PEMBAHASAN
A. Pengertian Perspektif
Untuk menghindari kesimpang siuran dalam memahami istilah perspektif di atas, maka terlebih dahulu pemakalah menjelaskan istilah tersebut. Kata perspektif berasal dari bahasa Latin Perspicere, memandang, melalui,. Kata perspicere mempunyai tiga arti, antara lain; 1) Sudut pandang yang darinya sesuatu dilihat, 2) Praduga dasar yang diasumsikan secara sadar atau tidak sadar yang dengannya sebuah kesimpulan dicapai atau sebuah analisis dilakukan, 3) Pembatasan apa-apa yang mungkin atau signifikan dalam proses pengaturan dan pemecahan sebuah masalah.[1]
Dalam buku Logman Dictionary of Contemporary English dikatakan bahwa ada tiga pengertian perspektif di antaranya adalah ; “The Way in Which a Situation or Problem is Judged, So Thet (proper) Consideration and Importance is Given to Each Part.[2]
Dengan demikian dapat difahami, bahwa yag dimaksud dengan perspektif dalam kontek makalah ini, adalah cara yang digunakan dalam memandang ilmu sehingga dapat memberikan konsiderasi yang sebenarnya.
B. Ilmu dalam Perspektif Moral
Sebelum membahas tentang kaitan ilmu dan moral, terlebih dahulu dikemukakan pengertian tentang moral, kata moral berasal dari bahasa Latin Mos bentuk jamaknya adalah Mores yang berarti adalah adat atau cara hidup.[3] Poerwadarminta mengartikan sebagai ajaran tentang baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan.[4]
Della Summers mengartikan moral sebagai berikut :
1. Hal yang berkenaan dengan atau berdasar pada prinsip-perinsip tingkah laku yang benar dan salah serta perbedaan antara yang baik dan yang buruk.
2. Ide yang lebih menekankan pada apa yang benar dan bukan apa yang boleh.[5]
Sementara Moh. Amin dalam bukunya Pengantar Ilmu Akhlak mengatakan bahwa moral adalah ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia yang baik dan wajar sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.[6]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa moral adalah ajaran yang menjelaskan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan atau benar salahnya suatu tindakan, serta menekankan untuk melakukan apa yang benar menurut ukuran yang umum diterima dalam suatu lingkungan tertentu.
Dalam hubungannya dengan ilmu, apakah ilmu seseorang merupakan suatu jaminan moral ?. Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita simak pernyataan imajintif Taufik Ismail yang dituangkan dalam sebuah puisi yang dikutip oleh Jujun Surya Sumantri bahwa penalaran otak orang itu luar biasa. Demikian kesimpulan ilmuan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah sedangkan sebodoh-bodoh umat kerbau, kita tidak dapat curang dan serakah.[7]
Pernyataan yang lugu ini, namun benar dan kena sungguh menggelitik nurani kita. Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita, apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi oleh analisis yang hakiki, atau malah sebaliknya? Makin cerdas, maka makin pandai pula ia berdusta ?.[8]
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu dan teknologi, berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi. Namun dalam kenyataannya, apakah ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang membawa malapetaka dan kesengsaraan.[9]
Abad keduapuluh satu ini sering disebut sebagai abad ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perkembangannya telah dilemparkan kritik bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah dikembangkan demi kesejahteraan ummat manusia, namun ternyata berkembang secara ironis telah menjadi alat untuk merusak manusia itu sendiri. Untuk hal ini banyak disebut-sebut akibat jatuhnya bom atom di Hiroshima, penggunaan senjata kimia di medan perang, seperti Vietnam dan Afghanistan, begitu juga pembuatan senjata nuklir secara besar-besaran seerta peluru kendali antar benua yang memungkinkan semua ini menghancurkan manusia dengan segala aspeknya,[10] jelas bukan merupakan berkah sehingga teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarat yang memberikan kemudahan bagi kehidupan, justeru manusia harus membayar mahal dengan kehilangan sebagian dari kemanusiaannya, manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi.[11] Hal ini terjadi karena kemajuan ilmu dan teknologi tidak dipandu oleh sistem moral yang sesuai dengan kebutuhan zaman atau dengan kata lain karena ilmu dan teknologi yang berkembang bebas dari nilai moral minimal karena hanya terkait secara lemah. Menghadapi kenyataan semacam ini maka moral harus tampil sebagai benteng pengaman. Ilmu tidak boleh dibiarkan berkeliaran secara bebas, menjelajah secara liar tanpa kontrol dan kawalan moral. Dengan kata lain moral harus tampil membimbing ilmu dan sekaligus mengawasi perkembangannya.
