Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Wednesday, June 1, 2011

Pemikiran Hassan Hanafi Dan Implikasinya Untuk Filsafat Pendidikan Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Akar-akar kehidupan awal, sekarang, dan yang akan datang tidak lepas dari persoalan hadits dan qadim, berubah dan menetap, fenomena dan naumena, makhluq dan khaliq, mengada dan berada, chaos dan cosmos, antropologis dan teologis, kebudayaan dan peradaban, kata kerja dan kata benda, potensial dan aktual, proses dan produk, amal shaleh dan iman, historisitas dan normativitas, dan seterusnya hingga muncul Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafat Pendidikan Islam, yang ujungpangkal serta prosesnya merujuk kepada persoalan metafisik, di mana metafisik itu adalah filsafat itu sendiri, mengingat metafisik menuntut dan menuntun ke arah serta dari persoalan dan pemecahan masalah ada dan tiada, berubah (becoming, ongoingness) atau menetap (being), umum (universal) dan khusus (individual), teologis-kosmologis-antropologis dan ontologis, epistemologis dan aksiologis, induksi dan deduksi, saintifik dan filosofik-mistik, sains dan ‘ilmu, knowledge dan gnosis, positif dan mitos-metafisis, akal dan wahyu, filsafat dan agama, termasuk di dalamnya dinamika dan arah pergeseran itu sendiri. Pendidikan sebagai perbuatan khas manusia menyakut persoalan tersebut, yaitu Adakah Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafat Pendidikan  Islam itu? Apakah Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafat Pendidikan Islam itu? Untuk apa (mengapa) Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafat Pendidikan Islam Islam itu? Kajian ini merujuk kepada pemikiran Hasan Hanafi dengan pendekatan fenomenologis yang mengandung langkah reduksi fenomenologis-reduksi eiditis-eidos, dan menggunakan metode paedagogis yang meliputi kisi-kisi antropologis-normatif-yang praktis.
            Alasan pembahasan pada makalah ini merujuk kepada pemikiran Hassan Hanafi, karena Paradigma universalistik yang diinginkan Hassan Hanafi harus memulai dari pengembangan epistemologi ilmu baru. Orang Islam tidak butuh hanya sekedar menerima dan mengambil alih paradigma-paradigma ilmu modern yang dibawakan oleh orang barat, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu orang Arab. Karena ilmu dan peradaban barat bertumpu pada materialisme, maka haruslah dikembangkan pengertian yang tepat bagi kaum muslimin tentang khazanah peradaban barat itu sendiri. Hal-hal yang fitriah, yang memang ditolak oleh Islam yang perlu digunakan dalam melakukan seleksi atas partikel peradaban barat yang masuk ke dunia Islam. Dari kebutuhan melakukan seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban barat itu, yang memiliki kelemahan-kelemahan serius, lahirlah kebutuhan untuk mengenal dunia barat dengan setepat-tepatnya. Upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, oksidentalisme) sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, orientalisme). Oksidentalisme bermaksud mengetahui peradaban orang barat sebagaimana adanya, termasuk kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Dari pendekatan seperti inilah lalu akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan (policy development) yang diperlukan kaum muslimin dalam jangka panjang… Hassan Hanafi mendiskusikan beberapa issue penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka  mewujudkan Kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah Islam itu. Rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menantang peradaban barat. Ia memperingatkan akan bahaya imperialisme kultural barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Ia mengusulkan ‘Oksidentalisme’ bagi jawaban ‘Orientalisme’ dalam rangka mengakhiri mitos peradaban barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dunianya sendiri…(Kazuo Shimogaki, terj., 1994. hal. 21-22).
            Mujamil Qomar (2005, hal. xii dan 371) sekaitan dengan problem Filsafat Pendidikan Islam yang bersangkutpaut dengan gambaran pikiran Hassan Hanafi di atas, menyebutkan bahwa,
            Oleh karena itu, benar penilaian bahwa problem utama pendidikan Islam adalah problem epistemologi. Kelemahan-kelemahan pendidikan selama ini sesungguhnya bersumber dari kelemahan epistemologinya, lataran epistemologi –dalam konteks ini merupakan subsistem yang membicarakan seluk-beluk pengethauan pendidikan Islam, termasuk metode untuk meraih dan mengembangkan pengetahuan tentang pendidikan Islam-berposisi mempengaruhi komponen lainnya. Hal ini bisa diibaratkan antara akar dan batang pohon. Pendidikan Islam ibarat batang pohon sedang epistemologi adalah akarnya. Kesuburan suatu batang pohon sangat bergantung pada kesuburan akarnya. Mapan tidaknya Ilmu Pendidikan Islam sangat bergantung pada kokoh-rapuhnya epistemologinya… Lataran begitu luasnya cakupan epistemologi itu, Gallagher sampai menyimpulkan epistemologi sama luasnya dengan filsafat.
