Di negara-negara maju maupun yang sedang berkembang, pendidikan diselenggarakan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan pasaran kerja. Di samping itu Muhammad Tolchah Hasan lebih ideal lagi mengatakan bahwa pendidikan dilaksanakan untuk mencerdaskan bangsa dalam rangka mengangkat derajat dan martabat mereka sebagai manusia yang dalam bahasa Qur’ani disebut sebagai Khaira Ummat (Manusia utama).[1] Dan secara teknis, Hasan mengatakan bahwa;
Peran Pendidikan dalam kehidupan suatu masyarakat atau bangsa, bukan sekedar sebagai kegiatan alih pengetahuan dan keterampilan (Transfer of knowledge and skill) saja, tetapi seharusnya juga sebagai kegiatan alih nilai dan budaya (transfer of value and culture). Oleh karena itu setiap konsep pendidikan atau strategi pendidikan bukan semata-mata usaha penyiapan manusia pandai (intelek) atau manusia terampil (pekerja) saja, tetapi juga manusia berkepribadian dan berbudaya.[2]
Dengan demikian berarti pendidikan merupakan asset besar dalam pembangunan ummat, ikut menentukan kualitas kepribadian peradaban manusia termasuk hitam putihnya dinamika ekonomi, politik, ekologi, sosial budaya, dan masalah-masalah hidup dan kehidupan manusia.
Untuk itu, maka pendidikan dapat memberikan nilai tambah (surplus) dalam rangka mencapai kesejahteraan lahir-bathin mereka. Di samping itu pendidikan dituntut mampu mengembangkan sikap perilaku membangun, yakni perilaku kreatif, produktif, efektif, efisien dan dinamis. Juga mengembangkan sikap kearifan yakni sikap yang mampu memahami makna kehidupan dan menyadari peranan dirinya di tengah-tengah kehidupan bersama untuk membangun masyarakatnya. Ditambah lagi pendidikan dapat melakukan transfer iptek, sebagai keniscayaan yang tak dapat dihindari bangsa kita untuk mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa yang sudah maju. Hal tersebut menjadi sangat mendesak, karena dalam persaingan global ini, keungulan kompetitif lebih menentukan peranan suatu bangsa dari pada sekedar keunggulan komparatif. Secara teoritik, dalam persaingan global ini hanya bangsa yang kreatif dan produktif yang akan dapat bertahan. Sedangkan produktifitas suatu bangsa ditentukan oleh kemampuannya menguasai dan mengembangkan iptek, yang disertai dengan pengembangan budaya dan moralitasnya secara seimbang
Azyumardy Azra menegaskan bahwa pendidikan lebih dari sekedar pengajaran. Karena kenyataannya pendidikan merupakan suatu proses di mana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu. Dengan kesadaran tersebut, suatu bangsa dapat mewariskan kekayaan budaya atau pemikiran kepada generasi berikutnya, sehingga menjadi inspirasi bagi mereka dalam setiap lini kehidupan.[3]
Pendapat serupa dikemukakan oleh Muhammad Yasin bahwa pendidikan harus bertumpu pokok pada aspek membangun ummat figur manusianya agar menjadi Human Resourses (SDM) yang syarat muatan nilai luhur, meningkatkan kecerdasan dan martabat ummat insan muttaqin, memiliki skill yang handal (qualifeid skill). Kemandirian, produktif karya dan professional, peka sosialnya serta memiliki integritas kepribadian yang mantap.[4]
Sementara itu Thariq Modanggu mengemukakan bahwa :
Pendidikan merupakan masalah yang sangat urgen dan aktual sepanjang zaman. Dengan pendidikan, orang mengerti akan dirinya plus segala potensi kemanusiaannya, lingkungan masyarakat, alam sekitar dan yang lebih dari semua itu adalah dengan adanya pendidikan manusia dapat menyadari sekaligus menghayati keberadaannya di hadapan Khaliknya.[5]
Ditambahkannya pula bahwa urgensi dan aktualitas pendidikan terutama sekali- sangat ditentukan oleh banyak hal, antara lain;
(1) kondisi geografis dan demografis; (2) kondisi sosio-kultural suatu komunitas; dan (3) tingkat perkembangan budaya dan peradaban manusia. dan merupakan suatu hal yang natur bila ketiga kondisi ini senantiasa berubah dan bergerak dinamis. [6]
Konsekuensinya, nyaris tidak ada yang selamanya baku dan mapan dalam dunia pendidikan, baik itu aspek substansi maupun aspek metodologis dari suatu sistem pendidikan. Sedangkan aspek yang relatif mapan dalam pendidikan adalah norma atau sistem nilai yang membentuknya, sebab masalah ini sangat terkait dengan persoalan teologis.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Pendidikan merupakan suatu proses yang terjadi dalam diri seseorang baik fisik maupun psikis yang kelak dapat di jadikan dasar pijakan bagi pertumbuhan dan perkembang. Pendidikan diartikan sebagai proses mendidik dan mengajar sebagaimana yang kita kenal. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk menjadikan seseorang menjadi tahu akan dirinya, lingkungannya dan berbagai fenomena yang terjadi.
