Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Tuesday, June 16, 2009

Studi Kritis Pemikir Islam Kontemporer

A.    PENDAHULUAN
Perkembangan pemikiran Islam kontemporer yang luar biasa saat ini, sesungguhnya, dapat diklasifikasikan dalam 5 model kecenderungan. Pertama, fundamentalis. Yaitu, model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya dikenal sangat commited pada aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam telah mencakup segala aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-Qur'an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul dan Khulafa' al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.
Kedua, tradisionalis ( salaf ). Yaitu, model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang hanyalah menyatakan kembali atau merujukkan dengannya. Perbedaan kelompok ini dengan fundamentalis terletak pada penerimaannya pada tradisi. Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa' al-rasyidin , sedang tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih , sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya. Hasan Hanafi pernah mengkritik model pemikiran ini. Yaitu, bahwa tradisionalis akan menggiring pada ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.
Ketiga, reformis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan melainkan harus harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa adanya.
Keempat, postradisionalis. Yaitu, model pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisa Islam berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya, postadisionalis mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis.
Kelima, moderinis. Yaitu, model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian, mereka bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral dan shalih likulli zaman wa makan . Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Modernis menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf menjadikan masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif, sehingga tidak akan mampu membangun peradaban Islam ke depan.
Itulah kecenderungan atau model pemikiran yang tampil dalam makalah ini, yang terdiri atas 4 orang tokoh pemikir Islam kontemporer. Hanya saja, makalah ini tidak disusun keseluruhan pemikir Islam Kontemporer, agar kajian terhadap tokoh Islam kontemporer ini dapat lebih fokus.

B.     TOKOH ISLAM KONTEMPORER
1.      Muhammad ‘Abid Al-Jabiri
a)      Biografi singkat Muhammad ‘Abid Al-Jabiri
Mohammad Abied Al-Jabiri adalah seorang pemikir Arab kontemporer. beliau lahir di Figuig, pada tanggal 27 Desember 1935. Pendidikannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak ditempuh di tanah kelahirannya di Maroko. Dia pernah setahun menempuh pendidkan filsafat di Universitas Damaskus, Siria (tahun 1958). Setelah itu dia melanjutkan pendidikan diploma Sekolah Tinggi Filsafat Fakultas Sastra Universitas Muhammad V di Rabat, (1967) dan meraih gelar master dengan tesis tentang “Filsafat Sejarah Ibn Khaldun” (Falsafatut Târîkh ‘inda Ibn Khaldûn). Doktor bidang Filsafat, dia raih di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat (1970), dengan disertasi yang masih membahas seputar pemikiran Ibn Khaldun, khususnya tentang Fanatisme Arab. Desertasinya berbicara tentang “Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam” (Al-‘Ashabiyyah wad Dawlah: Ma’âlim Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikhil Islâmî). Disertasi tersebut kemudian dibukukan tahun 1971. Al-Jabiri, hanya menguasai tiga bahasa: Arab (bahasa ibu), Perancis (baca dan tulis), dan Inggris (baca saja).[1]
Renaisans abad pertengahan di Eropa memberikan dampak yang besar terhadap arus pemikiran manusia sesudahnya. Perubahan itu ditandai dengan kemenangan “akal” atas dominasi “gereja” yang secara otomatis mengubah weltanschauung mereka dari Teosentris menjadi Antroposentris. Ditambah dengan penemuan mesin uap oleh James Watt dan pendirian pabrik-pabrik secara massif membuat perubahan tersebut menjadi signifikan menuju abad baru yang disebut modernitas.
Setidaknya terdapat tiga kelompok, menurut Bollouta, yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas;[2]
Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dll.
Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dll.
Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dll.
b)     Pemikiran Muhammad ‘Abid Al-Jabiri
Agar lebih memudahkan fokus kepada pemikiran al-Jabiri, makalah ini akan mengeksplorasi pemikiran al-Jabiri melalui karya trilogi magnum opus-nya (Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, dan al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi), yang tergabung dalam Naqd al-‘Aql al-‘Arabi. Ditambah beberapa tulisan maupun artikel yang mendukung.
Adapun latar belakang yang membuat Jabiri menulis triloginya adalah berangkat dari keresahannya menghadapi fakta yang mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab kontemporer dalam masa seratus tahun yang lampau, mereka (baca: Arab)  tidak mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang mereka gembar-gemborkan. Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense of difference (baca: jurang pemisah) antara Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan Barat modern. Akibatnya, tegas Jabiri, sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil mencapai kemajuan dalam merumuskan “blue print (cetak biru) kebangkitan peradaban” baik dalam tataran utopia proporsional, maupun dalam perencanaan ilmiah.[3]
1)      TURATS DAN MODERNITAS
Jabiri memulai dengan mendifinisikan turats (tradisi). Tradisi dalam pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab klasik. Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di dalam al-Quran tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya yang dimaksud turats (tradisi) menurut Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu.[4]
Kemudian Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tadisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”, tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas–pertama dan paling utama–adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi.[5]
2)      AKAL ARAB DAN TITIK AWALNYA
Akal Arab dalam triloginya, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah yang diberikan oleh peradaban Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan, atau aturan epistemologis, yakni sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Jabiri melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itu memang ada. Berarti, orang Arab adalah individu anak manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam dalam peradaban Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat referensi pemikirannya yang utama, kalu bukan satu-satunya.[6]
Dalam hal ini Jabiri membagi akal menjadi dua. Pertama adalah ‘Aql al-Mukawwin. Akal dalam pengertian ini disebut dengan nalar (akal) murni, sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Semua manusia mempunyai akal tersebut. Sedangkan yang kedua adalah ‘Aql al-Mukawwan. Akal dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu suatu nalar manusia yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang tersebut hidup.[7] Yang kedua inilah yang Jabiri maksud sebagai “Akal Arab”.
Setelah itu Jabiri mengulas mengenai titik awal Akal Arab bermula. Sebagaimana diketahui, ada tiga titik pijak yang biasa digunakan sebagai permulaan penulisan sejarah Arab, yaitu masa Jahiliyah, masa Islam, dan masa kebangkitan.
Jabiri sendiri mengambil jalan berbeda, dengan memulainya dari “masa kodifikasi” (‘Asr al-tadwin). Tanpa menafikan keberadaan masa Jahiliyah dan produk-produknya, begitu juga pengaruh masa Islam awal dalam peradaban Arab. Dengan pendapat bahwa sruktur akal Arab telah dibakukan pada disistematisasikan pada masa kodifikasi tersebut, sehingga konsekuensinya, dunia berpikir yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi terbesar dalam menentukan orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, di satu pihak, dan mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya, di pihak lain.[8]
3)      EPISTEMOLOGI; BURHANI, BAYANI, DAN ‘IRFANI
Untuk menjawab tantangan modernitas, Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu: Pertama, sistem epistemologi indikasi serta eksplikasi[9] (‘ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih) serta ‘ulum al-Quran , teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse).[10] Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya.[11]
Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologis ini–pada bentuknya yang ideal–hadir dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang telah mengalami kontaminasi.[12] Sistem epistemologi tersebut berasimilasi antara satu sistem dengan sistem yang lain, yang kemudian mencapai stagnasi dan menjadi kekuatan tunggal yang dominan pada masa al-Ghazali pada abad ke-5 H. Relasi aktif yang berlangsung antara pasangan-pasangan tersebut dapat disebut dengan “processed structure” (al-bunyah al-muhassalah) . Dalam hal ini terdapat tiga bentuk konstituen “processed structure” yang mempengaruhi sruktur Akal Arab sejak masa kodifikafikasi pada abad ke-2 H yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan asal derivasi, dan kekuatan metafora (al-tajwiz). Ketiga kekuatan tersebut bekerjasama untuk mempertahankan status quo selama sepuluh abad lebih. Sebuah kerjasama yang membuahkan Akal Arab yang tidak realistis. Artinya tidak memperhatikan hukum sebab-akibat dan tidak berangkat dari realitas faktual.[13]
Sungguh pun demikian, Jabiri tidak menganggap semua sistem tersebut usang. Menurutnya, terdapat jalan untuk memajukan Akal Arab untuk mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui apa yang disebut olehnya “Proyek Peradaban Andalusia”. Singkatnya, Jabiri mengajak untuk melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan modernitas seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang dimotori oleh Ibn Rusyd dkk.
4)      AKAL POLITIK ARAB
Jabiri melihat aktivitas politik Arab mempunyai motif-motif (al-muhaddidat) dan pengejawantahan (al-tajalliyat). Adapun motif-motif tersebut, Jabiri melihat tiga motif yang dominan dalam praktik politik Arab. Motif ideologis (al-‘aqidah), motif ikatan in-group sedarah (al-qabilah) dan motif materi (al-ghanimah).
Motif pertama tidak diartikan sebagai akidah agama dalam pengertian yang lazim, melainkan “fenomena politis” yang terdapat dalam dakwah Nabi Muhammad saw. dan peranannya dalam memberikan inspirasi terhadap imajinasi sosial-politik kelompok muslim pertama, di satu pihak, dan reaksi balik yang disampaikan oleh lawan-lawannya, yaitu kaum kafir Quraisy, di pihak lain. Sedangkan dengan motif kedua adalah peranan ikatan in-group di antara klan-klan Arab satu sama lain, baik yang bersifat positif maupun negatif, dalam praktik politik Arab di masa awal. Dan yang ketiga, motif al-ghanimah berarti pengaruh kepentingan ekonomi dalam pemihakan politik dan ideologis dalam sejarah Islam. Di sini Jabiri meriwayatkan bahwa penolakan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap ajaran Nabi Muhammad saw, bukan hanya disebabkan oleh ajaran tauhid yang melarang penyembahan terhadap berhala an sich. Akan tetapi, disebabkan juga bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sumber penghasilan mereka dan sekaligus sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika itu.[14]
Untuk itu, Jabiri menganalisa praktik politik yang saling berkelidan tersebut pada masa Islam awal. Di sini pun Jabiri membagi fase perkembangan Islam awal menjadi tiga fase; pertama, fase dakwah Muhammad, yang diwakili dengan masa di mana Nabi memimpin jamaahnya pada periode Makkah dan menjalankan tugas sebagai kepala negara pada periode Madinah. Kedua pada  fase negara Islam yang established, yang diwakili pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Dan ketiga fase ledakan kekacauan (nation under riots), yang diwakili pada masa timbulnya kerajaan politik (al-mulk al-siyasi) yang membangkitkan kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali ini dalam bentuk despotisme dan diktatorisme kerajaan monarki.[15]
Timbulnya kerajaan politik ini (al-mulk al-siyasi) ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan (al-tajalliyat) dari Akal Politik Arab, di samping timbulnya mitos keimaman yang dimunculkan oleh kaum Syiah. Selain itu, timbul pula Ideologi kesultanan dan–apa yang disebut oleh Jabiri sebagai–fiqh siyasah yang dimunculkan oleh dinasti Abbasiyah. Ideologi kesultanan diadopsi oleh Ibn al-Muqaffa’ dari tradisi kekaisaran Persia, sedangkan fikih politik merupakan kompilasi hukum “agama” yang mempunyai tendensi kuat untuk mensyahkan kekuasaan junta militer (ashab al-syaukah). Tak perlu ditegaskan lagi, lanjut Jabiri, bahwa ideologi kesultanan inilah yang sampai sekarang mendominasi praktik politik Arab. Membuat rakyat yang seharusnya memegang supremasi kekuasaan, dikungkung oleh khurafat dan menyerah kepada takdir.[16]
Untuk hal tersebut Jabiri menawarkan konsep sebagai jalan keluar bagi Akal Politik Arab, dengan bertolak pada fase dakwah Muhammad yang menurutnya sebagai prototipe ideal:[17]
  1. Mengubah masyarakat klan menjadi masyarakat madani  yang multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi.
  2. Mengubah ekonomi al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi produksi. Serta membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab untuk memperkuat independensi.
  3. Mengubah sistem ideologi (al-aqidah) yang yang fanatis dan tertutup dengan pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan dogmatis, digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis.
Sekilas pemikiran Jabiri mengenai Akal Pilitik Arab “hampir” menyerupai sekularisme. Tetapi dalam hal ini bukan berarti Jabiri mendukung sekularisme, menurutnya, sekularisme tidak cocok dengan umat Islam, karena sekularisme didasarka pada pemisahan gereja dan agama. Pemisahan demikian ini memang diperlukan pada suatu masa di lingkungan Kristen. Karena tidak ada gereja dalam Islam, tidak ada kebutuhan akan suatu pemisahan semacam ini.  Umat Islam menghendaki agar Islam dijaga dan diterapkan sebagai acuan etis dan Syari’ah, hukum yang diilhami oleh ketentuan Ilahi, sebagai dasar dan prinsip bagi kehidupan sosial dan politik, di dalam lingkup pengetahuan masa lalu yang diperbaharui.[18]



