Kedudukan perempuan dalam pandangan
Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran
Islam pada hakekatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan
yang terhormat kepada perempuan. Banyak ayat al-Quran yang menunjukkan kemitraan
lelaki dan perempuan dan keharusan bekerja sama dalam berbagai bidang
kehidupan. Di antaranya sebagaimana termaktub dalam Q. S. Âli ‘Imrân/3:195 dan
al-Taubah/9:71:
Kedua ayat ini secara jelas mengandung arti bahwa
masing-masing lelaki dan perempuan memiliki keistimewaan dan kelemahan yang
mengharuskan mereka bekerja sama. Karena itu, dalam Q. S. al-Nisâ’/4: 32 Allah SWT menegaskan larangannya agar mereka
tidak iri hati atas karunia-Nya.[1]
Selain ayat di atas, ayat lain yang dijadikan rujukan
adalah Q. S. al-Hijr, 15/: 26:
Ayat yang disebut pertama secara tegas menunjukan bahwa
manusia diciptakan dari jenis yang sama yaitu dari tanah. Tidak ada perbedaan
dalam proses penciptaan laki-laki dan perempuan. Secara biologis keduanya
berbeda, namun al-Quran tidak menonjolkan perbedaan tersebut. Sebaliknya,
al-Quran justru lebih menunjukan unsur persamaan yang mendorong manusia untuk
saling bekerjasama karena kesetaraan diantara mereka. Al-Quran tidak menafikan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau menghilangkan pentingnya
perbedaan jenis kelamin tersebut, yang akan memenuhi kebutuhannya. Bahkan
al-Quran juga tidak mengusulkan atau mendukung peran tunggal atau definisi
tunggal mengenai seperangkat peran bagi setiap jenis kelamin dalam setiap
kebudayaan. Al-Quran justru mengakui fungsi laki-laki dan perempuan, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat tanpa ada aturan rinci yang
mengikat mengenai bagaimana keduannya berfungsi secara kultural, tegas Aminah
Wadud Muhsin.[2]
Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki
merupakan fakta yang tidak dapat disangka. Kesanggupan manusia untuk bertindak
dan berprestasi bukan ditentukan oleh kondisi biologisnya, melainkan oleh
rentang sosio-historis di mana dia ditempatkan, yaitu oleh tingkat kemajuan dan
perkembangan peradaban dan kebudayaan yang telah dicapai oleh masyarakatnya
pada waktu dan tempat tertentu. Keadaan ini, menurut Mazhar ul-Haq Khan, tidak
pernah statis dan tidak pernah istirahat, melainkan terus menerus berubah baik
dalam hubungannya dengan masa lalu dan masa kininya maupun dengan keadaan
seluruh dunia kemanusiaan.[3]
Dalam proses kejadian manusia ini pun, al-Quran tidak
memberikan kronologis penciptaan perempuan secara detail. Hal ini menunjukan
bahwa al-Quran memiki pandangan yang cukup egaliter terhadap manusia dengan
tanpa memberikan stereotip negatif terhadap perempuan. Proses penciptaan perempuan secara detainya ditemukan
dalam interpretasi ulama dan hadis. Interpretasi ulama dimaksud adalah
penafsiran mereka atas Q.S. al-Nisâ’/4: 1:
Mayoritas ulama tafsir menafsirkan
kalimat nafsin wâhidah (نَفْسٍ
وَاحِدَة)
dengan Adam dan jawzahâ (زَوْجَهَا) dengan Hawa,[4] seperti Jalâluddin al-Suyûthî, Ibnu Katsîr, al-Qurthûbî, al-Biqâ’î
dan Abû Sa’ûd.[5] Mereka menjadikan ayat ini sebagai dasar tentang
penciptaan perempuan (Hawa) bahwa
mereka diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Pendapat mayoritas ini
berbeda dengan pandangan Muhammad Abduh, al-Qasimi dan beberapa ulama
kontemporer lainnya. Mereka menafsirkan kalimat nafsin wâhidah
(نَفْسٍ
وَاحِدَة) dengan jenis manusia lelaki dan perempuan.[6] Dengan demikian, interpretasi tentang penciptaan manusia
dalam ayat di atas masih diperdebatkan ulama. Tetapi yang pasti, nama Adam dan
Hawa tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Ini hanya ditemukan
dalam sejumlah kitab tafsir.
Menurut Yunahar Ilyas, yang menjadi kontroversi
sesungguhnya bukan pada siapa yang pertama, tetapi pada penciptaan Hawa yang
dalam ayat tersebut diungkapkan dengan kalimat wakhalaqa minhâ zaujahâ.[7] Persoalannya
adalah apakah Hawa diciptakan dari tanah yang sama seperti penciptaan Adam,
atau diciptakan dari (bagian tubuh) Adam itu sendiri. Kata kunci penafsiran
yang kontroversial itu terletak pada kalimat minhâ. Apakah
kalimat ini menunjukkan bahwa zaujahâ (pasangannya)
itu berasal dari unsur yang sama dengan Adam atau berasal dari (tulang rusuk)
Adam sendiri?
