Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Friday, June 3, 2011

IAIN Gorontalo

Kado Ultah IAIN di Usia 40 Tahun

PERADABAN GORONTALO;
Mestinya Kita mulai dari IAIN
Oleh: Thariq Modanggu[1]

Usia 40 tahun bagi sebagian orang dianggap sakral. Sampai-sampai muncul ungkapan “live begins at fourty” Kehidupan baru mulai pada usia 40 tahun! Amerika Serikat saat ini, begitu mencengkram kuat remote jaringan internasional, setelah 40 tahun sebelumnya (1960-an) mengalami masa yang semraut, ta acak! Sejarah bahkan mencatat, pemimpin dunia yang juga panutan kita, Muhammad SAW. dipersiapkan oleh Tuhan menerima tugas kenabian dan kerasulan pada usia 40 Tahun. Bahkan, entah disengaja atau kebetulan, pemuda Muhammad bekerja pada saudagar perempuan, yang kebetulan janda kaya, dan juga berusia 40 Tahun.
Saya, seperti juga sebagian pembaca, tidak termasuk dalam daftar orang yang suka mensakralkan angka, apalagi usia. Tetapi menurut hemat saya, usia 40 tahun adalah usia yang matang. Matang secara psikologis, matang sosiologisnya, matang ekonomi, dan lain-lain. Pendek kata matang jatidiri
Karena itu, dalam perenungan saya, mungkin juga warga kampus lainnya, inilah saat yang tepat untuk kita ber-tafakkur, menghitung-hitung serta merefleksikan “nasib” kampus kita di usia yang terbilang matang ini. Saya yakin, para dosen dan pimpinan fakultas, apalagi rektor yang juga guru besar satu-satunya di kampus ini, dengan mudah menjawab sederet pertanyaan,  antara lain: sudah berapa alumni yang dihasilkan selama ini? Sudah berapa alumni kita yang menjadi PNS, aktifis LSM, anggota KPU, aktifis partai politik bahkan wakil rakyat di DPRD? Jawabannya tentu saja gampang dicari dalam buku alumni ataupun mengecek di dinas atau lembaga terkait.
Suatu ketika saya merasa ditampar oleh seseorang (maaf maksud saya, gugatan) yang tiba-tiba datang menggugah harga diri saya sebagai pengajar di lembaga pendidikan Tinggi Islam satu-satunya di Provinsi Gorontalo ini. Gugatan dalam bentuk ilustratif itu lebih kurang sebagai berikut: 
       
           Ayam senang menghasilkan telur                       Sadarkah ayam bahwa ia akan
            Telur bangga menghasilkan ayam                       menghasilkan telur yang kelak
                                                                                       akan menghasilkan dirinya?

               Lalu…                                                                                    Dan…
             senangkah ayam disembelih                             Sadarkah telur bahwa ia
             lalu dimakan?                                                  menghasilkan ayam yang
                                                                                    kelak akan menghasilkan
            Banggakah telur dipecahkan                            dirinya?
            lalu dikunyah?

Tentu saja, saya tidak sedang mempersamakan diri saya dan juga warga kampus lainnya dengan ayam ataupun telur. Ayam adalah ayam, telur adalah telur, dan kita adalah manusia.  Akan tetapi, hakikat dari renungan saya tentang ayam dan telur adalah bahwa saya, seperti juga dosen lainnya, menghasilkan uang dari lembaga ini dan  lembagalah kemudian yang menghasilkan sarjana.
            Di sinilah masalahnya. Cukupkah kita merasa senang, bahagia karena kita sudah mendapatkan uang (gaji) dan lembaga ini menghasilkan sejumlah sarjana. Tidak bisakah kita seperti ayam dan telur, atau setidak-tidaknya belajar dari ayam dan telur. Masing-masing menghasilkan sesuatu (baca: karya) yang kelak akan berpengaruh terhadap keberadaan atau ketiadaan dirinya.
            Konkretnya dalam konteks akademik, mestinya saya dan juga dosen lainnya menghasilkan sesuatu yang tidak saja segera habis dipakai berbelanja, melainkan juga karya yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi dosen yaitu hakikat kita sebagai kelompok masyarakat,  yang oleh Ali Syari’ati (1993: 13-15) digolongkan sebagai kaum intelektual. Dengan begitu cerdas Syari’ati mengapresiasi ungkapan Tibor Mende “Tomorrow’s History” (sejarah hari esok). Intinya, kaum intelektual memikul tanggungjawab yang besar untuk mempersiapkan masa depan. Karena memang hanya kaum intelektual yang sanggup merancang dan bekerja untuk proyek masa depan ini. Dengan kata lain, jika rancangan peradaban masa depan ummat manusia tidak dipersiapkan oleh kaum intelektual hari ini, maka eksistensi warga kampus telah berada di zona merah. Kritis!
            Lembaga sekelas IAIN mestinya sudah harus menyodorkan rancang bangun peradaban Gorontalo setidak-tidak 50 tahun ke depan, baik kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun kepada masyarakat. Peradaban Gorontalo masa lalu yang dikenal sebagai Ilomata Wopato (Alim-Elnino: 1997) dan Peradaban Islam di masa keemasan adalah contoh yang mestinya dijadikan rujukan.
            Tiga malam yang lalu saya terlibat diskusi panjang dengan saudara Elnino. Kesimpulan awal kami bahwa rancang bangun peradaban Gorontalo harus dimulai dengan riset yang mendalam dan komprehensif tentang tiang-tiang pancang peradaban, antara lain: moral, ilmu pengetahuan, seni, dan ekonomi. Setelah itu, kita merumuskan visi Gorontalo 25 atau 40 Tahun, agenda kerja dan mempersiapkan pelaku peradaban.
            Hanya kajian sederhana inilah yang bisa saya persembahkan sebagai kado ulang tahun pada Dies Natalis ke 40 IAIN Sultan Amai Gorontalo yang kita banggakan bersama. Sekali lagi, peradaban Gorontalo masa depan hanya dapat diwujudkan jika kita mau berpikir dan bekerja bersama-sama, membumikan tugas ke-khalif-an di Bumi Allah ini. Semoga!     


[1] Dosen IAIN Gorontalo.

No comments:

Post a Comment