Berbicara tentang dampak yang dihadapi dalam pelaksanaan strategi belajar mengajar kaitannya dengan adanya peningkatan hasil belajar tentunya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal ini disebabkan karena keberhasilan belajar sangat ditentukan baik oleh faktor internal maupun faktor eksternal.
Faktor internal yang dimaksud tentunya berkaitan dengan kondisi pribadi siswa itu sendiri yang meliputi motivasi siswa untuk belajar, sejauh mana minat dan kebutuhan siswa terhadap apa yang akan ia pelajari bahkan karena adanya faktor genetik yang diperolehnya dalam keluarga.
Sedangkan faktor eksternal yang dimaksud adalah faktor yang diperoleh dari luar diri anak didik berupa rangsangan belajar dari lingkungannya, antara lain seperti metode, media pengajaran, sarana prasarana bahkan strategi seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran dapat mempengaruhi keberhasilan yang hendak dicapai.
Karena rumitnya persoalan ini mak setiap guru hendaknya menggunakan strategi itu dengan memperhatikan kebutuhan siswa sehingga apa yang akan dilakukan oleh guru tidak akan sia-sia melainkan membuahkan hasil dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Peningkatan hasil belajar tentunya dapat dilihat dengan adanya evaluasi yang dilakukan guru. Dalam proses belajar mengajar penilaian atau biasa disebut evaluasi sangat dibutuhkan karena hal ini dapat digunakan oleh seorang guru dalam melihat keberhasilan yang telah dicapai oleh siswa bahkan hasil yang dicapai oleh guru itu sendiri dalam proses belajar mengajar.
Hasil yang diharapkan akan diperoleh siswa tentunya tidak hanya berkaitan dengan kemampuan pengetahuan namun lebih dari itu hasil yang diperoleh itu diharapkan kiranya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pendidikan dan pengajaran yang diperoleh siswa merupakan satu kebutuhan yang sangat penting.
Kondisi ini tentunya sangat membantu dalam rangka meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, sehingga pencapaian hasil belajar tidak hanya dapat dilihat di atas kertas tetapi lebih dari itu dapat mencerminkan pola hidup dan pola tindak dalam lingkungan baik lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan lingkungan keluarga.
Konsep hasil belajar merupakan ukuran akhir atau capaian dari proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebelum membahas bagaimana hasil belajar siswa, maka terlebih dahulu harus dipahami makna belajar, hal ini dimaksudkan agar pemaknaan tentang hasil belajar dapat dikorelasikan dengan aktivitas belajar sehingga dapat kemudian mengidentifikasi hal-hal yang sesuai dan dapat dilaksanakan pada kegiatan pembelajaran dalam rangka melakukan perubahan-perubahan pada peserta didik.
Belajar, secara gamblang hampir semua orang menganggap sebagai suatu proses perubahan tingkah laku pada diri seseorang. Dari pemahaman seperti ini dapat menghasilkan suatu pemikiran bahwa kegiatan belajar tidak begitu saja terjadi, tetapi memerlukan langkah-langkah tertentu dengan berbagai tahapan yang harus dilalui.
Dalam keseluruhan aktivitas pendidikan di sekolah, maka kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling mendasar. Hal ini kemungkinannya bahwa baik tidaknya serta berhasil tidaknya rumusan-rumusan tujuan yang telah direncanakan dapat dicapai akan sangat tergantung pada bagaimana proses belajar yang diterapkan atau dialami oleh peserta didik. James O. Whittaker mendefenisikan belajar yakni “the process by which behavior originates or is altered through training or experience” proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.[1]
Dari pengertian tersebut, tergambar bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku seseorang atau peserta didik, ketika peserta didik telah mendapatkan sejumlah latihan atau pengalaman, dengan demikian peneliti berasumsi bahwa perubahan sikap dan tingkah laku yang terjadi pada peserta didik sebagai akibat dari pertumbuhan fisik atau kematangan serta pengaruh yang tumbuh dari masing-masing individu, dalam pemahaman James bukan termasuk belajar.
