Munculnya berbagai ketidakadilan dan diskriminasi
terhadap perempuan di atas, disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Masdar F.
Mas’udi, pangkal mulanya adalah disebabkan adanya pelebelan sifat-sifat
tertentu (streotype) pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan.
Misalnya, bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional ketimbang nalar, cengeng,
tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah, dan sebagainya.
Berdasarkan pelebelan sifat-sifat manusia kelas dua inilah ketidakadilan
terjadi atas mereka. Menurut Masdar F. Mas’udi, ada empat persoalan yang
menimpa perempuan akibat dari adanya pelebelan ini, yaitu:[1]
Pertama,
melalui proses subordinasi. Yaitu meletakkan perempuan di bawah supremasi
lelaki, perempuan harus tunduk kepada sesama manusia, yakni kaum lelaki.
Pemimpin atau imam hanya pantas dipegang oleh lelaki; perempuan hanya boleh
menjadi makmum saja. Perempuan boleh sama menjadi pemimpin, tetapi hanya
terbatas pada kaumnya saja; misalnya di Dharma Wanita, Muslimat, Aisyiah,
Fatayat dan sebagainya yang fungsinya adalah untuk mendukung kegiatan utama
lelaki.
Kedua,
adanya marginalisasi perempuan. Yaitu perempuan cenderung dimarginalkan, yaitu
diletakkan di pinggir. Dalam rumah tangga perempuan adalah konco wingking
di dapur. Dalam kegiatan masyarakat, perempuan paling tingg hanya menjadi seksi
konsumsi atau penerima tamu. Mungkin karena posisinya yang dianggap tidak
penting ini, maka pendidikan untuk kalangan perempuan pada umumnya seperlunya
saja. Pantas sampai hari ini pun, ketika
dunia sudah harus mamasuki abad informasi, abad pengetahuan, dua pertiga dari
penduduk bumi yang buta huruf adalah perempuan. Di kalangan umat Islam, sebagai
umat pemeluk agama yang paling maju dalam mempromosikan ilmu pengetahuan
ternyata sangat sedikit jumlah ulama perempuan. Ibarat mencari emas dari
gundukan pasir. Padahal, sepanjang sejarah jumlah perempuan selalu lebih banyak
dibandingkan jumlah lelaki.
Ketiga,
perempuan berada di posisi yang lemah, karenanya perempuan sering menjadi
sasaran tindak kekerasan (violence) oleh kaum laki-laki. Bentuk
kekerasan itu mulai dari digoda, dilecehkan, dipukul atau dicerai. Lebih
menyakitkan lagi adalah diperkosa dengan segala kegerlintirannya yang jauh
lebih berat dan berkepanjangan daripada yang diterima oleh pihak lelaki yang
memperkosanya. Atau kalau orang bilang perempuan diyakini lebih konsisten dalam
mempertahankan kehidupan keluarganya, lebih tinggi loyalitasnya kepada suami
(lelaki) sebagai pasangan hidupannya dibanding loyalitas suami terhadap istri.
Lebih lanjut Masdar mengatakan, kenapa yang memiliki hak untuk menjatuhkan
talak justru si suami, bukannya istri atau keduanya secara bersama-sama?
Selanjutnya setelah diceraikan, untuk dapat menikah kembali dengan lelaki lain
perempuan harus menunggu masa iddah yang acapkali berfungsi sebagai masa
berkabung, sementara yang lelaki tidak.
Dan keempat, akibat ketidakadilan gender itu
perempuan harus menerima beban pekerjaan yang lebih jauh lebih berat dan lebih
lama dari pada yang dipikul kaum lelaki. Lelaki yang paling aktif maksimal
bekerja rata-rata 10 jam/hari. Sedangkan perempuan bekerja 18 jam/hari. Beban
ini pada umumnya dianggap remeh oleh lelaki, karena secara ekonomi dinilai
kurang berarti. Kalau demikian halnya, menurutnya, kenapa perempuan tidak
diizinkan untuk bekerja di luar rumah pada sektor produksi untuk meraih
perolehan ekonominya sendiri, sehingga dengan demikian, ia tumbuh menjadi lebih
independen terhadap kesewenang-wenangan suaminya.
