Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Saturday, June 11, 2011

Pergeseran Nilai Ajaran Islam Dan Adat Dalam Pelaksanaan Upacara Kematian Di Gorontalo


Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna “kontak” antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita. Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan dibeberapa daerah, misalkan ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi : hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut. Artinya hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Hubungan demikian terdapat juga di MinangKabau yang tercermin dalam pepatah : adat dan syara’sanda menyanda syara’ mengato adat memakai.[1]
Menurut Hamka makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat dengan hukum Islam (syara’) erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan bahwa adapt dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan atau memakai syara’ itu dalam masyarakat.[2] Dalam masyarakat muslim Sulawesi Selatan eratnya hubungan adat dengan hukum Islam dapat dilihat dalam ungkapan yang berbunyi, “ adat hula-hulaa to syaraa hula-hula to adati”. Artinya, kurang lebih, adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat. (Hubungan adat dan Islam erat juga di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan sinkritisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama didaerah pedesaan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa pada prinsipnya manusia mempunyai kesamaan-kesamaan oleh karena kodrat kemanusiaannya. Kesamaan-kesamaan inilah yang memungkinkan lahirnya adat istiadat dan kebudayaan sebagai suatu tatanan sosial yang dapat mempertahankan eksistensinya, bahkan dapat berkembang membangun pola hidup melalui kerja sama antar sesama manusia.
Dengan pengenalan dan penghayatan terhadap nilai-nilai adat istiadat dan kebudayaan terjalin interaksi sosial kebersamaan. Manusia dalam kehidupannya tidak mungkin dapat bertahan apabila memutuskan ikatan sosial.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Farabi, bahwa “manusia adalah makhluk sosial. Dia mempunyai kecenderungan alami untuk hidup bersama di dalam masyarakat, karena sebagai perorangan dia tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhannya sendiri”.[3]
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa manusia itu adalah makhluk sosial sehingga dia tidak bisa hidup sendiri.[4]
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka Tilaar menyimpulkan bahwa ada dua hal yang menyebabkan manusia tidak dapat bertahan dalam kehidupan sendiri yaitu :
  1. Manusia perlu kerja sama karena kebutuhan untuk melanjutkan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia.
  2. Manusia harus saling membantu menyediakan kebutuhan hidup untuk yang essensial seperti pendidikan, sandang dan pangan.[5]

Berangkat dari uraian-uraian tersebut, maka dapat diketahui bahwa masyarakat berbudaya adalah suatu masyarakat yang hidup secara bersama-sama membangun tatanan sosial yang adil dan beretika sesuai dengan nilai-nilai ideologi sebagai suatu kesepakatan bersama dan nilai-nilai religius.
Secara jelasnya pengertian masyarakat berbudaya adalah “masyarakat yang mengakui akan kebebasan individu untuk berkarya terlepas dari hegemoni negara dan menekankan kepada kebebasan individu yang bertanggung jawab”.[6]
Mencermati pengertian tersebut penulis berkesimpulan bahwa pada prinsipnya masyarakat berbudaya adalah masyarakat yang hidup secara bersama-sama dalam melakukan interaksi sosial membangun berbagai tatanan yang dapat membantu dirinya untuk mempertahankan dan melngsungkan hidupnya secara dinamis, kreatif dan inovatif. Dalam beraktivitas itulah dia melahirkan berbagai karya secara bebas dan bertanggung jawab, serta mengetahui batas-batas hak dan kewajiaban individualnya serta hak-hak orang lain. Bila dilihat dari tinjauan ajaran Islam, masyarakat berbudaya tersebut identik dengan penjelasan al-Qur’an dalam surat an-Nisa’ ayat 58 yaitu :
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[7]

Kata amanah dalam ayat tersebut oleh al-Maraghi dibagi ke dalam tiga bentuk yaitu :
1.       Amanat hamba dengan Rabb-nya, yaitu apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya untuk dipelihara, berupa melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya dan mendekatkannya kepada Rabb.
2.       Amanat hamba dengan sesama manusia; diantaranya adalah mengembali-kan titipan kepada pemiliknya, tidak manipu, menjaga rahasia dan lain sebagainya yang wajib dilakukan terhadap keluarga, kaum kerabat, manusia pada umumnya dan pemerintah.
3.       Amanat manusia terhadap dirinya sendiri, seperti halnya memilih yang paling pantas dan bermanfaat baginya dalam masalah agama dan dunianya, tidak langsung mengerjakan hal yang berbahaya baginya di akhirat dan dunia.[8]