2.      Mustafa Kemal Attaturk
a.      Biografi Singkat
Mustafa Kemal Ataturk lahir di Salonika pada tahun 1881. Orang tuanya bernama Ali Riza seorang pegawai biasa di salah satu kantor pemerintah di kota itu, sedangkan ibunya bernama Zubayde, seorang wanita yang amat dalam perasaan keagamaannya. Ali Riza meninggal dunia saat Mustafa Kemal berusia tujuh tahun. Ia kemudian diasuh oleh ibunya.[19]
Riwayat pendidikan Mustafa Kemal dimulai sejak tahun 1893 ketika ia memasuki sekolah Rushdiye (sekolah menengah militer Turki). Pada tahun 1895 ia masuk ke akademi militer di kota Monastir dan pada 13 Maret 1899 ia masuk ke sekolah ilmu militer di Istambul sebagai kadet pasukan infanteri. Tahun 1902 ia ditunjuk menjadi salah satu staf pengajar dan pada bulan Januari 1905 ia lulus dengan pangkat kapten. Saat itu usianya 25 tahun. Dalam tugasnya di Damaskus, dia dimasukkan dalam Batalyon kaveleri 30. Di sana, ia tinggal selama dua tahun, sehingga pangkatnya naik menjadi Aghas (pangkat antara mayor dan letkol).[20]
Kehidupan Mustafa Kemal sejak 1905 sampai dengan 1918 diwarnai dengan perjuangan untuk mewujudkan identitas kebangsaan Turki. Sebagai pejabat militer di dalam imperium Turki Usmani saat itu, ia mendirikan sebuah organisasi yang bernama Masyarakat Tanah Air (Fatherland Society). Ia juga bergabung bersama Kongres Turki Muda yang membentuk Komite Kebangsaan dan Kemajuan (Committee for Union and Progress) atau disingkat C.U.P.
Setelah berakhirnya Perang Dunia I, tepatnya pada tahun 1919 Mustafa Kemal berusaha mewujudkan prinsip-prinsip generasi Turki Muda. Di bawah kepemimpinannya, elit nasional Turki berhasil memobilisir perjuangan rakyat Turki dan melawan pendudukan asing. Rakyat Turki berhasil memukul mundur kekuatan penjajahan dari tanah bangsa Turki, yang secara tidak langsung menjadi kemenangan awal bagi Mustafa Kemal.
Selanjutnya, melalui gerakan politis dan diplomatis di parlemen Majelis Nasional Agung (Grand National Assembly), di mana dalam parlemen ini Mustafa Kemal menjadi ketuanya, ia berhasil mendirikan rezim republik atas sebagian wilayah Anatolia, memberlakukan suatu konstitusi baru bagi rakyat Turki pada tahun 1920, dan mengalahkan republik Armenia, mengalahkan kekuatan Perancis, dan mengusir kekuatan tentara Yunani. Klimaks perjuangan Mustafa Kemal yang mengantarkannya ke kursi presiden republik Turki adalah ketika bangsa Eropa mengakui kemerdekaan bangsa Turki yang ditandai oleh perjanjian Lausanne pada tahun 1923.
b.      Pemikiran Mustafa Kemal Al Taturk
Pembaruan Turki sesungguhnya telah sejak lama dilakukan oleh generasi Turki, jauh sebelum pembaruan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Pembaruan di bidang militer dan administrasi, sampai kepada pembaruan di bidang ekonomi, sosial dan keagamaan, telah dilakukan oleh generasi Turki pada era Tanzimat yang berlangsung dari tahun 1839 sampai dengan 1876; kemudian pada era Usmani Muda yang berlangsung dari dekade 1860-an sampai dengan dekade 1870-an merupakan reaksi atas program Tanzimat yang mereka anggap tidak peka terhadap tuntutan sosia dan keagamaan; dan pada akhir dekade 1880-an, terbentuklah era baru generasi muda Turki.
Generasi baru Turki ini menamakan diri mereka sebagai Kelompok Turki Muda (Ottoman Society for Union and Progress). Kelompok ini secara nyata mempertahankan kontinuitas imperium Usmani, tetapi secara tegas mereka melakukan agitasi terhadap restorasi rezim parlementer dan konstitusional.[4]
Pemikiran pembaruan Turki yang dimiliki oleh Mustafa Kemal Ataturk boleh dianggap merupakan sintesa dari pemikiran ketiga generasi Turki sebelumnya. Bahkan, prinsip pemikiran pembaruan Turki yang ia ketengahkan di dalam frame kebangsaan masyarakat Turki saat ini adalah reduksi pemikiran dari seorang pemikir Turki yang dianggap sebagai Bapak Nasionalisme Turki, yakni Ziya Gokalp.
Dalam catatan kaki Ajid Thohir, di dalam bukunya Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, disebutkan bahwa pemikiran pembaruan Turki telah dilakukan oleh tokoh-tokoh, seperti : Mustafa Rasyid Pasha (1800) dan Mehmet Shidiq Ri’at (1807) dari generasi Tanzimat; Ziya Pasha (1825-1876), Namik Kemal (1840-1880) dan Midhat Pasha (1822-1883) dari generasi Usmani Muda; dan, Ahmad Riza (1859-1931) dan Mehmed Murad (1853-1912) dari generasi Turki Muda. Sedangkan, pemikiran yang paling dekat dengan gerakan pembaruan Turki yang dilaksanakan oleh Mustafa Kemal adalah pemikiran Ziya Gokalp, yang secara sistematis mencanangkan program-program pembaruannya dalam berbagai aspek yang ia sebut sebagai The Programe of Turkism, yakni: Linguistic Turkism, Aesthetic Turkism, Ethical Turkism, Legal Turkism, Economic Turkism, Political Turkism, dan Philosopical Turkism. Adapun prinsip pemikiran pembaharuan Turki yang kemudian menjadi corak ideologinya terdiri dari tiga unsur, yakni : nasionalisme, sekularisme dan westernisme.
Mempersoalkan tiga unsur dalam prinsip pemikiran pembaruan Turki Mustafa Kemal di atas, penulis mengulasnya sebagai berikut :
Pertama, unsur nasionalisme dalam pemikiran Mustafa Kemal diilhami oleh Ziya Gokalp (1875-1924) yang meresmikan kultur rakyat Turki dan menyerukan reformasi Islam untuk menjadikan Islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Dalam koridor pemahaman Mustafa Kemal, Islam yang berkembang di Turki adalah Islam yang telah dipribumikan ke dalam budaya Turki. Oleh karenanya, ia berkeyakinan bahwa Islam pun dapat diselaraskan dengan dunia modern. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan akan membawa kemunduran pada bangsa dan agama. Atas dasar itu, agama harus dipisahkan dari negara. Islam tidak perlu menghalangi adopsi Turki sepenuhnya terhadap peradaban Barat, karena peradaban Barat bukanlah Kristen, sebagaimana Timur bukanlah Islam ;
Kedua, unsur sekularisme. Unsur ini sebenarnya adalah implikasi dari pemahaman westernisme Mustafa Kemal. Pada prinsip ini, salah seorang pengikut setia Mustafa Kemal, Ahmed Agouglu menyatakan bahwa indikasi ketinggian suatu peradaban terletak pada keseluruhannya, bukan secara parsial. Peradaban Barat dapat mengalahkan peradaban-peradaban lain, bukan hanya karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya, tetapi karena keseluruhan unsur-unsurnya. Peperangan antara Timur dan Barat adalah peperangan antara dua peradaban, yakni peradaban Islam dan peradaban Barat. Di dalam peradaban Islam, agama mencakup segala-galanya mulai dari pakaian dan perkakas rumah sampai ke sekolah dan institusi. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan membawa kepada mundurnya Islam, dan di Barat sebaliknya sekularisasilah yang menimbulkan peradaban yang tinggi itu. Jika ingin terus mempunyai wujud rakyat Turki harus mengadakan sekularisasi terhadap pandangan keagamaan, hubungan sosial dan hukum. Menurut versi Mustafa kemal, sekularisme bukan saja memisahkan masalah bernegara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dari pengaruh agama melainkan juga membatasi peranan agama dalam kehidupan orang Turki sebagai satu bangsa. Sekularisme ini adalah lebih merupakan antagonisme terhadap hampir segala apa yang berlaku di masa Usmani.; dan,