Pengertian lain dikemukakan oleh Skinner bahwa belajar adalah “a process progressive behavior adaptation” yakni suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif. Dijelaskan bahwa proses adabtasi akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer).[2]
Dalam pandangan tersebut tersirat suatu makna bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan melalui kemampuan untuk beradabtasi, dengan kata lain bahwa belajar hanya akan terjadi ketika pelajar mendapatkan rangsangan yang dilakukan secara berproses dengan hasilnya bahwa pelajar tersebut dapat menyesuaikan dirinya dengan apa yang diperolehnya.
Gagne menyatakan bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.[3]
Mencermati pendapat Gagne tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa belajar hanya akan terjadi ketika ada atau terjadi hubungan interaksi yang saling mempengaruhi.
Sementara Wiherington mengemukakan bahwa “ belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengetian.[4]
Berdasarkan beberapa uraian defenisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa belajar merupakan suatu proses, dimana terjadi hubungan timbal balik, saling mempengaruhi, dengan sendirinya dalam hubungan timbal balik tersebut dilakukan berbagai langkah-langkah dan tahapan-tahapan yang secara sengaja dibuat untuk merangsang dan merespons siswa sehingga mereka benar-benar mengalami dan mampu beradabtasi dengan lingkungan sekitarnya sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari. Dengan kata lain bahwa inti dari semua itu adalah proses perubahan sikap dan tingkah laku.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menciptakan hasil belajar secara efektif, antara lain :
a. Belajar menurut essensinya mempunyai tujuan. Belajar itu mempunyai makna penuh dalam arti, bahwa belajar menghiraukan makna.
b. Dasar belajar ialah sesuatu yang bersifat eksploratif serta menemukan dan bukan merupakan pengulangan rutin.
c. Akibat atau hasil belajar yang dicapai itu selalu memunculkan pemahaman atau pengertian, ataupun menimbulkan reaksi atau jawaban yang dapat dipahami dan masuk akal.
d. Hasil belajar itu tidak terikat pada situasi di tempat mencapainya, akan tetapi dapat juga digunakan dalam situasi lain.[5]
Faktor-faktor tersebut, haruslah diupayakan oleh seorang pendidik dalam proses pembelajaran yang diselenggarakannya, setidaknya seorang guru harus menghayati dan memahaminya sebagai kerangka dasar dalam melangsungkan kegiatan pembelajaran, menuju pembelajaran berhasil sebagai bagian dari proses belajar efektif.
Di samping itu, terdapat beberapa persoalan yang harus dipertimbangkan oleh seorang guru dalam menentukan keberhasilan pengajalan dalam pandangan hasil dan produk yang dicapai siswa.
a. Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pengajaran nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh (konprehensif) yang terdiri atas unsure kognitif, apektif dan psikomotorik, secara terpadu pada diri siswa.
b. Apakah hasil belajar yang dicapai siswa dari prose pengajaran mempunyai daya guna dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa terutama dalam pemecahan masalah yang dihadapinya.
c. Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa tahan laa diingat dan mengendap dalam pikirannya serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya.
d. Apakah yakni bahwa perubahan yang ditunjukkan oleh siswa merupakan akibat dari proses pengajaran, ataukah perubahan itu sebagai akibat lain di luar proses pengajaran.[6]
Pengajaran yang berhasil baik akan mengorganisir proses belajar yang bermakna penuh, artinya bahwa belajar yang efektif itu adalah suatu proses belajar yang memberikan makna bagi sipembelajar. Misalnya ketika mereka mengalami proses pembelajaran di sekolah, maka terdapat perubahan-perubahan dalam diri baik dari segi fisik maupun psikhis, dimana perubahan itu terjadi secara berproses dengan suatu hasil yang ditunjukkan secara positif, memberikan makna dan nilai dalam melakukan berbagai aktivitas hidup.
Kalau demikian adanya hasil belajar, maka tentunya perlu upaya-upaya yang diciptakan untuk mengaktualisasikan hasil belajar dimaksud. Nah dalam rangka itu, maka ada beberapa syarat tertentu yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan oleh seorang guru dalam proses pembelajaran, yakni :
a. Bakat untuk mempelajari sesuatu,
b. Mutu pengajaran,
c. Kesanggupan untuk memahami pengajaran,
d. Ketekunan, dan
e. Waktu yang tersedia untuk belajar.[7]
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat dipahami, bahwa persoalan belajar efektif lebih dipandang kepada upaya dari pihak guru, dengan menampilkan dan menerapkan sejumlah strategi pengajaran, sehingga benar-benar dapat mewujudkan proses pembelajaran yang berhasil. Artinya, bahwa dalam uraian-uraian tersebut dapat dimengerti bahwa efektifitas belajar hanya akan terwujud, apabila guru benar-benar menguasai secara menyeluruh komponen pendukung dalam proses belajar mengajar yang objek utamanya adalah siswa.
