Kebudayaan adalah suatu fenomena universal. Setiap masyarakat-bangsa di dunia ini memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda dari masyarakat-bangsa yang satu ke masyarakat-bangsa yang lainnya. Kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, manusia adalah makhluk pencipta sekaligus sebagai pendukung kebudayaan itu sendiri.[1] Kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat.[2]
Dalam konteks ini, menurut Keesing, sebagaimana dikutip oleh Saifuddin, paling tidak terdapat 4 pendekatan dalam memahami persoalan kebudayaan, yaitu:
1. Memahami kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari yang dari fungsinya adalah menyesuaikan masyarakat dengan lingkungan,
2. Memandang kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan yang diteliti.
3. Memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia.
4. Memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi dan bersifat publik. [3]
Sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang saling berinteraksi dalam suatu sistem sosial, kebudayaan bersifat lebih konkret, dapat diamati dan diobservasi. Aktivitas manusia yang berinteraksi itu bisa ditata oleh gagasan-gagasan dari tema-tema berpikir yang ada dalam benaknya. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah pemahaman nilai-nilai dan makna suatu kebudayaan yang telah dihasilkan dari cipta, karya, dan karsa manusia itu sendiri.
Keaneka-ragaman budaya yang ada pada masyarakat Indonesia sangat banyak dan menarik untuk diamati dan diteliti, karena didalamnya terkandung makna dan nilai-nilai berharga yang disampaikan secara khas dan unik lewat simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Bagi masyarakat khususnya Gorontalo Utara, adat istiadat adalah norma-norma yang oleh individu yang menganutnya dijunjung tinggi dalam kehidupan. Adat juga menanamkan kepercayaan yang teguh akan kekuatan Allah SWT menciptakan manusia dengan penuh kesempurnaan. Adat menciptakann manusia dalam hidup dan kehidupannya selalu menunjukkan pada sikap dan sifat yang baik, positif serta dilandasi dengan akhlaqul karimah.[4]
Gorontalo dalam lintasan sejarahnya dikenal sebagai daerah adat, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakatnya memiliki nilai-nilai adat yang sangat dihormati oleh suku Gorontalo. Dan hampir sebagian besar nilai-nilai adat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam, bahkan boleh jadi nilai-nilai yang terdapat dalam adat tersebut justru lahir sebagai hasil pengembangan terhadap ajaran Islam.
Dalam konteks ini, maka fungsi adat bagi masyarakat Gorontalo Utara adalah sebagai sarana untuk menuntun dan mengarahkan setiap orang baik sebagai seorang pemimpin, sebagai aparatur, sebagai anggota masyarakat, sebagai pengusaha, sebagai politikus, sebagai ulama’ dan lain sebagainya, dalam perilaku sehari-hari sehingga setiap kegiatan mempunyai makna dan berhasil ke arah yang lebih baik.[5]
Havighurst dan Neugarten mengemukakan pengertian tentang kebudayaan yang meliputi etika, bahasa, makanan, kepercayaan, terhadap agama, pengetahuan, sikap dan nilai-nilai yang merupakan hasil karya manusia seperti halnya bermacam-macam benda termasuk didalamnya alat-alat teknologi, dikatakan pula bahwa kebudayaan merupakan contoh atau pola dari way of life suatu masyarakat.[6]
Karena kebudayaan merupakan aspek moral, kebiasaan, kepercayaan tentunya memiliki nilai-nilai pendidikan. Khususnya nilai-nilai pendidikan agama Islam. Hal ini dapat dipahami bahwa agama sebagai sumber kebudayaan yang maksudnya adalah bahwa pola-pola tingkah laku manusia termasuk cara berpakaian, cara bergaul dan sebagainya yang dilakukan oleh umat beragama yang menjadikan masyarakat itu mempunyai ciri tertentu dalam pola hidupnya, seperti halnya dalam upacara kematian. [7]
Oleh karena itu kondisi sosial budaya yang tertuang dalam satu kebudayaan dengan ciri-ciri khusus menjadi sebuah realitas hidup dan demi eksistensi kemanusiaan. Realitas ini seyogyanya dinilai dan dipahami dalam kerangka relasi dengan kehidupan masyarakat tersebut.
Alam yang tampak tidak berubah, ternyata mendapatkan sosok dan wajah baru oleh usaha belajarnya manusia. Ditengah proses belajarnya manusia itu alam menjadi objek yang diubah dan diberi arti serta bentuk baru oleh tangan manusia menjadi produk budaya, karena itu kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari oleh anak manusia.