            Bila kita melibatkan diri secara sadar dan sekaligus mengalami hidup dan kehidupan kini di sini, termasuk dalam situasi pendidikan di mana pendidikan itu berlangsung dilangsungkan, maka diduga sudah banyak perubahan yang terjadi di dunia ini, termasuk pemikiran dan perbuatan pendidikan Islam, lebih-lebih di Indonesia. Salah satu indikator adanya perubahan dan sekaligus adanya yang menetap sebagai arah pemikiran dan perbuatan pendidikan Islam, ialah adanya persoalan yang diangkat dalam seminar pendidikan Islam di Fakultas Tarbiyah Unisba di penghujung akhir tahun 2010 M di awal tahun Baru Islam 1432 H dengan tema Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafat Pendidikan Islam, yang mengandung makna bahwa insan pendidikan yang bertanggungjawab menyadari dan mengalami bahwa dirinya di tengah-tengah lingkungan di mana ia hidup sebagai makhluk yang berciri utamanya adalah perubahan: penggugahan-pengubahan diri dan lingkungannya termasuk pendidikan (“dinamis”); namun sekaligus, di sisi lain, menyadari dan mengalami bahwa dalam dan dari perburahan (“dinamis”) tersebut terdapat adanya yang menetap (kekekalan, keabadian: “arah” pergeseran). Dengan pernyataan lain, bahwa dalam Filsafat Pendidikan Islam yang dikembangkan, khususnya di Universitas Islam Bandung, di samping menyangkut ada yang berubah, juga ada upaya mempertahankan hal-hal yang perlu diabadikan, selaras dengan napas ajaran Islam yang mengandung sisi mujahid (sisi keabadian: hidup sungguh-realistis Islam-ideologis; Islam das Ding Ansich, Mahdlah), mujtahid (proses upaya penurunan keabadian ke tataran praksis hidup sungguh-realistis Islami, Islam das Ding Fur Mich, Ghair Mahdlah), dan mujaddid (penyadaran dan pengalaman pembaharuan yang erat ketat dengan dinamika dan arah pergeseran hidup sungguh-realitis ini, Islam yang transformasi-personifikasi individual dan kesatuan sosial). Kalau tanpa pelibatan diri termaksud di atas, maka niscaya seluruh perjuangan umat manusia melalui pendidikan Islam itu untuk mencapai perbaikan, reformasi, pembaharuan hidup sungguh-realistis ini, akan berakhir dengan kekacauan (chaos) dan ketidakpastian yang disebutkan oleh filosof Yunani Kuno dengan nama pantarhei, yaitu bahwa hanya satu yang kekal abadi di dunia ini, yaitu ketidak-abadian, dan hanya satu yang pasti, yaitu ketidakpastian (Tak ada yang berubah kecuali perubahan itu sendiri; yang tetap lagi pasti adalah perubahan itu sendiri). Kalau begitu, untuk apa orang berjuang untuk menggugah dan mengubah nasib, kalau nasib yang diperjuangkan itu sendiri tidak pasti, tanpa arah pergeserannya.
            Para filosof Islam berpendapat bahwa perubahan itu melekat (inherent) dengan manusia, secara individu dan secara kolektif, tetapi di samping perubahan ada hal-hal yang tidak perlu berubah dan perlu dikekalkan. Ada hal-hal yang sifatnya relatif, sedang yang lain adalah absolut. Ada hal-hal yang sifatnya berkesinambungan (continous) sedang yang lain beralih (changeable).
B. Rumusan Masalah
            Makalah ini membahas seputar yang dikemukakan di atas dengan merujuk kepada pemikiran Hassan Hanafi dan implikasinya untuk Filsafat Pendidikan Islam.
PEMIKIRAN HASSAN HANAFI DAN IMPLIKASINYA UNTUK FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM.?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sekilas tentang Hassan Hanafi
            Hassan Hanafi adalah seorang filosof hukum Islam, seorang pemikir Islam, dan gurubesar pada Fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia memperoleh doktor dari Sorbonne University, Paris, pada tahun 1966. ia banyak menyerap pengetahuan barat. Ia mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran barat pra modern dan modern. [1]
            Hassan Hanafi dikenal sebagai tokoh Kiri Islam (al-Yasar al-Islami) yang mengusung proyek Turast wa Tajdid. Proyek ini mendasarkan diri pada dialektika yang dikategorisasikan atas kemarin (al-madhi) yang dipersonifikasikan dengan turast qadim (khazanah klasik), esok (al-mustaqbal) yang dipersonifikasikan dengan turats gharbi (khazanah barat), dan sekarang (al-hali) yang dipersonifikasikan dengan realitas kontemporer (al-waqi’). Turats, dalam logika dialetika ini,  memuat energi hidup dan daya dobrak kesadaran berpikir, berperilaku, dsb yang dapat menjadi pijakan setiap generasi. Elemen kritis turats yang demikian ini, selama ini memang stagnan. Turats dijadikan topeng kebohongan bagi kaum kapitalis, kolonialis, dan feodalis untuk melanggengkan keangkuhan dan kekuasaan mereka. Turats harus dikembalikan pada posisinya yang terhormat, yakni penjaga elemen kritis sehingga selalu terbuka atas dialog secara jujur dan terbuka. Misalnya anarkisme, yang selama ini dimitoskan dengan kenegatifan, justru dari rahim ideologi inilah semangat revolusioner, pembebasan, dan pemerdekaan lahir. Karena pada zamannya, anarkisme  pernah menjadi pendorong perubahan sosial menuju masyarakat egaliter dan demokratis, terbebas dari belenggu otoritarianisme. [2]