Terlepas dari eksistensi siswa sebagai objek utama, tentunya harus pula menyadari akan hak dan kewajibannya, di mana sebagai seorang murid, dia tidak hanya menyerahkan sepenuhnya proses belajar itu terjadi melalui usaha seorang guru, akan tetapi dia harus mendukung segala aktivitas yang dilakukan oleh guru, maksudnya dapat berjalan hubungan timbal balik antara kedua belah pihak, yaitu guru dan murid. Dalam hal ini Zakiah Daradjat mengemukakan pandangannya tentang siswa dalam upaya belajar efektif dan produktif, yaitu :
a. Murid harus menyadari sepenuhnya akan arah dan tujuan belajarnya, sehingga ia senantiasa siap siaga untuk menerima dan mencernakan bahan. Jadi bukan belajar asal belajar saja.
b. Murid harus memiliki motif yang murni (intrinstik atau niat). Niat yang benar adalah "karena Allah", bukan karena sesuatu yang ekstrinsik, sehingga terdapat keikhlasan dalam belajar.
c. Harus belajar dengan kepala penuh, artinya murid memiliki pengetahuan dan pengalaman-pengalaman belajar sebelumnya, sehingga memudahkan dirinya untuk menerima sesuatu yang baru.
d. Murid harus menyadari bahwa belajar bukan semata-mata menghafal. Di dalamnya juga terdapat penggunaan daya-daya mental lainnya yang harus dikembangkan sehingga memungkinkan dirinya memperoleh pengalaman-pengalaman baru dan mampu memecahkan berbagai masalah.
e. Harus senantiasa memusatkan perhatian (konsentrasi pemikiran terhadap apa yang sedang dipelajari dan berusaha menjauhkan hal-hal yang mengganggu konsentrasi sehingga terbina suasana ketertiban dan keamanan belajar bersama dan atau sendiri.
f. Harus memiliki rencana belajar yang jelas, sehingga terhindar dari perbuatan belajar yang incidental. Jadi belajar harus merupakan suatu kebutuhan.
g. Selalu mengikuti pelajaran atau diskusi dalam kelompok/kelas, harus menunjukkan partisipasi aktif dengan jalan bertanya atau mengeluarkan pendapat.[8]
Dalam proses pembelajaran murid adalah merupakan sasaran utama dalam rang pewarisan ilmu pengetahuan dan budaya, sehingga terjadi perubahan-perubahan menuju ke arah kedewasaan. Maka sangat logis jika murid itu sendiri yang harus bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan dalam belajar. Besar kecilnya kesadaran atas tanggung jawab belajar tersebut akan bergantung dari tinggi rendahnya tingkat kematangan murid itu sendiri.
Dalam konsep ajaran Islam secara jelas telah ditunjukkan oleh Allah swt., dalam firman-Nya surat al-Baqarah ayat 31-32 yaitu :
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Terjemahnya :
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[9]
Dalam ayat tersebut, terkandung aspek-aspek didaktik metodik atau strategi pembelajaran yang dilakuka oleh Allah swt., terhadap Nabi Adam, as. Artinya bahwa pengetahuan itu tidak akan ada apabila tidak melalui sentuhan dari luar, yaitu Nabi Adam diberi petunjuk oleh dengan pengenalan terhadap nama benda yang sebelumnya telah ditunjukkan oleh Allah swt. Dengan kata lain bahwa dalam system tersebut, terlihat adanya metode demonstrasi, tanya jawab dan ceramah yang melibatkan para malaikat.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar efektif, adalah belajar yang tumbuh dari kesadaran akan tanggung jawab eksistensi individualisme siswa dalam belajar, dan kondisi itu akan terwujud apabila ditopang oleh pemberian perhatian dalam berbagai hal oleh orang tua dan guru. Artinya bahwa belajar efektif sangat dipengaruhi oleh factor dari dalam diri siswa dan factor dari luar, dalam hal ini guru dan orang tua serta lingkungan sekitarnya.
