Secara etimologis, gender berasal dari bahasa Inggris,
”gender”, yang berarti jenis kelamin.[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gender
juga diartikan dengan jenis kelamin.[2] Arti demikian sebenarnya kurang tepat, karena menyamakan
dengan seks, yang berarti jenis kelamin.[3] Gender dan seks adalah dua hal yang berbeda. Menurut
Moh. Yasir Alimi, seks adalah atribut yang dilekatkan secara biologis kepada
laki-laki atau perempuan.[4]
Misalnya perempuan memiliki vagina, berpayudara, berahim, mengalami menstruasi,
melahirkan dan menyusui. Semua kondisi ini tidak mungkin terjadi terhadap
laki-laki. Sebaliknya, laki-laki mempunyai jakun, sperma, dan beralat pital
penis, yang tidak mungkin pula dipertukarkan dengan perempuan. Semua kondisi
ini merupakan kodrat. Oleh karenanya, jenis kelamin, tidak berubah dan tidak
dapat dipertukarkan, dan selalu sama, dimana pun dan kapan pun. Ia bersifat
universal .[5]
Dengan demikian, seks adalah adalah pemberian Tuhan yang bersifat kordati,
universal, tidak berubah dan tidak dapat dipertukarkan. Karena itu, seks
dipahami sebagai pemaknaan terhadap jenis kelamin yang bersifat biologis,
alamiah dan tidak dapat diubah dalam kondisi, situasi, dan budaya serta tradisi
apapun. Pemahaman seks sesungguhnya tidak mengenal batas ruang dan waktu.[6]
Dalam konteks perempuan, seks atau jenis kelamin sangat
terkait dengan hak-hak reproduksi yang sangat natural. Hak-hak reproduksi
menyangkut persoalan menyusui, menstruasi, mengandung dan melahirkan. Perempuan
mengalami menstruasi, mengandung, dan melahirkan, namun berbeda dengan
laki-laki yang tidak pernah mengalami kejadian alamiah seperti itu. Artinya,
ada banyak perbedaan mendasar antara seks dan gender. Seks lebih pada bentuk pelabelan
jenis kelamin dan kebiasaan-kebiasaan aktivitas seseorang secara alamiah, serta
bersifat mutlak, sedangkan gender merupakan pemetaan peran seseorang yang
sewaktu-waktu dilakukan oleh kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan,
karenanya gender lebih bersifat nisbih dan relatif. Ia dapat berubah dan dapat
pula dipertukarkan, tidak universal dan kodrati. Sebab ia merupakan konstruksi
sosial dan kultural. Karena itu, gender dipahami sebagai atribut yang
dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan secara sosial maupun kultural kepada
perempuan dan laki-laki. Ia berkaitan dengan pikiran dan harapan masyarakat
tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan.[7]
Itu berarti, gender adalah konstruksi sosial dan konsep
kultural masyarakat. Karena itu, ia dapat berubah dari satu waktu ke waktu
lain; berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain; dan dari kelas
tertentu ke kelas lain. Sifat gender yang berubah dan berbeda ini menunjukkan
bahwa ia tidak bersifat universal dan kodrati.[8]
Oleh karena itu, gender hanya merupakan pelabelan yang pada kenyataan bisa
dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, sifat lembut, kasar,
menangis, dan marah. Sebab gender sesungguhnya bukanlah kodrat, tetapi
merupakan modifikasi-modifikasi tertentu dari konstruksi sosial dimana
laki-laki dan perempuan hidup. Dengan kata lain, gender merupakan hasil
konstruksi tradisi, budaya, agama dan idiologi tertentu yang mengenal batas
ruang dan waktu serta langsung membentuk karakteristik laki-laki maupun perempuan.
Gender memiliki ketergantungan terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Dengan demikian, gender dapat berubah dari situasi atau tradisi tertentu pada
kondisi yang lain. [9]
Dengan demikian, gender merupakan perbedaan yang sifatnya
bukan biologis dan bukan pula kodrat Tuhan. Perbedaan-perbedaan biologis,
seperti perbedaan jenis kelamin (seks), merupakan kodrat Tuhan sehingga
memiliki perbedaan-perbedaan secara permanen. Sementara itu gender adalah
behavioral difference antara laki-laki dan perempuan. Yang socially
constructed, yakni sesuatu yang diciptakan melalui proses social dan budaya
yang panjang, bukan kodrat dan bukan ciptaan Tuhan, tegas Ann Oakley
sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar. [10]
Pandangan yang sama dikemukakan Mansoer Fakih.
Menurutnya, gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan yang konstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya, perempuan itu
biasanya dikenal lebih lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara
laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Oleh karenanya, ada tiga
karakteristik yang bisa dikedepankan dalam gender.
Pertama,
gender adalah sifat-sifat yang bisa dipertukarkan. Misalnya, laki-laki yang
bersifat emosional, lemah lembut, dan keibuan. Disamping itu, ada juga perempuan yang kuat, rasional
dan perkasa.
Kedua, adanya perubahan yang terjadi daari waktu ke waktu dan dari tepat ke
tempat yang lain. Misalnya, zaman dahulu disuatu suku tertentu, perempuan lebih
kuat dari pada laki-laki, tetapi pada zaman yang lain dan tempat yang berbeda
laki-laki yang lebih kuat.
Ketiga,
dari kelas ke kelas masyarakat yang lain juga berbeda. Ada perempuan
kelas bawah di pedesaan pada suku tertentu lebih kuat dibandingkan dengan
laki-laki. Semua sifat yang bisa ditukarkan antara sifat perempuan dan
laki-laki berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari tempat ke tempat yang
lain. Demikian juga berbeda dengan suatu kelas ke kelas yang lain. Konsep
itulah yang kemudian dikenal dengan konsep gender.[11]
Dengan demikian, gender adalah suatu konsep yang
dipergunakan untuk menunjukan perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional yang dianggap tepat pada laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh lingkungan sosial dan psikologis, termasuk historis dan budaya
(non biologis). Gender lebih menentukan aspek maskulinitas dan feminitas, bukan
jenis kelamin dan biologis. Konsep kultural tersebut berupaya membuat perbedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karateristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[12]
[1]Jhon M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Besar
Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 265.
[2]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.
353.
[4]Moh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan Lintas Batas
Tafsir Agama (Yogyakarta: Yayasan Kajian dan Layanan Informasi untuk
Kedaulatan Rakyat, 2002), h. 5.
[6]Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan Dalam Islam
(Jakarta: Fikahati Aneska, 2000), h. 14.
[7]Moh. Yasir Alimi, op. cit., h. 3.
[9]Nasaruddin Umar, op. cit., h. 14.
[10]Ibid.
[11]Mansoer Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan
Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 8-9.
[12]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif
al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 33-34.
No comments:
Post a Comment