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, penulis berasumsi bahwa masyarakat berbudaya sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, dalam Islam dikenal dengan masyarakat yang dapat menunaikan beberapa amanah baik itu amanah kepada Allah, amanah kepada sesama manusia dan alam sekitar maupun amanah terhadap diri sendiri.
Ketika amanah itu dapat terlaksana dengan baik, maka pelanggaran hak azasi manusia serta berbagai praktek semacamnya dengan sendirinya akan hilang. Dan pada saat itulah muncul suatu masyarakat dengan tatanan nilai-nilai religius yang dapat membentuk interaksi sosial secara baik sebagai wujud masyarakat berbudaya.
            Havighurst dan Neugarten mengemukakan pengertian tentang kebudayaan yang meliputi etika, bahasa, makanan , kepercayaan, terhadap agama, pengetahuan, sikap dan nilai-niali yang merupakan hasil karya manusia seperti halnya bermacam-macam benda termasuk didalamnya alat-alat teknologi, dikatakan pula bahwa kebudayaan merupakan contoh atau pola dari way of life suatu masyarakat.[9]
Kebudayaan adalah suatu fenomena universal. Setiap masyarakat-bangsa di dunia ini memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda dari masyarakat-bangsa yang satu ke masyarakat-bangsa yang lainnya. Sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, manusia adalah makhluk pencipta sekaligus sebagai pendukung kebudayaan itu sendiri.[10] Kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat.[11]
Dalam konteks ini, menurut Keesing, sebagaimana dikutip oleh Saifuddin, paling tidak terdapat 4 pendekatan dalam memahami persoalan kebudayaan. Pertama, memahami kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari yang dari fungsinya adalah menyesuaikan masyarakat dengan lingkungan. Kedua, memandang kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan yang diteliti. Ketiga, memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia. Keempat, memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi dan bersifat publik. [12]
Sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang saling berinteraksi dalam suatu sistem sosial, kebudayaan bersifat lebih konkret, dapat diamati dan diobservasi. Aktivitas manusia yang berinteraksi itu bisa ditata oleh gagasan-gagasan dari tema-tema berpikir yang ada dalam benaknya. Namun yang lebih penting dari semua itu adalah pemahaman nilai-nilai dan makna suatu kebudayaan yang telah dihasilkan dari cipta, karya, dan karsa manusia itu sendiri.
Keaneka-ragaman budaya yang ada pada masyarakat Indonesia sangat banyak dan menarik untuk diamati dan diteliti, karena didalamnya terkandung makna dan nilai-nilai berharga yang disampaikan secara khas dan unik lewat simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
            Karena kebudayaan merupakan aspek moral, kebiasaan, kepercayaan tentunya memiliki niali-nilai pendidikan. Khusunya nilai-nilai pendidikan agama Islam. Hal ini dapat dipahami bahwa agama sebagai sumber kebudayaan yang maksudnya adalah bahwa pola-pola tingkah laku manusia termasuk cara berpakaian, cara bergaul dan sebagainya yang dilakukan oleh umat beragama yang menjadikan masyarakat itu mempunyai ciri tertentu. [13]
            Oleh karena itu kondisi sosial budaya yang tertuang dalam satu kebudayaan denagn ciri-ciri khusus menjadi sebuah realitas hidup dan demi eksistensi kemanusiaan. Realitas ini seyogyanya dinilai dan dipahami dalam kerangka relasi dengan kehidupan masyarakat tersebut.
Alam yang tampak tidak berubah, ternyata mendapatkan sosol dan wajah baru oleh usaha belajarnya manusia. Ditengan proses belajarnya manusia itu alam menjadi objek yang diubah dan diberi arti serta bentuk baru oleh tangan manusia menjadi produk budaya, karena itu kebudayaan merupakan sesuatu yang dipelajari oleh anak manusia.
            G.A. Van Peursen menyebutkan bahwa seluruh kebudayaan manusia itu dapat diartikan sebagai proses belajar.[14]
            Semua ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu bertumpuh pada pengalaman-pengalaman generasi terdahulu. Maka transmisi kultural melalui kegiatan belajar sebagian besar terjadi dan berlangsung transfer dari pewarisan sosio-budaya diluar hereditas biologis untuk memberikan bentuk-bentuk baru pada sumber kekayaan alam.
            Proses sebagaimana yang diungkapkan di atas  dapat disebut sebagai kebudayaan dan pada intinya merupakan proses belajarnya manusia dan proses tranpormasi berkesinambungan terhadap alam. Semua ini terjadi berkat rasio manusia selaku “animal simbolicum”. Yang memakai simbol-simbol abstraksi untuk mengubah isi alam dan memperkaya dunia.[15]
Oleh sebab itu budaya memberikan pengaruh-pengaruh tertentu pada manusia itu sendiri. Adapun pengaruh-pengaruh yang dapat diberikan oleh kebudayaan itu sendiri antara lain adalah :
1.     Pengaruh regulatif
2.     Kesinambungan hayati
3.     Pengerahan pada kehidupan jiwa anak dan orang dewasa.
Dengan demikian keterlibatan manusia dengan satu pola budaya yang dianggap teratur, tertib dan kokoh memberikan rasa aman pada dirinya dan akhirnya merupakan bentuk sosialisasi kemanusiaan lewat proses belajar dan pendidikan dengan mengandung nilai-nilai bahwa manusia senantiasa menyadari misi hidupnya dan terus menerus belajar dengan mewarisi budaya-budaya lama sekaligus membuat budaya baru.


[1] Hamka,  Sejarah Umat Islam (Jakarta:  Bulan Bintang, 1976), h. 10.

[2] Ibid, h. 10
[3] Muhammad Azhar, Filsafat Politik, Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Bandung: Remaja Rosda Karya.1996), h. 76

[4] Dagobert D. Runes, Treasure of World Philosophy (t.tp., 1959), h. 38

[5] H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 152

[6] Ibid., h.  158
[7] Departemen Agama, RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta; Surya Cipta Aksara, 1993), h.  128

[8] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Juz V (Cet. I; Semarang: Toha Putera, 1986), h. 116.

[9] Havighurst dan Neugarten, Society and educatian (USA, Allyn And Bacond, 1964) h. 9

[10] Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 87

[11] Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 82

[12] Ibid, h. 83-84

[13] Abdul Manan, op.cit h. 159

[14] Kartini Kartono  op.cit h. 290.

[15] Ibid

No comments:

Post a Comment