Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Wednesday, June 1, 2011

Sumber Pengetahuan


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sejak kehadirannya di muka bumi telah diberikan potensi untuk dapat menghadapi kehidupan. Sebagaimana telah diketahui bahwasannya Adam telah diberi pengetahuan tentang segala sesuatu dari ala mini, dimana makhluk Allah SWT yang lain tidak mampu untuk menyebutkan apalagi sampai kepada yang lebih tinggi dari itu ( menganalisis, sintesis, evaluasi dan kreasi) Hal ini terjadi karena Allah SWT menjadikannya Khalifah dan melengkapinya dengan akal pikiran yang dinamis, perangkat kehidupan yaitu pendengaran, pengelihatan dan hati.[1]
Manusia dengan potensi yang dimilikinya mampu mengembangkan pengetahuan dalam rangka mengatasi kebutuhan hidup dan bahkan lebih dari itu manusia mampu mengembangkan kebudayaan, memberi makna pada kehidupan dan dia memiliki tujuan dalam kehidupan.[2] Perkembangan pengetahuan manusia dapat terjadi karena manusia memiliki bahasa yang dapat mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Selain itu manusia memiliki kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu yang disebut penalaran.[3]
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas berkenaan dengan sumber pengetahuan manusia yaitu rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu.
 

BABA II
PEMBAHASAN

Sebagaimana telah disebutkan bahwa sumber pengetahuan manusia terdiri dari rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu. Dengan keempat inilah manusia mencari apa yang disebut dengan kebenaran.
A. Rasio
Rasio biasa kita mengenalnya sebagai akal pikiran. Kata akal berasal dari kata Arab, yaitu al-‘aql ( ) yang dalam bentuk kata benda tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya menyebutnya dalam bentuk kata kerja seperti ‘aqaluh, ta’qilun, na’qil, ya’qiluha dan ya’qilun yang mengandung arti faham dan mengerti seperti terdapat pada ayat 46 surat al Hajj:
Artinya: Apakah mereka tidak melakukan perjalanan dipermukaan bumi dan mereka mempunyai qalbu untuk memahami atau telinga untuk mendengar; sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tetapi qalbu didalam dadalah yang buta. (QS. 22:46)
Manusia yang menjadikan rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan disebut dengan kaum rasionalis yang mengembangkan paham rasionalisme, yaitu paham yang menyatakan bahwa idea tentang kebenaran itu sudah ada dan pikiran manusia dapat mengetahui idea tersebut namun tidak menciptakannya dan tidak juga mempelajarinya lewat pengalaman (paham idealisme),. Dengan perkataan lain, idea tentang kebenaran, yang menjadi dasar pengetahuan, diperoleh lewat berpikir rasional, terlepas dari pengalaman manusia. Sistem pengetahuan dibangun secara koheren di atas landasan-landasan pernyataan yang sudah pasti.[4]Mereka menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir rasional adalah kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide dimana menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya namun belum tentu bagi orang lain. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif, Karena premis-premisnya semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu consensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistic dan subyektif.[5]
Para tokoh rasionalisme diantaranya adalah Plato dan Rene Descartes. Plato menyatakan bahwa manusia tidak mempelajari apapun; dia hanya “teringat apa yang telah dia ketahui”.Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum telah ada dalam pikiran manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah berada dalam pikiran.
B.  Pengalaman / empiris
Kebalikan dari kaum rasionalis, maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia bersumber pada pengalaman yang kongkret. Gejala-gejala alamiah merupakan sesuatu yang bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Melalui gejala-gejala atau kejadian-kejadian yang berulang-ulang dan menunjukkan pola yang teratur, memungkinkan manusia untuk melakukan generalisasi. Dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual.
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang dapat tertangkap oleh pancaindera, sedangka panca indera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi bahwa pancaindera manusia bias melakukan kesalahan. Misalnya bagaimana mata kita melihat sebatang pensil yang dimasukkan ke dalam gelas bagian yang terendam air terlihat bengkok.[6]
C. Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada sesuatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai situ. Jawaban permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan kebenaran yang membukakan pintu.[7]
Bagimana hal tersebut dapat terjadi pada diri manusia? Para filosof musli mencoba menjawab pertanyaan tersebut diantaranya Al Kindi (796-873 M), Ibnu miskawaih (941-1030 M), dan Ibnu Sina (980-1037 M)
Menurut Ibnu Sina, dalam kehidupan ini terdapat tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia. Masing-masing jiwa tersebut memiliki daya-daya. Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak. Sdangkan jiwa binatang memiliki daya penggerak dan daya pencerap. Jiwa manusia hanya memiliki satu daya yaitu akal.
Akal manusia ini terbagi menjadi dua, yaitu
1. Akal Praktis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang.
2. Akal Teoritis yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tidak ada pada materi seperti Tuhan, roh, dan malaikat.
Akal praktis memusatkan pada alam materi, sedangkan akal teoritis mencurahkan perhatiannya pada dunia immateri dan bersifat metafisis. Akal toeritis ini pun terbagi lagi menjadi empat, yaitu
1. Akal materil
2. Akal bakat
3. Akal aktuil
4. Akal perolehan / akal mustafad
Akal dalam derajat yang terakhir inilah yang merupakan akal tertinggi dan terkuat dayanya yang dimiliki para filosof atau orang-orang tertentu. Akal ini mampu terhubung dan dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Tuhan ke alam materi melalui Akal yang sepuluh seperti tersebut dalam falsafat emanasi Al Farabi.[8]
Demikianlalah menurut pendapat para filosof tentang akal mustafad / akal perolehan. Kaum sufi mengenalnya dengan istilah qalb, dzauq. Bergson menyebutnya intuisi dan Kant menyebutnya dengan moral atau akal praktis. Pengetahuan yang demikian menurut Ahmad Tafsir disebut sebagai pengetahuan mistik ( mystical knowledge ) dengan paradigma mistik ( mystical paradigm),yang didapat melalui metode latihan (riyadhah).dan metode yakin ( percaya ).[9]
Keingintahuan manusia tentang sesuatu yang berada dibalik materi, tentang siapakah yang berada dibalik keteraturan materi, yang menciptakan hukum-hukumnya bukanlah objek empiris dan bukan pula dapat dijangkau akal rasional dan objek ini dikenal dengan objek abstrak-supra-rasional atau meta-rasional yang dapat dikenali melalui rasa, bukan pancaindera dan atau akal rasional.[10]