Sejalan dengan Masdar Farid Mas’udi, Mansour Fakih
mengemukakan lima faktor yang menyebabkan pengingkaran dan diskriminasi
terhadap perempuan. Pertama, pemiskinan ekonomi terhadap perempuan.
Banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat kebijakan
pertanian, yaitu kebijakan revolusi hijau, yang menfokuskan pada petani
laki-laki. Kebijakan ini didasari pada asumsi bahwa petani itu identik dengan
petani laki-laki, sehingga petani perempuan tergusur bersama dengan tergusurnya
ani-ani. Kredit pertanian juga lebih menguntungkan kaum lelaki dan
training-training pertanian lebih banyak ditujukan untuk petani lelaki. Di luar
dunia pertanian, banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan
yang dinilai lebih rendah, sehingga penilaian ini berpengaruh pula kepada
perbedaan gaji antara yang diterima kaum lelaki dengan yang diterima kaum
perempuan.
Kedua,
subordinasi pada salah satu jenis kelamin. Subordinasi adalah perlakuan
menomorduakan perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara, banyak
kebijakan dibuat tanpa menganggap penting perempuan. Atau dengan kata lain,
perempuan diperlakkukan berbeda dengan laki-laki. Misalnya, perempuan tidak
boleh sekolah tinggi, karena akan sia-sia saja, sebab tugas perempuan yang pas
hanyalah di dapur. Karena perempuan dianggap emosional, dia tidak tepat untuk
meminpin partai atau menjadi menager. Hal ini sebagai perwujudan dari
subordinasi dan diskriminasi yang disebabkan oleh gender. Contoh lainnya,
selama berabad-abad, atas alasan agama, perempuan tidak boleh memimpin apa pun,
termasuk masalah keduniaan, tidak dipercaya untuk memberikan kesaksian, bahkan
tidak berhak mendapatkan harta warisan.
Ketiga,
pelebelan negatif (stereotype) terhadap perempuan yang menyebabkan terjadinya
berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Misalnya, realitas dalam
masyarakat yang memposisikan kaum lelaki sebagai pencari nafkah, mempengaruhi
pekerjaan yang dilakukan perempuan dianggap sebagai tambahan dan boleh dibayar
rendah. Dengan alasan itulah, maka gaji supir dalam suatu keluarga dinilai
lebih tinggi dibandingkan dengan gaji seorang pembantu, padahal tidak ada
jaminan bahwa pekerjaan supir lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan
pembantu.
Keempat,
tindak kekerasan (violence) yang sering menimpa kaum perempuan yang
disebabkan adanya perbedaan gender, seperti pemerkosaan, pemukulan dan
pelecehan seksual (sexual harassment). Perbedaan gender dan
sosialisasinya yang sudah cukup lama dalam masyarakat, menempatkan perempuan
sebagai kaum yang lemah secara fisik, sedangkan lelaki lebih kuat. Anggapan
seperti ini sering menjadi penyebab langsung terjadinya berbagai tindak
kekerasan yang dilakukan oleh kaum lelaki terhadap kaum perempuan.
Kelima,
perempuan menanggung beban kerja domestik
lebih banyak dan lebih lama (burden). Dalam masyarakat terbentuk
tradisi yang mengukuhkan peran perempuan yang bertanggungjawab atas urusan
rumah tangga (pekerjaan domestik), seperti menjaga dan merapikan rumah.
