.
f)       Konsisten, Unsur bahasa, tanda baca, dan istilah, sekali digunakan sesuai dengan kaidah maka untuk selanjutnya digunakan secara konsisten.
g)      Bertolak dari Gagasan, Bahasa ilmiah digunakan dengan orientasi gagasan. Pilihan kalimat yang lebih cocok adalah kalimat pasif, sehingga kalimat aktif dengan penulis sebagai pelaku perlu dihindari.
h)      Ringkas dan Padat, Ciri padat merujuk pada kandungan gagasan yang diungkapkan dengan unsur-unsur bahasa. Karena itu, jika gagasan yang terungkap sudah memadai dengan unsur bahasa yang terbatas tanpa pemborosan, ciri kepadatan sudah terpenuhi.
Secara praktis pengamatan ilmiah dan bahasa ilmiah adalah merupakan suatu himpunan yang sangat baik, bisa kita lihat bahwa suatu pengamatan yang ilmiah jika disertai dengan bahasa-bahasa yang ilmiah dapat menambah gairah dalam memahami secara mendalam apa yang akan kita kemukakan, seperti halnya pemahaman tentang ilmu yang telah kita amati.
Dalam bidang keilmuan, suatu pengamatan yang dilakukan secara ilmiah dapat menambah kelogisan suatu ilmu. Ditambah dengan beberapa bahasa ilmiah yang dibubuhkan, akan menambah daya tarik tersendiri bagi seseorang untuk menekuni dunia keilmuan tersebut.


[1] Muhammad Fuad, Abd. Al-Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfas Al-Qur'an Al-Karim, (Dar Al-Fikr li al-Taba'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, Beirut, 1980), hal.121-123

[2] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur'an (The Holy Qur'an and The Science of Nature), Terjemahan Agoe Effendi, (Bandung : Mizan, 1991), hal.83
[3] Mansur Malik, Penalaran Ilmiah dalam Al-Qur'an, (Jakarta: Disertasi, IAIN, 1989)

[4] C.A. Qadir, (peny), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Terjemahan Bosco Carvalo, dkk, (Jakarta: Yayasan Obor, 1988), hal. vii
[5] DR. Imam Syafi'ie, Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Al-Qur'an, Ed.1, cet.1 (Yogyakarta: UII Press,2000), hal. 138-139