D. Wahyu
Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy ( ) dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung pengertian pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Yang dimaksud dengan wahyu sebagai sumber pengetahuan adalah wahyu yang diturunkan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia agar dijadikan pegangan hidup berisi ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan bagi umat manusia di dunia dan akhirat. Dalam Islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul dalam Al-Qur’an.[11]
Seperti tergambar dalam konsep wahyu tersebut di atas, pewahyuan mengandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan yang bersifat immateri dengan manusia yang bersifat materi. Menurut Ibnu Sina manusia yang telah memiliki akal musstafad dapat melakukan hubungan dengan Akal Kesepuluh yang dijelaskannya sebagai Jibril. Filosof memiliki akal perolehan yang lebih rendah dari para nabi sehingga filosof tidak bisa menjadi nabi. Menurut kaum sufi, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof mendapatkan akal perolehan dengan mempertajam daya pikir atau akalnya, sedangkan kaum sufi dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, mereka mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian pada usaha pensucian jiwa.[12]
Dimanakah letak perbedaan antara penerimaan wahyu oleh Nabi Muhammad SAW dengan penerimaan ilham oleh sufi dan filosof. Pada sufi dan filosof terdapat terlebih dahulu dalam diri mereka ide dan barulah kemudian ide itu diungkapkandalam kata-kata. Sebaliknya pada Nabi tidak ada ide sebelumnya. Nabi mendengar suara yang jelas tanpa ad aide yang mendahului ataupun bersamaan datangnya dengan kata yang diucapkan. Kita ketahui bahwasannya Nabi Muhammad SAW sendiri terperanjat pada awalnya ketika menerima atau menangkap kata-kata yang didengarnya dan beliau merasa dirinya dipaksa untuk mengucapkan kata-kata yang diwahyukan itu.
Wahyu yang datang dari Tuhan, Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui kepada para utusan / nabi, memiliki nilai kebenaran yang absolut. Semua ayat yang terdapat dalam Al Qur’an memang absolut benar dating dari Allah SWT. Yang diistilahkan dengan qath’i al wurud. Namun demikian tidak semua ayat mengandung arti yang jelas (qath’i al dalalah) dan banyak diantaranya mengandung arti tidak jelas (zanniy al dalalah).yang menimbulkan interpretasi berbeda dikalangan umat.
Wahyu dalam hal ini adalah Al Qur’an merupakan sumber pengetahuan bagi manusia, yang memberikan petunjuk tentang sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia.