Sementara itu, dalam realitasnya, masih banyak kaum lelaki, yang secara adat dilarang
untuk ikut berpartisipasi untuk mengerjakan tugas-tugas domestik. Karena
itulah, maka beban kerja yang harus dipikul oleh kaum perempuan yang bekerja di
luar rumah – berperan ganda – menjadi lebih berat. Bagi wanita karir seperti
ini, selain bekerja di luar rumah, mereka juga harus bertanggungjawab untuk
keseluruhan pekerjaan domestik. Bagi yang berekonomi cukup, pekerjaan domestik
ini bisa dilimpahkan kepada pembantu – dan ini juga sering menimbulkan
banyak masalah.[2]
Sedangkan menurut Mohammad Yasir Alimi terjadinya
diskriminasi dan ketidakadilan gender disebabkan oleh dua faktor. Pertama,
faktor budaya, dalam masyarakat kita budaya yang cenderung male chauvinistic
masih ada – kaum lelaki masih menganggap diri dan dianggap sebagai makhluk yang
kuat dan superior. Kecenderungan ini bisa terjadi karena adanya pengaruh
budaya/kepercayaan lokal (adat) ataupun pengaruh tafsir agama, sebagimana yang
dikesankan kalangan feminis atas penafsiran yang bias jender.[3]
Menurut Nasharuddin Umar, hal ini disebabkan oleh (1) belum jelasnya perbedaan
antara sex dan gender dalam mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan, (2)
pengaruh kisah-kisah Israillahiyah yang berkembang luas di kawasan Timur
Tengah, (3) metode penafsiran yang selama ini banyak mengacu kepada pendekatan
tekstual, daripada kontekstual, dan (4) kemungkinan lainnya pembaca tidak
netral menilai teks ayat-ayat al-Qur’an atau terlalu dipengaruhi oleh
perspektif lain dalam membaca ayat-ayat jender, sehingga dikesankan seolah-olah
al-Qur’an memihak kepada laki-laki dan mendukung sistem patriarki yang dinilai
oleh kalangan feminis merugikan perempuan. Pemahaman bias jender bisa
diakibatkan misalnya, oleh pembacaan ayat-ayat jender secara persial. [4]
Dalam masyarakat, kecenderungan male chauvinistic,
diperkokoh dengan ideologi misoginis (sikap benci terhadap perempuan) dan
ideologi patriarkhis (pandangan bahwa laki-laki berkuasa atau dominan atas
perempuan di dalam keluarga ataupun dalam masyarakat).
Kedua,
faktor hukum, baik isi hukum (conten of law), budaya hukum (culture
of law), maupun proses pembuatan dan penegakan hukum (structure of law).
Hukum yang dibuat oleh negara seringkali diskriminatif terhadap perempuan,
karena pembuat hukum tidak peka terhadap
kebutuhan masing-masing jenis kelamin (gender blind) dan tidak memahami
kebutuhan spesifik yang khas perempuan. Hukum yang demikian itu, juga
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang tidak peka terhadap masalah gender
dan didukung oleh budaya yang cenderung male chauvinistic seperti di
atas. Itulah lingkaran konspirasi budaya (agama) dan sistem politik: yang
mengingkari hak-hak perempuan.[5]
Dari beberapa pendapat yang berkembang, Iskandar Ritonga
menyimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan
gender adalah disebabkan faktor, (1) adanya penafsiran terhadap teks-teks
keagamaan (Islam) yang bias gender (2) adanya konsruksi sosial (adat dan
budaya) yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sederajat dengan
laki-laki, (3) adanya pelebelan yang merugikan kaum wanita, (4) adanya aturan
hukum yang diskriminatif gender, dan (5) sikap
penegak hukum yang tidak peka terhadap masalah gencier.[6]
Semua manilestasi ketidakadilan gender
di atas menunjukkan adanya saling keterkaitan dan secara dialektika, saling
mempengaruhi yang kemudian tersosialisasi, baik kepada kaum laki-laki maupun
perempuan, secara mantap dan lambat laun mengakibatkan lelaki maupun perempuan
meniadi terbiasa. Akibatnya, dipercayai bahwa gender itu seolah-olah merupakan
kodrat dan lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan
gender yang “dapat diterima” dan tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang
salah. Munculnya berbagai ketidakadilan; tindakan diskriminatif- terhadap
perempuan, menurut Bainar, dikarenakan
sistem dan struktur yang tidak adil. Menurutnya, realitas adanya bias gender
dan diskriminasi tersebut, merupakan produk dari sebuah konstruksi realitas
sejarah yang berjalan, yang mungkin saja ditafsir dan dikonstruksi oleh
dominasi laki-laki, atau juga diproduk dan dikonstruksi oleh ketidakadilan.
Adanya ketimpangan dan ketidakadilan
gender di atas, semakin jelas setelah muncul beberapa teori sebagai instrumen
pembedah munculnya berbagai ketidakadilan dan ketimpangan gender, khususnya di
Indonesia, seperti teori femenis, baik yang bersifat liberal, radikal maupun
yang sosialis. Menurut teori pertama, bahwa masalah yang menimpa kaum perempuan
adalah akibat dari kondisi individual dari kehidupan mereka sendiri, yakni
kebodohan dan sikap irrasionalitas yang melekat pada pribadi-pribadi manusia perempuan.
Tidak ada urusan keterbelakangan yang diderita kaum perempuan dengna
ketimpangan struktural yang didominasi oleh kaum lelaki. Satu-satunya jalan
bagi penyelesaian bagi kemelut perempuan dalam hubungannya dengan kaum lelaki
adalah pendidikan dan partisipasi mereka dalam modernisasi pembangunan.[7]
Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan
bahwa kebebasan dan ekualitas berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
dunia privat dan publik. Kerangka feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan
masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap
individu, termasuk di dalamnya hak dan kesempatan kaum perempuan. Kesempatan
dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan penting bagi mereka dan
karenanya tidak perlu ada pembedaan kesempatan antara lelaki dan perempuan. Hal
ini katena adanya asumsi bahwa perempuan adalah makhluk rasional juga. Oleh
karena itu, ketika menyoal mengapa kaum perempuan tertinggal, feminisme liberal
beranggapan bahwa hai itu disebabkan oleh salah mereka sendiri. Dengan kata
lain, jika sistemnya sudah memberikan kesempatan yang sama kepada lelaki dan
perempuan, kemidian perempuan tidak mampu bersaing dan kalah, maka yang perlu
disalahkan adalah kaum perempuan sendiri. Patut ditambahkan bahwa kelompok
pendudukung teori femenis liberal ini mendasari gerakannya pada prinsip-prinsip
filsafat liberal, yang meyakini bahwa setiap orang diciptakan dengan hak-hak yang sama. Untuk
itu, setiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya.
Karena hal tersebut belum diberikan kepada perempuan, maka kelompok ini
menuntut pelaksanaannya. Menurut Farha Ciciek, untuk mencapai tujuan ini mereka
menempuh dua cara. Pertama, mengadakan gerakan penyadaran. Kedua,
menuntut pembaharuan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan.[8]
Diantaranya dengan cara merubah undang-undang yang menempatkan suami sebagai
kepala rumah tangga hal ini menurut mereka tidak sesuai dengna konsep kebebasan
individu untuk mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Konsep kepala
keluarga ini menurut mereka dapat membuat perempuan menjadi terus tergantung
pada laki-laki.[9]
Atas dasar itu, untuk memecahkan masalah kaum
perempuan, mereka mangajukan cara menyiapkan kaum perempuan untuk bisa bersaing
dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas tersebut. Sebagaimana dari usaha
ini dapat dilihat, misalnya dalam program women in development (WID),
yakni dengan menyediakan program intervensi untuk meningkatkan taraf hidup
keluarga, seperti pendidikan, keterampilan, serta kebijakan yang dapat
meningkatkan kemampuan perempuan untuk mampu berpartisipasi dalam pembangunan.