B. Garis Besar Pemikiran Hassan Hanafi
            Corak atau watak pemikiran Hassan Hanafi yang hendak membawa dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Hassan Hanafi adalah sosok pemikir yang unik, mengingat ia tidak 1) dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional dikarenakan ia membongkar dan mengkritik pemikiran tradisonal, 2) modernis karena ia mengkritik modernitas dan menjadikan wacana tradisional sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada masa kini dan yang akan datang, 3) termasuk dalam kategori fundamentalis dikarenakan ia memakai analisis intelektual dengan penekanan pada rasionalistik. [3]
            Pemikiran Hassan Hanafi bersifat reformis Islam yang mengakumulasikan pemikiran fenomenologis dengan aplikasi metodologi dialektika yang dilandaskan pada kesadaran. Pemikiran yang memperhatikan urgensi historisitas, yakni senantiasa beranjak dari konteks sejarah dalam menapaki kehidupan kontemporer. Pemikiran yang senantiasa mengarah kepada upaya melakukan rekonstruksi terhadap tradisi yang merupakan fakta sejarah dalam menjawab problema kontemporer. Pemikiran yang bercorak dinamis dan progresif yang dibingkai dalam proyek al-turats wa al-tajdid (tradisi dan pembaharuan). Pemikiran post-tradisionalis yang berupaya melakukan dekonstruksi yang sekaligus rekonstruksi terhadap tradisi. Pemikiran yang mengarah kepada pencerahan (al-Tanwir; aufklarung), dengan menggunakan rasionalitas di samping tetap menghargai dan tidak mengabaikan aspek perasaan manusia. Rasionalitas yang digunakan bersama-sama dengan kekuatan perasaan selalu diwarnai pertimbangan sejauh mana pemikiran itu  mampu lebih aktual, yakni di samping tuntutan relevansi dengan jalan pemikiran manusia, ia sekaligus memberi kemanfaatan dan kesejahteraan bagi manusia.[4]
            Adapun material dari pemikiran Hassan Hanafi terdapat pada karyanya, Dirasat Islamiyyah, meliputi 1) teologi yang mendesakkan kepada perlunya bahwa sudah saatnya kita bergeser dari teologi statis-irrasional menunju anarkis-rasional, 2) filsafat dan mistik (sufistik) yang mendesak akan perlunya bahwa rekonstruksi nalar klasik dalam pemikiran filsafat adalah prasyarat bagi terwujudnya peradaban masa depan, dan 3) tentang manusia yang mendesak bahwa sebagai pemimpin di bumi (khalifah fi ‘l-ardh), manusia sebenarnya memiliki otoritas yang besar untuk menentukan ke arah mana peradaban umat manusia akan dibawa. Akan tetapi, otoritas manusia ini sering terdistorsi karena dominannya peradaban yang berpusat pada Tuhan. Oleh karena itu, tugas utama manusia (umat Islam) sekarang ini adalah menggeser peradaban dari bingkai ketuhanan klasik ke bingkai neohumanisme; dari Teosentrisme ke antroposentrisme. [5]

C. Analsis Filosofis terhadap Esensi Pemikiran Hassan Hanafi dan Implikasi untuk Filsafat Pendidikan Islam
            Kesadaran terlebih dahulu diawal dalam hal mengintip ruh analisis yang dimaksud dalam poin (C) ini, bahwa Filsafat Pendidikan Islam (FPI) pada makalah ini berwajah dua namun satu sama lain bertalian bagaikan lingkaran (circle) tesis-antitesis-sintetis, 1) suatu produk renungan filosofis tentang pendidikan Islam, yakni FPI merupakan akumulasi hasil pemikiran (para) filosof  tentang pendidikan Islam, sehingga mengarah kepada telaah produk hasil pemikiran pendidikan Islam; 2) suatu aktivitas, yaitu proses berpikir yang dilakukan secara radikal, sistematis, universal, kritis, dan metodis tentang pendidikan Islam, sehingga makalah ini diarahkan pada melakukan telaah secara radikal, sistematis, universal, kritis, dan metodis tentang hakikat pendidikan Islam; namun makalah ini tidak sekedar mengarah pada das Sein (de Facto) materi FPI yang telah ada, akan tetapi mengarah juga kepada menggali makna-makna yang seharusnya (das Sollen; de Jure) terwujud.

