Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk yang pertama kalinya pada paroh kedua abad ke -19.[1] Nilai itu idiel, bersifat ide, karena itu ia abstrak tidak dapat disentuh oleh panca indra.[2] Nilai berbeda dari fakta, karena itu soal nilai bukan soal benar atau salah, tetapi soal-soal dikehendaki atau tidak, disenangi atau tidak.
Suatu barang bernilai karena memiliki manfaat. Barang yang berharga pasti didambakan setiap orang, oleh karena itu setiap orang baru akan merasa puas ketika telah memperoleh barang tersebut.
Adat dan kebudayaan sesungguhnya tidak lain adalah norma-norma atau niai-nilai semenjak seseorang lahir, adat dan kebudayaan menanamkan kepadanya ide-ide nilai itu melalui orang-orang yang ada di sekelilingnya.[3]
Kata aqidah berasal dari bahasa Arab, yang bermakna “yang bermakna yang dipercayai” oleh hati”, dan seakar Dengan kata al-aqdu, yang bermakna penyatuan dari semua ujung benda.[4] Digunakan kata aqidah untuk mengungkapkan makna kepercayaan tersebut adalah, karena kepercayaan merupakan pangkal dan sekaligus merupakan tujuan dari segala perbuatan mukallaf.
Nilai aqidah yang miliki oleh pendidikan Islam sangat berhubungan denngan aktifitas manusia dalam menjalankan hidupnya dalam mengabdikan diri semata untuk Allah SWT., oleh karena itu Islam mengajarkan agar hidup dan seluruh aspek kehidupan harus diniatkan sebagai pengabdian kepada kepada Allah.[5]
Aspek aqidah berperan sebagai landasan serta motivasi dari semua perbuatan lahir, baik perbuatan hukum maupun akhlak. Sementara perbuatan-perbuatan tersebut, merupakan rangkaian amaliyah yang akan diperhitungkan pahalanya kelak dihari perhitungan, untuk menentukan posisi seseorang apakah disurga atau di neraka.[6]
Seiring dengan informasi-informasi gaib tersebut, Allah menegaskan perintah-Nya agar orang beriman benar-benar mempercayai Allah dan rasul-nya itu beserta kitab yang di bawahnya, sebagaimana terungkap dalam surah An-Nisa ayat: 136.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãYÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur É=»tFÅ3ø9$#ur Ï%©!$# tA¨tR 4n?tã ¾Ï&Î!qßu É=»tFÅ6ø9$#ur üÏ%©!$# tAtRr& `ÏB ã@ö6s% 4 `tBur öàÿõ3t «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÌÏÈ
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Kandungan dari ayat di atas adalah bahwa Allah telah menyerukan kepada orang-orang yang beriman agar bertaqwa dan beriman kepadanya, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, dan hari kemudian, serta menggolongkan orang-orang yang kafir kepada-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian kepada golongan yang sesat.
Pesan-pesan aqidah mengambil tempat yang sangat besar dalam Al-Qur’an, bahkan kisah-kisah kehidupan para nabi serta tokoh-tokoh besar yang muncul sebelum generasi nabi Muhammad saw. penanaman aqidah merupakan suatu yang berat dan harus dilakukan secara serius, terus-menerus serta konsisten dalam seruannya itu, dilakukan dengan berbagai macam pendekatan, dengan pendekatan-pendekatan inilah, Rasulullah saw mampu membina keimanan para sahabatnya sehingga mereka sangat kuat dan menjadi kader penerus dakwah Islam yang sangat militan.
Dengan demikian masyarakat yang memiliki nilai-nilai aqidah yang tinggi akan membawa kehidupan manusia yang berkualitas, dengan memiliki ciri sebagai hamba Allah yang beriman dan dapat memberi manfaat bagi sesama manusia. Sehingga masyarakat yang memiliki spiritualisme Uluhiyah yang tinggi akan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah) dan ilmu pengetahuan, akhlaq, moral serta dapat mengakui perbedaan pandangan dengan orang lain.
Dalam konteks sejarah, paling tidak terdapat tiga cara penyebaran nilai-nilai aqidah, yaitu :
1. Orang menyeru / mengajak orang lain ke jalan Islam dengan hikmah,
2. Ia menyampaikan dengan tutur kata yang baik (mau’idzatul hasanah) dan
3. Manakala harus terjadi argumentasi atau debat harus dengan cara yang baik pula.[7] Penyebaran yang bersifat persuasif dan simpatik inilah yang menjadikan penyebaran dan pengembangan Islam sangat cepat dan luas dengan memelihara keharmonisan dengan situasi dan kondisi budaya setempat.
[1]Risieri Frondizi, What is Value, Open Court Publishing Company, 1963 diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wiyaha, Pengantar Filsafat Nilai, (Cet. 1; Togyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 1.
[2] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat Pengantar Kepada : Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai, (Cet. 3; Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 471.
[4] Departemen Agama RI, Aqidah Akhlak; Untuk Madrasah Aliyah Kelas I, (Jakarta: tp. , 2002), h. 4.
[5] H.A. Malik Fajar, Reformasi Pendidikan Islam, ( Jakarta : Fajar Dunia, 1999)., h. 45
[6] Muhammad Al-Ghazali, Aqidah Muslim, Terj. Mahyudin Syaf, (Cet. Kelima, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 11.
[7] H. A. Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Cet. I, ( Jakarta : LP3NI, 1998), h. 191
No comments:
Post a Comment