Pendekatan yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum perempuan itu problemnya
terletak pada kaum perempuan sendiri, sehingga diperlukan usaha untuk menggarap
kaum perempuan kini diperlakukan sebagai mainstream dalam memecahkan masalah
kaum perempuan. Bagi mereka, diskriminasi akibat idiologi patriarki seperti
yang diyakini oleh fenisme radikal maupun analisis atas struktur kelas politik
ekonomi serta gender seperti faham fiminis sosialis tidaklah dipertanyakan.
Bagi mereka, sejak awal perempuan dianggap sebagai masalah (anomaly) bagi
ekonomi modern atau partisipasi politik maupun pembangunan. Keterbelakangan
kaum perempuan bagi mereka adalah akibat dari sikap irrasional yang bersumber
dari berpegang teguh pada peran gender tradisional. Oleh karena itu, melibatkan
perempuan dalam industrialisasi dan pembangunan dianggap sebagai jalan untuk
meningkatkan status perempuan. Keduanya dianggap akan berakibat positif pada perempuan,
yakni akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara lelaki
dan perempuan.[10]
Analisis ini mendapat kritik dari
feminis radikal. Mereka adalah yang mengedepankan relasi seksual sebagai isu yang
mendasar. Kelompok feminis radikal ini berjuang untuk melenyapkan struktus
patriarki yang terdapat dalam masyarakat. Kelompok paling ekstrim feminis
lesbian dari varian ini malah sama sekali memutuskan hubungan dengan laki-laki.
Mereka beranggapan bahwa dalam relasi heteroseksual terletak kekuatan kaum
laki-laki, modal untuk mendominasi perempuan..[11] Menurut teori femenis radikal, unsur seksual atau
biologis memainkan seiumlah peranan penting dalam politik alamiah hubungan
antar kelamin tersebut. Karena itu, menurut mereka penyebab ketidakadilan pada
perempuan sepenuhnya terletak pada dominasi kaum lelaki. Sejak awal sejarah,
dunia ini dikuasai oleh oleh idiologi patriarki, yang menganggap lelaki secara
kodrati memiliki superioritas atas kaum perempuan, bukan saja dalam kehidupan
pribadi; keluarga dan masyarakat, tetapi juga dalam arena kehidupan negara.
Untuk membongkar ketidakadilan ini, adalah dengan cara membongkar dominasi
kelelakian (patriarki) di semua tingkatan, mulai dari tingkat keluarga sampai
dengan negara. Mereka menginginkan posisi perempuan harus seimbang atau lebih
dominan daripada posisi kaum lelaki.[12]
Dengan demikian, menurut teori ini,
bahwa kaum lelaki secara biologis maupun secara politis adalah bagian dari
pernasalahan. Sementara masalah pokoknya adalah patriarki yang merupakan sistem
hierarki seksual di mana lelaki memiliki kekuasaan superior dan privilege
ekonomi.
Pandangan analisis pendukung teori ini,
dianggap ahistoris oleh golongan feminis Marxist.[13] Meskipun kelompok femenis radikal
menggunakan bahasa Marxist seperti kelas dalam melakukan analisis hubungan
antara lelaki dengan perempuan, namun mereka tidak menggunakan kerangka teori
kelas secara sungguh-sungguh. Hubungan gender direduksi pada perbedaan natural
yang bersumber pada biologis. Bagi mereka, revolusi terjadi pada setiap
perempuan yang telah mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan
hubungan mereka sendiri terhadap kaum lelaki. Semboyan terkenal mereka adalah personl
is political.
Tentu pandangan femenis radikal ini
bertentangan dengan pandangan feminisme Marxist. Mereka digolongkan sebagai
feminis Marxist karena mendasarkan dirinya pada teori.-teori Marxist. Mereka
mengutamakan periuangan pada sistem sosial-ekonomi. Menurut rnereka, penindasan
terhadap perempuan berakar pada adanya struktur kelas yang eksploitatif. Jika
revolusi proletar berhasil meruntuhkan sistem kelas, maka penindasan terhadap
perempuan akan lenyap pula.[14] Karena itu, mereka melihat penindasan perempuan sebagai
realitas objektif. Gagasan biologi sebagai dasar pembedaan gender mereka tolak.