Masalah pendidikan merupakan masalah yang dinamik, merupakan issu yang selalu muncul (recurrent issues). Di negara-negara maju maupun yang sedang berkembang, pendidikan diselenggarakan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkwalitas sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan pasaran kerja. Di samping itu lebih ideal lagi untuk mencerdaskan bangsa dalam rangka mengangkat derajat dan martabat mereka sebagai manusia. Dalam bahasa Qur’ani disebut sebagai Khaira Ummat (Manusia utama)[7]. Dengan demikain berarti pendidikan merupakan asset besar dalam pembangunan ummat, ikut menentukan kwalitas “kepribadian muslim peradaban” manusia termasuk “hitam putihnya” dinamika ekonomi, politik, ekologi, sosial budaya, dan masalah-masalah hidup dan kehidupan manusia[8].
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian muslim, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa dan negara.[9]. Selanjutnya masih dalam buku yang sama pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa, “setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.[10]
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut diperlukan keterlibatan semua pihak termasuk di dalamnya keluarga sebagai peletak dasar-dasar pendidikan bagi setiap anak.
Adapun kata “Keluarga” secara etimologi menurut K.H.Dewantara adalah :
rangkaian perkataan-perkataan ‘kawul’ dan ‘warga’. Sebagaimana diketahui, maka ‘kawul’ itu tidak lain artinya dari pada ‘abdi’ yakni “hamba” sedangkan “warga” berarti “anggota”. Sebagai “abdi” didalam “keluarga” wajiblah seseorang di situ menyerahkan kepentingan-kepentingannya kepada keluarganya. Sebaliknya sebagai “warga” atau “anggota” ia berhak sepenuhnya pula untuk ikut mengurus segala kepentingan didalam keluarganya tadi.[11]
Kalau ditinjau dari ilmu sosiologi, keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan, yakni kesatuan antara ayah ibu dan anak yang merupakan kesatuan kecil dari bentuk-bentuk kesatuan masyarakat.[12]
Dengan demikian pendidikan keluarga adalah juga pendidikan masyarakat, karena disamping keluarga itu sendiri sebagai kesatuan kecil dari bentuk kesatuan-kesatuan masyarakat, juga karena pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anak itu di masyarakt kelak. Dengan demikian nampak adanya satu hubungan erat antara keluarga dengan masyarakat.
Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan di dalam keluarga. Orang tua tanpa ada yang memerintah langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik bersifat sebagai pemelihara, sebagai pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina maupun sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya. Ini adalah tugas kodrati dari tiap-tiap manusia.
Oleh karena itu norma-norma pada anggota-anggota keluarga, baik ayah ibu maupun kakak-kakaknya dapat berpengaruh terhadap anak . Maka orang tua di dalam keluarga harus dan merupakan kewajiban kodrati untuk memperhatikan anak-anaknya serta mendidiknya, sejak anak-anak itu kecil, bahkan sejak anak-anak itu masih dalam kandungan. Jadi tugas orang tua mendidik anak-anaknya itu terlepas sama sekali dari kedudukan, keahlian atau pengalaman dalam bidang pendidikan yang legal. Bahkan menurut Imam Ghozali. “ Anak adalah suatu amanat Tuhan kepada ibu bapaknya”.[13]
Anak adalah anggota keluarga, dimana orang tua adalah pemimpin keluarga, sebagai penanggung jawab atas keselamatan warganya di dunia dan khususnya di akhirat. Maka orang tua wajib mendidik anak-anaknya. Allah berfirman dalam Al-qur`an surat at-Tahrim ayat 6 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, lindungilah dirimu dan keluarga dari siksaan api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”. (QS. At-Tahrim :6).[14]
Kebiasaan orang tua dan anggota keluarga yang lain dalam hal kesusilaan/akhlak adalah sebagai sebuah tuntunan atau kebiasaan yang ada dalam keluarga akan ditiru di masa dewasa tanpa rasa berat dan akan terjadi setiap saat bagi anak sejak usia dini.
Lebih dari itu terdapat juga pertalian emosional antara anak, orang tua dan kanak-kanaknya, yakni turut berduka cita jika orang tuanya berduka cita dan akan merasa bahagia jika orang tuanya berbahagia. Begitulah keadaan saling pengaruh-mempengaruhi antara anak dengan orang tuanya dan anggota keluarga lainnya, sampai kepada keadaan emosional.
