Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Tuesday, October 25, 2011

Keadilan Gender dalam Islam

Kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakekatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada perempuan. Banyak ayat al-Quran yang menunjukkan kemitraan lelaki dan perempuan dan keharusan bekerja sama dalam berbagai bidang kehidupan. Di antaranya sebagaimana termaktub dalam Q. S. Âli ‘Imrân/3:195 dan al-Taubah/9:71: 
Kedua ayat ini secara jelas mengandung arti bahwa masing-masing lelaki dan perempuan memiliki keistimewaan dan kelemahan yang mengharuskan mereka bekerja sama. Karena itu, dalam Q. S. al-Nisâ’/4: 32 Allah SWT menegaskan larangannya agar mereka tidak iri hati atas karunia-Nya.[1]
Selain ayat di atas, ayat lain yang dijadikan rujukan adalah Q. S. al-Hijr, 15/: 26:
Ayat yang disebut pertama secara tegas menunjukan bahwa manusia diciptakan dari jenis yang sama yaitu dari tanah. Tidak ada perbedaan dalam proses penciptaan laki-laki dan perempuan. Secara biologis keduanya berbeda, namun al-Quran tidak menonjolkan perbedaan tersebut. Sebaliknya, al-Quran justru lebih menunjukan unsur persamaan yang mendorong manusia untuk saling bekerjasama karena kesetaraan diantara mereka. Al-Quran tidak menafikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau menghilangkan pentingnya perbedaan jenis kelamin tersebut, yang akan memenuhi kebutuhannya. Bahkan al-Quran juga tidak mengusulkan atau mendukung peran tunggal atau definisi tunggal mengenai seperangkat peran bagi setiap jenis kelamin dalam setiap kebudayaan. Al-Quran justru mengakui fungsi laki-laki dan perempuan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat tanpa ada aturan rinci yang mengikat mengenai bagaimana keduannya berfungsi secara kultural, tegas Aminah Wadud Muhsin.[2]
Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki merupakan fakta yang tidak dapat disangka. Kesanggupan manusia untuk bertindak dan berprestasi bukan ditentukan oleh kondisi biologisnya, melainkan oleh rentang sosio-historis di mana dia ditempatkan, yaitu oleh tingkat kemajuan dan perkembangan peradaban dan kebudayaan yang telah dicapai oleh masyarakatnya pada waktu dan tempat tertentu. Keadaan ini, menurut Mazhar ul-Haq Khan, tidak pernah statis dan tidak pernah istirahat, melainkan terus menerus berubah baik dalam hubungannya dengan masa lalu dan masa kininya maupun dengan keadaan seluruh dunia kemanusiaan.[3]
Dalam proses kejadian manusia ini pun, al-Quran tidak memberikan kronologis penciptaan perempuan secara detail. Hal ini menunjukan bahwa al-Quran memiki pandangan yang cukup egaliter terhadap manusia dengan tanpa memberikan stereotip negatif terhadap perempuan. Proses penciptaan perempuan secara detainya ditemukan dalam interpretasi ulama dan hadis. Interpretasi ulama dimaksud adalah penafsiran mereka atas Q.S. al-Nisâ’/4: 1:
Mayoritas ulama tafsir menafsirkan kalimat nafsin wâhidah (نَفْسٍ وَاحِدَة) dengan Adam dan jawzahâ (زَوْجَهَا) dengan Hawa,[4] seperti  Jalâluddin al-Suyûthî, Ibnu Katsîr, al-Qurthûbî, al-Biqâ’î dan Abû Sa’ûd.[5] Mereka menjadikan ayat ini sebagai dasar tentang penciptaan perempuan (Hawa) bahwa mereka diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Pendapat mayoritas ini berbeda dengan pandangan Muhammad Abduh, al-Qasimi dan beberapa ulama kontemporer lainnya. Mereka menafsirkan kalimat nafsin wâhidah (نَفْسٍ وَاحِدَة) dengan jenis manusia lelaki dan perempuan.[6] Dengan demikian, interpretasi tentang penciptaan manusia dalam ayat di atas masih diperdebatkan ulama. Tetapi yang pasti, nama Adam dan Hawa tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Ini hanya ditemukan dalam sejumlah kitab tafsir.
Menurut Yunahar Ilyas, yang menjadi kontroversi sesungguhnya bukan pada siapa yang pertama, tetapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat tersebut diungkapkan dengan kalimat wakhalaqa minhâ zaujahâ.[7] Persoalannya adalah apakah Hawa diciptakan dari tanah yang sama seperti penciptaan Adam, atau diciptakan dari (bagian tubuh) Adam itu sendiri. Kata kunci penafsiran yang kontroversial itu terletak pada kalimat minhâ. Apakah kalimat ini menunjukkan bahwa zaujahâ (pasangannya) itu berasal dari unsur yang sama dengan Adam atau berasal dari (tulang rusuk) Adam sendiri?
Kebanyakan para penafsir al-Quran meyakini bahwa Hawa tercipta dari Adam sendiri, yaitu dari tulang rusuk Adam. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Mereka mendasarkan pandangan ini kepada hadis yang diriwayatkan Imâm al-Bukhârî dan Muslim berikut:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِي جَارَهُ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.(رَوَاهُ اْلبُخَارِىُّ) [8]
“Ishâq ibn Nadhr menceritakan kepada kami, Husain al-Ju’fiyî menceritakan kepada kami dari Zâidah dari Maisarah dari Abî Hâzim, dari Abî Hurairah, dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Dan saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum perempuan, karena ia diciptalan dari tulang rusuk dan bagian dari tulang rusuk yang bengkok adalah bagian bagian paling atas. Jika kamu berusaha meluruskannya, kamu akan mematahkannya, tetapi jika kamu biarkan sebagaimana adanya niscaya ia tetap dalam keadaan bengkok. Maka saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik keapada kaum perempuan”.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَإِذَا شَهِدَ أَمْرًا فَلْيَتَكَلَّمْ بِخَيْرٍ أَوْ لِيَسْكُتْ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.( رَوَاهُ مُسْلِمُ) [9]