Sebab, penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam relasi
produksi. Women guestion selalu diletakkan dalam kerangka kritik pada
kapitalisme. Meskipun, dalam teorinya Marx sendiri tidak dijelaskan posisi kaum
perempuan dalan perubahan sosial, kecuali Engels. Sahabat Marx ini mengulas
masalah ini dalam seiarah prakapitalisme. Engels menjelaskan bahwa sejarah jatuhnya status perempuan bukan
disebabkan oleh perubahan teknologi, melainkan karena perubahan organisasi
kekayaan. Munculnya era hewan piaraan dan petani menetap, yakni suatu masa awal
penciptaan surplus adalah dasar munculnya privat proverty yang kemudian
menjadi dasar bugi perdagangan dan produksi untuk exchange. Oleh karena
lelaki mengontrol produksi untuk exchange, maka mereka mendominasi
hubungan sosial dan politik, sementara perempuan direduksi menjadi bagian dari
properti belaka.[15]
Pandangan ini berbeda dengan analisis
kaum feminis liberal yang memfokuskan analisis mereka pada sistem kapitalisme.
Menurut mereka, kapitalisme yang melanggengkan penindasan perempuan melalui
berbagai cara dan alasan. Di antaranya melalui apa yang disebut eksploitasi
pulang ke rumah, yakni suatu proses yang diperlukan guna membuat lelaki yang
dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh lelaki yang bekerja di
pabrik dan di eksploitasi oleh kapitalis selanjutnya pulang ke rumah dan
terlibat suatu hubungan kerja dengan istri mereka. Dalam analisis ini posisi
kaum perempuan lebih ditujukan demi akumulasi kapital. Kaum perempuan juga
dianggap bermanfaat bagi kapitalisme
dalam memproduksi buruh murah. Di negara
kapitalis, struktur dan sistem masyarakat menguntungkan pihak kapitalis dari
segi terjaminnya persediaan buruh. Masuknya perempuan sebagai buruh juga
menguntunglm sistem kapitalisme, karena upah buruh perempuan seringkali lebih
rendah dibandingtan dengan upah buruh lelaki. Upuh buruh yang lebih rendah ini
membantu pihak kapitalis untuk mengakumulasi kapital secara lebih lebih cepat.
Disamping itu, masuknya kaum perempuan ke sektor perburuhan merupakan proses
penciptaan buruh cadangan yang tak terbatas. Besarnya cadangan buruh ini akan
lebih memperkuat posisi tawar kaum kapitalis di hadapan buruh, sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh.
Bagi penganut feminisme Marxist, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari
sistem eksploitatif yang bersifat
struktural. Oleh karena itu, mereka
tidak menganggap patriarki kaum lelaki sebagai permasalahan.[16]
Analisis dan pandangan kaum feminisme
Marxist ini berbeda dengan feminisme sosialis. Kelompok ini
dikenal memusuhi dua sistem sekaligus, yaitu sistem masyarakat yang patriarkis
dan sistem ekonomi yang eksploitatif
(kapitalisme). Menurut kelompok ini, kaum perempuan secara bersama telah
dieksploitasi oleh dua sistem ini. Karena itu, untuk membebaskan perempuan
permasalahan ketertindasan hanya dapat dilakukan melalui upaya ganda yakni
pemberdayaan ekonomi dan sosial-politik kaum perempuan sekaligus. [17] Atau dalam
bahasa Ratna Megawangi, agar tercapai kesetaraan gender, kaum feminisme sosial
mengadakan restruktrurisasi masyarakat. Sebab, sistem kapitalisme yang
menimbulkan kelas-kelas dan division of labor, termasuk di dalam
keluarga telah melahirkan ketimpangan jender. Untuk itu, kelompok feminisme
sosialis mengadopsi teori praxis marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok
tertindas, agar para perempuan sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak
diuntungkan. Proses penyadaran ini akan membuat para perempuan bangkit
emosinya, dan mereka sadar serta bangkit untuk merubah keadaannya. Proses
penyadaran ini adalah tema sentral gerkan ini, karena menurut mereka banyak
para perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh
sistem patriarki. Contohnya, dengan menonjolkan isu-isu betapa perempuan
diperlakukan dengan tidak manusiawi, di kurung di sangkar emas, sampai pada isu
mengapa harus perempuan yang membuat kopi untuk para suami, dan sebagainya.[18]
Dengan demikian, menurut analisis
femenis sosialis, penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan
revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Karena
itu, mereka menolak visi marxist klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi
sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesadaran kelas
juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu, analisis patriarki perlu dikawinkan
dengan analisis kelas. Dengan begitu, kritik terhadap eksploitasi kelas dari
sistem kapitalisme pada saat yang sama harus disertai kritik ketidakadilan
gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum
perempuan. Penindasan perempuan bagi mereka, juga bisa menimbulkan kesadaran
revolusi, tetapi bukan kesadaran women as sex model feminis radikal.