Jelaslah bahwa keluarga itu merupakan ajang pertama dimana sifat-sifat kepribadian muslim anak bertumbuh dan terbentuk. Seorang anak akan menjadi warga masyarakat yang baik sangat bergantung pada sifat-sifat yang tumbuh dalam kehidupan keluarga dimana anak dibesarkan. Kelak, kehidupan anak tersebut juga mempengaruhi masyarakat sekitarnya sehingga pendidikan keluarga itu merupakan dasar terpenting untuk kehidupan anak sebelum masuk sekolah dan terjun pada masyarakat.
Karena keluarga adalah merupakan ajang dimana sifat-sifat kepribadian muslim anak terbentuk mula pertama, maka dapatlah dengan tegas kami katakan, bahwa keluarga adalah sebagai alam pendidikan pertama.
Anak yang lahir dalam keluarga yang selalu membiasakan berbuat baik, biasanya menghasilkan pribadi anak yang baik. Dan sebaliknya anak yang lahir dalam keluarga yang selalu membiasakan perbuatan-perbuatan yang tercela biasanya menghasilkan pribadi yang tercela pula.
J Bachtiar Affandie dalam bukunya tentang “Akhlak” menjelaskan bahwa Prof Dr. Ahmad Shalaby mengutip pendapatnya Imam Ghazali mengenai keadaan anak sebagai berikut:
Dan anak itu sifatnya menerima semua yang dilukiskan dan condong pada semua yang tertuju kepadanya. Jika anak itu dibiasakan dan diajari berbuat baik, maka anak itu akan tumbuh atas kebaikan itu dan akan hidup berbahagia di dunia dan akhirat. Dan kedua orang tua serta semua guru-gurunya dan pendidik-pendidiknya akan mendapat kebahagiaan pula dari kebahagiaan itu. Tetapi jika dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan beguti saja, maka anak itu akan celaka dan binasa.[15]
Maka yang menjadi ukuran dari ketinggian (nilai/kemajuan) anak itu ialah terletak pada yang bertanggung jawab (pendidik) dan walinya “.
Atas dasar keterangan tersebut diatas, maka dapatlah diformulasikan bahwa pendidikan agama berpangkal juga di dalam keluarga, sedang lingkungan keluarga bagi tiap-tiap orang adalah merupakan wahana pendidikan yang pertama atau pendidikan dasar.
Sekolah memegang peranan panting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak. Maka disamping keluarga sebagai pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi anak. Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakatnya dari masing-masing peserta didik, yang berguna bagi dirinya, dan berguna bagi nusa dan bangsanya.
Karena sekolah itu sengaja dibangun atau disediakan khusus untuk tempat pendidikan, maka dapatlah ia kita golongkan sebagai tempat atau lembaga pendidikan kedua sesudah keluarga, lebih-lebih mempunyai fungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan guru sebagai ganti orang yang harus ditaati.
Lamanya pendidikan juga ikut menentukan berhasilnya pembentukan pribadi. yaitu :
- Sejak anak umur empat atau lima tahun ada yang sudah dimasukkan ke sekolah, yaitu sekolah taman kanak-kanak atau Bustanul Atfal.
Anak yang baru saja memiliki bahasa dan mulai mengakui adanya gezah, oleh guru didik dengan diasuh, diajari tatacara, dididik dengan kebijaksanaan.
- Kemudian umur enam tahun (6 tahun) anak disekolahkan ke Sekolah Dasar atau Ibtidaiyah.
Mulailah anak diberi ilmu pengetahuan dasar disamping pendidikan. Selama enam tahun, yaitu sampai dengan umur 12 tahun, anak terus menerus diberi pendidikan dan pengajaran.
- Sekitar umur 13 tahun anak meneruskan ke SLTP atau MTs.
Sampai dengan sekitar umur 15 tahun, anak mendapatkan didikan yang berbeda dengan pendidikan di sekolah dasar, karena para pendidik tahu bahwa pada anak sudah ada pengetahuan dasar dan pada masa ini anak telah kritis dan tahu akan nilai-nilai kesusilaan, keindahan, kemasyarakatan, kebangsaan dan keagamaan. Sekitar umur 16 tahun anak melanjutkan kesekolah Menengah besifat pematangan dengan adanya pembagian fak sesuai dengan bakat si anak.
- Selesai di sekolah tinggkat ini anak berumur kurang lebih 18 tahun, yang berarti sudah mulai masuk ke periode adoliscensi (masa dewasa). Jadi selama 14 tahun anak hidup dalam dunia pendidikan sekolah. Waktu 14 tahun adalah cukup lama untuk bisa ikut menentukan pribadi anak. Ada pula sekolah yang merangkaikan antara waktu SLTP dengan SMU, seperti Muallimin dan muallimat.
