BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an adalah ruh semesta; olehnya segala yang ada lebih bermakna, karenanya segala yang gelap menjadi terang dan kepadanya segala pengetahuan bermuara. Ia ibarat sebuah pondasi kokoh, yang di atasnya berdiri bangunan menjulang berkilau cahaya, sehingga biasnya mampu menerangi setiap sudut cakrawala. Ia juga laksana tiang-tiang, yang menyangga berbagai apa yang membutuhkan penyangga. Iapun seperti bumi, yang darinya tumbuh berbagai pepohonan, bunga serta rerumputan yang menghias wajah dunia. Al-Qur`an adalah the way of life, sebuah kitab pedoman dalam menjalankan amanah kehidupan.
Sebagaimana termaktub dalam penggalan ayat ke-89 surat an-Nahl di atas, sepintas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, al-Qur`an diturunkan sebagai petunjuk atas segala sesuatu. Namun, apakah “segala sesuatu” yang dimaksud itu benar-benar meliputi segala aspek kehidupan manusia? Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Qur’an memang tidak menjelaskan secara rinci seluruh urusan yang terkait dengan kehidupan manusia. Namun, di dalam al-Qur`an setidaknya telah mengandung pokok-pokok atau dasar-dasar dari segala jenis ilmu (baik secara tegas ataupun sebatas isyarat) yang berguna bagi kemaslahatan manusia secara khusus, serta keseimbangan tata kosmos secara umum.
Abdullah bin Mas’ud berkata: “telah diturunkan di dalam al-Qur`an segala jenis ilmu, dan segala sesuatu telah dijelaskan kepada kita di dalamnya”. Senada dengan diktum di atas, Imam Syafi’i juga pernah berkata: “Tanyailah aku (tentang hal apapun) sesuka kalian, maka aku akan memberi jawabannya dari dalam al-Qur`an!”.
Adapun pada makalah kali ini, penulis tidak hendak mengkaji tentang percabangan ilmu yang bersumber dari al-Qur’an, melainkan tentang ilmu al-Qur`an itu sendiri. Dengan kata lain, penulis hendak memaparkan ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur`an, dalam rangka untuk mendekati al-Qur`an, guna mencapai pemahaman sempurna atas kandungan wahyu tersebut.
Untuk itu, pada beberapa ruas selanjutnya, penulis akan menjelaskan tentang definisi dari terma “Ulûm al-Qur`ân”, tema/obyek/pokok kajian dalam ilmu al-Qur`an, manfaat dan urgensitasnya, serta sejarah perkembangannya sejak zaman kenabian hingga masa sekarang. Maka selanjutnya, penulis senantiasa memohon petunjuk serta taufik dari Allah SWT, agar proses penulisan makalah ini menjadi mudah dan bermanfaat bagi siapa saja. Amin.
B. Permasalahan
Berangkat dari konteks pemikiran di atas, maka topik kajian dalam makalah ini adalah bagaimana kajian ulumul Qur’an sebagai ilmu?
C. Tujuan
- Untuk mengkaji dan mengetahui pengertian ulumul qur’an.
- Untuk mengkaji dan mengetahui objek kajian ulumul qur’an.
- Untuk mengkaji dan mengetahui urgensitas ulumul qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ulumul Qur`an
Terma Ulumul Qur`an, dalam bahasa Arab merupakan susunan idhâfi (gabungan dua kata). Yaitu tersusun dari kata ulûm dan al-Qur`an. Kata “ulûm” adalah bentuk jama’ (plural) dari kata “ilmu” (mashdar dari ‘alima) yang berarti pengetahuan atau pemahaman. Para ulama pun berbeda pendapat tentang makna etimologis dari kata “ilmu”. Para filosof memaknai ilmu sebagai gambaran atas sesuatu yang terdapat dalam ruang akal. Sedangkan para teolog mengartikan ilmu sebagai suatu sifat yang dengan sifat itu seseorang mampu dengan jelas mengatakan tentang suatu perkara atau urusan.
