Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Monday, June 6, 2011

Dimensi Eksistensi Manusia Dalam Seni, Ilmu, Filsafat, Dan Agama

Oleh : Abd. Rauf Mayang
A. Pengantar
Eksistensi manusia dalam berbagai dimensi perlu dikenali  batas-batasnya. Hal demikian perlu, karena secara tidak  langsung menyoal kita sendiri. Kita  butuh  referensi mengenai itu.
Namun, penulis menyadari bahwa materi yang dihadirkan tak begitu  “refleksif”, sehingga tidak  dapat  diandalkan. Tulisan ini memang tidak dibangun dengan metode  secara sistematis, sehingga tidak merupakan keseluruhan yang unsur-unsurnya berhubungan satu sama lain secara kental.
Ketidaklengkapan materi ini sekaligus untuk mengajak pembaca menggali dari bahan yang lain.
B. Eksistensi Manusia Dalam Seni
Banyak definisi tentang seni pernah didengungkan. Diantaranya hanya menunjukkan perbedaan peristilahan, di antara  yang lain tampak memperlihatkan  pertentangan. Namun, seperti yang ditunjukkan Morris Weitz dalam Philosophy of the Arts (1950 : 2), berbagai perselisihan yang sia-sia dapat dihindari jika cap estetika  tidak ditempelkan pada satu potong dari seluruh tubuh seni, tetapi dipakai secara terpisah sebagai unsur pokok dari proses penciptaan, benda estetis, dan pengalaman estetis. Dalam  bukunya An Introduction to Aesthetics  (London,  1949), Profesor  E.F. Carrit mengutip pendapat sekitar 40 ahli  estetika yang representatif, yang mengungkapkan bahwa seni, sebagai proses kreatif adalah dari suasana hati, perasaan dan jiwa. Jadi Seni adalah ungkapan atau jiwa, perasaan, dan suasana hati yang diungkapkan.
Seniman bukan mengungkapkan perasaannya sendiri tapi apa yang  ia ketahui tentang perasaan manusia
Ungkapan perasaan tidak selalu ungkapan artistik. Ungkapan  artistik  bersumber  dari kualitas, citra  jiwa,  atau intisari  perasaan  atau  usaha sepenuhnya  untuk  membuat obyek bernilai ungkap.  Dengan demikian obyek  yang  seluruhnya  tidak bersifat ungkap tidak bisa disebut karya seni. Karena  pengertian ungkapan, seperti yang dipakai dalam pembicaraan estetika sangat terbuka bagi berbagai penafsiran dan salahpaham, maka istilah itu menjadi pokok pembicaraan dalam kritik; tetapi kritik ini dapat dipertemukan dengan uraian pengertian yang lebih tepat.
Seni adalah ungkapan atau perwujudan nilai-nilai.Karya seni itu bukanlah sekadar laporan tentang fakta-fakta melainkan proyeksi dari inspirasi, emosi, preferensi, apresiasi atau kesadaran akan nilai dari pembuatnya (seniman). Seni adalah bahasa spiritual yang mengungkapkan penilaian,  lebih daripada memformulasikan deskripsi-deskripsi objektif
Nilai adalah kualitas yang membangkitkan apresiasi. Seni  sebagai ungkapan nilai, terbit dari sikap  penghargaan.  Ia tidak hanya mencerminkan keadaan sekedar apa adanya tapi memilih, mengurangi dan mempertajam.
Nilai berbeda dengan fakta, sering semata-mata bersifat  khayali. Dan  lewat seni, nilai memperoleh semacam kenyataan  sosial  yang berbeda dari kenyataan ilmu.
Nilai  diungkapkan dalam kegiatan kreatif seniman dan bertujuan menciptakan sebab-sebab nyata untuk apresiasi. Seniman menyampaikan sikap penilaiannya dengan karya-karyanya pada orang lain. Masalah bagi seniman adalah bagaimana menemukan kualitas dan bentuk-bentuk objektif yang dapat menggerakkan penanggap mendapati nilai-nilai yang ingin ia wujudkan dalam karya. Jika ia berhasil mengerjakan ini, maka ia telah mengungkapkan nilai-nilai.