- Bagi anak yang masih besar minatnya untuk melanjutkan kuat fikirannya serta mampu biayanya, masih bisa melanjutkan studinya keperguruan tinggi atau Al-Jamiah selama 3 tahun(sarjana muda) atau lima tahun (sarjana lengkap). Pada masa ini, anak telah dapat menyelesaikan pembentukan jati dirinya, karena telah memasuki dunia kemahasiswaan dan telah berada atau menginjak masa adoliscensi.[16]
Mengingat cukupnya waktu dan pentingnya fungsi sekolah dalam ikut serta pembentukan pribadi anak, maka pendidikan yang hanya menekankan pada aspek kongnitif saja adalah kurang efektif, menghianati amanat orang tua si anak, menyia-nyiakan kesempatan yang baik bagi anak yang sedang dalam pertumbuhan jasmani dan rohaninya dan sebagai suatu kesalahan yang besar, yang harus kita perhatikan dan selanjutnya tidak boleh kita biarkan, melainkan harus kita kembalikan ke fungsi yang sebenarnya.
Masyarakat sebagai lembaga Pendidikan ketiga sesudah keluarga dan sekolah, mempunyai sifat dan fungsi yang berbeda dengan ruang lingkup dengan batasan yang tidak jelas dan keanekaragaman bentuk kehidupan sosial serta berjenis-jenis budayanya.
Di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti oleh warganya dan norma-norma yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian muslim warganya dalam bertindak dan bersikap. Norma-norma masyarakat yang berpengaruh tersebut sudah merupakan aturan-aturan yang ditularkan oleh generasi tua kepada generasi mudanya. Penularan-penularan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan ini sudah merupaka proses pendidikan masyarakat.[17]
Kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari dua orang atau lebih dan bekerjasama di bidang tertentu untuk mencapai tujuan tertentu adalah merupakan sumber pendidikan bagi warga masyarakat, seperti Lembaga-lembaga sosial budaya, yayasan-yayasan, dan lain-lain yang merupakan unsur-unsur pelaksana asas pendidikan masyarakat.
Yayasan yang ada dalam masyarakat banyak yang bergerak dalam pendidikan, seperti mendirikan sekolah-sekolah swasta, baik sekolah umum maupun sekolah agama, mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi. Di sini nampak adanya saling terkait antara sekolah dengan masyarakat sebagai Lembaga Pendidikan.
Jelaslah bahwa masyarakat sebagai lembaga pendidikan bagi warganya, dan nampak jelas yang membedakan apa yag disebut pengaruh lingkungan masyarakat. Pengaruh lingkungan masyarakat tidaklah termasuk bentuk pendidikan, karena proses pengaruh tidak dengan kesadaran dan tidak sengaja membawa anak didik ke arah kedewasaan yang tidak ada unsur tanggung jawab. [1] Muhammad. Tolchah Hasan, Diskursus Islam dan Pendidikan; Sebuah Wacana Kritis cet.1,(Jakarta: Bina Wiraswasta Insan Indonesia, 2000),h. 89.
[2] Ibid., h. 27.
[3] Azyumardy Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (cet.1;Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1998). h. 3
[4] Muhammad, Yasin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Alternatif Solusi Dipentas Millenium III), dalam Jurnal “Madania” Edisi I No. 4 Juni 1999, STAIN Kediri, 41
[5] Thariq Modanggu, Makalah; Aktifitas Pendidikan Islam di masa tiga kerajaan besar ( kerajaan Usmani, Safawi dan Mughal). h. 1
[6] ibid
[7] Moh. Tolchah Hasan, Diskursus Islam dan Pendidikan (Sebuah Wacana Kritis), (Jakarta: Bina Wiraswasta Insan Indonesia, Cet. Pertama, 2000),h. 89.
[8] Muhammad Yasin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Alternatif Solusi Dipentas Millenium III), dalam Jurnal “Madania” Edisi I No. 4 Juni 1999, STAIN Kediri. h. 41.
[9] Departemen Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional h. 2
[10] I b i d, h. 6
[11] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 1991), h 162
[12] ibid
[13] Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, tentang keajaiban hati, alih bahasa dan susunan nur hickmah, Jakarta :Yayasan Kesejahteraan Keluarga ,1965), h. 247.
[14] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya . (Jakarta:Yayasan Penterjemah Al-quran, 1971), h.950.
[15] J Bachtiar Affandie, Akhlak,cetakan kedua,(Jakarta: Jambatan 1960), h.42
[16] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, op.cit., h.181-182
[17] i b i d, h. 184.
No comments:
Post a Comment