1. kinerja
Kerja merupakan hakekat kehidupan manusia. Selama manusia hidup, dia harus selalu bekerja. Kerja merupakan bagian yang tidak bisah dipisahkan dari kehidupan manusia. Kerja ini merupakan bagian yang paling essensial dari kehiduan manusia. Sebagai bagian yang paling mendasar, dia akan memberikan status dari masyarakat yang ada di lingkungannya. Juga bisa mengikat individu lain baik yang bekerja atau tidak. Sehinggai kerja akan memberikan isi dan makna dari kehidupan manusia yang bersangkutan.
Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya dan orang berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada diri manusia terdapat kebutuhan-kebutuhan yang pada saatnya mencapai tujuan-tujuan itu, orang terdorong melakukan suatu aktivitas yang dikenal sebagai kerja.
Inti pekerjaan sebenarnya adalah kesadaran manusia yang bersangkutan. Pekerjaan memungkinkan orang dapat menyatakan diri secara objektif kedunia ini sehingga ia dan orang lain dapat memandang dan memahami keberadaan dirinya.
Berkerja pada hakekatnya adalah kewajiban dan dambaan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan sepanjang masa, selama ia mampu berbuat untuk membanting tulang, memeras keringan dan memutar otak. Sebenarnya bekerja buhan hanya untuk memperoleh penghasilan bagi kepentingan keluarga, namun terkait dengan mengejar status sosial, agar terpandang di mata masyarakat, lebih berwibawa dan dihormati. Melalui bekerja dapat diperoleh beribu pengalaman manis atau pahit. Dorongan bekerja, bahwa hari esok harus lebih baik dari pada hari ini, dituntut kerja keras, kreatif dan siap menghadapi tantangan.
Panji Anoraga mengemukakan bahwa kerja sesungguhnya tertuju kepada pengembangan karir, secara jelas dikatakannya :
Kegiatan yang paling penting untuk memajukan karier adalah prestasi kerja yang baik, karena hal ini mendasari semua kegiatan pengembangan karier lainnya. Kemajuan karier tergantung pada prestasi kerja (ferformance).[1]
Ungkapan tersebut memberikan suatu pemahaman bahwa sesungguhnya prestasi kerja yang ingin ditunjukkan oleh setiap orang berorientasi kepada pengembangan karier, hal ini berarti ketika seseorang menunjukkan suatu prestasi kerja yang profesional, maka dia akan diberikan kepercayaan dan tanggung jawab sesuai dengan bidang keahlian yang dimilikinya. Sebaliknya ketika realitas kerja tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka individu yang bersangkutan sulit untuk diberikan kepercayaan dan beban tanggung jawab terhadap bidang-bidang tertentu sesuai dengan profesinya. Bahkan lebih jauh lagi bahwa prestasi kerja seseorang akan menjadikan dia berhenti atau terus diberikan kepercayaan.
Lebih lanjut dikemukakan kegunaan-kegunaan prestasi kerja dapat dirinci sebagai berikut :
1. Perencanaan dan pengembangan karier.
2. Perbaikan prestasi kerja.
3. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi.
4. Keputusan-keputusan penempatan.
5. Kebutuhan-kebutuhan latihan dan pengembangan.
6. Penyimpangan-penyimpangan proses staffing.
7. Ketidak akuratan informasional.
8. Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan.
9. Kesempatan kerja yang adil.
10. Tantangan-tantangan eksternal.[2]
Ke sepuluh point di atas akan nampak pada setiap prestasi kerja yang dilakukan oleh setiap orang, terlebih lagi bagi guru. Jika dianalisa secara mendetail, bahwa inti dari realitas kerja seseorang apalagi guru akan menjadi barometer tentang kesempatan mereka dalam pengembangan karier kedepan.
2. Tenaga Pendidik
Untuk memberikan defenisi operasional haruslah kembali meneliti apa artinya guru itu sendiri sebagai profesi dan fungsinya dalam masyarakat. Sebab memperbincangkan tentang guru dalam konteks dunia sekarang tanpa melihat latar belakangnya secara historis sekaligus perkembangannya, diibaratkan seperti orang yang akan menangkap ular dengan hanya memegang ekornya saja dan berakibat buruk kepada orang yang menangkapnya. Artinya bahwa setiap melakukan aktivitas, maka seharusnya dipahami dengan baik seluruh rangkaian yang kelak akan dilalui dalam aktivitas tersebut. Dalam menganalisa pengertian tentang guru seharusnya ditelaah sedetail mungkin dan penelusuran makna tersebut sebaiknya didasarkan pada fakta-fakta sejarah perkembangannya.