“Abû Bakr ibn Abî Syaibah menceritakan kepada kami, Husain Ibn ‘Alî menceritakan kepada kami dari Zâidah dari Maisarah dari Abî Hâzim, dari Abî Hurairah, dari Nabi Saw. beliau bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jika ia menjadi saksi suatu perkara, maka menyatakan dengan benar atau diam. Dan saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum perempuan, karena ia diciptalan dari tulang rusuk dan bagian dari tulang rusuk yang bengkok adalah bagian bagian paling atas. Jika kamu berusaha meluruskannya, kamu akan mematahkannya, tetapi jika kamu biarkan sebagaimana adanya niscaya ia tetap dalam keadaan bengkok. Maka saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik keapada kaum perempuan”.
Kedua hadis di atas adalah dalil yang digunakan mayoritas ulama untuk memperkuat penafsiran Q. S. al-Nisâ’/4:1 bahwa Hawa tercipta dari Adam sendiri, yaitu dari tulang rusuk Adam. Penafsiran ditolak banyak pakar, diantaranya M. Quraish Shihab. Menurut M. Quraish Shihab tidak ada satu petunjuk pasti dari al-Quran dan sunnah yang mengantar kepada pernyataan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki.[10] Karena itu, hadis tersebut bukan hadis tentang penciptaan perempuan. Hadis tersebut, lebih berisi peringatan atas kaum lelaki agar mereka bijaksana dalam menghadapi perempuan. Sebab, ada sifat, karakter dan kecenderungan perempuan yang tidak sama dengan lelaki. Hal mana bila tidak disadari akan dapat menghantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalau pun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[11]
Pemahaman M. Quraish Shihab atas hadis di atas bukan bersifat tekstual. Agaknya, M. Quraish Shihab hadis tersebut secara metaforis. Karena itu, penciptaan dari tulang rusuk bukan berarti kedudukan perempuan selain Hawa lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria dan perempuan anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan perempuan sebagaimana tertuang dalam Q.S. al-Hujarât/49:13, dan sebagaimana penegasan-Nya dalam Q. S. Âli ’Imrân/3:195, “Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain”.[12] Lelaki lahir dari pasangan pria dan perempuan, begitu juga perempuan. Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh perempuan dan kelemahlembutan perempuan didambakan oleh pria. Secara analogis keduanya tak ubahnya bagaikan jarum dan kain. Jarum harus lebih kuat dari kain, dan kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta pakaian yang indah, serasi dan nyaman.[13]
Pemahaman M. Quraish Shihab secara metaforis atas hadis tersebut menunjukkan bahwa M. Quraish Shihab menerima hadis tersebut. Sebagian ulama lain bahkan menolak, meskipun hadis tersebut diriwayatkan imam al-Bukhari, seperti Muhammad Rasyîd Ridhâ. Ia menolak karena isi tidak sesuaian dengan ayat al-Quran. Dalam tafsirnya, al-Manâr ia menulis: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab perjanjian lam (kejadian 11:12), dengan redaksi yang mengarah pada pemahaman hadis secara harfiah, niscaya pendapat yang salah itu tidak akan pernah terlintas dalam benak orang-orang Islam.[14] Bahkan menurut Riffat Hasan, kepercayaan dalam tradisi Islam bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebenarnya berasal dari tradisi Yahudi dan Nasrani yang bertentangan dengan al-Quran. Cerita Injil mengenai penciptaan pasangan manusia pertama trdiri dari dua sumber yang berbeda, yaitu Rahib (Yahwist) dan pendeta (the Priestly). Dari dua tradisi ini, lahirlah banyak kontrovesi ilmiah di kalangan Yahudi dan Kristen. Ada empat rujukan bagi penciptaan perempuan dalam Genesis, yaitu (1) Benesis 1:26-27, abad ke-5 SM., tradisi kependetaan; (2) Genesis 2: 7, abad ke-10 SM, tradisi kerahiban; (3) Genesis 2: 18-24, Bs ke-10 SM, tradisi kerahiban, dan (4) Genesis 5: 1-2, abad ke-5 SM, tradisi kependetaan. Bahkan Riffat menolak hadis-hadis tersebut, meskipun diriwayatkan oleh Imâm al-Bukhârî dan Muslim.[15]
Sebagian lain menerima hadis tersebut, tetapi dengan pemahaman secara metaforis, seperti Masdar Farid Mas’udi dan Nasharuddin Baidan. Menurut Masdar Farid Mas’udi, pada dasarnya hadis ini memesankan kepada kita untuk selalu bertindak sebaik dan sebijaksana mungkin kepada perempuan. Karena (entah sebab kodrati atau akibat konstruksi sosial), perempuan tidak begitu saja bisa diperlakukan atau dipikuli beban, terutama fisik, yang sama beratnya dengan beban lelaki.[16] Sementara dalam pemahaman Nasharuddin Baidan, hadis tersebut secara kiasan menggambarkan bahwa perempuan itu adalah partner laki-laki, dia seyogyanya berada di samping laki-laki. Karena itu Nabi saw. mengatakan ia diciptakan dari tulang rusuk, bukan dari tulang kaki, tulang kepala, atau tulang punggung. Sebab bila disebut ia tercipta dari tulang kepala, misalnya, maka akan timbul penafsiran bahwa perepuan itu berada di atas pria. Demikian pula Nabi saw, menyebutnya bahwa perempuan berasal dari tulang kaki atau pulang punggung, maka akan terbayang bahwa perempuan berada di bawah laki-laki atau selalu di belakangnya.[17]