            Stella van Petten Henderson (Introduction to Philosophy of Education, 1959) demikian juga ‘Umar Muhammad al-Taumi al-Saibani (Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah, 1985) mendefinisikan bahwa, filsafat pendidikan adalah aplikasi filsafat umum terhadap pendidikan. Kalau Filsafat Pendidikan Islam disebut sebagai aplikasi filsafat umum Islam, maka pemikiran Hassan Hanafi yang berbobot filsafat umum Islam itu, memungkinkan untuk ditarik aplikasinya terhadap Filsafat Pendidikan Islam tersebut, termasuk ke dalamnya persoalan 1). Adakah Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafat Pendidikan Islam itu?; 2). Apakah Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafat Pendidikan Islam itu?; dan Untuk apa (Mengapa) Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafat Pendidikan Islam itu?
            Pertanyaan pertama menyangkut metafisik (ontologi) pendidikan Islam; yang kedua menyangkut masalah epistemologi pendidikan Islam; dan pertanyaan ketiga menyangkut masalah aksiologi pendidikan Islam.
            Metafisik (ontologi) pendidikan Islam bersinggungan dengan masalah hakikat, struktur, dan potensi-potensi manusia; epistemologi pendidikan bersinggungan dengan masalah sistem, upaya membangun, dan metode pendidikan Islam; sedangkan aksiologi pendidikan Islam mencakup kaidah-kaidah penerapan praktis dan strategi pembangunan pendidikan Islam. Mujamil Qomar (2005, hal. 185) menyebutkan dalam sistematika filsafat terdapat tiga sub sistem yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal ini berdekatan dengan metode paedagogis yang berkisi-kisi antropologis-normatif-yang praktis (Stella van Petten Henderson, 1959).
Hassan Hanafi mengenai hakikat cenderung kepada dialetika sintetis, hal ini terlihat pada pandangannya bahwa manusia berada dalam ketiga lingkaran: kemarin (al-madhi) yang dipersofikasikan dengan turats qadim (khazanah klasik), esok (al-mustaqbal) yang dipersonifikasikan dengan turats gharbi (khazanah barat), dan sekarang (al-hali) yang dipersonifikasikan dengan realitas kontemporer (al-waqi’). Karena turats dalam logika dialetika tersebut bukanlah sekedar peninggalan masa lampau yang tidak bermakna. Sebaliknya, dalam turats terdapat energi hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir, bertindak, dsb, yang harus menjadi pijakan setiap generasi penerusnya. Hal ini menunjukan bahwa dalam filsafat pendidikan Islam hendaknya ada landasan ghirah dan ghairah; di mana ghirah menyangkut konservatif sedangkan ghairah menyangkut innovatif dan progresif. Namun ghirah dan ghairah serta konservatif, innovatif, dan progresif baru merupakan bahan (tesis dan antitetis) rekonstruksi (taghyir) ke arah konstruksi yang baru, bermanfaat, dan kejahteraan hidup dan kehidupan yang kental bersangkutpaut, terpaut, dan bertautan serta mempertautkan dalam aksi kini di sini yang berkesanaan dan saat berlangsung melangsungkan tema kepribadian, yaitu badan (baik Korper maupun Leib), dunia (aqidah, pendapat, pandangan, philosophy of life), historisitas (al-madhi, al-mustaqbal, al-hal, al-hadhir), dan komunikasi (vertikal-horizontal). FPI memberi landasan pada pendidikan Islam baik pada tataran refleksi (teoritis; berpikiran teoritis, pemikiran) maupun tataran aksi (praktis; berpikir praktis, fungsional; perbuatan atau tindakan, treatment) pendidikan Islam, berupa dialektika kaynunah-sayrurah-shayrurah (being-proses-becoming); atau dialektika aksi-visi-aksi. Menyimak implikasi dari pemikiran Hassan Hanafi tersebut untuk Adakah Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafgat Pendidikan  Islam, maka ada.
            FPI menuntut dan menuntun Pendidikan Islam, baik pemikiran maupun perbuatan Pendidikan Islam tersebut, ke arah penyadaran (rasionalistik) dan pengalaman (empiristik) pendidikan yang di dalamnya secara inherent ada hal yang keabadian yang mengakibatkan kesemestian pendidikan itu merupakan pewarisan sebagai Arah Pergeseran gerak peralihan dari potensial ke aktual yang melibat kerja eksistensial; sehingga pendidikan tersebut juga kental erat pertautannya dengan innovasi dan progresif sebagai daya pendobrak yang diawali kebebasan dan kemerdekaan ke arah pencerahan, yang sama seperti halnya sisi koservatif yang tak terlepas dan tak dapat dilepaskan dari kerja eksistenial untuk sampai kepada tujuan yang berdimesi aksiologis yang biasanya bersifat universal yang bersifat being (koservatif) sebagai arah pergeseran gerak keterarahan (intensionalitas), sehingga dinamika (innovatif dan progresif) itu bermakna, bermaanfaat, dan mendukung terwujudnya kesejahteraan yang konstruktif, jauh bahkan mengikis habis destruktif. Uraian ini dipertegas oleh siratan yang tersurat pada pemikiran Hassan Hanafi berikut.
            Watak pemikiran Hassan Hanafi secara teoritis-filosofis adalah kiri revolusioner. Sebagai seorang yang memilki sense of reality yang kuat. Hassan Hanafi memiliki pandangan sangat empiris atau membumi. Sebagai muslim yang reformer ia sebagai pengusung kebudayaan kritis terhadap Islam dan pemikir peradaban Islam. Strategi kebudayaan sebagai upaya sadar manusia mentranscendensikan kesulitan, rintangan, bahkan persoalan-persoalan kekinian dan kedisinian… Hassan Hanafi dalam strategi kebudayaan yang bersifat komprehensif yang dikenal dengan proyek tradisi dan modernisasi, dengan tiga agenda utama: 1) sikap kita terhadap tradisi, 2) sikap kita terhadap tradisi barat, dan 3) sikap kita terhadap realitas. Ketiga agenda tersebut merupakan dialektika ego dengan dirinya, yakni warisan masa lalu, dan dialektika dengan orang lain, dalam sebuah medium waktu tertentu, yaitu dialektika dengan kekinian; di mana ketiga agenda itu sebagai tindakan yang bukan sekedar intellectual exercise, tetapi memang ditujukan sebagai perubahan nyata dalam dunia Islam.[6]
