Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Wednesday, June 22, 2011

Tumbilotohe di Gorontalo

Gorontalo adalah provinsi yang ke-32 di Indonesia. Sebelumnya, Gorontalo merupakan wilayah kabupaten di Sulawesi Utara. Seiring dengan munculnya pemekaran wilayah berkenaan dengan otonomi daerah, provinsi ini kemudian dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tertanggal 22 Desember 2000. Provinsi Gorontalo terletak di pulau Sulawesi bagian utara atau di bagian barat Sulawesi Utara. Luas wilayah provinsi ini 12.215 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 887.000 jiwa (2004).
Masyarakat Gorontalo, dahulu terdiri dari linula-linula atau hidup berkelompok-kelompok. Karena itu, untuk shalat malam di masjid, apalagi di bulan ramadhan, mereka harus membuat semacam alat penerangan yang oleh D.K Usman,  disebut wango-wango, yaitu wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar. Wango-wango, ketika itu, cukup efektif karena bisa bertahan kurang lebih seperdua malam. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan tohetutu atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Nenek moyang kita tampaknya sudah mempraktekkan motto Suzuki “inovasi tiada henti”. Mereka pun mulai memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa, dengan menggunakan wadah yang ada disekitarnya seperti kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong dua, yang juga disebut padamala.
           Tumbilotohe, secara historis, menurut penjelasan Farha Daulima sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari syi’ar Islam. Kemunculannya, sebagaimana H. DK. Usman, menurut Farha Daulima karena masyarakat Gorontalo pada awalnya hidup berkelompok-kelompok. Untuk shalat tarwih berjamaah, mereka menggunakan sistem paalita atau bergilir dalam kelompok mereka. Ada tiga fase perkembangan tumbiloto Pertama, morongo. yaitu dahan-dahan kayu yang diikat menjadi satu dan ujungnya dibakar. Kedua, tohetutu. Tahun-tahun berikutnya setelah pemakaian morongo mulai digunakan tohetutu (damar), yang jenisnya perempuan. Damar jenis inilah yang  tidak berjelanga (asap hitam yang menimbulkan polusi). Ketiga, padamalaa. Berbeda dengan morongo dan tohetutu yang dibakar tanpa bahan bakar, orang Gorontalo ketika itu mulai mengenal lampu (padamala) yang menggunakan sumbu dari kapas, dengan bahan bakar minyak kelapa, yang ditempatkan pada bambu, biya (sejenis kerang) dan  belakangan, menggunakan kaleng. 
Tumbilotohe yang dalam arti bahasa gorontalo terdiri dari kata “tumbilo” berarti pasang dan kata “tohe” berarti lampu, yaitu acara menyalakan lampu atau malam pasang lampu. Tradisi ini merupakan tanda bakal berakhirnya bulan suci Ramadhan, telah memberikan inspirasi kemenangan bagi warga Gorontalo. Pelaksanaan Tumbilotohe menjelang magrib hingga pagi hari selama 3 malam terakhir sebelum menyambut kemenangan di hari Raya Idul Fitri.
         Di tengah nuansa kemenangan, langit gelap karena bulan tidak menunjukkan sinarnya. Warga kemudian meyakini bahwa saat seperti itu merupakan waktu yang tepat untuk merefleksikan eksistensi diri sebagai manusia. Hal tersebut merupakan momentum paling indah untuk menyadarkan diri sebagai fitrah ciptaan Allah SWT.
         Menurut sejarah kegiatan Tumbilotohe sudah berlangsung sejak abad XV sebagai penerangan diperoleh dari damar, getah pohon yang mampu menyala dalam waktu lama. Damar kemudian dibungkus dengan janur dan diletakkan di atas kayu. Seiring dengan perkembangan zaman dan berkurangnya damar, penerangan dilakukan dengan minyak kelapa (padamala) yang kemudian diganti dengan minyak tanah.
         Setelah menggunakan damar, minyak kelapa, kemudian minyak tanah, Tumbilotohe mengalami pergeseran.
Hampir sebagian warga mengganti penerangan dengan lampu kelap-kelip dalam berbagai warna. Akan tetapi, sebagian warga masih mempertahankan nilai tradisional, yaitu memakai lampu botol yang dipajang di depan rumah pada sebuah kerangka kayu atau bambu.
           
           Saat malam tiba, “ritual” Tumbilotohe dimulai. Kota tampak terang benderang. Nyaris tidak ada sudut yang gelap. Keremangan malam yang diterangi cahaya lampu-lampu botol di depan rumah- rumah penduduk tampak memesona.
         Kota Gorontalo berubah semarak karena lampu-lampu botol tidak hanya menerangi halaman rumah, tetapi juga menerangi halaman kantor, masjid. Tak terkecuali, lahan kosong petak sawah hingga lapangan sepak bola dipenuhi dengan cahaya lampu botol. Masyarakat seolah menyatu dalam perasaan religius dan solidaritas yang sama. Di lahan-lahan kosong nan luas, lampu-lampu botol itu dibentuk gambar masjid, kitab suci Al Quran, sampai tulisan kaligrafi.
        TUMBILOTOHE menjadi semacam magnet bagi warga pendatang, terutama warga kota tetangga Manado, Palu, dan Makassar. Banyak warga yang mengunjungi Gorontalo hanya untuk melihat Tumbilotohe. Sepanjang perjalanan di daerah Gorontalo maka kita akan menyaksikan Tumbilotohe dari berbagai ragam bentuk. “Sangat indah apabila kita berjalan pada malam hari” itulah ungkapan pada kebanyakan orang yang memanjakan mata sepanjang perjalanan menikmati lampu-lampu setiap rumah, kantor dan masjid.
Beberapa yang menjadi ‘peramai’ dalam tradisi tumbilotohe, di antarnya sebagai berikut :
1. Kerangka Pintu gerbang (dalam bahasa gorontalo Alikusu)

Alikusu terdiri dari bambu kuning, dihiasi janur, pohon pisang, tebu & lampu minyak yang diletakkan di pintu masuk rumah, kantor, mesjid dan pintu gerbang perbatasan suatu daerah. Pada pintu gerbang terdapat bentuk kubah mesjid yang menjadi simbol utama alikusu. Warga menghiasi Alikusu dengan dedaunan yang didominasi janur kuning. Di atas kerangka itu digantung sejumlah buah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu lambang kemanisan, keramahan, dan kemuliaan hati menyambut Idul Fitri.


2. Meriam Bambu (dalam bahasa Gorontalo Bunggo)

Pada masa kecilku permainan favorit di bulan puasa adalah Bunggo. Saling bales, saling adu kerasnya bunyi meriam bambu menjadi khas dalam permainan bunggo. Bunggo terbuat dari bambu pilihan yang setiap ruas dalamnya, kecuali ruas paling ujung, dilubangi. Di dekat ruas paling ujung diberi lubang kecil yang diisi minyak tanah. Lubang kecil itu sebagai tempat menyulut api hingga bisa mengeluarkan bunyi letusan kecil. Sembari menggempur kampung dengan bunyi meriam, para remaja dan anak-anak berseru membangunkan warga agar tidak kebablasan tidur, “Sahur..sahur..”.
 Dan Intinya sesuai motto daerah Gorontalo "Adat Bersendikan Syara' dan Syara' Bersendikan Kitabullah"

 

No comments:

Post a Comment