Kebanyakan para penafsir al-Quran meyakini bahwa Hawa
tercipta dari Adam sendiri, yaitu dari tulang rusuk Adam. Pandangan ini
kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan
bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Mereka mendasarkan pandangan ini
kepada hadis yang diriwayatkan Imâm al-Bukhârî dan Muslim berikut:
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ
مَيْسَرَةَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِي
جَارَهُ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ
وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ
كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
خَيْرًا.(رَوَاهُ اْلبُخَارِىُّ) [8]
“Ishâq ibn Nadhr menceritakan kepada kami, Husain
al-Ju’fiyî menceritakan kepada kami
dari Zâidah dari Maisarah dari Abî
Hâzim, dari Abî Hurairah, dari Nabi
Saw. beliau bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
janganlah ia menyakiti tetangganya. Dan saling berpesanlah kalian untuk berbuat
baik kepada kaum perempuan, karena ia diciptalan dari tulang rusuk dan bagian
dari tulang rusuk yang bengkok adalah bagian bagian paling atas. Jika kamu
berusaha meluruskannya, kamu akan mematahkannya, tetapi jika kamu biarkan
sebagaimana adanya niscaya ia tetap dalam keadaan bengkok. Maka saling
berpesanlah kalian untuk berbuat baik keapada kaum perempuan”.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ عَنْ أَبِي
حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَإِذَا
شَهِدَ أَمْرًا فَلْيَتَكَلَّمْ بِخَيْرٍ أَوْ لِيَسْكُتْ وَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ
فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ
لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.( رَوَاهُ مُسْلِمُ) [9]
“Abû
Bakr ibn Abî Syaibah menceritakan kepada kami, Husain Ibn ‘Alî
menceritakan kepada kami dari Zâidah dari Maisarah dari Abî
Hâzim, dari Abî Hurairah, dari Nabi
Saw. beliau bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
jika ia menjadi saksi suatu perkara, maka menyatakan dengan benar atau diam.
Dan saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum perempuan, karena
ia diciptalan dari tulang rusuk dan bagian dari tulang rusuk yang bengkok
adalah bagian bagian paling atas. Jika kamu berusaha meluruskannya, kamu akan
mematahkannya, tetapi jika kamu biarkan sebagaimana adanya niscaya ia tetap
dalam keadaan bengkok. Maka saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik
keapada kaum perempuan”.
Kedua
hadis di atas adalah dalil yang digunakan mayoritas ulama untuk memperkuat
penafsiran Q. S. al-Nisâ’/4:1 bahwa Hawa tercipta dari Adam
sendiri, yaitu dari tulang rusuk Adam. Penafsiran ditolak banyak pakar,
diantaranya M. Quraish Shihab. Menurut M. Quraish Shihab tidak ada satu
petunjuk pasti dari al-Quran dan sunnah yang mengantar kepada pernyataan bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau unsur penciptaannya berbeda dengan
lelaki.[10]
Karena itu, hadis tersebut bukan hadis tentang penciptaan perempuan. Hadis
tersebut, lebih berisi peringatan atas kaum lelaki agar mereka bijaksana dalam
menghadapi perempuan. Sebab, ada sifat, karakter dan kecenderungan perempuan
yang tidak sama dengan lelaki. Hal
mana bila tidak disadari akan dapat menghantarkan kaum lelaki bersikap tidak
wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan,
kalau pun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan
tulang rusuk yang bengkok.[11]
Pemahaman M. Quraish Shihab atas hadis di atas bukan
bersifat tekstual. Agaknya, M. Quraish Shihab hadis tersebut secara metaforis.