            Ada Dinamika dan Arah Pergeseran Filsafat Pendidikan Islam juga terbuktikan dari pandangan Hassan Hanafi dalam karyanya Min ‘Aqidah ila al-Tsawrah (dari teologi statis ke anarkis; pergolakan hidup menuju eksistensi yang berintensionalitas ke arah pencerahan yang diawali dengan kebebasan dan kemerdekaan diri baik secara individual maupun kesatuan sosial, lepas dan melapaskan imperalistik, feodalistik, dan kekuasaan yang bersifat idola: pasar, gua, kesukuan, dan panggung), yang di dalam karya tersebut Hassan Hanafi mendesak perlunya tuntutan dan tuntunan waktu sebagai jiwa zaman umat muslim sekarang dan ke depan sudah saatnya umat Islam bergeser dari teologi statis-irrasional menuju anarkis-rasional. Pendapat ini memperjelas adanya dinamika dan arah pergeseran FPI, sehingga FPI  harus memberi inspirasi kepada pemikiran dan perbuatan Pendidikan Islam, bahwa pendidikan sebagai pemanusiaan manusia perlu upaya sadar ke arah pemberian bantuan kepada generasi untuk menjadi manusia yang tahu, mau, dan mampu menggugah dan mengubah serta menggubah diri menjadi manusia unggul, manusia yang lepas dan melepaskan penjajahan, ia bebas dari distorsi dan bebas untuk hidup sebagaimana harus dan dapat hidup sebagai manusia sebagai wakil Allah, yang jujur, adil, dan damai, sehingga melahirkan manusia yang tahu, mau, dan mampu meneliti alam (Mirkwelt), mengerjakan alam (Wirkwelt), dan bekerjasama dengan alam (Mitwelt) sebagai khalifah Allah Swt Awj di bumi yang memungkinkan beribadah kepada-Nya; ia bukan sekedar Umgebung (Umwelt) di bumi, ia berada sekaligus mengada di bumi dalam rangka mengekspresikan diri yang menghadirkan Allah Swt Awj secara real, rasionalistik empirik yang berintensionalitas kepada pertautan mesra yang dialogis transaksionalistis diri dengan Diri (aku kecil dan Aku besar; Khuda dan Khudi) di ini bumi. Siswa bukanlah manusia jajahan dan guru bukanlah penjajah, tetapi interaksi dialogis yang transaksional. ‘Aqidah cukup mewakili adanya, harus, dapat (persoalan) arah yang bersifat intensionalitas yang bersifat eksistesial, bukan yang statis, kemandeugan dalam FPI; dan al-Tsawrah cukup mewakili adanya (persoalan) dinamis yang bersifat intensionalitas eksistensial juga; sedangkan penujuan menujukkan perlunya pergeseran dialetika kaynunah-sayrurah-shayrurah.
            Bukankah Taraktu fikum Amrayni lan Tadhillu ma Tamassaktum bihima Kitaba ‘l-Lahi wa Sunnata Nabiyyihi; Qala Kayfa Taqdhi Idza ‘Aradha Laka Qadha-un Qala Aqdhi bi Kitabi ‘l-Lahi Qala fa In Lam Tajid fi Kitabi ‘al-Lahi Qala fa bi Sunnati Rasuli ‘l-Lahi Shalla ‘l-Lahu ‘alaihi wa Sallama Qala fa in lam Tajid fi Sunnati Rasuli ‘l-Lahi Sahalla ‘l-Lahu ‘alayhi wa Sallama wa la fi Kitabi ‘l-Lahi Qala Ajtahidu Ra-yi wa la Alu fa Dharaba Rasulu ‘l-Lahi Shalla ‘l-Lahu ‘alayhi wa Sallama Shadrahu wa Qala al-Hamdu li ‘l-Lahi ‘l-Ladzi Waffaqa Rasula Rasuli ‘l-Lahi lima Yurdhi Rasula ‘l-Lahi; dan Antum A’lamu bi Umuri Duyakum, tidak berposisi berlawanan, namun suatu kontinum dalam dialiteka kaynunah-sayrurah-shayrurah.
            Oksidentalisme karya Hassan Hanafi yang mengarahkan sikap kita terhadap tradisi Islam, yang di dalamnya mencakup tentang pentingnya kesadaran wahyu tentang manusia dan sejarah. Kesadaran ini mengental dan menguat pada teologi Islam klasik, namun kesadaran tersebut, baik sengaja atau tidak, sering tersembunyi atau disembunyikan di balik citraan Allah Swt Awj, yang mana teologi Islam lebih menjelaskan keserba-sempurnaan Allah Swt Awj ketimbang makna manusia yang menyangkut tentang tema-tema dalam sejarah; Hassan Hanafi membumikannya dengan mentransformasikan dogma-dogma revolusioner dalam Islam.[7]
            FPI mengarahkan pusat perhatiannya dan memusatkan kegiatannya pada fungsi tugas normatif ilmiah, yaitu 1) kegiatan merumuskan dasar-dasar, dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat hakekat manusia, serta konsep hakekat dan segi-segi pendidikan serta isi moral pendidikannya; 2) kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan atau organisasi pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat dan Negara…dengan demikian FPI dalam praktek terbangun melalui 1) berasal dari para filsuf yang membicarakan implikasi sistem pemikirannya untuk pendidikan; 2) berasal dari para ahli pendidikan yang berfilsafat tentang pendidikan.[8] 
            Pandangan Hassan Hanafi tentang Oksidentalisme tertuang di atas berimplikasi kepada FPI bahwa, pendidikan  merupakan suatu proses membumikan sistem nilai ialiah-insaniah-alamiah yang dogmatif yang menjadi suatu arah pergeseran atau peralihan secara intensionalitas dalam pengalaman secara dinamis terus menerus dan tetap terarah kepada yang universalitas. Pendidik harus siap sedia untuk mengubah metode dan kebijakan perencanaannya dalam mengikuti perkembangan zaman yang berkaitan erat dengan kemajuan ilmu dan perubahan lingkungan, namun tetap tidak floating, tetap mengakar pada sistem keuniversalitasan nilai ilahiah sekaligus insaniah dan alamiah. Dengan demikian, pendidikan  merupakan sistem peralihan ke arah yang ideal dan unggul sebagai yang diharapkan manusia itu sendiri, yang mengarahkan dan mengerahkan bakat, emansipasi, dan lingkungan baik melalui jalur humanisasi-religius-moralis ataupun humanisasi-saintis-sarat nilai dengan dilaektika spesialitas, alternativitas, dan universalitas.