Bagi penanggap, karya seni dipandang terdiri dari deretan  bentuk perlambang yang harus ditafsirkan. Masalahnya, bagaimana membekali diri dengan kesadaran akan nilai-nilai yang dapat menghubungkan dirinya dengan deretan bentuk perlambang itu. Tergantung kepadanya apakah karya seni  itu menghidupkan imajinasinya ataukah tinggal diam tak berbicara apa-apa. Ia harus membangkitkan dalam dirinya sikap yang sesuai sehingga ia mendapati nilai-nilai yang diwujudkan oleh seniman. Jika ia berhasil melakukan ini iapun mengungkap nilai-nilai dalam kontemplasi
C. Eksistensi Manusia Dalam Ilmu
Jika  Seni  merupakan  perwujudan  nilai-nilai   yang berkaitan  dengan  jiwa , maka ilmu  lebih  bergelut  dengan fakta-fakta  dan berurusan dengan akal yang mengarahkan  dan membelokkan jiwa kepada hakikat benda.
Ciri  khas ilmu pengetahuan adalah  mencari  hubungan gejala-gejala  yang faktawi. Ia tidak puas menyatakan  benar sesuatu itu apa; begini dan begitu. Ia ingin tahu apa sebab­nya  sesuatu itu ada. Pengetahuan ilmiah  mencoba  menginte­grasikan yang terpotong-potong dalam pengetahuan pra  ilmiah pada  kesatuan. Dalam mencapai pengertian  ilmu  pengetahuan maju  secara  sistematis. Ia tidak  bersifat  menunggu  saja seolah-olah pada waktunya dan dalam situasi tertentu  terang pengetahuan akan menyingsing dengan sendirinya. Ilmu  penge­tahuan  harus mengusahakan pengertian melalui  penyelidikan. Ilmuwan  tidak akan menerima sesuatu apapun  sebagai  fakta dan kebenaran kalau sebabnya atau sumbernya tidak  diketahui dan dipertanggungjawabkan. Dengan demikian bahaya kekeliruan atau  ketidakbenaran dapat agak dikurangi. Ilmuwan  bersikap kritis.  Sekalipun demikian ia tidak kebal terhadap  kekeli­ruan dan kesesatan. Hanya dapat dikatakan bahwa pengetahuan­nya jauh lebih kokoh dan lebih dapat diandalkan.
Ketidaktahuan manusia untuk sebagian besar dilengkapi oleh  ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan  masih  juga mempunyai kekurangan dan keterbatasan, dan karena itu  tidak juga memuaskan
Cara  ilmu  berkiprah metodiknya  tidak  memungkinkan untuk meneropongi serentak seluruh realitas dalam totalitas­nya.  Walaupun  ilmu pengetahuan mencari  pengertian  dengan menerobos realitas sendiri, pengertian ini hanya dicari pada tataran empiris dan eksperimental. Maksudnya, ilmu  pengeta­huan membatasi kegiatannya hanya pada fenomen-fenomen yang – entah  langsung  atau  tidak – dapat  dicerap  oleh  indera. Tambahan pula, ilmu pengetahuan hanya meneliti dan  mempela­jari salah satu sektor tertentu dari seluruh realitas.  Cara kerjanya (terpaksa) fragmentaris atau terbagi-bagi. Fragmen­tarisme ini mudah menyebabkan bahwa orang tidak lagi melihat keseluruhan atau totalitas, dan perkaitan antara dia  dengan realitas.  Muncul  bahaya sikap berat sebelah.  orang  hanya tahu lorongnya sendiri. Dunianya kecil sekali. Padahal tiap-tiap  orang  sebetulnya menginginkan  dan  menghasratkan  di dalam  hatinya kesatuan dan sintesa. Dengan kata  lain  ilmu pengetahuan  tidak  menerobos sampai ke inti  obyeknya  yang sama  sekali tersembunyi dari observasi. Ia  tidak  menjawab perihal kausalitas yang paling dalam. Jika kita  mempelajari ilmu,  akan masih tertinggal beraneka ragam pertanyaan  yang bersifat  mendasar,  namun tidak termasuk ke  dalam  tataran empiris dan eksperimental. Kita “tahu” atau sekurang-kurang­nya merasakan adanya lapisan lebih dalam yang dapat  digali. Kita belum mencapai pengertian fundamental.