Pernyataan-pernyataan tersebut penulis maksudkan sebagai salah satu upaya mendudukkan pengertian guru dalam posisi yang sebenarnya, sehingga menghilangkan berbagai asumsi-asumsi makna yang tidak tepat, dan bahkan merusak citra guru itu sendiri.
Berangkat dari sejarah Indonesia yakni pada abad ke lima sampai abad kelimabelas istilah guru telah dikenal secara turun temurun, baik dalam istilah-istilah religi maupun adat dan tradisi serta kepercayaan kelompok-kelompok masyarakat ketika itu.
Secara umum istilah guru pada era perkembangan tersebut diartikan sebagai pimpinan umat, nada berat untuk lagu dan puisi serta tiang pokok. Di samping itu guru memiliki kedudukan yang terhormat dalam pandangan raja atau rakyat.[3]
Tinjauan tentang pengertian guru di atas, lebih bersifat umum bahkan defenisi tersebut lahir berdasarkan istilah yang berkembang ketika itu seperti istilah-istilah soko guru, batara guru serta ki guru atau ki ajar, yang pada masa tersebut mereka-mereka itu adalah termasuk kelompok yang sangat dihormati di kalangan masyarakat sekaligus tempat untuk meminta petunjuk dan bimbingan. Paradigma ini kemudian di kembangkan oleh para ahli sehingga melahirkan suatu batasan pengertian tersendiri, yaitu dalam pengertian tentang guru tersebut identik dengan tinjauan bahasa yang di kemukakan lewat kamus ; bahwa guru adalah “pengajar”. [4]
Istilah pengajar apabila diolah secara lebih dalam lagi, maka akan melahirkan makna yang lebih jelas, misalnya pengajar bisa diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab untuk mengajar atau menyampaikan ilmu pengetahuan serta berbagai asumsi-asumsi yang bisa di kemukakan yang muaranya akan kembali kepada defenisi guru. Apapun perbedaan yang dikemukakan dalam hal defenisi guru ini, namun yang terpenting adalah bagaimana memposisikan tugas guru sebagai tokoh profesional yang memiliki beban dan tanggung jawab moral terhadap peningkatan kualitas generasi pada masa yang akan datang.
Selanjutnya dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional guru atau diistilahkan dengan tenaga pendidikan di berikan batasan pengertian yaitu: “anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik”.[5]
Pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tenaga pendidikan adalah termasuk anggota masyarakat, akan tetapi bukanlah seluruh masyarakat, sebab secara lebih khusus lagi dikatakan bahwa hanya mereka yang bertugas membimbing mengajar dan melatih peserta didik. Lanjutan pengertian tersebut itulah yang memberikan klasifikasi tertentu bagi guru, sebagai tenaga profesional.
Berangkat dari pengertian tersebut, maka ada beberapa ciri-ciri tertentu yang dapat di kemukakan sekaligus dapat dijadikan telaah bagi para guru pada umumnya. Ciri-ciri tersebut antara lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdurrahman Shaleh, (1979: 71-72), yaitu :
a. Pertama-tama bahwa guru adalah orang dewasa yang menjadi pendidik itu memiliki dan memahami tujuan yang akan dicapai oleh anak didik yang bersangkutan, dan ini berarti bahwa dalam proses pendidikan itu di arahkan kepada suatu tujuan tertentu untuk mencapai kedewasaan anak.
b. Kedua bahwa orang dewasa yang dimaksud harus memiliki kewibawaan, yaitu suatu pengaruh di mana pengaruhnya itu diakui oleh anak didik yang bersangkutan. Dan pengaruh atau kewibawaan ini bukan suatu kekuasaan karena kekuasaan lebih condong di dalamnya terdapat suatu unsur pengaruh yang dipaksakan.
c. Bahwa orang dewasa yang menjadi pendidik itu memiliki sifat dan sikap menyayangi anak didiknya, di mana sifat yang demikian tercermin dalam sikapnya berupa kesediaan dan kesengajaan untuk membantu dan membimbing anak didik bagi pengembangan dirinya.
d. Bahwa yang akan dibantukan atau disampaikan kepada anak didiknya itu adalah norma yang isinya dipertanggung jawabkan kepada tujuan pendidikan. [6]
Ciri-ciri tersebut di atas secara lebih jelas melihat guru adalah sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab terhadap anak didik dalam hal-hal kecerdasan atau intelektualnya, mental kejiwaannya serta emosionalnya. Ketiga aspek inilah yang menjadi pokok terjadinya perubahan pada diri atau individu siswa itu sendiri.