 
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai sumber pengetahuan manusia, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Manusia dalam memperoleh pengetahuan dalam perkembangannya melalui sumber-sumber pengetahuan, yaitu rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu.
2. Terdapat paham-paham yang berkaitan dengan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan atau kebenaran, seperti Rasionalisme, Empirisme dua paham yang saling bertentangan / bertolak belakang. Rasionalisme mengandalkan rasio dalam memperoleh pengetahuan yang benar, sedangkan empirisme menggunakan pengalaman.
3. Dalam perkembangan selanjutnya muncul paham positivisme, yaitu paham yang mengajarkan bahwa kebenaran adalah yang logis, ada bukti empirisnya dan yang terukur. Secara lebih operasional ajaran positivisme tentang yang terukur oleh metode ilmiah dengan langkah logico-hypothetico-verificatif.
4. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan yang karenanya tidak bisa diandalkan guna dijadikan dasar bagi penyusunan pengetahuan yang teratur. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya.
5. Wahyu sebagai sumber pengetahuan datang dari Allah SWT. melalui Jibril kepada para utusan / nabi. Kandungan pengetahuan yang terdapat didalamnya bersifat absolute. Wahyu sebagai pengetahuan yang datang bukan saja mengenai hal yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah yang bersifat transcendental.
6. Filosof muslim menjelaskan tentang pewahyuan tersebut dapat terjadi pada diri manusia, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Sina.
7. Islam sebagai agama yang bersumberkan wahyu Allah SWT. yang terangkum dalam Kitab Suci Al-Qur’an memberikan pandangan pentingnya menuntut ilmu yang benar dan memberikan petunjuk dan dorongan untuk memperolehnya dengan mempergunakan potensi dirinya.

C. Saran
Kami sangat mengharapkan kepada teman-teman kelompok lain untuk bersama-sama mengkaji hal-hal yang belum sempat dicantumkan dalam makalah ini. Jika ada hal-hal yang ingin didiskusikan, kami siap membuka diskusi kelompok baik itu di kampus atau diluar kampus.
            Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami mengharapkan tambahan penjelasan. Karena kami menyadari makalah ini masih perlu tambahan berupa masukan ataupun yang sejenisnya
 
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra 1989

Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010

Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press 1986

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009

Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persfektif, Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmثفu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987



[1] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra 1989
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010
[3] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press 1986
[4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009
[5] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persfektif, Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmثفu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987
[6] QS. 22: 46
[7] Jujun. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,2009) cet. ke-21, hlm.40
[8] ibid
[9] JuJun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997) cet.ke-13 hlm. 10

[10] Jujun S. Suriasumantri, op.cit hlm.51
[11] Ibid hlm 53
[12] Ahmad Tafsir,Filsafat Ilmu mengurai ontology, Epistemologi dan aksiologi pengetahuan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010) cet. ke-15, hlm10

No comments:

Post a Comment