Ketiga, unsur wasternisme. Dalam unsur ini, Mustafa Kemal berpendapat bahwa Turki harus berorientasi ke Barat. Ia melihat bahwa dengan meniru Barat negara Turki akan maju. Unsur westernisme dalam prinsip pemikiran Mustafa Kemal mendapat momennya ketika dalam salah satu pidatonya ia mengatakan bahwa kelanjutan hidup suatu masyarakat di dunia peradaban modern menghendaki perobahan dalam diri sendiri. Di zaman yang dalamnya ilmu pengetahuan mampu membawa perobahan secara terus-menerus, maka bangsa yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi yang tua lagi usang tidak akan dapat mempertahankan wujudnya. Masyarakat Turki harus dirubah menjadi masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksioner harus dihancurkan.
Dari ketiga prinsip di atas, kemudian melahirkan ideologi kemalisme, yang terdiri atas: republikanisme, nasionalisme, populisme, sekularisme, negaraisme, dan revolusionisme. Ideologi yang diasosiasikan dengan figur Mustafa Kemal ini kemudian berkembang di Turki dan dikembangkan oleh pengikutnya.
Dalam khazanah pemikiran politik islam, nama Mustafa Kemal Attaturk merupakan nama yang melekat erat dengan kata sekularisme. Dalam teori politik yang telah diterapkan oleh Mustafa Kemal di negaranya Turki yang melakukan sekurarisasi dalam Negara dan dekonstruksi khilafah islamiyah dengan menghapuskan sistem tersebut melalui Majelis Nasional Agung. Mustafa Kemal yang menyadari perlunya perubahan dan pembaruan dalam negara itu sangat menginginkan terciptanya sebuah negara sekuler. Kalangan islam garis keras selalu mencemooh dan menghina tindakan Mustafa Kemal yang menurut mereka telah meruntuhkan khilafah Islamiyah.
Dalam buku karangan Abdul Qadim Zallum “Kaifa Hudimat al-Khilafah” yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah” Zallum dalam bukunya menjelaskan beberapa konspirasi mustafa kemal menentang negara dan usaha dalam merebut kekuasaan. Dan sikap arogansi seorang Mustafa Kemal terhadap islam sebagai seorang yang telah menghancurkan khilafah islamiyah.[21]
Meski demikian, keberhasilan mendirikan sebuah negara Turki yang merdeka tidak serta merta menjadikan negara bekas pemerintahan dinasti Islam ini berubah seratus persen menjadi sekuler. Lika-liku gerakan pembaruan (sekularisasi) Turki yang dilakoni oleh Mustafa Kemal terekam dalam tindakan rezim pemerintahannya yang diktator. Sehingga, proses perubahan Turki menjadi sebuah negara yang bercorak modern adalah suatu metamorphosis yang sangat berbeda dari corak tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat Turki yang hampir seluruhnya Islam.
Gerakan pembaruan Turki Mustafa Kemal Ataturk dimulai dengan penghapusan Kesultanan Usmani pada tahun 1923 dan penghapusan khilafah pada tahun 1924. Lembaga wakaf dihapuskan dan dikuasakan kepada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 beberapa thariqat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dihancurkan. Pada tahun 1927 pemakaian tarbus dilarang. Pada tahun 1928 diberlakukan tulisan latin menggantikan tulisan Arab, dan dimulai upaya memurnikan bahasa Turki dari muatan bahasa Arab dan Persi. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana berlaku pada pola nama Barat.
Sedangkan menurut Erick J. Zurcher, gerakan pembaruan Turki Mustafa Kemal tergambar dalam ideologi kemalisme yang mencakup prinsip-prinsip: republikanisme, nasionalisme, populisme, etatisme, sekularisme, dan revolusionisme.[22] Dalam lapangan agama, Mustafa Kemal membuat sejumlah kebijakan, seperti pada tahun 1928, menggunakan bahasa Turki dalam sholatnya. Sedangkan beberapa kebijakan yang dibuat dalam undang-undang pada era rezim Mustafa Kemal adalah :
1.      Undang-undang tentang unifikasi dan sekularisasi pendidikan, tanggal 3 Maret 1924.
2.      Undang-undang tentang pemberhentian petugas jemaah dan makam, penghapusan lembaga pemakaman, tanggal 30 November 1925;
3.      Peraturan sipil tentang perkawinan, tanggal 17 Februari 1926;
4.      Undang-undang penggunaan huruf latin untuk abjad Turki dan penghapusan tulisan Arab, tanggal 1 November 1928; dan
5.      Undang-undang tentang larangan menggunakan pakaian asli, tanggal 1934.
Gerakan sekularisasi Turki oleh rezim Mustafa Kemal berakhir seiring dengan wafatnya Mustafa Kemal pada tahun 1938. Sungguhpun demikian, sepeninggal Mustafa Kemal Ataturk, posisi presiden Turki digantikan oleh Ismet Inonu, seorang kolega yang sangat setia kepadanya. Dengan demikian, proses sekukarisasi terus berjalan di Turki. Hanya saja, pergantian tampuk pimpinan dalam rezim pemerintahan ini memberikan peluang bagi konsepsi sistem politik baru bagi negara Turki. Konsepsi politik baru ini terjadi setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1946, yang atas campur tangan pemerintah Amerika Serikat ketika itu yang berusaha mengurangi pengaruh sistem paternalistik dan lebih cenderung menginginkan sistem multi partai. Kondisi ini membuka jalan bagi terbentuknya partai Demokrat (Democrat Party) di Republik Turki.
3.      Muhammad Iqbal
a.      Biografi singkat
Sir Muhammad Iqbal merupakan sosok reformis Islam, politisi, penyair, ahli hukum serta sosok yang ahli dalam filsafat pendidikan. Ia dilahirkan di Sialkot, Punjab, India (sekarang termasuk wilayah pakistan) pada 9 November 1877 M,[23] bertepatan pada tanggal 3 Dzul Qa’dah. Hal ini juga diperkuat dari hasil penelitian terakhir yang mengungkapkan bahwa Muhammad Iqbal lahir pada 9 November 1877, bukan 22 Februari 1873 seperti yang kita kenal selama ini.[24]
Iqbal merupakan keturunan dari kasta Brahma Kasymir, yang terkenal dengan kebijaksanaan rum dan tabriz nya,[25] dari keluarga yang nenek moyangnya berasal dari Lembah Kasymir.[26] Kurang lebih pada tiga abad yang lalu, ketika dinasti Moghul yaitu sebuah dinasti Islam terbesar yang berkuasa di India, salah seorang nenek moyang Iqbal masuk Islam, dan nenek moyangnya tersebut masuk Islam dibawah bimbingan Syah Hamdani, seorang tokoh Muslim pada waktu itu.[27]
Iqbal termasuk dari kalangan keluarga sufi dimana kakeknya bernama Syeikh Muhammad Rofiq, berasal dari daerah Lahore, Kasymir, yang kemudian hijrah ke Sialkot, Punjab. Sedangkan ayahnya bernama Syeikh Nur Muhammad, beliau adalah seorang sufi yang zuhud. Dalam sumber lain, ayah Muhammad Iqbal yang bernama Nur Muhammad ini pada mulanya bekerja pada dinas pemerintahan dan kemudian beralih ke pedagang, dikenal sebagai seorang yang amat shaleh dan kuat beragamanya, bahkan mempunyai kecenderungan sufi.[28] Begitu juga dengan Ibu Muhammad Iqbal, yaitu Imam Bibi[29]  adalah seorang wanita yang solihah dan taqwa.[30]