Karena itu, penciptaan dari tulang rusuk bukan berarti kedudukan perempuan
selain Hawa lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria dan perempuan
anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan perempuan sebagaimana
tertuang dalam Q.S. al-Hujarât/49:13, dan sebagaimana penegasan-Nya
dalam Q. S. Âli ’Imrân/3:195, “Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain”.[12] Lelaki lahir
dari pasangan pria dan perempuan, begitu juga perempuan. Karena itu, tidak ada
perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki dibutuhkan
oleh perempuan dan kelemahlembutan perempuan didambakan oleh pria. Secara
analogis keduanya tak ubahnya bagaikan jarum dan kain. Jarum harus lebih kuat
dari kain, dan kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak
akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan
tercipta pakaian yang indah, serasi dan nyaman.[13]
Pemahaman M. Quraish Shihab secara metaforis atas hadis
tersebut menunjukkan bahwa M. Quraish Shihab menerima hadis tersebut. Sebagian
ulama lain bahkan menolak, meskipun hadis tersebut diriwayatkan imam
al-Bukhari, seperti Muhammad Rasyîd
Ridhâ. Ia menolak karena
isi tidak sesuaian dengan ayat al-Quran. Dalam tafsirnya, al-Manâr ia
menulis: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab
perjanjian lam (kejadian 11:12), dengan redaksi yang mengarah pada pemahaman
hadis secara harfiah, niscaya pendapat yang salah itu tidak akan pernah
terlintas dalam benak orang-orang Islam.[14] Bahkan menurut Riffat Hasan, kepercayaan dalam tradisi
Islam bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebenarnya berasal dari
tradisi Yahudi dan Nasrani yang bertentangan dengan al-Quran. Cerita Injil
mengenai penciptaan pasangan manusia pertama trdiri dari dua sumber yang
berbeda, yaitu Rahib (Yahwist) dan pendeta (the Priestly). Dari dua tradisi
ini, lahirlah banyak kontrovesi ilmiah di kalangan Yahudi dan Kristen. Ada
empat rujukan bagi penciptaan perempuan dalam Genesis, yaitu (1) Benesis
1:26-27, abad ke-5 SM., tradisi kependetaan; (2) Genesis 2: 7, abad ke-10 SM,
tradisi kerahiban; (3) Genesis 2: 18-24, Bs ke-10 SM, tradisi kerahiban, dan
(4) Genesis 5: 1-2, abad ke-5 SM, tradisi kependetaan. Bahkan Riffat menolak
hadis-hadis tersebut, meskipun diriwayatkan oleh Imâm al-Bukhârî dan Muslim.[15]
Sebagian lain menerima hadis tersebut, tetapi dengan
pemahaman secara metaforis, seperti Masdar Farid Mas’udi dan Nasharuddin
Baidan. Menurut Masdar Farid Mas’udi, pada dasarnya hadis ini memesankan kepada
kita untuk selalu bertindak sebaik dan sebijaksana mungkin kepada perempuan.
Karena (entah sebab kodrati atau akibat konstruksi sosial), perempuan tidak
begitu saja bisa diperlakukan atau dipikuli beban, terutama fisik, yang sama
beratnya dengan beban lelaki.[16] Sementara dalam pemahaman Nasharuddin Baidan, hadis
tersebut secara kiasan menggambarkan bahwa perempuan itu adalah partner
laki-laki, dia seyogyanya berada di samping laki-laki. Karena itu Nabi saw.
mengatakan ia diciptakan dari tulang rusuk, bukan dari tulang kaki, tulang
kepala, atau tulang punggung. Sebab bila disebut ia tercipta dari tulang
kepala, misalnya, maka akan timbul penafsiran bahwa perepuan itu berada di atas
pria. Demikian pula Nabi saw, menyebutnya bahwa perempuan berasal dari tulang
kaki atau pulang punggung, maka akan terbayang bahwa perempuan berada di bawah
laki-laki atau selalu di belakangnya.[17]
[2]Aminah Wadud
Muhsin, Qur’an and Women, terj. Yaziar
Radianti, Wanita Dalam al-Quran (Bandung: Pustaka, 1994), h. 32-33.
[3]Mazhar ul-Haq Khan, Wanita Islam Korban Patologi
Sosial, terj. Lukman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), h. 230.
[4]M. Quraish Shihab, “Kodrat Perempuan Versus Kodrat
Kultural”, dalam Lily Zakiyah Munir (editor), Memposisikan Kodrat, Perempuan
dan Perubahan dalam Perspektif Islam (Bandung: Mizan, 1999), h. 81.
[5]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2000), h. 299.
[6]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Quran, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 314.
[7]Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Quran
Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 64.
[8]Abî Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl Ibrâhîm al-Imâm al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Jilid I (Beirût: Dâr al-Fikr, t.
th.), Kitâb al-Nikâh Bâb al-Washâh bi al-Nisâ’, Hadis ke-4787.
[9]Abî al-Husain
Muslim ibn al-Hajjâj al-Naisâbûrî al-Imâm
Muslim, Shahîh Muslim, tahqîq Abû al-Fadhl al-Dimyâthî (Beirût:
Dâr al-Bayân al-‘Arabî, 2006), Kitâb al-Ridhâ’ Bâb al-Washâh bi al-Nisâ’, Hadis ke-2671.
[10]M. Quraish Shihab, “Membongkar Hadis-Hadis Bias Gender”,
dalam Syafiq Hasyim, ed., Kepemimpinan Perempuan dalam Islam (Jakarta:
JPPR, t. th. ), h. 24.
[11]M. Quraish Shihab, Wawasan, op. cit., h. 300-301.
[12]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, op. cit., h.
316.
[13]Ibid.
[14]Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi
Perempuan: Dialogi Fiqh Pemberdayaan (Bandugn: Mizan, 1997), h. 47.
[15]Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah Relasi Laki-laki
dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi (Yogyakarta: LSSPA,
1995), h. 45.
[16]Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi
Perempuan, op. cit., h. 48.
[17]Nasharuddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya
Penggalian Konsep Wanita dalam al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. 15.
No comments:
Post a Comment