Dengan demikian, maka kinerja guru adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara profesional dan penuh tanggung jawab dengan tujuan menjadikan objek kerja menerima dengan baik, sehingga apa yang diharapkan dari hasil kerja benar-benar tercapai. Oleh karena guru bekerja dalam rangka menjadikan seorang anak didik memiliki sejumlah pengetahuan, maka diperlukan disiplin ilmu secara khusus tentang bagaimana menjadikan kegiatan pembelajaran yang berkualitas, yang dapat diterima dengan baik oleh peserta didik.
3. Tugas dan fungsi guru
Pendidikan merupakan sebuah proses dan sekaligus sistem yang bermuara pada pencapaian tujuan tertentu yang dinilai dan di yakini sebagai yang paling ideal. Bagi bangsa Indonesia tujuan ideal yang hendak di capai lewat proses dan sistem pendidikan Nasional ialah sebagaimana yang telah dituangkan dalam UU sistem pendididikan nasional.
Dengan menyakini bahwa pendidikan sebagai upaya yang paling mendasar dan strategis. Sebagai wahana penyiapan sumber daya manusia dalam pembangunan, maka seiring dengan hal itu maka peningkatan kemampuan seorang guru merupakan salah satu upaya yang sangat mendasar karena guru memiliki tugas yang sangat penting yang berkaitan dengan pembinaan sifat mental manusia, hal-hal yang menyangkut aspek-aspek yang bersifat manusiawi yang sangat unik di miliki oleh setiap anak didik dengan perbedaan yang ada pada diri setiap anak didik.
Sisi lain untuk menjadi seorang guru yang profesional sudah menjadi kemutlakan. Hal ini antara lain di maksudkan untuk menghindari kurangnya pengakuan masyarakat terhadap posisi guru. Rendahnya pengakuan masyarakat ini tentunya bukan tanpa alasan tetapi adanya faktor-faktor lain yang menyebabkanya.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap guru diantaranya:
1. Adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapun bisa menjadi guru asalkan ia berkeinginan
2. Kekurangan guru didaerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru.
3. Banyaknya guru belum menghargai profesinya apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu
4. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalagunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya sehingga wibawa guru semakin merosot.[7]
Sisi lain ada pula faktor lain yang mengakibatkan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru, di antaranya kelemahan yang terdapat pada diri guru itu sendiri, melipui :
1. Rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru.
2. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah standar.2
Kenyataan ini lebih didukung oleh hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Depdikbud RI yang menunjukkan bahwa kemampun membaca siswa kelas VI SD di Indonesia masih rendah. Kegagalan tersebut disebabkan pengajaran guru hanya mementingkan penguasaan huruf tanpa penguasaaan makna.3 Kondisi ini menggambarkan kurangnya profesionalisme karena persoalan mendidik dan mengajar senantiasa mencakup penguasaan materi-materi secara keseluruhan sehingga dapat berpengaruh pada kemapuan anak didik dan keberhasilan ini sangat dipengaruhi oleh sosok guru itu sendiri.
Untuk menghidari kesan yang kurang baik dan kurang menguntungkan bagi guru, maka perlu adanya peningkatan tugas dan peran serta fungsi guru itu sendiri.
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional dijelaskan dalam BAB XI Pasal 29 mengenai pendidikan dan tenaga Kependidikan. Guru merupakan pendidik. Oleh karena itu perlu kiranya kententuan yang telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas tersebut, yang menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitain dan pengabdin kepada masyarakat, terutama pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah di sebut guru.3
Apalagi sosok guru memiliki makna luas, karena guru tidak hanya bertugas di depan kelas tetapi lebih dari itu guru memiliki tiga tugas yang saling berkaitan.
Ketiga tugas sebagaimana yang dinyatakan oleh Moh. Uzen Usman, meliputi pertama, tugas guru sebagai profesi kedua tugas di bidang kemanusiaan, ketiga tugas di bidang kemasyarakatan.4
Guru yang memiliki tugas profesi terkait dengan persoalan mengajar ,mendidik, dan melatih. Mengajar bararti merumuskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi, sedangkan mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, adapun melatih berarti mengembangkan ketrampilan pada siswa.
Selain tugas di atas guru harus dapt menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua disekolah, serta harus memilki kemampuan untuk menarik simpatik sehingga ia menjadi idolah kemanusiaan bagi para siswanya.
