Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Saturday, June 25, 2011

Teori Kebenaran Ilmiah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Seringkali kita ragu-ragu untuk menentukan apakah pikiran sehat (common sense) dapat dikategorikan sebagai salah satu inkuiri ilmiah (scientific atau disciplined inquiry), yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran ilmiah. Seperti telah sama-sama kita ketahui kebenaran dapat dibedakan dalam empat lapis. Lapis paling dasar adalah kebenaran inderawi yang diperoleh melalui panca indera kita dan dapat dilakukan oleh siapa saja; lapis di atasnya adalah kebenaran ilmiah yang diperoleh melalaui kegiatan yang sistematik, logis, dan etis oleh mereka yang terpelajar.
Pada lapis di atasnya lagi adalah kebenaran falsafi yang diperoleh melalui kontemplasi mendalam oleh orang yang sangat terpelajar dan hasilnya diterima serta dipakai sebagai rujukan oleh masyarakat luas. Sedangkan pada lapis kebenaran tertinggi adalah kebenaran religi yang diperoleh dari Yang Maha Pencipta melalui wahyu kepada para nabi serta diikuti oleh mereka yang meyakininya.
Kebenaran falsafi dan religi dianggap sebagai kebenaran mutlak. Kepada kita hanya ada dua pilihan : ambil atau tinggalkan (take it or leave it); kalau kita mengambilnya atau menganutnya maka kita harus mengerjakan semua perintah atau ajarannya. Namun justru karena perkembangan dalam falsafah dan agama itu sendiri, serta perkembangan budaya dan akal manusia, maka kita mulai mempertanyakan apakah memang kebenaran mutlak itu mengharuskan adanya kesatuan pengertian dalam segala hal mengenai hidup, kehidupan, dan bahkan alam semesta ini yang seragam ? Mulailah berkembang berbagai mazhab atau aliran dalam bidang falsafah dan agama dengan memberikan penafsiran terhadap apa yang telah diperintahkan secara tertulis.
Kalau kebenaran falsafi dan religi saja memungkinkan adanya tafsir yang menimbulkan mazhab atau aliran tersendiri, apalagi dalam memperoleh kebenaran ilmiah. Kita semua dilahirkan sebagai mahluk yang unik, masing-masing di antara kita berbeda. Kalau penampakan kita saja dapat dibeda-bedakan, seperti misalnya sidik jari dan DNA, apalagi yang kasatmata yang ada dalam otak dan hati kita masing-masing. Suatu gejala atau peristiwa yang sama, dapat diberi arti yang lain oleh orang yang berlainan. Timbul pula pertanyaan apakah gejala yang kita amati di sekitar kita yang didasarkan pada akal sehat (common sense) dapat pula dipertimbangkan sebagai kebenaran yang dapat diterima secara ilmiah.
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem. Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.
Berangkat dari konsep berpikir di atas, maka perlu kiranya kita membahas lebih detail tentang teori-teori kebenaran ilmiah. Hal ini penting karena dengan memahami berbagai teori yang ada kita akan memiliki kerangka yang jelas tentang hakikat kebenaran ilmiah tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Adapun topik bahasan atau permasalahan pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah ; bagaimana teori-teori tentang kebenaran ilmiah ?
C.    Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengkaji dan mengetahui teori kebenaran korepondensi.
  2. Untuk mengkaji dan mengetahui teori kebenaran koherensi.
  3. Untuk mengkaji dan mengetahui teori kebenaran pragmatik.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran).[1]
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.[2]
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.

B.     Teori-teori Kebenaran ilmiah
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis.
1. Teori Korespondensi
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).[3]
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[4] Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “Gorontalo terletak di pulau Sulawesi” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni  Gorontalo memang benar-benar berada di pulau Sulawesi. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “Gorontalo berada di pulau Kalimantan” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “Gorontalo bukan berada di pulau Kalimantan melainkan di pulau Sulawesi”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah(Jujun, 1990:237).[5]
2. Teori Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar,[6] artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut.[7] Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya  dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar  dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut.[8] Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
3. Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.[9]
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat  yang memuaskan,[10] Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia.[11]
Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan (Jujun, 1990:59), demikian seterusnya.[12] Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus, 1987:245).[13]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
  1. Persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif
  2. Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis.
  3. Ketiga macam teori kebenaran di atas adalah berbagai cara manusia memperoleh kebenaran yang sifatnya relatif atau nisbi. Kebenaran absolut atau kebenaran mutlak berasal dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Alam dan kehidupan merupakan sumber kebenaran yang tersirat dari tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna kebaikan umat manusia.
B.     Saran
Diakui bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari aspek penulisan maupun isi (content) makalah ini. Oleh karena itu, kontribusi pemikiran berupa kritik konstruktif penulis sangat harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Awing, A.C., The Fundamental Questions of Philosophy, London: Routledge and Kegan Paul, 1951.

Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, cet. iii, 1995.

Butler, J. Donald, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York: Horper and Brothers, 1951.

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat  Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara. 1987.

Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.

———-, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.

Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey and Sound, 1984

Koento Wibisono, Arti Perkemabangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press, cet. ke 2, 1982.

———–, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, makalah Pengantar kuliah Filsafat Ilmu, (t.t., t.tp.).

Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1996

Richard Pratte, Conteporary Theories of Education, Scranton, N. J: Intext International Publisher, 1977.

Titus, Harold H., dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi,  Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.


[1] Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.
[2] I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, (Jakarta: Bina Aksara. 1987), h. 16.
[3] Harold H Titus, dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi,  Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 237.

[4] Jujun S. Sumiasumantri (ed), Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990), h. 57.
[5] Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, (Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985), h. 237.

[6] Jujun S. Sumiasumantri (ed), op.cit, h. 55.

[7] Awing, A.C., The Fundamental Questions of Philosophy, (London: Routledge and Kegan Paul, 1951), h. 62
[8] Harold H Titus, dkk., op.cit, h. 239.

[9] Jujun S. Sumiasumantri (ed), op.cit, h. 57.
[10] Harold H Titus, dkk., op.cit, h. 241.

[11] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat  Barat II, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 130.

[12] Jujun S. Sumiasumantri (ed), op.cit, h. 59.
[13] Harold H Titus, dkk., op.cit, h. 245.

1 comment: