Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Tuesday, May 27, 2014

Metode Qira’ah di Pesantren



Metode Qira’ah sangat populer di kalangan pesantren yang lazim disebut dengan istilah Metode Sorogan, yang berarti suatu kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individual), di bawah bimbingan seorang kiyai/guru.[1]
Teknik pembelajaran dengan sistem qira’ah atau sorogan ini biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu dimana tersedia tempat duduk seorang kiyai atau ustadz/guru, kemudian di depannya terdapat bangku pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Santri-santri lain duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kiyai/ustadz/guru kepada temannya sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran dipanggil.[2]
Adapun pelaksanaan metode qira’ah dalam pembelajaran Nahwu Sharaf yang lazim berlaku di pondok-pondok pesantren dapat digambarkan sebagai berikut:[3]
a.       Santri berkumpul di tempat pengajian sesuai dengan waktu yang ditentukan dengan masing-masing membawa kitab yang hendak dipelajari;
b.      Seorang santri yang mendapatkan giliran mengahadp langsung secara tatap muka kepada gurunya. Ia membuka bagian yang akan dibaca/dipelajari dan meletakkannya di atas meja yang telah tersedia di depan kiyai atau ustadz/guru;
c.       Kiyai atau ustdaz/guru membacakan teks dalam kitab itu, baik sambil melihat maupun secara hafalan, dan kemudian memberikan artinya. Panjang atau pendeknya yang dibaca sangat bervariasi, tergantung perkiraan guru terhadap kemampuan santri;
d.      Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan kiyai atau ustadz/guru, dan mencocokkannya dengan kitab yang dibawanya. Selain mendengarkan, santri melakukan pencatatan atas: Pertama, bunyi ucapan teks Arab dengan memberikan harakat (syakal) terhadap kata-kata Arab yang ada dalam teks kitab. Pensyakalan itu, yang sering juga disebut pendhobitan (pemastian harakat), meliputi semua huruf yang ada baik huruf awal, tengah, maupun akhir (i’rab). Kedua, menuliskan arti setiap kata yang ada dengan bahasa Indonesia di bawah setiap kata Arab (diafsahi) untuk disesuaikan dengan susunan kata dalam bahasa pengantar. Kata-kata penyesuaian itu biasanya juga dicatat melalui perlambangan untuk menggambarkan kedudukan kata itu dalam kalimat Arab. Misalnya kata yang berkedudukan sebagai mubtada’ (subyek) diberi tanda huruf mim (singkatan dari mubtada) dan mengandung arti “adapun”, kata yang berkedudukan sebagai khabar (predikat) ditandai dengan huruf kha (singkatan dari khabar) dan mengandung arti “itu”, dan seterusnya. Namun ada pula kiyai atau ustadz yang tidak menghendaki pencatatan demikian, melainkan semuanya harus diingat dengan baik.
e.       Santri kemudian menirukan kembali apa yang dibacakan kiyai atau ustadznya secara sama. Kegiatan seperti ini biasanya diminta oleh kiyai atau ustadz untuk diulang pada pembelajaran berikutnya sebelum dipindahkan pada pelajaran selanjutnya.
f.       Kiyai atau ustadz mendengarkan dengan tekun pula apa yang dibaca santrinya sambil melakukan koreksi-koreksi seperlunya. Setelah tampilan santri dapat diterima, tidak jarang juga kiyai atau ustadz memberikan tambahan penjelasan agar apa yang dibaca dapat lebih dimengerti.
Pada prinsipnya metode qira’ah (sorogan) dalam pembelaran Nahwu Sharaf maupun materi-materi lainnya dapat diterapkan untuk semua tingkatan, baik pemula, lanjutan, maupun tinggi. Karena perbeadaan metode qira’ah pada ketiganya tidaklah begitu signifikan. Jika pada tingkat pemula kiyai atau ustadz/guru yang memulai membaca, menerjemahkan, dan menjelaskan kedudukan kalimat berdasarkan kaidah Nahwu pada kitab, lalu kemudian diikuti oleh santri sesuai apa yang dibaca, diterjemahkan, dan dijelaskan kedudukan kalimatnya, maka pada tingkat lanjutan santri/peserta didiklah yang mulai membaca. Kiyai atau ustadz/guru hanya mendengarkan dan memperhatikan kefasihan, ketepatan ucapan, nada dan intonasi bacaan yang sekaligus menunjukkan pemahaman santri terhadap apa yang dibacanya. Sedangkan untuk tingkat tinggi, polanya sama dengan pola pada tinkat lanjutan. Namun, disini santrilah yang diminta menjelaskan sendiri apa yang difahaminya dari materi yang dibacanya, bila perlu dengan menggunakan bahasa Arab. Interaksi yang terjadi kemudian berbentuk munaqasyah antara santri dan kiyai atau utadz/guru.[4]


[1]Deperteman Agama RI, loc.cit., h. 74
[2]ibid., h. 75
[3]ibid., h. 77
[4]ibid

No comments:

Post a Comment