Adakalanya  kita  mendengar orang  mengatakan  bahwa cara bernalar dan mencari fakta oleh ilmu pengetahuan lebih banyak bersifat sentrifugal, artinya menjauh dari manusia itu sendiri beserta persoalan-persoalan  pribadinya,  daripada sentripetal, artinya memusat atau mendekati manusia  konkret atau “sang aku”. Persoalan-persoalan ilmu pengetahuan terla­lu  umum  dan  tidak mengena pada diri  pribadi  orang,  dan karena itu tidak mempunyai cukup kedalaman. Orang individual tidak  dihampirinya sebagai seorang “aku” melainkan  sebagai “dia” atau “manusia” saja
Karl  Jasper  menyebutkan  bahwa  iIlmu  pengetahuan adalah pengetahuan fakta dan bukan pengetahuan realitas yang asli,  yang menghasilkan suatu ikhtisar dan  pandangan  yang menyeluruh  dan meliputi keseluruhan realitas pada  dirinya. Padahal keseluruhan itu menjadi ruang hayat manusia.
Ilmu  tidak menyediakan cita-cita  yang  menggiurkan hati,  tidak  memberikan kaidah-kaidah mutlak  dan  bersifat mengikat demi tercapainya tujuan kehidupan yang ingin  dica­pai seseorang oleh dirinyanya pribadi, dan akhirnya  mungkin menjauhkan  dirinya dari masalah makna segala-galanya,  yang justru lebih dipentingkan orang. Sebab, setiap kali  manusia belajar atau menemukan sesuatu, ia ingin mencari lebih jauh lagi  dan  bertanya-tanya terus sampai saat  ia  mendapatkan jawaban mengenai “sebab terakhir”, yang menyingkapkan adanya semua  yang ada dan sekaligus menampakkan  bobot  sebenarnya dari semua yang ada.
D. Eksistensi Manusia Dalam Filsafat
Karl  Jasper mendukung gagasan, bahwa  semua  perta­nyaan  dan  persoalan yang berkaitan dengan  hidup  manusia, memakai  “aku”  sebagai pokok kalimat dan  ditelusuri  serta diselami sampai pada ke akarnya.
Jika kita disadarkan akan fakta-fakta ini dan menem­ukan  bahwa, kendatipun pengetahuan kita lebih  maju,  masih tertinggal suatu ketidaktahuan, pintu menjadi terbuka  untuk menggali  suatu lapisan mengenal yang berikut, yaitu  filsa­fat.
Filsafat merupakan pemikiran sedalam-dalamnya tentang semua hal yang bersentuhan dengan manusia dan – bagaimanapun juga caranya – bersangkut paut dengan dia dan hidupnya. Jadi filsafat akan berurusan dengan benda-benda, situasi-situasi, pertanyaan  dan masalah yang sebelumnya telah dijumpai  baik di tingkat pengetahuan pra-ilmiah maupun di tingkat pengeta­huan  ilmiah,  namun kali ini diselami ke dasar  yang  lebih dalam.
Sudah  barang tentu pertanyaan yang paling akhir  dan paling mendasar, sehingga semua pertanyaan lain tersirat  di dalamnya  dan dirumuskan kembali, ialah : “apa  makna  kehi- dupan? Saya tidak pernah meminta hidup, tapi satu kali  saya hidup, apa yang harus saya buat?”
Filsafat  sebetulnya  mencari  suatu  citra  manusia, yaitu  suatu  visi tertentu atas hidup manusia,  yang  dapat dipertanggungjawabkan,  yang dapat berperan menjadi  pedoman yang  bersifat  mengikat dan  mengarahkan  bagi  keseluruhan sikap  hidupnya.  Visi itu harus  menjuruskan  dan  menjiwai tingkah  lakunya. Jadi tujuan filsafat bukanlah  pengetahuan demi pengetahuan. Manusia membutuhkan suatu visi atas  hidup yang benar-benar berakar dan berbobot, supaya dengan  berpi­jak  pada  hal  tersebut ia tahu  bagaimana  membentuk  diri seperti semestinya, apa yang dapat diharapkannya untuk  masa yang  akan  datang, dan dimana ia harus  mencari  kebulatan, keutuhan,  dan kesempurnaan hidup sebagai manusia, dan  aki­batnya,  di mana ia akan dapat menemukan kebahagiaan  (kalau kebahagiaan  itu ada). Jadi berfilsafat mempunyai  orientasi praktis,  namun harus bertumpu pada citra manusia yang  ber­tanggungjawab  dan suatu pandangan atas manusia yang  berda­sar. Itulah yang harus dicita-citakan.