Sedangkan kata “al-Qur`an” adalah bentuk isim mashdar dari “qara`a”, berposisi sama dengan kata “qirâ`ah” yang berarti bacaan. Menurut sebagian ulama, meskipun bentuk kata “Qur’an” adalah mashdar (bacaan), namun ia bermakna seperti maf`ûl (yang dibaca). Pada tahap selanjutnya, kata al-Qur’an dinisbatkan kepada satu kitab suci (kalam Allah yang mu’jiz) yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Al Qur’an itu sendiri memiliki beragam nama yaitu al Mutasyibah (yang bersesuaian antara bagian satu dengan yang lain), an Naba’ (berita), al Matsani (berulang-ulang), al Furqan (pembeda), al Haqq (kebenaran), an Nur (cahaya), al Bayyan (jelas) dan masih banyak lagi.[1]
Sehingga secara tersusun (idhâfi), Ulumul Qur’an, dapat kita pahami adanya berbagai ilmu pengetahuan yang terkait-kelindan dengan al-Qur`an. Dengan kata lain, ada berbagai ilmu yang digunakan oleh para ulama dalam rangka memahami al-Qur`an. Imam Suyuthi mendefinisikan Ulumul Qur`an sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur`an dari segi proses turun, sanad, etika serta makna-maknanya, yang terkait dengan hukum-hukum dan lain sebagainya.
Atau dengan ungkapan lain kita dapat mengartikan Ulumul Qur`an sebagai: kumpulan pembahasan-pembahasan yang terkait dengan al-Qur`an dalam segi proses turunnya, urutannya, proses pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirnya, i’jaznya, perbedaan makiyyah dan madaniyyah, nasikh-mansukhnya, pembelaan terhadap berbagai syubhat (tuduhan-tuduhan seputar al-Qur`an) dan pembahasan lainnya.[2]
B. Obyek Kajian Ulumul Qur`an
Sebelum kita merumuskan tentang maudlu’ atau obyek kajian Ulumul Qur`an, perlu kiranya kita membedakan antara definisi Ulumul Qur`an sebagai sebuah susunan idhâfi dan Ulumul Qur`an sebagai sebuah nama dari disiplin ilmu yang komprehensif dan sistematis. Jika yang kita maksud adalah Ulumul Qur`an yang didefinisikan secara idhâfi (sebagaimana dijelaskan di atas), maka obyek kajiannya adalah al-Qur`an yang ditinjau dari satu bentuk parsial dari ilmu-ilmu tersebut. Misalnya al-Qur`an ditinjau dari sisi asbabun nuzul saja, al-Qur`an dari segi ilmu i’rab-nya saja dan lain sebagainya.
Di sisi lain, jika yang kita maksud adalah Ulumul Qur`an yang berbentuk sebuah disiplin ilmu komprehensif dan sistematis (ulûm al-Qur`an bi ma’na al-mudawwan), maka obyek kajiannya adalah : al-Qur’an yang ditinjau dari seluruh aspek keilmuan yang terkait dengannya.
Alhasil, obyek pembahasan Ulumul Qur`an ditinjau dari makna idhâfi/laqabi lebih sempit dan terbatas, oleh sebab hanya meninjau al-Qur`an dengan satu pisau analisa saja, yaitu dengan satu disiplin tertentu. Sementara Ulumul Qur`an sebagai kitab al-mudawwan lebih luas dan menyeluruh.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan sejauh mana obyek kajian Ulumul Qur`an. Namun sebagian besar mengatakan, bahwa Ulumul Qur`an meliputi berbagai macam ilmu-ilmu keagamaan (al-ulûm al-dîniyyah) dan ilmu-ilmu bahasa Arab (al-ulûm al-Arabiyyah). Sehingga jika kita petakan, maka tema kajian Ulumul Qur`an antara lain meliputi hal-hal berikut :
- Proses dan sebab turunnya al-Qur`an (Nuzûl al-Qur`an wa Sababuhu).
- Ilmu qirâ`at (cara pembacaan al-Qur`an).
- Pembahasan sanad. Yaitu berbagai rangkaian riwayat hadits yang terkait dengan al-Qur`an.
- Persoalan kata-kata al-Qur`an. Antara lain membahas berbagai kata yang dianggap ambigu dalam al-Qur`an, amm, khash, muthlaq, muqayyad dan lain sebagainya.
- Tentang penggalian makna al-Qur`an yang terkait dengan hukum perkara tertentu.
- Membahas karakteristik setiap ayat dan mengklasifikasikannya sesuai tempat turunyya ayat (Makki, Madani, Safari, Hadlari, dsb.).
Dan masih banyak lagi pembahasan yang terangkup dalam disiplin Ulumul Qur`an. Untuk lebih detailnya, kita bisa langsung merujuk ke berbagai kitab Ulumul Qur`an yang tersebar di berbagai perpustakaan dan toko buku.
C. Urgensitas Ulumul Qur`an
Setelah melihat beberapa pemaparan di atas, mulai dari definisi hingga obyek serta ruang lingkup kajiannya, kita akan dengan mudah menemukan urgensitas dan manfaat dari mempelajari Ulumul Qur`an. Antara lain adalah :
- Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam al-Qur`an.