            Oksidentalisme menjadi suatu disiplin keilmuan yang sama sekali baru di dalam pemikiran Islam. Ia suatu kajian kritik terhadap gambar dan bentuk struktur kesadaran barat; dekonstruksi barat dengan menggunakan kacamata Islam, dengan tujuan mengakhiri invasi kebudayaan barat terhadap umat Islam dengan mengembalikan mereka ke batas-batas kulturnya, sebagaimana dalam kultur umat Islam yang memiliki ketergantungan terhadap barat, yang menyebabkan mengabaikan terhadap tradisinya yang sangat kaya. Oksidentalisme merupakan suatu strategi cultural bagi kehidupan Umat Islam, dengan melakukan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi juga sekaligus melibatkan kritik terhadap realitas Islam melalui teologi pembebasan yang berwatak trasformatif; yang pada ujungpangkal serta proses bertumpu pada kesadaran akan realitas yang berisi penafsiran dengan berbasis keterkaitan teks dengan realitas (kontekstual). (Hassan Hanafi, terj., ibid. 2000). Dengan menyimak pandangan Hassan Hanafi tentang oksisdentalisme ini, berimplikasi bahwa pendidikan itu harus bersifat transformasi kultrul Islam yang melibat dialektika progresif-perenialistik-esensialistik-dekonstruksi-rekonstruksi. Pendidikan adalah dialetika pembudayaan-peradaban- pembudayaan.
            Pemikiran Hassan Hanafi terkenal dengan al-Yasar al-Islami sebagai agenda kebangkitan Islam. Kiri Islam ini bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam, revolusi Tawhid, dan kesatuan Umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik, yang menekankan perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam; rasionalisme merupakan keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan muslim, di samping untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang dan menantang peradaban barat. Oksidentalisme sebagai jawaban orientalisme dalam rangka mengakhiri mitos peradaban barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam; mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nashsh).pemikiran Hassan Hanafi tertumpu pada tiga landasan metodologi: pertama: tradisi atau sejarah Islam; kedua: metode fenemenologi; dan ketiga: analisis sosial Marxian. Karena itu ia membagi tiga tahap peran agama; tahap pertama: agama dan revolusi, tahap kedua: agama dan pembangunan; tahap ketiga: kembali ke iman. Ia menggunakan dialektika untuk mengupas teologi sebagai antropologis yang merupakan cara ilmiah untuk mengatasi keterasingan teologi itu sendiri; yang juga memunculkan provokatif: ‘dari Allah ke bumi’; ‘dari keabadian ke waktu’; ‘dari takdir ke kehendak bebas’; ‘dari otoritas ke akal’; ‘dari teori ke tindakan’; ‘dari kharisma ke partisipasi massa’; ‘dari jiwa ke tubuh’; ‘dari ruhani ke jasmati’; ‘dari etika individual ke politik social’; ‘dari meditasi menyendiri ke tindakan terbuka’; ‘dari organisasi sufi ke gerakan sosial’; ‘dari nilai pasif ke nilai aktif’; ‘dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial’; ‘dari vertical ke horizontal’; ‘dari langkah moral ke periode sejarah’; ‘dari dunia lain ke dunia ini’; ‘dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata; dan ‘ dari eskatologi ke futurologi’.Realitas ialah masyarakat, politik, ekonomi, khazanah Islam,  tantangan barat. [9]
            Pandangan Hassan Hanafi tersebut beriplikasi untuk pendidikan bahwa, pendidikan adalah dekonstruksi sekaligus rekonstruksi diri, lingkungan menuju pribagi manusia yang bernalar sangat tinggi, berevolusi transcendensi, berstruktur yang dinamis untuk kesadaran individu, utuk tataran sosial, dan untuk kemajuan dalam sejarah. Lalu pendidikan harus mejadi suatu sistem sosial yang manusia sebagai subjek pendidikan tersebut, dipertimbangkan sebagai makhluk Allah Swt Awj yang telah dilengkapi oleh-Nya dengan daya serap indera (empirik), rasio, dan intuisi dalam kadar yang sangat tinggi, oleh karena dapat merebut masa dan ruang, mengusai dunia. Pendidikan memberi bantuan secara terbuka yang mendekonstruksi sekaligus mengrekonstruksi potensi manusia tersebut, sehingga dengan potensi yang utama tersebut dapat menempuh ke  secara intensionalitas ke arah Allah Swt awj, sebagai Tuhan Mengenal diri dengan cahaya ketuhanan-Nya dan mengenali tersebut Allah Swt Awj cahaya diri, karena manusia adalah teman kerja Allah swt Awj di bumi (alam) ini. Hubungan teman karib ini bersifat dinamis; dengan potensi masing-masing kedua belah pihak mencipta secara dialektik, dengan iradah manusia seiradah Allah Swt Awj; kekuasaan dan ilmu-Nya menjadi kembar dengan kekuasaan dan ilmu manusia di bumi ini, karena itu pendidikan harus menghasilkan pribadi yang tak terkendalikan qada’ dan qadar, melain pribadi yang mampu mengarahkan ke mana harus terjadi dan menjadi. Kemudian metode yang didapat dari pandangan Hassan Hanafi, adalah edukatif (tradisi), emansipatotis (analisis sosial Marxian), dan inventif (fenomenologi);  dengan pola paedagogis nomotetik (tradisi), ideografi (analisis social Marxian), dan transaksional (fenemenologi).



BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
            Dinamika dan arah pergeseran Filsafat Pendidikan Islam secara ontologis adalah suatu yang harus dan dapat serta memungkinkan melekat pada FPI itu sendiri.
Filsafat Pendidikan  Islam tidak sekedar mengarah kepada materi yang telah ada (produk), akan tetapi mengarah juga kepada menggali makna-makna yang seharusnya terwujud. Pemikiran Hassan Hanafi dijadikan Filsafat Umum Islam untuk ditarik kepada Filsafat Pendidikan Islam sekaitan dengan persoalan dinamika dan arah pergeseran FPI itu sendiri.
            Dialektika sintesis menjadi karakter FPI yang menuntun dan menuntut pendidikan Islam itu konservatif, innovatif, dan progresif, yang turunannya adalah perenialis, esensialis dalam dialektika dekonstruksi, rekonstruksi menuju kepada pencerahan.
            Aplikasi FPI kepada pendidikan Islam selaras dengan dialektika dekonstruksi-rekonstruksi-pencerahan merupakan pemberibantuan kepada terdidik (manusia) untuk menjadi pribadi yang mampu meneliti, mengerjakan, dan bekerja sama dengan alam; dengan prinsip kebebasan, kemerdekaan, mendobrak, mengkonstruk, dan pencerahan.
Pendidikan yang merupakan proses membumikan sistem nilai ilahiah-insaniah-alamiah; mengakibatkan pelaksanaan pendidikan harus merupakan peralihan ke arah yang ideal dan unggul sebagai manusia yang diharapkan, yang mengarahkan dan mengerahkan bakat, emansipasi, dan lingkungan baik melalui jalur etis atau sains dengan tahap dialektika spesialitas, alternativitas, dan universalitas.
            Pendidikan yang tak lepas dari dinamika, arah, dan pergeseran sebagai nafas FPI itu sendiri, maka ia harus bersifat transformatif kultural Islam yang melibat dilaektika progresif-perenialistik-esensialistik-dekonstruksi-rekonstruksi; pendidikan adalah dialektika kebudayaan-peradaban-kebudayaan.
            Penghujung-pangkaltolak dan proses pendidikan adalah penghadiran manusia-Tuhan yang secara intensionalitas mengeksprikan ketuhanan dalam tema-tema sejarah manusia itu sendiri dengan bingkai tradisi-fenomenologis-sosialistik, yang melahirkan metode dialektika edukatif-inventif-emasipatotif dengan pola nomotetik-ideografik-transaksionalistik.