Saat Iqbal dilahirkan pada tahun 1877, gaung peristiwa tragis perang kemerdekaan 1857 masih melekat segar dalam ingatan kaum Muslim India. Dalam  sejarahnya, peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan rakyat India yang mengakibatkan hilangnya kemerdekaan kaum Muslim pada khususnya, dan orang-orang yang kemudian takluk kepada kolonialis Inggris yang menang. Dalam tragedi ini sekitar 500.000 rakyat India sebagian besar Muslim, tewas dalam pembalasan dendam karena pembunuhan tujuh ribu serdadu Inggris semasa perlawanan. Ironisnya, kaum Hindu juga memperlihatkan perasaan bermusuhan terhadap kaum Muslimin yang kalah. Dikarenakan hal ini, kaum muslim terbelenggu ketidakberdayaan dalam masa kekacauan dan keputusasaan.[31]
Inggris semakin kuat posisinya di India terutama dalam bidang ekonomi dan  politik. Intervensi Inggris terhadap pemerintahan di India semakin jauh, dan The East India Company (EIC) dibubarkan.[32] Umat Islam sejak mula merupakan minoritas di India, semakin nampak kemundurannya dengan munculnya degenerasi aqidah dan kemudian diikuti oleh degenerasi sosio- moral, sosio-politik serta dekadensi etnik.[33] Kondisi tersebut menyebabkan praktek keagamaan umat Islam tidak lagi murni, yang telah bercampur dengan faham dan praktek yang berasal dari Persia dan India.[34]
Lambat laun timbul semangat kaum intelektual India seperti Ahmad Khan (1817-1898), dan Amir Ali (1849-1928), yang berusaha membebaskan umat Islam dari kemunduran dengan cara mengadakan gerakan pembaharuan pemikiran.[35] Menurut Ahmad Khan, umat Islam dapat maju dengan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga dengan Amir Ali yang berusaha menghidupkan kembali pemikiran rasional dan filosofis yang terdapat dalam sejarah Islam. Pada perkembangan selanjutnya, gerakan pembaharuan mereka dikenal dengan gerakan Aligarh.
Gerakan Aligarh tersebut dirintis oleh Ahmad Khan dan kemudian didirikan oleh murid dan pengikutnya, gerakan ini sebagai penggerak utama terwujudnya pembaharuan pemikiran di kalangan Islam di India yang pusatnya berada di sekolah M.A.O.C (Muhammad Anglo Oriental College) yang pada tahun 1920 namanya diganti dengan Universitas Islam Aligarh, gerakan ini mengembangkan pemikiran rasional serta menumbuhkan semangat kebangsaan dan keagamaan. Diantara tokoh-tokoh gerakan ini adalah Chiragh Ali, Salahuddin Khudu Bakhs, Maulvi Aziz Ahmad dan Sibli Nu’mani.
b.      Pemikiran Muhammad Iqbal
Sebagai seseorang yang bisa dikenal namanya harum seperti sekarang ini, Iqbal mempunyai faktor-faktor penting yang mendukung dan menciptakan  kepribadian serta pemikirannya.
Pendidikan yang telah memberikan semangat yang hebat di dalam hati dan pikirannya adalah lewat pendidikan yang diperolehnya di Government College, Lahore, yaitu sebuah lembaga yang dirintis oleh para pemikir,ahli hukum, teolog dan mujaddid. Pendidikan yang diberikan lembaga ini tidak terlepas dari penanaman nilai- nilai ruhani.[36]
Diantara para mahasiswa lain, Iqbal lebih bisa mewujudkan disiplin ilmunya dalam kehidupan. Adapun diantara unsur pokok yang ditanamkan dalam lembaga tersebut sebagai berikut :
Pertama, iman dan keyakinan merupakan pendorong dan penuntun terhadap segala pemikiran dan perbuatannya. Keimanan Iqbal merupakan suatu dogma, melainkan perpaduan antara iman dan cinta yang diwujudkan dengan citacitanya serta rasa setianya terhadap rasulullah yang merupakan pemimpin umat Islam.
Kedua, Al Qur’an merupakan sumber yang utama bagi kehidupan dan filsafatnya. Rasa kagum iqbal terhadap Al Qur’an melebihi rasa kagumnya terhadap hal-hal lain. Sehingga dalam mempelajari dan membaca Al Qur’an ia melakukan dengan sikap yang sangat khusyuk dan dengan penghargaan yang sangat besar. Al Qur’an bagi Iqbal merupakan pedoman untuk berfikir dan berbicara.
Ketiga, realisasi diri atau ego. Iqbal telah menekankan perkembangan dan pemeliharaan diri atau ego, ia percaya bahwa perkembangan personalitas yang benar akan terwujud apabila dilakukan dengan realisasi dan apabila perkembangan diri atau ego tidak terwujud, maka diri atau ego akan tetap sebagai ide-ide saja. Konsepsi kedirian yang dikatakan Iqbal merupakan esensi wujudnya.
Keempat, menjalankan ibadah sunnah khususnya sholat tahajjud, bagi Iqbal hal itu dapat memberikan pencerahan pikiran, ide dan cita-cita bagi jiwa. Kelima, adalah syair Jalaluddin Rumi dalam masnawi-masnawinya yang merupakan pembinaan dan tempat perbandingan bagi Iqbal, terutama pada saat ia sedang mempelajari doktrin-doktrin materialistik Barat yang pada saat itu mengalami kebingungan dan keputusasaan.[37]
Kelima faktor tersebut secara tidak langsung mempengaruhi kepribadian Iqbal. Meskipun tidak menutup kemungkinan terhadap faktor- faktor lain yang dapat mempengaruhinya.  Pendidikan yang diperolehnya di Barat telah memberikan latihan dalam proses berfilsafatnya. Sedangkan awal mula dari proses filsafatnya adalah keyakinannya yang teguh terhadap tauhid keesaan Illahi. Dan Tuhan merupakan asas Ruhaniah terakhir dari segala kehidupan, hakekat kesetiaan kepada Tuhan adalah kesetiaan insan terhadap cita-citanya sendiri.
c.       Karya-karya Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal merupakan orang yang sangat produktif, karya-karyanya yang digunakan dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya ada dalam beberapa bahasa, ada yang ditulisnya dalam bahasa Inggris, bahasa Arab, ada pula yang menggunakan bahasa Urdu dan Persia. Sebagian besar karya-karya Iqbal telah di alih bahasakan ke berbagai bahasa, diantaranya ke dalam bahasa Jerman, Inggris, Perancis, Arab, Rusia, Italia dan lain- lain. Sedangkan Iqbal sendiri menguasai beberapa bahasa, selain bahasa Urdu dan Persia, beliau juga menguasai dengan baik bahasa Inggris, Jerman, Perancis, bahasa Arab dan Sansekerta.[38]
Selama ini karya-karya dan tulisan-tulisan Iqbal dikenal lebih banyak yang bercorak sastra daripada filsafat, namun yang menarik disini adalah bahwa di setiap karya beliau yang berbentuk sastra itu sesungguhnya tercantum pemikiran-pemikiran Filsafatnya. Sedang karya yang dikenal bercorak filsafat menurut M.M. Syarif dalam  bukunya hanya ada dua buah, yaitu yang pertama dengan judul “The Development of Metaphyshics in Persia” yang isinya lebih bersifat Historis, dan yang kedua dengan judul “Six Lectures on The Reconstriction of Religious Thought” yang isinya lebih bersifat skolastik.[39] Karya Iqbal cukup banyak dan bervariasi, ada karyanya yang berbentuk prosa, puisi, surat-surat jawaban pada orang lain yang mengkritiknya atas berbagai konsep, dan pengantar untuk karya orang lain. Berikut ini akan dirinci beberapa dari karya-karya Iqbal:[40]
1.      Ilm Al Iqtishad, ini merupakan risalah ekonomi yang ditulis Iqbal atas anjuran Thomas Arnold gurunya pada tahun 1903, yang isinya sebagai penjelasan akan pentingnya ilmu ekonomi serta hubungan dagang, sistem moneter, pembelanjaan serta konsumsi dan mata uang.