G.A. Van Peursen (1997:127) menyebutkan bahwa seluruh kebudayaan manusia itu dapat diartikan sebagai proses belajar.[8]
Semua ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu bertumpuh pada pengalaman-pengalaman generasi terdahulu. Maka transmisi kultural melalui kegiatan belajar sebagian besar terjadi dan berlangsung transfer dari pewarisan sosio-budaya diluar hereditas biologis untuk memberikan bentuk-bentuk baru pada sumber kekayaan alam.
Proses sebagaimana yang diungkapkan di atas dapat disebut sebagai kebudayaan dan pada intinya merupakan proses belajarnya manusia dan proses tranpormasi berkesinambungan terhadap alam. Semua ini terjadi berkat rasio manusia selaku “animal simbolicum”. Yang memakai simbol-simbol abstraksi untuk mengubah isi alam dan memperkaya dunia.[9]
Oleh sebab itu budaya memberikan pengaruh-pengaruh tertentu pada manusia itu sendiri. Adapun pengaruh-pengaruh yang dapat diberikan oleh kebudayaan itu sendiri antara lain adalah :
1. Pengaruh regulatif, yaitu pengaruh yang bersangkutan dengan peraturan yang ada dalam lingkungan masyarakat tempat kebudayaan itu berada.
2. Kesinambungan hayati yaitu keselarasan di dalam berkehidupan. Keseimbangan hidup dalam bermasyarakat.
3. Pengerahan pada kehidupan jiwa anak dan orang dewasa. Dalam hal ini adalah mempengaruhi perkembangan kejiwaan individu baik jiwa anak-anak maupun orang dewasa.
Dengan demikian keterlibatan manusia dengan satu pola budaya yang dianggap teratur, tertib dan kokoh memberikan rasa aman pada dirinya dan akhirnya merupakan bentuk sosialisasi kemanusiaan lewat proses belajar dan pendidikan dengan mengandung nilai-nilai bahwa manusia senantiasa menyadari misi hidupnya dan terus menerus belajar dengan mewarisi budaya-budaya lama sekaligus membuat budaya baru.
Bukti perjumpaan adat Gorontalo dengan nilai-nilai ajaran Islam adalah tertuang dalam semboyan masyarakat Gorontalo, yakni “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah”. Dalam semboyan tersebut penuh dengan muatan-muatan nilai ajaran agama. Artinya bahwa ternyata adat Gorontalo yang sangat dihormati tersebut sesungguhnya merupakan hasil perenungan, kajian terhadap ajaran Islam, oleh karena itu maka tidak salah kalau dikatakan bahwa adat bersendikan syara’ artinya adat yang lahir dari pengembangan dan kajian terhadap konsep-konsep syar’i, yang telah diamalkan dan menjadi suatu kebiasaan oleh masyarakat, dan selanjutnya disepakati sebagai suatu tradisi atau kebudayaan.
Sementara setiap orang muslim pasti mengakui dan meyakini bahwa syara’ atau agama itu tentunya bersumber dari wahyu Allah Swt., sehingga dalam semboyan tersebut disebut dengan syara’ bersendikan kitabullah.
Dengan demikian makna yang terkandung dalam adat daerah Gorontalo adalah kebiasaan atau tradisi yang diberlakukan, dimana didalamnya terkandung nilai-nilai wahyu dari Allah Swt., Tuhan semesta alam.
Adat Gorontalo sangat beragam oleh karena itu, dalam pembahasan ini hanya diuraikan secara umum, yang didalamnya terdapat nilai-nilai ajaran Islam.
Taleningo atau tuqudu u hitumula, artinya adalah ukuran atau pegangan hidup yang syarat dengan nilai-nilai ajaran agama, karena dalam adat tersebut mengungkapkan cara hidup yang baik, soal kelahiran, kematian dan persiapan untuk akhirat.[10]
Persoalan pegangan hidup dalam kaitannya dengan bagaimana mempersiapkan hidup ketika seorang anak manusia lahir kedunia, menjadi sesuatu yang sangat penting.
Tengoklah bagaimana Rasulullah menyambut anak cucunya ketika lahir dengan mengadzani/mengiqamat ditelinga kanan dan kiri, hal ini sesungguhnya memiliki nilai untuk memberikan landasan hidup sejak dini bagi setiap anak yang lahir, bahwa ternyata hidup ini hanya antara adzan dan iqamat
Dalam proses perkembangan kehidupan manusia, Islam selalu memberikan petunjuk agar tetap melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bertentangan dengan etika kehidupan umat manusia yang semuanya itu tidak lain sebagai bekal yang akan menjadi penyelemat dalam tahapan kehidupan akhirat.
No comments:
Post a Comment