[1]Teks ayat dimaksud adalah:

Ibid., h. 122.
[2]Aminah Wadud Muhsin, Qur’an and Women, terj. Yaziar Radianti, Wanita Dalam al-Quran (Bandung: Pustaka, 1994), h. 32-33.
[3]Mazhar ul-Haq Khan, Wanita Islam Korban Patologi Sosial, terj. Lukman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), h. 230.
[4]M. Quraish Shihab, “Kodrat Perempuan Versus Kodrat Kultural”, dalam Lily Zakiyah Munir (editor), Memposisikan Kodrat, Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam (Bandung: Mizan, 1999), h. 81.
[5]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2000), h. 299.
[6]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 314.
[7]Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 64.
[8]Abî Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl Ibrâhîm al-Imâm al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Jilid I (Beirût: Dâr al-Fikr, t. th.), Kitâb al-Nikâh Bâb al-Washâh bi al-Nisâ’, Hadis ke-4787.
[9]Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Naisâbûrî al-Imâm Muslim, Shahîh Muslim, tahqîq Abû al-Fadhl al-Dimyâthî (Beirût: Dâr al-Bayân al-‘Arabî, 2006), Kitâb al-Ridhâ’ Bâb al-Washâh bi al-Nisâ’, Hadis ke-2671.
[10]M. Quraish Shihab, “Membongkar Hadis-Hadis Bias Gender”, dalam Syafiq Hasyim, ed., Kepemimpinan Perempuan dalam Islam (Jakarta: JPPR, t. th. ), h. 24.
[11]M. Quraish Shihab, Wawasan, op. cit., h. 300-301.
[12]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, op. cit., h. 316.
[13]Ibid.
[14]Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialogi Fiqh Pemberdayaan (Bandugn: Mizan, 1997), h. 47.
[15]Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi (Yogyakarta: LSSPA, 1995), h. 45.
[16]Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, op. cit., h. 48.
[17]Nasharuddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 15.

No comments:

Post a Comment