2.      The Development of Metaphysics in Persia: A Contribution to The History of Muslim Philosophy, merupakan Desertasi Iqbal dalam memperoleh gelar Doctor dari Universitas Munich pada tahun 1908, isi pokok buku itu adalah deskripsi mengenai sejarah pemikiran keagamaan di Persia sejak Zoroaster hingga sufisme Mullah Hadi dan Sabwazar yang hidup pada abad 18.  pemikiran keagamaan sejak yang paling kuno di Persia hingga yang terakhir merupakan kesinambungan pemikiran Islamis, bagian kedua menjelaskan kebudayaan Barat dan berbagai manifestasinya, dan bagian ketiga menjelaskan munculnya Islam hingga peran Turki dalam Perang Dunia Pertama dan kemenangan Turki dalam perang kemerdekaan dari tekanantekanan Barat. Artinya, pemikiran keagamaan Mullah Hadi dan Sabwazar tetap mempunyai akar zoroasterianisme.
3.      Asrar-i Khudi [Rahasia Pribadi], diterbitkan oleh pengarangnya pada tahun 1915, salah satu karya utama yang berisi ajaran mengenai ego insan. Buku ekspresi puisi yang menggunakan bahasa Persia ini menjelaskan bagaimana seseorang dapat meraih predikat Insan Kamil.
4.      Rumuz-i Bekhudi [Rahasia Peniadaan Diri], diterbitkan oleh pengarangnya pada tahun 1918 d Lahore. Buku ini merupakan kelanjutan pemikiran mengenai Insan Kamil. Menggunakan bahasa Persia juga sebagai bahasa pengantarnya. Isi pokok dari buku ini adalah mengenai keberadaan Insan Kamil yang harus bekerja sama dengan pribadi-pribadi lain untuk mewujudkan kerajaan Tuhan di Bumi. Jika Insan Kamil hidup menyendiri, tenaganya suatu waktu akan sirna.
5.      Payam-i Misyriq [Sebuah Pesan dari Timur], terbit pada tahun 1923 di Lahore. Karya ini menggunakan bahasa Persia pula sebagai bahasa pengantarnya. Tema pokok buku ini adalah menjelaskan cara berpikir Timur, dalam hal ini Islam. Dan menunjukkan kekeliruan dari cara berfikir Barat. Di atas judul tersebut tertulis “Bagi Allah- lah Barat dan Timur”, sedang di  bawah judul tertulis “Jawaban dari diwan penyair Jerman, Goethe”.
6.      Bang-i Dara [Genta Lonceng]. Terbit di Lahore pada tahun 1924 dengan menggunakan bahasa Urdu, merupakan suatu tulisan Iqbal yang di dalamnya tampak pandangan-pandangan Iqbal pada perkembangan pemikiran dan puisi-puisinya. Secara keseluruhan buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, memuat sajak-sajak yang di gubahnya hingga tahun 1905. Terdapat enam puluh satu lirik yang ia tulis sejak ia mulai menggubah sajak hingga ia berangkat ke Eropa pada tahun 1905. Dalam bagian ini sajak-sajaknya lebih  bersifat nasionalis, patriotis, Islamis, dan humanis. Bagian kedua, gubahan antara 1905-1908, bagian ini di gubah selama Iqbal berada di Eropa, dalam bagian ini terdapat kurang lebih tiga puluh lirik, yang isinya mengandung ekspresi perasaan Iqbal selama awal masa menetap di Eropa, juga mengenai kebudayaan Eropa dengan berbagai aspek serta manifestasinya. Bagian ketiga, gubahan antara tahun 1908-1924, terdapat kurang lebih delapan puluh lirik.
7.      Zabur-i ‘Ajam [Taman Rahasia Baru], terbit di Lahore pada tahun 1927 dengan menggunakan bahasa Persia. Sebuah tulisan Iqbal yang membangkitkan semangat baru kepada dunia, yakni lewat kaum muda dan bangsa Timur. Tema sentral buku ini antara lain mengenai konsep ma’rifat. Pengarang buku ini sinis terhadap konsep ma’rifat sufisme klasik. Buku ini diakhiri uraian mengenai perbudakan.
8.      Tulisan dari Iqbal yang terbesar dalam bidang Filsafat dan berbentuk prosa adalah The Reconstruction Of Religious Thought In Islam. Buku ini terbit di London pada tahun 1934. Ada tujuh bagian dalam buku ini, yaitu: 1) pengalaman dan pengetahuan keagamaan, 2) pembuktian secara filosofis mengenai pengalaman keagamaan, 3) konsepsi tentang tuhan dan makna sembahyang, 4) tentang ego insani, kemerdekaan dan keabadiannya, 5) jiwa kebudayaan Islam, 6) prinsip gerakan dalam struktur Islam, dan 7) bahwa  Agama itu bukan sekedar mungkin, tetapi pasti ada sebagai kritik terhadap Hegel, seorang filsuf besar idealisme Jerman.
9.      Javid Nama, berbahasa Persia, terlahir pada tahun 1932 di Lahore. Buku ini menjelaskan tentang petualangan rohani Iqbal ini ke berbagai planet. Saat berpetualang itulah Iqbal mengadakan dialog dengan para pemikir, sufi, filosof, politikus, maupun pahlawan yang ada di masing-masing planet yang disinggahi. Di bagian akhir buku ini berisi pesan-pesan kepada anaknya, Javed Namah dan segenap generasi-generasi baru yang akan terus bermunculan.
10.  Pasche Bayad Kard Aye Aqwam-i Syarq?, kata-kata tersebut mengandung arti “Apakah Yang Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?”. Buku ini terbit di Lahore pada tahun 1936. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Persia. Untaian syair-syair dalam buku ini menjelaskan tentang: Perang di Ethiopia, Liga Bangsa-Bangsa, Pesan Matahari, Kebijakan Musa, Kebijakan Fir’aun, tak ada Tuhan selain Allah, Kemiskinan, Tokoh-Tokoh Bebas, Rahasia-Rahasia Syari’at dan Nasehat untuk Bangsa Arab.
11.  Musafir, tertulis dalam bahasa Persia. Buku ini terbit di Lahore pada tahun 1936. inspirasi penulisan buku ini didapat pengarang ketika mengadakan perjalanan ke Turki dan Afghanistan. Di dalam buku ini, pengarang menggambarkan pengalamannya ketika mengunjungi makam Sultan Mahmud al Ghaznawi Amin al Dawlat, seorang guru perintis penyair tasawuf berbahasa Persia. Ia merupakan putra Subuktikin dan Ahmad Syah Baba yang bergelar  Durani. Buku ini juga mengandung pesan kepada Sultan Nadir Syah dan anaknya Zahir Syah, maupun kepada segenap suku-suku bangsa Afghanistan tentang bagaimana baiknya menjalani hidup berbangsa, bernegara dan beragama.
12.  Bal-i Jibril [Sayap Jibril], tertulis dalam bahasa Urdu. Buku ini terbit pada tahun 1938 di Lahore. Tema-tema buku ini antara lain: Do’a di Masjid Cordova, Mu’tamid ibn ‘ibad dala m penjara, Pohon Kurma yang pertama kali ditanam oleh Abdurrahman Ad Dakhil di Andalusia Spanyol, do’a Thariq ibn Ziyad, Ucapan selamat malaikat kepada Adam ketika keluar dari Surga, serta di makam Napoleon dan Mussolini.
13.  Zarb-i Kalim [Pukulan Nabi Musa], terbit dalam bahasa Urdu pada tahun 1938 di Lahore.
14.  Ar Magham-i Hijaz [Hadiah dari Hijaz], terbit dalam bahasa Urdu pada tahun 1938 di Lahore. Sebagian diantaranya ada yang berbahasa Persia, yaitu yang bertema: kepada Allah, kepada Rasulullah, kepada Umat Insan, dan kepada teman seperjalanan. Dan pada bagian bahasa Urdu berisi tentang Majelis Permusyawaratan Iblis dan dialog Iblis dengan para pendukungnya. Isi dialog Iblis adalah kekhawatiran munculnya kebangkitan Islam. Pengarang memaksudkan Iblis dan para pendukungnya itu adalah paham Demokrasi ala Barat dan paham Komunisme yang ada.
4.      Muhammad Abduh
a.      Biografi singkat
Syeikh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Namun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur'an. Setelah dua tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.
Walaupun sudah kawin, ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit − tempat di mana banyak paman dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur'an dan menganut paham tasawuf asy-Syadziliah. Pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh sang paman. Ia berhasil merubah pandangan pemuda ini dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi menggemarinya.