- Selain itu, dengan mempelajari Ulumul Qur`an, secara otomatis kita telah membekali diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap, dalam rangka membela al-Qur`an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain.
- Tentu saja, dengan mengetahui berbagai perangkat dan sarana yang ada, seorang penafsir (mufassir) akan lebih mudah dalam mengartikan al-Qur`an dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.
Biasanya, dalam tradisi ulama’ klasik mereka mengatakan bahwa, urgensitas sebuah ilmu pengetahuan dinilai dari tiga hal pokok. Pertama, dilihat dari sisi obyek kajiannya. Kedua, dinilai dari segi tujuannya. Dan ketiga, dipandang dari sisi sejauh mana kebutuhan manusia akan ilmu tersebut. Bertolak dari ketiga parameter tersebut, kita dapat mengatakan bahwa Ulumul Qur`an merupakan ilmu yang mulia dan sangat penting, karena meliputi tiga aspek penilaian tersebut sekaligus.
Imam Zarkasyi (w. 794 H) maupun Imam Suyuthi (w. 911 H), keduanya mengungkapkan keprihatinan mereka akan Ulumul Qur`an. Mengingat, menurut mereka, para pendahulu mereka belum ada seorangpun yang menyusun sebuah kitab Ulumul Qur`an secara lengkap, sebagaimana mereka telah menyusun Ulumul Hadits. Hal ini mereka ungkapkan dalam pendahuluan di kitab mereka masing-masing, yaitu “al-Burhân dan al-Itqân”.
D. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur`an
1. Fase Turunnya al-Qur`an
Masa ini dimulai dari masa Nabi Muhammad SAW dan berjalan hingga masa khalifah Umar bin Khattab ra. Pada periode ini, para sahabat belumlah perlu akan adanya sebuah ilmu tertentu dalam rangka untuk memahami al-Qur`an. Sebab, secara alamiah mereka telah mampu memahami kandungan al-Qur`an secara baik karena mereka merupakan orang Arab asli yang masih memiliki dzauq (cita rasa bahasa) dan pemahaman yang mendalam terhadap bahasa Arab, bahasa al-Qur`an.
Meskipun demikian, pada waktu-waktu tertentu mereka juga menemukan beberapa kesulitas dalam memahami sebuah ayat. Namun mengingat Nabi Muhamad masih hidup, para sahabat bisa langsung menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di antara mereka dalam memahami kata “dzulm” dalam surat al-An’am ayat 82.
Pada masa ini Ulumul Qur`an memang belum terbentuk sebagai suatu teori keilmuan tertentu sebagaimana yang ada sekarang. Namun secara praktek, para sahabat sebenarnya telah secara otomatis menerapkannya. Cikal bakal Ulumul Qur`an ini mereka dapatkan dari bergabai penjelasan Nabi, juga berbagai riwayat tentang asbâbun nuzul yang mereka dapatkan melalui jalur transmisi lisan ke lisan.
2. Fase Perintisan Ulumul Qur`an
Hingga sampailah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, dimana pada fase ini terjadi sebuah peristiwa besar dalam sejarah al-Qur`an, yaitu penulisan dan pembukuan al-Qur`an dalam sebuah mushaf khusus. Pada masa ini, beliau membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit dan beranggotakan beberapa sahabat lain guna menyatukan ragam bacaan al-Qur’an.
Pada saat yang sama, beliau memerintahkan untuk membakar berbagai catatan al-Qur`an pribadi yang dimiliki oleh umat Islam waktu itu, sebagai sebuah antisipasi agar tak terjadi perselisihan di antara mereka, akibat bacaan al-Qur`an yang berbeda-beda. Dengan demikian, muncullah sebuah ilmu baru yang dikenal saat itu dengan sebutan “Ilmu Rasm Qur`ân” atau “Ilmu Rasm Utsmâni”.
Berlanjut pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dicatat sejarah, bahwa beliau memerintahkan kepada Abul Aswad al-Du`ali untuk menyusun sebuah kaidah tertentu dalam rangka menjaga bahasa Arab dari kerusakan. Berangkat dari situ terciptalah sebuah ilmu baru yang dikenal dengan “Ilmu Nahwu” atau “Ilmu I’rab al-Qur`an”.