C. Ilmu dalam Perspektif Global
Secara normatif subjektif, manusia menurut al-Qur’an adalah makhluk yang disiapkan Allah untuk menjadi tangan kanan (mandataris Allah). Oleh karena itu manusia harus memegang kekuasaan terhadap al-Asma, yaitu pemahaman teoritis tentang alam semesta. Sementara kejadian manusia dari tanah sebagai asal kejadian, berarti bahwa manusia harus kembali ke bumi untuk bersahabat dengannya dan seluruh penghuninya terutama manusia.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup di atas dunia yang fana ini, maka dalam mengelola alam manusia harus menguasai ilmu.[12], dan mengkomunikasikannya secara terbuka kepada masyarakat serta pemanfaatannya bersifat sosial. Dengan kreatifitas yang didukung oleh komunikasi yang terbuka menyebabkan proses pengembangan ilmu maju dengan sangat efektif. Bahkan penemuan individual yang menonjol telah mengubah wajah dan peradaban manusia.[13]
Manusia sebagai anggota masyarakat, adalah sebagai pelaku yang harus bergerak dan bertanggung jawab. Jadi persentuhan antara ilmu dan masyarakat terjadi melalui ilmuan sebagai anggota masyarakat yang harus bertanggung jawab terhadap lingkungan dan menyebarluaskan ilmunya agar manfaatnya dapat dirasakan secara umum. Bertanggung jawab terhadap kaderisasi pelanjut yang akan memegang tongkat estafet agar kelestarian ilmu dapat terjamin.[14] Jika gagal maka ilmu tidak akan banyak membantu mencapai tujuan hidup manusia, yaitu kehidupan yang lebih baik.
Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat, namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.[15]
Singkatnya, dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuan harus membumikan dan mensosialisasikan pengetahuannya sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Dengan demikian seberapa jauh keterlibatan ilmuan dalam masyarakat, sejauh itu pul aperan ilmu yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat tersebut.
D. Ilmu dalam Perspektif Politik
Kata politik berasal dari bahasa Inggris politic yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Relating to a Citizen yang berarti berhubungan dengan warga negara, warga kota. Kedua kata tersebut berasal dari kata “politis” yang bermakna “city” kota.[16]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa politik adalah segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara.[17]
Sementara Deliar Noer seperti yang dikutip oleh Abdul Muin Saalim mengatakan bahwa politik adalah segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jelas mengubah dan mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.[18]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa politik adalah perilaku manusia baik berupa perbuatan, tindakan dan sikap yang berhubungan dengan warga negara atau pemerintahan yang bertujuan untuk mempengaruhi atau mempertahankan tatanan masyarakat atau pemerintahan suatu negara dengan menggunakan kekuasaan.
Mengenai asal mula negara, ada analisa sederhana yang dikemukakan oleh Plato bahwa suatu negara terbentuk karena tidak seorangpun di antara kita yang sanggup mandiri, kita membutuhkan banyak hal. Karena manusia memiliki begitu banyak keinginan dan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan kekuatan dan kemampuan sendiri, maka manusia lalu bersatu dan bekerja sama. Kerjasama manusia demi kepentingan bersama, melahirkan kecakapan, keterampilan dan spesialisasi serta pembagian tugas yang semakin lama semakin terorganisasi dengan baik. Persekutuan hidup dan kerja sama yang semakin lama semakin terorganisasi dengan baik itu, kemudian membentuk apa yang disebut dengan negara.[19]
Setiap masyarakat atau negara pasti mempunyai tokoh pemimpin atau pemerintah yang berkausa. Untuk tetap berkuasa maka harus tahu cara mempertahankan kekuasaan tersebut, pengetahuan tentang cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan disebut ilmu politik.