Beliau sempat kembali ke Masjid al-Ahmadi Thantha, kemudian menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866. Di perguruan ini ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, di antaranya: Pertama, Syaikh Hasan ath-Thawi yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu; Kedua, Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.
Ketika Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir, tahun 1871, kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan olehnya. Hubungan ini mengalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti yang sempit, sebagai bentuk tata cara berpakaian dan zikir, kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat, membimbing mereka untuk maju, dan membela ajaran-ajaran Islam.
Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada kepribadian Abduh dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-'Aridat (1837), disusul kemudian dengan Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi), dan tasawwuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Di samping itu, Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram, Kairo. Melalui media ini gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar yang sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki jabatan "Syaikh al-Azhar", Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat tertinggi di al-Azhar, dalam usia 28 tahun (1877 M).
Setelah lulus dari tingkat Alamiyah (sekarang Lc.), ia mengabdikan diri pada al-Azhar dengan mengajar Manthiq (Logika) dan Ilmu Kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya ia mengajar pula kitab Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Kerajaan-kerajaan Eropa.
Pada tahun 1878, ia diangkat sebagai Pengajar Sejarah pada sekolah Dar al-'Ulum (yang kemudian menjadi fakultas) dan ilmu-ilmu bahasa Arab pada Madrasah Al-Idarah Wal Alsun (Sekolah Administrasi dan Bahasa-bahasa).
Pada tahun 1879, Muhammad Abduh diberhentikan dari dua sekolah yang disebut terakhir dan diasingkan ke tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir), berbarengan dengan terjadinya pengusiran terhadap Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah Mesir atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir. Akan tetapi, dengan terjadinya perubahan Kabinet pada 1880, beliau dibebaskan kembali dan diserahi tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah, Al-Waqa'i al-Mishriyah. Surat kabar ini, oleh Muhammad Abduh dan kawan-kawan bekas murid Al-Afghani, dijadikan media untuk mengkritik pemerintah dan aparat-aparatnya yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang.
Setelah Revolusi Urabi tahun 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Muhammad Abduh yang ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa'i, dituduh terlibat dalam revolusi tersebut, sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya memilih tempat pengasingan, dan ia memilih Suriah.
Di Negara ini Muhammad Abduh menetap selama setahun. Kemudian ia menyusul gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka berdua menerbitkan surat kabar Al-'Urwah al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam dan menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris.
b.      Pemikiran Muhammad Abduh
Tahun 1884 Muhammad Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1885 Muhammad Abduh meninggalkan Paris menuju ke Beirut (Libanon) dan mengajar di sana sambil mengarang beberapa kitab, antara lain:
1)      Risalah at-Tauhid (dalam bidang teologi);
2)      Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib);
3)      Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan); dan
4)      Syarah Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut bahasa dan sastra Arab).
Di Beirut, aktivitas Muhammad Abduh tidak terbatas pada mengarang dan mengajar saja, tetapi bersama beberapa tokoh agama lain mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan menggalang kerukunan antar umat beragama. Organisasi ini telah membuahkan hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel yang mengangkat ajaran Islam secara objektif pada media massa di Inggris, padahal ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media Barat. Namun, organisasi ini dan aktivitas anggota-anggotanya dinilai oleh penguasa Turki di Beirut mempunyai tujuan-tujuan politik, sehingga penguasa tersebut mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut hukuman pengasingan Muhammad Abduh dan diminta segera kembali ke Mesir.
Pada 1888, Muhammad Abduh kembali ke tanah airnya dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha. Walaupun ketika itu Muhammad Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun pemerintah Mesir agaknya sengaja merintangi, agar pikiran-pikirannya yang mungkin bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah ketika itu tidak dapat diteruskan kepada putera-puteri Mesir.
Terakhir, ia ditugaskan di Pengadilan Abidin, Kairo. Kemudian, pada 1899 ia diangkat menjadi Mufti Kerajaan Mesir dan pada tahun yang sama Muhammad Abduh juga menjabat sebagai anggota Majelis Syura Kerajaan Mesir, seksi perundang-undangan.
Pada tahun 1905, Muhammad Abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Ide ini mendapat respon yang begitu antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut. Namun sayang, universitas yang dicita-citakan ini baru berdiri setelah Muhammad Abduh berpulang ke Rahmatullah dan universitas inilah yang kemudian menjadi "Universitas Kairo".
Pada tanggal 11 Juli 1905, saat masa puncak aktivitasnya membina umat, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka di antaranya sekian banyak tokoh non-Muslim.
Selain yang telah disebutkan di atas, selama hidupnya beliau juga melahirkan beberapa karya lain, yaitu:
1)      Tafsir al-Qur’an al-Hakim (belum sempurna, kemudian dirampungkan oleh Rasyid Ridha);
2)      Khasyiah ‘Ala Syarh ad-Diwani li al-‘Aqaid adh-‘Adhudhiyat;
3)      Al-Islam wa an-Nashraniyat ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyat.
Syekh Muhammad Abduh menggerakkan dan mempelopori kebangkitan intelektual pada paruh kedua abad ke–9. Kebangkitan dan reformasi dipusatkan pada gerakan kebangkitan, kesadaran, dan pemahaman Islam secara komprehensif, serta penyembuhan agama dari berbagai problem yang muncul di tengah-tengah masyarakat modern.
Ada dua fokus utama pemikiran tokoh pembaharu Mesir ini; Pertama, membebaskan umat dari taqlid dengan berupaya memahami agama langsung dari sumbernya – al-Qur’an dan Sunnah – sebagaimana dipahami oleh ulama salaf sebelum berselisih (generasi Sahabat dan Tabi’in). Kedua, memperbaiki gaya bahasa Arab yang sangat bertele-tele, yang dipenuhi oleh kaidah-kaidah kebahasaan yang sulit dimengerti. Kedua fokus tersebut ditemukan dengan sangat jelas dalam karya-karya Abduh di bidang tafsir.





