Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Thursday, June 2, 2011

Hukuman Bagi Siswa


1. Pengertian Hukuman
Seperti telah diketahui bersama bahwa pelaksanaan pendidikan dan pengajaran tidak akan terlepas dari pada bagaimana cara untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dari semula dan/atau bagaimana cara mengajar agar bisa berjalan dengan lancar berdasarkan metode atau alat yang akan digunakan. Alat pendidikan ialah suatu tindakan atau situasi yang sengaja diadakan untuk tercapainya suatu tujuan pendidikan tertentu. Dalam menggunakan alat pendidikan ini, pribadi orang yang menggunakannya adalah sangat penting, sehingga penggunaan alat pendidikan itu bukan sekedar persoalan teknis belaka, akan tetapi menyangkut persoalan batin atau pribadi anak. Hukuman sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang diangap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuan di sini adalah hukuman langsung, dalam arti dapat dengan segera menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang. Dengan kata lain, hukuman adalah penyajian stimulus tidak menyenangkan untuk menghilangkan dengan segera tingkah laku siswa yang tidak diharapkan. Yang termasuk alat pendidikan di antaranya ialah berupa hukuman dan/atau ganjaran.
2. Hakikat adanya Hukuman
Beberapa definisi hukuman telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya:
1. Hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya.[1] Sedangkan menghukum adalah memberikan atau mengadakan nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju kearah perbaikan.[2]
3. Prinsip Hukuman
Dalam memberikan suatu hukuman, para pendidik hendaknya berpedoman kepada perinsip "Punitur, Quia Peccatum est" artinya dihukum karena telah bersalah, dan "Punitur, ne Peccatum" artinya dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan, Jika kita mengikuti dua macam perinsip tersebut, maka akan kita dapatkan dua macam titik pandang, sebagaiman yang dikemukakan oleh Amin Danien Indrakusuma, yaitu :
1.    Titik pandang yang berpendirian bahwa hukuman itu ialah sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahan yang diperbuat. Dengan demikian, pandangan ini mempunyai sudut tinjauan ke belakang, tinjauan kepada masa yang lampau, yaitu pandangan "Punitur, Quia Peccatum est";
2.    Titik pandang yang berpendirian bahwa hukuman itu adalah sebagai titik tolak untuk mengadakan perbaikan. Jadi, pandangan ini mempunyai sudut tinjau ke muka atau ke masa yang akan datang, yaitu pandangan "Punitur, ne Pecatur".[3]

Semua pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam. Contoh, anak bermain dengan air panas dan akhirnya tersiramlah kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak ada baginya. Dari hukuman alam tersebut, anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan yang berbahaya itu lagi, atau ia meneruskannya akan tetapi ia berusaha mengelak.[4]
4.  Pemberian Hukuman
Jenis atau bentuk hukuman yang dijatuhkan berbagai macam. J.J. Hasibuan mengungkapkan tentang bentuk dari hukuman tersebut, yaitu:
a. Bentuk Hukuman Bentuk-bentuk hukuman
1)      hukuman fisik,misalnya dengan mencubit, menampar, memukul dan lain sebagainya;
2)      hukuman dengan kata-kata atau kalimat yang tidak menyenangkan, seperti omelan, ancaman, kritikan, sindiran, cemoohan dan lain sejenisnya;
3)      hukuman dengan stimulus fisik yang tidak menyenangkan, misalnya menuding, memelototi, mencemberuti dan lain sebagainya;
4)      hukuman dalam bentuk kegiatan yang tidak menyenangkan, misalnya disuruh berdiri di depan kelas, dikeluarkan dari dalam kelas, didudukan di samping guru, disuruh menulis suatu kalimat sebanyak puluhan atau ratusan kali, dan lain sebagainya.[5]