Untuk mengantar anak pra sekolah menuju jalan yang benar melalui pendidikan Islam Hery Noer Aly menawarkan delapan metode yang terpenting untuk diterapkan berupa pendidikan dengan teladan berarti pendidikan dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagianya kepada anggota keluarga. Namun secara garis besar penulis terapkan sesuai dengan konsumsi kebutuhan anak prasekolah sebagai berikut :
1). Keteladanan
Keteladanan merupakan suatu kegiatan yang penuh dengan nilai-nilai ibadah yang patut ditiru oleh siapapun, demikian pula yang memperkenalkan keteladanan ini merupakan suatu pendidikan secara tidak langsung dianjurkan untuk diikuti oleh orang lain terutama kepada anggota keluarga khususnya anak prasekolah.
Secara psikologi kepentingan penggunaan keteladanan ini sebagai metode pendidikan didasarkan atas adanya insting untuk beridentifikasi (anak). Identifikasi ini mencakup segala bentuk peniruan peranan yang dilakukan seorang terhadap tokoh identifikasi. Dengan perkataan lain, identifikasi merupakan mekanisme penyesuaian diri yang terjadi melalui kondisi interaksional dalam hubungan sosial antara individu dan tokoh identifikasi (orang tua).[10]
2). Pembiasaan
Pembiasaan ini sering diartikan persistent uniform artinya dalam kita berbuat hampir-hampir kita tidak sadari telah melakukan perbuatan itu. Oleh karenanya masalah pembiasaan ini sangat dianjurkan di dalam mendidik anak disebabkan anak tidak menyadari dalam bekerja, menolong orang lain, maupun ia diperintahkan untuk melakukan sesuatu. Dan pembiasaan ini salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama anak-anak pra sekolah.
3). Memberi nasehat.
Demikian pula pemberian nasehat merupakan metode yang amat penting diterapkan sebagaimana metode-metode sebelumnya. Dengan metode ini pendidikan menanamkan pengaruh yang baik ke dalam jiwa apabila digunakan dengan cara yang dapat mengetuk relung jiwa melalui pintunya yang tepat. Maka dengan itu metode memberi nasihat ini sebagaimana diterangkan Allah SWT., dalam Al Qur’an Surat. An Nisa ayat 58 terlihat sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ
Terjemahya:
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.[11]
Oleh karena itu dalam pemberian nasehat ini kepada anak berupa pengajaran yang berarti pendidik atau orang tua berusaha menimbulkan kesan bagi peserta didiknya bahwa ia adalah orang yang mempunyai niat baik untuk memperbaiki lebih baik lagi. Hal inilah yang membuat nasihat mendapat penerimaan yang baik dari orang yang diberi nasehat.
1. Perkembangan Belajar
Perkembangan belajar anak merupakan sebuah proses yang dilalui oleh setiap anak ketika telah mengalami proses pembelajaran. Dalam perkembangannya yang lebih dominan adalah pengaruh secara psikologis dan intelektual. Kedua potensi yang dimiliki oleh setiap manusia termasuk anak didik tersebut sangat berpeluang untuk mengarahkan pola hidup dan perilaku dalam berbagai aktivitas manusia.
Dalam beberapa teori belajar dikemukakan bahwa manusia itu memiliki macam-macam daya yang dapat dilatih sehingga dapat memenuhi atau bekerja sesuai dengan fungsinya. Dalam menjadikan daya agar benar-benar berfungsi, maka perlu dilatih daya ingatnya baik dengan cara menghafalkan angkat atau kata-kata.[12] Dalam perkembangan belajar ini kemudian anak didik dilatih agar dapat memanfaatkan potensi berpikirnya secara lebih baik, sehingga kemampuan penganalisaan dapat berkembang secara bertahap sesuai dengan tingkatan permasalahan yang dihadapinya.
Dalam kondisi demikian, maka pendidik tidak lebih mengedepankan penguasaan materi secara keseluruhan akan tetapi kemampuan menganalisis materi yang diharapkan sebagai hasil belajar.