DAFTAR PUSTAKA

‘Ulum al-Qur’an karya Ahmad Von Denffer

A. Syafi’i Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997.

Abdou Filali-Ansari, “Dapatkah Rasionalitas Modern Membentuk Religiusitas Baru ?;Muhammad Abid Al-Jabiri dan Paradoks Islam-Modernitas,” dalam John Cooper, dkk, ed., Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan Hingga Nasr Hamid Abu Zayd Jakarta: Erlangga, 2002.

Abdul Q. Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah. Penerjemah Abu Faiz (Jawa Timur: Al-Izzah, 2001

Abdul Wahab Azzam Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rofi’I Utsman, Bandung : Pustaka, 1985.

Abdul Wahab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj: Ahmad Rafi’ Usman (Bandung: Pustaka, 1985.

Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : PT. Triputra Masa, 1984.

Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, Jakarta : PT. Triputra Masa, 1984.

Ahmad Faizin, “Ubermensch dan Al Insan Al Kamil”, Tesis Surabaya: Perpustakaan IAIN Sunan Ampel, 2006

Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam pendahuluan: Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Yogyakarta: Jalasautra, 2008

Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.

Ali Kaudah, Muhammad Iqbal, Sebuah Pengantar dalam Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Jakarta: Tintamas, 1982

Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi

Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing (Leiden: E.J.Brill,1963.
Chairul Anam, “Khudi dalam Perspektif Muhammad Iqbal”, Tesis Surabaya: Perpustakaan IAIN Sunan Ampel, 2006.

Danusiri, Epistmologi dalam Tasawwuf Iqbal Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Dhabith Tarki Sabiq. Kamal Attaturk, Pengusung Sekularisme dan Penghancur Khilafah Islamiyah. Jakarta: Senayan Publishing.. 2008.

Erik J. Zucher, Sejarah Modern Turki. Penerjemah Karsidi Diningrat R. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

H.H. Bill Gram, Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya, terj. Djohan Effendi, Jakarta : Bulan Bintang, 1982.

Hafeez Malik dan Linda HLM. Malik, I The Life of The Reat-Philosopher, dalam Hafeez Maik (ed). Iqbal, Poet Philosopher of Pakistan New York -London: Colombia University Press, 1971.

http://www.muslim-power. catch.com/mustafa_kamal.htm

Indikasi (Lat) adalah tentang petunjuk atau tanda-tanda. Eksplikasi (Lat) adalah tentang penjelasan, keterangan, tafsiran. Lihat J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003.

Khalifat ‘abd al Hakim, Renaissance ini Indo-Pakistan : Iqbal, dalam M.M. Syarif (ed). A History of Muslim Philosophy (Jerman : Otto Horrossowitz, 1996), Vol. II,.

M. Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1989.

M. Quraish Shihab, Logika Agama; Batas-batas Akal Dan Kedudukan Wahyu Dalam Islam Jakarta: Lentera Hati, 2005.

M.M.Syarif, Iqbal Tentang Tuhan dan Keindahan, terj: Yusuf Jamil, (Bandung: Mizan, 1994.

Mohammad Iqbal, The Secrets of The Self : A Philoshopical Poem, Trans. By R.A. Nicolson Lahore: Syeikh Mohammad Asraf Kasmiri Bazar, 1950.

Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan Yogyakarta: Islamika, 2003.
Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,” dalam Muhammad Aunul Abied Syah, dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001.

