Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Saturday, June 25, 2011

Teori tentang Epistemologi

Secara etimologi epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu epistem yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistemologi berarti ilmu yang mengkaji segala sesuatu tentang pengetahuan. Pengetahuan adalah apa yang dikenal atau hasil pekerjaan tahu.
John Locke, filsuf yang amat berpengaruh setelah renaisans Eropa, menjadikan epistemologi sebagai pangkal tolak dan pusat diskusi filsafatnya. Ia menganggap keliru untuk membicarakan metafisika sebelum menyelesaikan teori pengetahuan. Ia memandang masalah-masalah epistemologi harus mendahului masalah-masalah lain.[1] Gazalba selanjutnya menulis bahwa pengetahuan terdiri dari kesatuan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Jadi pengetahuan di sini harus mempunyai obyek. Sementara itu sesuatu yang menjadi penentu munculnya pengetahuan dalam diri kita adalah kenyataan. Dengan demikian yang namanya pengetahuan adalah harus pasti. Maka menurut Louis O. Katsouf bahwa yang dimaksud dengan mempunyai pengetahuan berarti mempunyai kepastian bahwa apa yang kita nyatakan dalam pernyatan tersebut sungguh benar atau sungguh benar-benar halnya. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa seseorang dikatakan mempunyai pengetahuan jika memang dia benar-benar mempunyai kepastian terhadap realitas dan sudah masuk pada wilayah kesadarannya.
Pengetahuan tentu berbeda dengan pendapat. Kalau pengetahuan ukurannya adalah kepastian dan harus disadari, maka tentu saja pengetahuan membutuhkan penalaran. Karena dalam konteks ini pengetahuan merupakan hasil kegiatan akal yang mengolah hasil tangkapan yang tidak jelas yang timbul dari indera, ingatan atau angan-angan.[2] Jadi di sini awal mula peristiwa atau kenyataan yang menjadi sumber pengetahuan tidak harus jelas atau pasti, tapi ketika itu sudah diolah menjadi sebuah pengetahuan maka statusnya harus pasti atau jelas. Sementara pendapat adalah hasil kesimpulan sementara atas peristiwa yang kita alami, baik dari penglihatan atau ingatan tertentu yang kita punyai. Bisa jadi apa yang dilihat oleh mata kita adalah sesuatu yang menipu kita.
Dalam ranah filsafat, dikenal banyak aliran filsafat yang mengemukakan pandangan yang beragam tentang teori pengetahuan. Yaitu:
Pertama, rasionalisme. Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan berasal dari rasio. Akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Artinya pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Bapak dalam aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan jargonnya “aku berpikir maka aku ada”. Ia menolak tradisi abad pertengahan yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah wahyu Ilahi (teosentrisme). Baginya, manusia dapat mencapai pengetahuan dengan rasionya, sekligus menjadikannya pusat penyelidikan.
Kedua, empirisme. Kata ini berasal dari kata Yunani Empirikos yang bersal dari kata empiria, artinya pengalaman. Aliran ini menganggap bahwa sumber dan berlakunya pengetahuan ialah aspek empiri dari pengalaman.[3] Tokoh-tokohnya banyak yang berasal dari daratan Inggris. Di antaranya adalah John Locke (1632-1704). Menurut Locke, akal hanyalah secarik kertas tanpa tulisan (tabula rasa) yang menerima hal-hal dari pengalaman. Satu-satunya obyek pengetahuan adalah gagasan yang timbul karena pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection). Maksud dari teori ini adalah bahwa ketika manusia lahir jiwanya sebenarnya kosong dan bersih, belum terisi oleh pengetahuan apapun. Lambat laun pengalamannya telah mengisi jiwanya yang kosong tersebut, kemudian seseorang tadi mempunyai pengetahuan. Manusia tidak membawa ide bawaan, sumber pengetahuan adalah pengamatan yang menghasilkan kesan-kesan (impression) yang diterima langsung dari pengalaman, dan ide-ide yang merefleksikan atau mengggambarkan kembali dari kesan-kesan itu.[4]
Ketiga, intuisionisme. Aliran ini menolak pengetahuan yang berdasarkan pemikiran, menganggap hakikatnya tidak teliti dan tidak sehat. Tokoh aliran ini adalah Henry Bergson (1859-1941). Menurut Bergson obyek-obyek yang kita respon itu adalah obyek yang selalu berubah. Sementara akal hanya bisa menangkap dan memahami secara penuh manakala ia mengkonsentrasikan dirinya pada obyek itu. Akal hanya mampu memahami bagian–bagian dari obyek, kemudian bagian-bagian itu digabungkan oleh akal. Itu tidak sama dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang obyek itu. Jelasnya apa yang ditangkap oleh indera maupun akal adalah pengetahuan yang diskursif. Pengetahuan diskursif ini, menurut Bergson, diperoleh melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba mengatakan pada kita mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu. Jadi ini tergantung dari perspektif atau sudut pandang yang kita miliki. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengetahuan yang benar-benar menyeluruh dibutuhkan yang namanya intuisi.[5] Intuisi inilah yang bisa menghasilkan pengetahuan yang menyeluruh dan komprehensif. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu. Jadi pengetahuan yang diperoleh adalah langsung secara intuitif. Karena dengan pola yang demikian, maka pengetahuan yang diterima tidak berupa simbol-simbol atau pelukisan.[6]
Keempat, positivisme. Dalam pandangan aliran ini, segala sesuatu harus dapat diverivikasi, harus jelas ukuran-ukuran yang logis dan rasional, dapat dibuktikan dan diuji secara ilmiah melalui observasi. Tokohnya adalah August Comte (1798-1857). Ia berpendapat bahwa indera memang amat penting untuk memperoleh pengetahuan tapi harus dipertajam dan dikuatkan dengan alat bantu melalui eksperimen.[7]
Kelima, skeptisisme. Skeptisisme adalah paham yang mengingkari akan adanya pengetahuan yang sesungguhnya tentang adanya pengetahuan. Menurut Gazalba, paham ini dapat menyelesaikan masalah-masalah teori pengetahuan dengan mengingkari masalah-masalah itu sendiri. Menurut aliran ini pada dasarnya tidak ada cara untuk mengetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Hal ini didasarkan pada dua unsur (1) kenisbian penginderaan; dan (2) adanya kesepakatan yang sesungguhnya mengenai apa yang merupakan halnya dan bukan halnya.[8]
Keenam, idealisme. Aliran ini menyatakan bahwa yang ada sebenarnya adalah ide-ide. Berkeley mengatakan bahwa hanya ide cita kita saja yang nyata. Dalilnya yang terkenal adalah “esse est percipi”, ada ialah ada dalam tanggapan. Yang kita ketahui hanyalah bagaimana suatu objek itu kita tanggap, bukan objek itu sendiri. Karena itu kita tidak mungkin mengetahui bagaimana objek menurut dirinya sendiri.[9]


[1] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hal. 13.
[2] Louis O. Katsouf, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004), h.
[3] Sidi Gazalba, Op.Cit., hal. 25.

[4] Ekky Al Malaky, Filsafat Untuk Semua, (Jakarta : Lentera, 2001), hal. 30.
[5] Louis O. Katsouf, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004), hal. 141.

[6] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 53.

[7] Ekky Al Malaky, Filsafat Untuk Semua, (Jakarta : Lentera, 2001), hal. 31.
[8] Louis O. Katsouf, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004), hal. 147.

[9] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hal. 32-33.

No comments:

Post a Comment