Konsekuensi lain adalah bahwa orang yang  berfilsafat harus  selektif dalam usahanya. Hendaknya ia  hanya  memilih pokok-pokok  yang aktual untuk dirinya pribadi dan  menjamin suatu  pengertian yang lebih baik akan dirinya,  atau  seku­rang-kurangnya memberi harapan untuk itu. Dengan kata  lain, semua pertanyaan yang tidak membuat dia sibuk dengan dirinya sendiri harus dikesampingkan. Maka berfilsafat berarti suatu kegiatan dimana orang bersibuk dengan dirinya sendiri  dalam pikiran dan pengetahuan.
Hal  berfilsafat adalah kegiatan dan  kesibukan  yang khusus  dan tersendiri. Berfilsafat adalah  sedemikian  rupa bersibuk dengan diri sendiri dalam pikiran, sehingga  segala kesibukan  lain dan apa yang terjalin dengan  diikutsertakan  ke dalamnya, kemudian diperdalam olehnya, dan  dipertimbang­kan nilainya. Hal ini tidak boleh disimpulkan bahwa filsafat itu mengurungkan manusia ke dalam diri sendiri dan mencerai­kan dia dari hidup biasa. Justru kebalikannya yang  terjadi. Filsafat  berhasrat agar manusia makin mengenal diri  dengan lebih  baik sebagaimnana ia nyata adanya. Dengan  kata  lain segala  hal  yang menyangkut “aku” dengan  permasalahan  dan kemungkinannya harus dimasukkan dalam permenungannya.  Sean­dainya tidak begitu, pemikiran filsafat tidak akan mempunyai relevansi atau sedikit sajalah artinya.
Filsafat justru bermaksud agar “aku” mengenal kembali dirinya  dalam semuanya yang diajarkan mengenai hidup  manu­sia.  Olehnya  hidup  itu hendak  ditingkatkan  sampai  pada tatanan  yang lebih manusiawi dan asli. Makanya  boleh  kita mengatakan bahwa filsafat hendaknya menjadi bentuk  pengena­lan  diri. Terutama sekali, di waktu sekarang  banyak  orang ditatar menjadi lebih pandai di bidang khusus mereka masing-masing, filsafat semakin dibutuhkan, sebab olehnya diberikan suatu pemandangan yang merangkum seluruh diri manusia.
Romano  Guardini  (1885-1968)  seorang  filsuf-teolog  terkenal,  dalam  bukunya “Mein Ich und das  Gute”  menyebut sebagai bahaya sangkaan banyak orang bahwa, setelah  menjadi dewasa,  mereka tidak perlu dibimbing dan dibina lebih  lan­jut.  Hanya efesiensi mereka perlu ditingkatkan.  Untuk  itu diperlukan sejumlah pengetahuan baru ad hoc. Akibatnya ialah bahwa mereka mengalami suatu kemiskinan mental, yang membuat mereka  tidak  berdaya terhadap setiap pengaruh  dari  luar. Mereka tidak mampu membentuk sikap dan pendirian yang bersi­fat pribadi. Sekalipun mereka pandai di bidang  profesional, dan  penuh  kepastian, mereka berdiri  di  kancah  kehidupan dengan ragu-ragu dan tanpa arah (mungkin, korupsi dan oppor­tunisme yang melanda masyarakat kita dapat diasalkan  kepada tiadanya  pegangan yang sungguh-sungguh  dihayati).  Menurut Guardini,  manusia  harus  dihadapkan  dengan  diri  sendiri berulang-ulang.  Ia  sendiri harus mencari  dan  menyelidiki semua  kemungkinan  yang nampak terbuka bagi dia.  Ia  harus memeriksa  sendiri arti sebenarnya dari kebebasan dan  tang­gungjawabnya, sebab hanya demikianlah ia akan mampu  menemu­kan  jalan  yang  benar di suatu dunia  yang  serba  berubah dengan pesat, dan menyesuaikan diri secara  bertanggungjawab dengan suatu zaman teknologi, dimana efesiensi lebih  tinggi memang dituntut sebagai prasyarat.