Maka pada fase ini, kita dapat mengatakan bahwa benih dari kemunculan Ulumul Qur`an telah mulai tumbuh. Adapun para punggawa yang menggawangi tranformasi keilmuan al-Qur`an pada masa ini antara lain adalah :
I. Dari kalangan Sahabat: Empat Khalifah pertama, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
II. Dari kalangan Tabi’in: Mujahid, Atha’ bin Yasar, Ikrimah, Qatadah, Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair dan Zaid bin Aslam.
III. Dari kalangan Tabi’ Tabi’in: Malik bin Anas, yaitu murid dari Zaid bin Aslam.
Tiga generasi inilah yang secara tidak langsung telah merintis kemunculan Ulumul Qur`an. Menabur benih-benih persemaiannya. Oleh sebab itu, tak heran jika pada masa selanjutnya akan bermunculan berbagai karya yang terangkup dalam disiplin Ulumul Qur`an. Hadir pada abad kedua, ketiga dan seterusnya, para ulama yang secara aktif dan elaboratif menyemai pertumbuhan Ulumul Qur`an. Untuk lebih detail akan dijelaskan pada poin (c) berikut!
3. Fase Penulisan dan Pembukuan Ulumul Qur`an
Memasuki pertengahan abad ke-2 Hijriyah, muncul sebuah kitab karangan Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), seorang ahli hadits dari kota Basrah sekaligus amirul mukminin dalam bidang hadits dengan kitab “Mushannaf”nya yang merupakan kumpulan-kumpulan hadits penjelas al-Qur’an. Pada masa ini juga tumbuh seorang ahli tafsir yang menjadi guru ahli Hijaz, Ali al-Madini (w. 198 H). Selain beliau berdua ada juga Waki` bin al-Jarrah, yang ketiganya ini merupakan para ulama ahli hadits sekaligus pakar tafsir pada masanya.
Kemudian di abad ke-3 hadir Abu ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm yang menulis tentang “Nasikh dan Mansûkh”. Dalam bidang “Qirâ`ât dan Fadlâ`il al-Qur`ân” ada Muhammad bin Ayyub al-Dharîs (w. 294 H) yang bermukim di Makkah. Sementara di Madinah ada Muhammad bin Khalaf al-Marzubân (w. 309 H) dengan kitabnya “al-Hâwî fî Ulûm al-Qur`ân”. Lalu disusul oleh Muhammad bin Jarir al-Thabari (w. 310 H) dengan kitab “Jami’ul Bayan fî Ta’wîli Âyyi al-Qur`ân”.
Pada abad ke-4, Abu Bakar Muhammad bin Qasim al-Anbari (w. 328 H) dengan karyanya “Ajâ`ib Ulûm al-Qur`ân”. Abul Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) tampil dengan buah karyanya “al-Muhtazin fî Ulûm al-Qur`ân”. Abu Bakar al-Sijistani (w. 330 H) menulis buku dalam tajuk “Gharîb al-Qur`ân”. Al-Baqilani (w. 403 H) mempunyai sebuah karya berjudul “I’jâz al-Qur`ân”.
Beranjak menuju abad ke-5, Ibrahim bin Sa’id al-Hûfi (w. 430 H) menulis sebuah kitab berjudul “al-Burhân fî Ulûm al-Qur`ân” dan juga “I’râb al-Qur`ân”. Sementara itu, dalam bidang ilmu qira’at, Abu Amr al-Dâni (w. 442 H) menulis sebuah kitab bertajuk “al-Taisîr fi al-Qirâ`ât al-Sab’”.
Sampai di penghujung abad ke-6, Abul Qasim Abdurrahman yang lebih dikenal dengan nama al-Suhaili (w. 581 H) menulis sebuah kitab dalam tema “Mubhamât al-Qur`ân”. Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) menulis dua kitab sekaligus dalam bidang Ulumul Qur’an: “Funûn al-Afnân fî Ulûm al-Qur`ân” dan “al-Mujtabâ fî Ulûm tata’allaqu bi al-Qur`ân”.
Memasuki abad ke-7, ‘Alamuddin al-Sahawi (w. 641 H) mengarang sebuah buku berjudul “Jamâl al-Qurrâ`”. Sementara itu, di lain pihak, Abu Syâmah (w. 665 H) menulis kitab “al-Mursyid al-Wajîz fîma yata’allaqu bi al-Qur`ân al-Azîz”. Menurut imam Suyuthi, kedua kitab ini merupakan kitab sederhana yang disusun dalam ranah kajian Ulumul Qur`an.
Abad ke-8 Hijriyah merupakan fase awal penyusunan disiplin Ulumul Qur`an dalam sebuah kitab yang komprehensif dan sistematis. Yaitu digawangi oleh imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) melalui magnum opus beliau, “al-Burhan fî Ulûm al-Qur`ân”.