Untuk menarik simpati para siswanya seorang harus dapat dengan jeli dan lebih baik memainkan peranan sebagai seorang guru profesioanal. Adapun peranan yang di maksudkan adalah :
1. Peran guru dalam proses belajar mengajar
2. Peran guru dalam pengadministrasian
3. Peran guru secara pribadi
4. Peran guru secara psikologi.5
Bila kita merinci lebih detail lagi tentang peran guru di atas , maka tentunya kita akan mengetahui lebih dekat lagi peran serta guru yang sangat kompleks.
Peran guru dalam proses belajar mengajar meliputi guru sebagai demonstrator, sebagai pengelola kelas, guru sebagai mediator dan fasilitator, dan guru sebagai evaluator.
Adapun peran guru dalam pengadministrarasian terdiri dari :
1. Pengambilan inisiatif, pengarah dan penilaian kegiatan-kegiatan pendidikan
2. Sebagai wakil masyarakat yang berarti dalam lingkungan sekolah, guru menjadi anggota suatu masyarakat.
3. Orang yang ahli dalam mata pelajaran
4. Penegak disiplin, pelaksana administrasi pendidikan, pemimpin generasi muda, perkembangan kemajuan duniasekitar masyarakat khususnya maslah pendidikan.
Selain itu peran guru secara pribadi (self orrented) meliputi, sebagai pelajar dan ilmuan, sebagai orang tua, sebagai pencari teladan, sebagai pencari keamaanan.
Selanjutnya peran guru secara psikologis terdiri dari
1. Guru sebagai psikolog pendidikan
2. Guru sebagai seniman dalam hubungan antara manusia (artist in human relation)
3. Pembentuk kelompok sebagai jalan atau alat dalam pendidikan
4. Guru sebagai catalytic agent “yang mempunyai pengaruh dalam menimbulkan pembaharuan.6
Tugas dan peran guru yang diuraikan di atas sangatlah jelas dan rinci, hal ini bila dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru/pendidik tentunya akan menjadikan dunia pendidikan lebih baik dan akan tercapai tujuan pendidikan yang kita inginkan bersama. Sehingganya profesionalitas harus di miliki oleh setiap kita yang mengakui dirinya sebagai guru.
Profesionalisme merupakan terkait dengan sifat suatu pekerjaaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus menekuni bidang tersebut diantaranya adalah “guru” . profesionalisme selalu terkait dengan kompetensi yang dimiliki. Kompetensi seorang guru (teacher competency) merupakan kemapuan seorang guru dalam melaksanakn kewajiban-kewajian (perform has or her duties appropriately).
Sehingganya untuk menjadi guru yang ideal haruslah memenuhi kriteria kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi profesionalisme yang dimaksud ialah harus memenuhi persyaratan-persyaratan profesi, yang terdiri dari :
1. Menuntut adanya keterampiran dalam bidang tertentu sesuai denga bidang profesi
2. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesi.
3. Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai
4. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakan.
5. Memungkinakan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan zaman.7
Dengan demikian seorang guru yang profesional akan mampu mendidik dan membina para siswanya sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dan sampai kapanpun guru tersebut akan dihargai dan diperlukan bukan saja oleh siswanya akan tetapi juga oleh masyarakat luas.
[1] Pandji Anoraga, Perilaku Keorganisasian, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1998), h. 107
[2] Ibid., h. 110
[3] Departemen Agama, RI., Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SD, (Cet. IV, Jakarta; CV. Multiyasa & Co, 1986), h. 35
[4] S. Wojowasito, Kamus Bahasa Indonesia, Dengan Ejaan yang Disempurnakan, (Cet. 10, Bandung; Shinta Dharma, 1972), h. 93
[5] Undang-Undang Republik Indonesia, Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya (Cet. 2, Jakarta : Aneka Ilmu, 2003), h. 3
[6] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Cet. I, Jakarta; Rineka Cipta, 1990), h. 71-72
[7] Muh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional Cet. 12, (Bandung:Remaja Rosdakarya,. 2001) h. 2.
2Ibid
3Depdikbud, Cara Belajar Siswa Aktif dan Konsep Dasar, (Jakarta, Depdikbud, 1984)
3Undang-Undang RI No. 20 Thn 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung:Citra Umbara, 2003), h. 26-27
6Moh. Surya, Suara Daerah, No.21, Peran Guru Dalam Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan CBSA.1987
No comments:
Post a Comment