B.     Saran
Penyusun menyadari dalam segala hal bahwa yang namanya manusia tidak pernah luput dari khilaf dan salah. Oleh karena itu, kami dari penyusun sadar bahwa penyusunan tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kami sangat mengharapkan saran ataupun kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.     

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur’an Al-Karim

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, GMP, Jakrta, 2005

——, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, RGP, Jakarta, 2000
Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqabal, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1996

Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2007
Hassan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah, Maktabah Madbuli, Dar al-Namr, tt.

——, terj., Dirasat al-Islamiyah, LKis, Yogyakarta, 2004

——, terj., Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah, Paramadina, Jakrta, 2003

——, terj., al-Turats wa ‘l-Tajdid, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 2001

——, terj., Muqaddimah fi iIlm al-Istighrab, Paramadina, Jakarta, 2000

Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan dan Sains Sosial, GPM, Jakarta, 2002

Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan, Alam Tara, Yogyakarta, 2008

Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, LKiS, Yogyakarta, 1994

Muhammad Shahrur, terj., Nawh Ushul Jadidah Li al-Fiqhi al-Islami, eLSAQ Press, Yogyakarta, 2004

Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2005

Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali, Pustaka Setia, Bandung, 2007

Umar Muhammad al-Tawmi al-Saybani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, Tharabalis, 1985





                [1] Kazuo Shimogaki, terj, 1994.
                [2] Dirasat Islamiyyah, terj., 2004.
                [3] Miftah Faqih, 2003.
                [4] ibid., 2003.
[5] (Dirasat Islmiyyah, tt.).
                [6] http://ummahonline.wordpress.com/2007/10/25/hasan-hanafi-memperkan islam-kiri/. di akses Tanggal 26 Mei 2011
                [7] Hassan Hanafi,  terj., Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, 2000.
                [8] (Ismail Thoib, 2008, hal. 85-87).
                [9] (http://www.scribd.com/doc/12586073/pikiran-hassan-hanafi). di akses Tanggal 26 Mei 2011.

No comments:

Post a Comment