Dalam kaitan dengan perkembangan tersebut, maka ada beberapa unsur dalam situasi yang perlu dipahami sebagai proses perkembangan yang dilalui oleh peserta didik yaitu :
a) Kesanggupan yaitu kemampuan intelegensi individu
b) Pengalaman yang didapatkan melalui berbagai peristiwa yang dapat mempermudah munculnya insight.
c) Taraf kompleksitas dari suatu situasi
d) Latihan mendorong peningkatan kemampuan insight
e) Tirial and Eror pemecahan masalah melalui eksperiman atau percobaan.[13]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perkembangan belajar yang dipahami adalah dimulai dari permanfaatan potensi berpikir, yang terekspresikan melalui sifat keingin tahuan, sehingga memerlukan respons yang positif dari pendidik agar keingin tahuan tersebut benar-benar dapat diisi dengan sejumlah pengetahuan oleh pendidik.
Dengan aktivitas yang selalu dilakukan oleh guru melalui berbagai pengalaman dan pembiasaan, maka peserta didik akan lebih optimal dalam memanfaatkan potensi intelektualnya sehingga berkembang secara lebih baik dan dapat melahirkan ide-ide sebagai solusi terhadap berbagai permaslahan yang dialaminya.
Hasil belajar apabila didefinisikan pada dasarnya akan memiliki pengertian yang hampir sama dengan prestasi belajar. Jika dicermati secara seksama prestasi adalah hasil yang telah dicapai dari yang telah dikerjakan / dilakukan. Dengan demikian hasil belajar dapat diidentikkan dengan prestasi belajar yang memiliki pengertian “perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antar individu dengan individu, serta individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.”[14]
Dalam batasan yang lebih sederhana, dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan prestasi adalah “hasil yang telah dicapai”.[15] Berdasarkan pengertian di atas maka prestasi berkenaan dengan hasil yang telah dicapai oleh anak didik dan dapat diukur melalui capaian hasil penguasaan materi pelajaran yang telah diberikan dengan cara melakukan evaluasi atau penilaian.
Prestasi sebagaimana dikemukakan dalam buku prestasi belajar dan kompetensi guru dikarang oleh Drs. Syaiful Bahri Djamarah mengemukakan bahwa : Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun kelompok .13 Mas′ud Khasan Abd Wahab juga mengemukakan bahwa prestasi adalah : Apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja.
Sedangkan menurut Nasrun Harahap dan kawan-kawannya mengatakan bahwa : Prestasi adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa yang berkenaan denga penguasaan bahan pelajaran yang disajikan pada mereka serta nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum.
Hasil belajar adalah pengukuran keseluruhan kegiatan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[16] Hasil belajar pada hakekatnya menunjuk pada prestasi belajar yaitu untuk mengukur penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai yang diberikan guru.
Jika dikaitkan dengan “standar” dalam mengukur sebuah prestasi atau hasil belajar, maka paling tidak ada dua aspek tolak ukur yang digunakan yaitu
1. Standar erat hubungannya dengan tujuan pendidikan yang harus dicapai sekolah sesuai dengan kurikulum. Tujuan ini dapat dikemukakan dalam bentuk tujuan kognitif maupun non kognitif, tetapi juga dapat dibuat operasional dalam bentuk dan perilaku nyata.