b. Keunggulan dan Kelemahan Hukuman
Keunggulan utama dari hukuman bahwa pemakaiannya dengan tepat akan dapat menghentikan dengan segera tingkah laku siswa yang mengganggu jalannya kegiatan belajar mengajar. Seorang siswa yang mengganggu jalannya kegiatan jalannya kegiatan belajar mengajar, dengan sendirinya akan tidak mengganggu lagi bila hukuman dengan menyuruhnya keluar dari kelas. Tetapi pada sisi lain, hukuman mengandung kelemahan berupa sejumlah akibat sampingan yang negatif. Akibat-akibat negatif yang dapat terjadi antara lain:
1)      hubungan antara guru dan siswa menjadi terganggu, misalnya siswa mendendam pada guru;
2)      siswa menarik diri dari kegiatan belajar mengajar, misalnya tidak mau mendengarkan pelajaran;
3)      siswa melakukan tidakan-tindakan agresif, misalnya merusak fasilitas sekolah;
4)      siswa mengalami gangguan psikologis, misalnya rasa rendah diri.[6]
c. Seni Memberi Hukuman
Seni memberi hukuman terhadap anak didik sebagaimana diungkapkan oleh bahwa hukuman-hukuman itu seharusnya jarang diberikan, dan harus diseleksi terlebih dahulu serta harus dipertanggung jawabkan.[7] Ini berarti kita tidak boleh menetapkan atas dasar kebencian atau rasa balas dendam. Supaya hukuman-hukuman itu bisa dipertanggung jawabkan, kita harus menjatuhkannya sedemikian rupa sehingga betul-betul mengakibatkan perbaikan atas kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Beberapa sikap pendidik yang tidak dipertanggung jawabkan ialah dengan memuji anak didik yang sombong, menegur anak didik yang rakus, yang menyalin bacaan dengan tulisan yang tidak terang, selama istirahat melarang anak didiknya untuk berbuat sesuatu dan lain sebagainya. Umpamanya lagi ada seorang ibu yang merusak permainan anaknya sebagai hukuman terhadap anaknya yang telah merusak permainan anak yang lain.
Hukuman-hukuman tersebut tidak hanya berupa siksaan jasmaniah saja, yang penting harus mampu memberi semangat dan menimbulkan sikap untuk memperbaiki diri. Inilah suatu hal yang harus dipikirkan dalam memberikan suatu obat yang mujarab atau suatu suntikan yang konstruktif kepada anak didik. Apabila tindakan kita tidak mampu menyembuhkan berarti jasa atau pengabdian kita menjadi hilang dan sia-sia. Oleh karena itu, hukuman-hukuman yang kita berikan harus merupakan suatu perbaikan yang menyeluruh, serta harus menjajikan suatu kesempatan untuk bangun kembali dan untuk merehabilitasi diri. Hukuman-hukuman yang dijatuhkan harus juga bersifat psikologis. Sebaiknya memperhatikan dengan seksama bahwa sebenarnya apa yang bagi kita merupakan satu siksaan atau ganjaran, tidak selalu demikian bagi anak didik. Oleh karena itu, kita harus benar-benar mengenal pribadi anak didik supaya hukuman yang akan diterapkan dapat tepat dan konstruktif. Banyak sanksi-sanksi yang antipsikologis dan tidak menguntungkan. Tindakan yang demikian harus kita ubah, seperti:
1)   Menyuruh anak didik yang pemalu untuk memberikan selamat di muka umum, ini menghadapkan anak didik pada siksaan batin;
2)   Menyuruh seseorang untuk meminta penjelasan pada orang yang besar bicaranya sambil mengatakan bahwa kita tidak pernah bertemu dengan orang semacam itu. Ini berarti memberikan kesempatan pada seseorang itu untuk menjadi lebih sombong dari orang lain;
3)   Menghukum dengan cara mengambil hak seseorang, seperti tidak boleh ikut jalan-jalan selama beberapa waktu, dan sebagai gantinya diberi tugas yang lain. [8]