Sebagian orang menuduh bahwa politik itu kotor. Kiranya pertama-tama bahwa berpolitik berarti mencari dan mempertahankan kekuasaan. Dan kekuasaan itu katanya kotor. Untuk memperebutkannya orang harus keras, licik, harus pintar main bujuk ataupun memeras. Lawan harus dipukul tanpa ampun dan sahabat yang menjadi terlalu kuat harus dijegal sebelum menjadi ancaman. Demi mempertahankan kekuasaan kawan yang paling dekat pun harus dikhianati dan cita-cita paling luhur harus dikesampingkan.
Menurut pandangan ini jangan kita mengandalkan kesetiaan dan jangan percaya pada cita-cita para politisi, yang mereka cari hanya kekuasaan, dan demi kekuasaan itu segala nilai harus dikorbankan.[20]
Tindakan di atas memuat bahwa orang berpolitik hanya demi pamrih pribadi. Para politisi dianggap orang yang hanya mau memperkaya diri dengan sasaran agar tetap berkuasa, karena kekayaan adalah sumber kekuasaan.
Dalam pandangan Plato, kekayaan bukan sumber kekuasaan, demikian pula pangkat, kedudukan dan jabatan. Plato menobatkan ilmu pengetahuan yang harus duduk di atas tahta pemerintahan, karena hanya pengetahuan yang dapat membimbing dan menuntun manusia jika pengetahuan menduduki tempat dan memegang peranan penting maka akan benarlah jika dikatakan bahwa pengetahuanlah sumber kekuasaan. Itulah sebabnya Plato mengatakan pengetahuan adalah kekuasaan.[21]
Selanjutnya sebagaimana yang diungkap oleh Plato bahwa asal mula negara itu adalah terletak dalam keinginan dan kebutuhan manusia maka itu berarti negara dibentuk oleh dan untuk manusia sesuai dengan ajaran etik yang dikembangkannya, bagi Plato tujuan negara sinkron dengan tujuan hidup manusia yaitu kesenangan dan kebahagiaan warga.[22] Sementara ilmu menurut Burhanuddin Salam adalah hasil budaya manusia di mana lebih mengutamakan kuantitas yang obyektif dan mengesampingkan kualitas subyektif yang berhubungan dengan keinginan pribadi, sehingga dengan ilmu manusia tidak akan mementingkan dirinya sendiri.[23]
Dengan demikian, seorang politisi yang menghayati tujuan negara dan kegunaan ilmu maka ia akan mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan masyarakat bukan untuk kepentingan pribadinya. Dengan demikian, jelas bahwa ilmu mempunyai peranan penting dalam kehidupan berpolitik.
[1] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1995), h. 247
[2] Della Summers (et.al). Logman Dictionary of Contemporary English, (England; Logman Group, UK Limited, 1997), h. 767
[3] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta; Rajawali Press, 1995), h. 13
[4] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1984), h. 654
[5] Della Summers (et.al), Op.cit., h. 77
[6] Moh.Amin, Pengantar Ilmu Akhlak, (Surabaya; Expres, 1987), h. 11
[7] Jujun S. Surya Sumantri,. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Cet. X, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 229
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Cet. III, Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h. 24-25
[11] Jujun S. Surisumantri, Filsafat Ilmu, h. 231
[12] Burhanuddin Salam, Op.cit., h. 25
[13] Burhanuddin Salam, Logikal Material, h. 272-273
[14] Yusuf Qardawi, ar-Rasul wa al’Ilm, diterjemahkan oleh Kamaluddin A. Marzuki dengan judul, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu; Perspektif Sunnah, (Cet. II, Bandung; Remaja Rosda Karya Offset, 1991), h. 69
[15] Jujun S. Surya Sumantri, Op.cit., h. 237
[16] John M. Echolls dan Hassan Shadaly, Kamus Inggris Indonesia, (Cet. XXI; Jakarta; Gramedia, 1995), h. 437
[17] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. II, Cet. II, Jakarta; Balai Pustaka, 1994), h. 780
[18] Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Cet. II, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1994), h. 37
[19] J.H. Rapan, Filsafat Politik Plato, (Cet. II, Jakarta; CV. Rajawali, 1991), h. 62
[20] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik; Butir-Butir Pemikiran Kritis, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 114-115
[21] J.H. Rapan, Op.cit., h. 97
[22] Ibid., h. 63
[23] Burhanuddin Salam, Loc.cit.
No comments:
Post a Comment