2. Kemampuan sesuatu jenis sekolah untuk mencapai tujuan dapat diungkapkan dalam bentuk statistik deskriptif.[17]
Berdasarkan kedua hal di atas, maka untuk mengukur suatu prestasi, pertanyaan yang mula-mula muncul adalah sejauhmana capaian kognitif dan non kognitif yang diperoleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Adapun capaian kognitif dimaksud meliputi aspek pengenalan (recognition), aspek mengingat kembali (recal), dan aspek pemahaman (komprehension). Sedangkan capaian non kognitif meliputi aspek penerimaan, aspek sambutan, karakteristik, reaktif, interaktif, dan sebagainya.[18]
Selanjutnya untuk mengetahui hasil belajar siswa, maka digunakanlah penilaian sebagai bagian dari evaluasi. Sedangkan penilaian itu sendiri memiliki persyaratan khusus untuk dipenuhi, yaitu ; (1) validitas atau harus benar-benar dapat di ukur, (2) reliabilitas atau mempunyai ketetapan skor/hasil, (3) Objektivitas yaitu harus jelas, tegas, dan tanpa ada intervensi atau menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, (4) Efisien yaitu dapat digunakan dengan sedikit biaya, dalam waktu yang singkat, dan dengan hasil yang memuaskan, (5) Kegunaan/praktisan yaitu berguna bagi guru untuk memperoleh data tentang keadaan siswanya.[19]
Evaluasi atau penilaian merupakan salah satu komponen sistem pengajaran, yang tidak hanya terbatas pada upaya menentukan angka keberhasilan belajar. Namun yang tepenting dari pelaksanaan evaluasi adalah hasilnya sebagai umpan balik atau feed back dari proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Dari aspek psikologis, prestasi yang merupakan hasil belajar diukur melalui penilaian akan sangat berguna bagi pengembangan pendidikan anak itu sendiri. Sumadi Suryabrata mengemukakan penilaian prestasi akan sangat membantu dalam beberapa hal sebagai berikut :
(1) membantu guru dalam menilai readiness anak terhadap sesuatu pelajaran tertentu;
(2) mengetahui status anak di dalam kelasnya;
(3) membantu guru dalam menempatkan murid dalam suatu kelompok pelajar tertentu di dalam kelasnya; berdasarkan pada kesamaan kesukaran yang dihadapi atau kesamaan kemampuan dalam kecakapan-kecakapan tertentu;
(4) membantu guru di dalam usaha memperbaiki metode belajar dan mengajarnya;
(5) membantu guru dalam memberikan pengajaran tambahan atau pengajaran pembinaan.[20]
Dari kelima manfaat penilaian prestasi pendidikan di atas, nampak bahwa salah satu kegunaannya adalah membantu guru didalam memperbaiki metode belajar dan mengajar yang digunakan. Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa prestasi anak sebagai hasil belajar yang didapatkan melalui penilaian atau evaluasi akan sangat membantu guru untuk memperbaiki atau mengganti metode mengajar yang selama ini dilakukan.
2. Hal-hal yang mempengaruhi hasil belajar.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi hasil belajar sebagaimana uraian Sumadi Suryabrata terdiri atas:
a. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dan ini masih dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu : 1) Faktor-faktor non sosial, dan 2) faktor-faktor sosial.
b. Faktor –faktor yang berasal dari dalam diri si pelajar yang terdiri atas dua golongan yakni : 1) Faktor fisiologis, dan 2) faktor psikologis.[21]
Dalam pembahasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang akan menjadi fokus utamanya adalah faktor sosial anak didik sebagai faktor dari luar dirinya yang mempengaruhi hasil belajar. Upaya memfokuskan ini diharapkan dapat lebih memperkaya bahasan tentang faktor sosial yang searah dengan pembahasan dalam penelitian ini.
Sumadi Suryabrata mengemukakan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor sosial adalah faktor manusia (sesama manusia), baik manusia itu ada (hadir) maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan, dalam artian tidak secara langsung hadir dan mempengaruhi proses belajar. Faktor sosial dalam hal ini manusia yang cukup mempengaruhi adalah orang tua atau keluarga dekat sang anak. [22]
Mutu pendidikan mempunyai kaitan dengan kualitas lulusannya, sedangkan kualitas lulusan ditentukan oleh proses belajar. Prestasi belajar yang diraih mahasiswa setelah proses pembelajaran, mempunyai makna bagi mahasiswa bersangkutan maupun bagi lembaga pendidikan, karena prestasi belajar yang tinggi menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, sedangkan bagi lembaga pendidikan, prestasi belajar mahasiswa yang tinggi menunjukkan keberhasilan lembaga dalam proses pembelajaran.
Prestasi belajar mahasiswa dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Slameto (2003), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dibagi menjadi dua bagian utama, yang Pertama faktor internal yang mencakup faktor jasmaniah, intelegensi, motivasi, perhatian, minat, bakat, dan kesiapan. Kedua faktor eksternal yang terdiri dari faktor keluarga, masyarakat, metoda pembelajaran, kurikulum, sarana dan prasarana pembelajaran.[23]
Lebih jauh Nelda (2005), mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seorang mahasiswa baik dari internal maupun eksternal, seperti : (1) Kecerdasan emosional; (2) Minat dan bakat; (3) Metoda Pembelajaran; (4) Sarana dan prasarana; (5) Motivasi Berprestasi; (6) Cara belajar; (7) Kurikulum; dan (8) Kecerdasan Intelektual.