Ada beberapa pendidik yang selalu memandang anak didik dari segi kejelekannya saja dan sebaliknya ada juga yang hanya memenadang dari segi kebaikannya saja. Seorang pendidik yang mengenal pribadi anak didiknya, tidak akan menyuruh anak didik yang berbuat gaduh untuk menulis kata-kata seperti "aku malas" sebanyak duapuluh kali sebagai hukumannya. Kita justeru harus memberi hukuman yang mengandung semangat. Apabila akan diberi tugas menulis, pilihlah kata-kata seperti "aku akan bekerja dengan lebih baik" dan lain sebagainya. Kita jangan sekali-kali memberikan tugas-tugas yang tidak senonoh, atau menyuruh mereka untuk menulis ungkapan-ungkapan yang tidak baik. Dengan demikian, kita akan menanamkan pada diri anak didik itu pikiran-pikiran yang tidak baik. Dari hal tersebut di atas, kita dapat melihat betapa dibutuhkan rasa cinta kasih yang mendalam dari pendidik di dalam menerapkan hukuman itu. Suatu hukuman yang dijatuhkan pada tempat dan waktu yang tepat, yang disertai pula dengan membeda-bedakan akan lebih membimbing dan efektip hasilnya, selain itu hal ini akan lebih diterima dengan baik oleh anak didik.
d. Syarat-Syarat Pemberian Hukuman
Beberapa persyaratan pemberian hukuman yang terpenting di antaranya ialah:
1)   Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta kasih sayang. Kita memberikan hukuman kepada anak, bukan karena ingin menyakiti hati anak, bukan karena ingin melampiaskan rasa dendam dan sebagainya. Kita menghukum anak demi untuk kebaikan, demi kepentingan anak, demi masa depan dari anak. Oleh karena itu, sehabis hukuman itu dilaksanakan, maka tidak boleh berakibat putusnya hubungan cinta kasih sayang tersebut;
2)   Pemberian hukuman harus didasarkan kepada alasan "keharusan". Artinya, sudah tidak ada alat pendidikan yang lain yang bisa dipergunakan. Dalam hal ini kiranya patut diperingatkan, bahwa kita jangan terlalu terbiasa dengan hukuman. Kita tidak boleh terlalu murah dengan hukuman. Hukuman, kita berikan kalau memang hal itu betul-betul diperlukan, dan harus kita berikan secara bijaksana;
3)   Pemberian hukuman harus menimbulkan kesan pada hati anak. Dengan adanya kesan itu, anak akan selalu mengingat pada peristiwa tersebut dan kesan itu akan selalu mendorong anak kepada kesadaran dan keinsyafan, tetapi sebaliknya hukuman tersebut tidak boleh menimbulkan kesan negatif pada anak. Misalnya saja menyebabkan rasa putus asa pada anak, rasa rendah diri dan sebagainya;
4)   Pemberian hukuman harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan pada anak. Inilah yang merupakan hakikat dari tujuan pemberian hukuman. Dengan adanya hukuman, anak harus merasa insyaf dan menyesali perbuatan-perbuatannya yang salah itu, dan dengan keinsyafan ini anak bejanji di dalam hatinya untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi;
5)   Pada akhirnya, pemberian hukuman harus diikuti dengan pemberian ampun dan disertai dengan harapan serta kepercayaan. Setelah anak selesai menjalani hukumannya, maka guru sudah tidak lagi menaruh atau mempunyai rasa ini dan itu terhadap anak tersebut. Guru harus membebaskan diri dari rasa ini dan itu dari anak tersebut. Di samping itu, kepada anak harus diberikan kepercayaan kembali serta harapan, bahwa anak itu pun akan sanggup berbuat baik seperti kawan-kawannya yang lain.[9]
Menurut Suwarno tentang syarat-syarat pemberian hukuman hendaknya:
1)   hukuman harus selaras dengan kesalahannya;
2)   hukuman harus seadil-adilnya;
3)   hukuman harus lekas dijalankan agar anak mengerti benar apa sebabnya ia dihukum dan apa maksud hukuman itu;
4)   memberikan hukuman harus dalam keadaan tenang, jangan dalam keadaan emosional (marah);
5)   hukuman harus sesuai dengan umur anak;
6)   hukuman harus diikuti dengan penjelasan, sebab bertujuan untuk membentuk kata hati, tidak hanya sekedar menghukum saja;
7)   hukuman harus diakhiri dengan pemberian ampun;
8)   hukuman kita gunakan jika kita terpaksa, atau hukuman merupakan alat pendidikan yang terakhir karena penggunaan alat-alat pendidikan yang lain sudah tidak dapat lagi;
9)   yang berhak memberikan hukuman hanyalah mereka yang cinta pada anak saja, sebab jika tidak berdasarkan cinta, maka hukuman akan bersifat balas dendam;
10)    hukuman harus menimbulkan penderitaan pada yang dihukum dan yang menghukum (sebab yang menghukum itu terpaksa).[10]


 DAFTAR PUSTAKA

[1] Amin Danien Indrakusuma,  Pengantar Ilmu Pengetahuan. (Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, 1973), h. 14

[2] Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakrta: PT. Rineka Cipta, . 1992), h. 115
[3] Amin Danien Indrakusuma, Op. Cit, h. 148

[4] Ag. Soejono.. Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum. (Bandung: CV. Ilmu. 1980), h. 165.
[5] J.J. Hasibuan, dkk. Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Remaja Karya, 1988), h. 56
[6] Ibid., h. 61

[7] JVS. Tondowidjojo CM, Kunci Sukses Pendidikna. (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 42.
[8] Ibid., h. 44
[9] Amin Danien Indrakusuma, Op. Cit, h. 155

[10] Suwarno, Op. Cit. h. 166

No comments:

Post a Comment