Memuncak ke panggung singgasananya, Ulumul Qur`an sebagai sebuah disiplin keilmuan semakin eksis dan mapan di abad ke-9. Muhammad bin Sulaiman al-Kâfiji (w. 873 H), menulis sebuah kitab dalam bidang Ulumul Qur`an yang judulnya tak sampai kepada kita. Namun menurut imam Suyuthi, sebagaimana yang beliau catumkan dalam mukaddimah kitab “al-Itqân”, bahwa al-Kâfiji pernah mengatakan: “Aku telah menulis sebuah kitab dalam bidang ilmu Tafsir yang belum pernah ditulis (oleh orang lain) sebelumnya”.
Masih pada abad 9 ini, Jalaluddin al-Bulqîni, guru imam Suyuthi juga telah menulis sebuah kitab berjudul “Mawâqi’ al-Ulûm min mawâqi’ al-Nujûm” yang mencakup 50 tema pembahasan dalam bidang Ulumul Qur`an. Disusul oleh imam Suyuthi (w. 911 H), beliau mengarang dua kitab dalam bidang Ulumul Qur`an, yaitu “al-Tahbîr fî Ulûm al-Tafsîr” dan “al-Itqân fi Ulûm al-Qur`ân”. Adapun kitab pertama imam Suyuthi tiada lain merupakan penjabaran dari kitab al-Bulqîni, yang mana beliau sempurnakan lagi pembahasan-pembahasannya hingga mencapai 102 jenis.
Sementara itu, kitab “al-Itqân”, menurut beberapa ulama modern dinilai banyak mengutip dari kitab “al-Burhân” karya imam Zarkasyi. Meskipun menurut penuturan imam Suyuthi beliau lebih menjabarkan dan melengkapi lagi pembahasan-pembahasan dalam “al-Itqân”, namun beberapa ulama menilai justru imam Suyuthi lebih meringkas beberapa penjabaran yang ada di “al-Burhân”. Terlepas dari pendapat para ulama di atas, kedua kitab tersebut (“al-Burhân” dan “al-Itqân”) merupakan dua rujukan primer dalam bidang Ulumul Qur’an. Secara jelas dapat kita lihat, bahwa ulama-ulama setelah masa imam Suyuthi, ketika hendak menulis kitab di bidang Ulumul Qur`an pasti meletakkan “al-Burhân” dan “al-Itqân” di urutan pertama daftar buku-buku rujukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian Ulumul Qur`an tak berhenti begitu saja pada masa imam Suyuthi. Namun ia terus berkembang dan menjadi salah satu disiplin ilmu yang subur, karena selalu saja menjadi wacara hangat di setiap masa. Adab-abad setelah itu kita dapat menemukan lebih banyak lagi buku-buku yang berbicara tentang Ulumul Qur`an. Sebut saja buku berjudul “al-Mabâhits fî Ulûm al-Qurân”. Satu judul ini digunakan oleh beberapa pengarang sekaligus dalam karya mereka. Syeikh Mannâ’ al-Qattân misalnya. Di samping itu juga ada Dr. Subhi al-Shalih yang menggunakan judul sama.
Syeikh Muhammad Abdullah Darraz menulis kitab berjudul “Naba’ul Adzîm”. Ada juga “al-Tibyân fî Ulûm al-Qur`ân” karya Syeikh Thâhir al-Jazâ`iri. Syeikh Muhammad Ali Salâmah menulis kitab berjudul “Manhaj al-Furqân fî Ulûm al-Qur`ân”. Dan masih banyak lagi kitab-kitab dalam ranah Ulumul Qur`an.
Sebagai penutup, penulis hendak mengutip pernyataan imam Zarkasyi dalam mukaddimah kitab al-Burhân-nya: “Dan ketahuilah, bahwa tidaklah satu jenis dari berbagai jenis pembahasan ini (yang ada dalam al-Burhân), jika seandainya seseorang ingin meneliti dan mengkajinya, maka akan habislah umurnya, sementara ia belum menyelesaikan (keseluruhan)nya. Maka kami ringkaslah setiap pembahasan sesuai aslinya, dan kami berikan lambang serta rumus-rumus dalam berbagai babnya. Karena sesungguhnya proses berproduksi dan berkarya membutuhkan waktu yang sangat panjang, sementara umur manusia sangat pendek.
B. Saran
Disadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi baik dari aspek sistematika penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik konstruktif dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
No comments:
Post a Comment