Sebaliknya, bagi mereka, ketidakadilan terhadap perempuan lebih karena idiologi
(social construction) terhadap perbedaan lelaki perempuan. Ketidakadilan
juga bukan karena kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat, melainkan
karena manifestasi dari ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi sosial.
Oleh karena itu, yang mereka perangi adalah konstruksi visi dan idiologi
masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun di atas bias
gender.
Konfigurasi dialektika wacana feminisme
yang diuraikan di atas, menunjukkan adanya peran gender yang berakibat
diskriminasi gender. Perbedaan gender yang selanjutnya melahirkan peren gender
sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah atau tidak perlu digugat. Kalau
secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ repsoduksinya bisa hamil,
melahirkan, dan menyusui lalu mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh
dan pendidik anak, sesungguhnya hal ini tidak menimbulkan masalah dan karenanya
tidak perlu digugat. Yang perlu digugat dan dipersoalkan adalah adanya peran
gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibandingkan peran gender
lelaki. Dengan ungkapan lain, peran gender tidak menjadi masalah, selama tidak
menimbulkan ketidakadilan gender.
Karena itu, dewasa ini analisis gender
menjadi alat analisis untuk menjelaskan sistem ketidakadilan gender. Sebab,
analisis gender membantu untuk memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem
dan struktur yang tidak adil, di mana baik lelaki maupun perempuan menjadi
korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut.
Dan analisis atas materi fikih yang diajarkan pada Madrasah Aliyah Kota
Gorontalo, mendasarkan pada bantuan analisis gender untuk menemukan bias
gender dalam materi fikih tersebut.
[1]Masdar Farid Mas’udi, “Perempuan Dalam Wacana Keislaman”,
dalam Smita Notosutanto dan E. Kristi Poerwandari (Penyunting), Perempuan
dan Pemberdayaan: Kumpulan Karangan Untuk Menghormati Ulang Tahun ke-70 Ibu
Saparinah Sadli (Jakarta: Obor, 1997), h. 55-57.
Maaf Pustakanya Eror.....
kok gk ada referensinya....
ReplyDeletene pasti plagiat.......
copy paste dri blog lain.....
Terima kasih Sahabat Aslan telah memberikan komentarnya. Adapun referensinya telah saya jelaskan diatas. Masih error M.s Word, Karena menggunakan sistem Footnote. Pondok Mahasiswa mencoba menyajikan Artikel tanpa Copy Paste dari Blog lain, Bila di Paste di Blog ini tentu kami memberikan sumber yang jelas. Bisa anda coba mengkopy paragrap pertama di atas dan paste di google search. Pasti kembali lagi di Blog ini. Terima kasih ya komentarnya.. Mohon like GroubFB kami. Sering berkunjung ya...
Delete