Munawar Muhammad, Dimensions of Iqbal (Lahore: Iqbal Academy Pakistan, 1986

Novriantoni Kahar, file pdf ambil pada tanggal 16 Februari 2011, di http://idb2.wikispaces.com/file/ view/ jb2015.pdf,

Parveen Syaukat Ali, The Political Philosophy of Iqbal, Lahore: Anorkali, 1978.

Smith, Wilfred Contwell, Modern Islam in India, A Social Analysis, New Delhi: Usha Publication, 1979

Stoddard, L, Dunia Baru Islam, terj. M. Muljadi Djojomartono dkk., (-----------, 1966.

Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1997.

Suyibno H.M., Percikan Kegeniusan DR. Sir Muhammad Iqbal, Jakarta: In Tegrita Press, 1985.

Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha

tulisan Syekh Muhammad Abduh & Karya Tafsirnya (Pengantar “Tafsir Juz ‘Amma Muhamad ‘Abduh”) karya M. Quraish Shihab, terj. Muhammad Bagir)

Walid Harmaneh, “Kata Pengantar,” dalam Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan Yogyakarta: Islamika, 2003.




[1] Novriantoni Kahar, file pdf ambil pada tanggal 16 Februari 2011, di http://idb2.wikispaces.com/file/ view/ jb2015.pdf, hlm 1.
[2] Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 114-115.
[3] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,” dalam Muhammad Aunul Abied Syah, dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 304.
[4] Aksin Wijaya, op.cit, hlm. 109.
[5] Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003) hlm. 3.
[6] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, op.cit, hlm. 306-307.
[7] Aksin Wijaya, op.cit, hlm. 71.
[8] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, op.cit, hlm. 310-311.
[9] Indikasi (Lat) adalah tentang petunjuk atau tanda-tanda. Eksplikasi (Lat) adalah tentang penjelasan, keterangan, tafsiran. Lihat J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003), hlm. 81, 151.
[10] Walid Harmaneh, “Kata Pengantar,” dalam Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. xxvii.
[11] Happy Susanto, “Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer.”
[12] Walid Harmaneh, “op.cit, hlm. xxxi.
[13] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, op.cit, hlm. 319-320.
[14] Ibid, hlm. 323.
[15] Ibid, hlm. 324-325
[16] M. Quraish Shihab, Logika Agama; Batas-batas Akal Dan Kedudukan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 96.
[17] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, op.cit, hlm. 325-326.
[18] Abdou Filali-Ansari, “Dapatkah Rasionalitas Modern Membentuk Religiusitas Baru ?;Muhammad Abid Al-Jabiri dan Paradoks Islam-Modernitas,” dalam John Cooper, dkk, ed., Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan Hingga Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 170.
[19] http://www.muslim-power. catch.com/mustafa_kamal.htm

[20] Dhabith Tarki Sabiq. Kamal Attaturk, Pengusung Sekularisme dan Penghancur Khilafah Islamiyah. (Jakarta: Senayan Publishing.. 2008), h. 223.
[21] Abdul Q. Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah. Penerjemah Abu Faiz (Jawa Timur: Al-Izzah, 2001), h. 35
[22] Erik J. Zucher, Sejarah Modern Turki. Penerjemah Karsidi Diningrat R. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 235.
[23] Ada sedikit perbedaan informasi yang ditemukan beberapa penulis tentang tahun kelahiran Iqbal. Khalifat ‘abd al Hakim mencatat kelahiran Iqbal pada tanggal 9 November 1877 M. Lihat : Khalifat ‘abd al Hakim, Renaissance ini Indo-Pakistan : Iqbal, dalam M.M. Syarif (ed). A History of Muslim Philosophy (Jerman : Otto Horrossowitz, 1996), Vol. II, h. 1614. Hal ini sama dengan catatan Hafeez Malik. Lihat : Hafeez Malik dan Linda HLM. Malik, I The Life of The Reat-Philosopher, dalam Hafeez Maik (ed). Lihat juga : Iqbal, Poet Philosopher of Pakistan (New York -London: Colombia University Press, 1971), h. 3. Munawar Muhammad, Annemarie Schimmel dan Parveen Syaukat Ali mencatat kelahiran sama dengan yang ditulis oleh Hafeez Malik. Lihat : Munawar Muhammad, Dimensions of Iqbal (Lahore: Iqbal Academy Pakistan, 1986), h. 1. Lihat : Annemarie Schimmel, Gabriel’s Wing (Leiden: E.J.Brill,1963), h. 35. Lihat, Parveen Syaukat Ali, The Political Philosophy of Iqbal, (Lahore: Anorkali, 1978),h. 1. Ia disebutkan juga lahir pada tanggal 22 Februari 1873. Lihat : Schimmel, Gabriel’s Wing.., versi ini juga sama dengan Abdullah Siddik, lihat : Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : PT. Triputra Masa, 1984 ), h. 179. Juga sama dengan Abdul Wahab Azzam. Lihat dalam : Danusiri, Epistmologi dalam Tasawwuf Iqbal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 17. Rupanya, orang tua Iqbal tidak terlalu mementingkan pencatatan tanggal
kelahiran anak mereka ini.
[24] Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam pendahuluan: Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, (Yogyakarta: Jalasautra, 2008), XI
[25] Mohammad Iqbal, The Secrets of The Self : A Philoshopical Poem, Trans. By R.A. Nicolson (Lahore: Syeikh Mohammad Asraf Kasmiri Bazar, 1950), h. 14.
[26] Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta : PT. Triputra Masa, 1984), h. 179.
[27] Abdul Wahab Azzam Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rofi’I Utsman, (Bandung : Pustaka, 1985), h. 13.
[28] Smith, Wilfred Contwell, Modern Islam in India, A Social Analysis, (New Delhi: Usha Publication, 1979), h. 116-117. Lihat juga : Ali Kaudah, Muhammad Iqbal, Sebuah Pengantar dalam Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, (Jakarta: Tintamas, 1982), x.
[29] Danusiri, Epistimologi…, h. 4.
[30] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h. 105.
[31] A. Syafi’i Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), h. 13.
[32] EIC adalah bentuk kerjasama antara India dan Inggris dalam bidang perniagaan pada awalnya, didirikan pada masa pemerintahan Akbar II (1806-1877) pada Dinasti Moghul. Perkembangan selanjutnya EIC ini semakin luas kekuasaannya sehingga menimbulkan kecemasan dikalangan bangsa India yang mengakibatkan terjadinya pemberontakan tahun 1857, pemberontakan  dapat dipadamkan, EIC dapat dibubarkan dan India langsung di bawah kerajaan Inggris, kemudian  Ratu Victoria menobatkan dirinya sebagai maharani India.
[33] M. Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1989), h. 119-122.
[34] A. Syafi’i Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin.., h. 13.
[35] Stoddard, L, Dunia Baru Islam, terj. M. Muljadi Djojomartono dkk., (-----------, 1966), h. 207-208.
[36] Suyibno H.M., Percikan Kegeniusan DR. Sir Muhammad Iqbal, (Jakarta: In Tegrita Press, 1985), h. 23.
[37] H.H. Bill Gram, Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya, terj. Djohan Effendi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1982), h. 23.
[38] Abdul Wahab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj: Ahmad Rafi’ Usman (Bandung: Pustaka, 1985), h. XXXV-XXXVI.
[39] M.M.Syarif, Iqbal Tentang Tuhan dan Keindahan, terj: Yusuf Jamil, (Bandung: Mizan, 1994), h. 26.
[40] Ahmad Faizin, “Ubermensch dan Al Insan Al Kamil”, Tesis (Surabaya: Perpustakaan IAIN Sunan Ampel, 2006), t.d., h. 33-36. lihat juga, Chairul Anam, “Khudi dalam Perspektif Muhammad Iqbal”, Tesis (Surabaya: Perpustakaan IAIN Sunan Ampel, 2006), t.d., h. 38-40.