Sebagaimana telah disinggung pada bab I sebelumnya bahwa keberadaan orang tua sebagai pendidik pertama dan utama akan sangat mempengaruhi hasil belajar maupun kondisi pendidikan anak. Demikian halnya dengan starata pendidikan atau tingkat pendidikan orang tua akan sangat mempengaruhi cara pandangnya terhadap makna maupun konsep pendidikan bagi anak-anaknya. Pendidikan orang tua yang rendah tentu saja akan menjadi pembatas akan pengetahuannya terhadap pendidikan.
Pengalaman dalam pendidikan orang tua dapat saja menimbulkan sifat antipatik maupun sifat simpatiknya terhadap pendidikan. Dalam kaitan ini John Vaisey memberikan uraiannya bahwa seorang anak yang berasal dari keluarga dimana orang tuanya agak berpendidikan dan cukup berada, dan yang telah berhasil baik menamatkan sekolah, akan mengingini untuk melanjutkan sekolahnya dalam sistem pendidikan itu. Seorang anak yang berasal dari keluarga miskin dan buta huruf akan menjumpai kesulitan dalam tahun-tahun kehidupannya dalam sekolah dasar, dan akan menginginkan bolos sekolahan secepat mungkin, suatu keinginan yang akan didukung oleh keluarga dan latar belakang sosialnya.[24]
Pendapat John Vaisey tersebut dapat dikatakan belum tentu benar sepenuhnya. Karena dalam kenyataannya ada orang tua yang memiliki pendidikan yang rendah mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Namun demikian hal ini akan sangat berkaitan erat dengan cara pandang orang tua terhadap pendidikan. Pengalaman buruk pendidikan orang tua dapat saja menjadi motivasi yang sangat kuat untuk menyekolahkan anaknya, dan dapat pula justeru menyebabkannya antipati terhadap pendidikan.
[1] Jean Piaget, Psychology and Education Hadder and Staughton, (London, Sydney-Aucland, 1997), h. 29, lihat juga Ahmadi Abu dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 119
[2] Danial Lenox, Barlow, Educational Psyichology: The Teaching-Learning Proces (Chicago: The Moody Bible Institute, 1985), h. 82. Lihat Juga, Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 60
[3] Gagne dalam Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Cet. XV; Bangung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 84
[4] Ibid.
[5] I.P. Simandjuntak, Pengajaran Berhasil (Jakarta: yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975), h. 71
[6] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), h. 38
[7] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 50
[8] Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islami (Jakarta: Bumi, 1995), h. 269-270
[9] Departemen Agama, RI., al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: Surya Cipta Aksara, 1993), h. 14
[10] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), h. 178
[11]Al-Qur’an dan Terjemahnya
[12] Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Ed. 1, Cet. 9, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), h. 30
[14] Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawaty, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, (Bandung : Remaja Rosda Karya, Cet II 2001)., 4
[15] Pius. A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry Kamus Iliah Populer, ( Surabaya : Arkola, 1994) h. 623
13 Syaiful Bahri Djamara,Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, (Surabaya:Usaha Nasional,1994,h.19-20
[16] Oemar Malik, kurikulum dan pembelajaran, (Jakarta: bumi aksara, 2003) h. 159
[17] Tursten Husen, Masyarakat Belajar, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, t.th. ), h. 43
[18] Oemar Malik, Tekhnik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan, (Bandung: Mandar Maju, 1997)
[19] Oemar Malik, Kurikulum dan Pembelajaran,jakarta: bumi aksara 2003 h. 157
[20] Sumadi Suryabrata Psikologi Pendidikan ( Ed. I, cet. IX ; Jakarta : PT. RajaGrafinfo Persada, 1998) h. 299
[21] Ibid., h. 233
[22] Ibid., h. 234
[23] Slameto. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 17.
[24] Marwan Saridjo, op.cit
No comments:
Post a Comment