Jadi,  kita  tak  boleh menilai  filsafat  dari  segi kegunaannya  yang  praktis. Kita  tidak  boleh  mengharapkan suatu  teknik atau keterampilan daripadanya. Filsafat  tidak bersifat “pragmatis” atau “utilitaristis”. Ia tidak  menjan­jikan  keuntungan  yang bersifat kebendaan. Ia  tidak  dapat membanggakan  penemuan-penemuan  di bidang  teknologi  untuk membuktikan  keunggulannya. Ia sama sekali berdiri  di  luar kategori “yang berguna”, dan karenanya memang tidak  menarik bagi  orang  yang berkejangkitan aspirasi  material  melulu. Nilainya  tidak dapat diukur secara kuantitatif -  “hasilnya berapa?”  – tetapi berkaitan dengan kualitas  hidup.  Itulah yang dipentingkan
Oleh karena filsafat mencari “yang paling dalam”  dan “yang paling dasar”, ia melampaui pengertian yang dihasilkan  ilmu  pengetahuan. Keuntungannya ialah bahwa ia lebih  dapat memperlihatkan saling hubungan antara segala-galanya.  Sebab pada inti realitas yang terdalam, semuanya bersentuhan  satu sama lain.
Kalau kita berfilsafat sendiri, atau membaca sumbangan pikiran orang lain, kita harus selalu melibatkan diri secara pribadi,  dan berminat dari dalam inti diri  kita.  Bukanlah “manusia”  pada  umumnya atau “manusia dalam  arti  abstrak” yang  kita  renungkan, tetapi “manusia ini” atau  “aku  ini” yang  konkret.  Maka semua yang dikatakan,  perlu  kita  uji dengan  berpedoman  pada  kadar kebenaran  yang  kita  alami sendiri. Kita harus menyambung pada pengalaman pribadi kita. Kita  harus mengolah kesemuanya secara pribadi, dan  seolah-olah menerjemahkan ke dalam bahasa kita sendiri. Kita  harus menerapkan  semua  pada situasi kita. Tidak ada  orang  yang lebih berwenang di bidang hidup pribadi kecuali aku sendiri.
E. Eksistensi Manusia Dalam Agama
Sekalipun  telah disebutkan bahwa  filsafat  berupaya mencari  “dasar yang paling dalam”, ia ternyata  tidak  akan pernah bertemu dengan “kata akhir”.
Orang berfilsafat yang telah mencapai batas kemampuan pikirannya dalam merenungkan hidup sebagai manusia  ternyata masih  meninggalkan sejumlah pertanyaan yang tak  terjangkau akalnya.
Jika  seseorang beragama, maka ia akan tahu dan  per­caya  bahwa  Allah  juga telah  berfirman  dan  menyampaikan paham-Nya  tentang  hidup manusia. Kebutaannya  membuat  dia bertanya kepada Allah. Ia hadapkan dirinya pada Tuhannya. Ia pertanyakan ketidaktahuannya. Di sini kita menemukan kemung­kinan  terakhir untuk meredakan ketegangan antara  tahu  dan tidak tahu.
Filsafat  dan Agama merupakan dua jalan  yang  saling berhubungan erat menuju pengenalan diri. Orang beragama yang berfilsafat  tentang diri sendiri dan bertatap  muka  dengan banyak soal yang tidak terjawab olehnya, akan menyerahkannya pada Teologi, atau meninjau dirinya kembali di bawah sorotan cahaya  Wahyu  Illahi.  Kalau filsafat  telah  mengubah  dia menjadi  “orang yang bertanya-tanya”,  sapaan  Tuhan  akan diberi arti lebih besar, yakni sebagai bantuan bagi  manusia yang bertanya. Kalau dia bukan “orang yang bertanya-tanya di hadapan  Allah, Tuhan dan sapaanya-Nya tidak  akan  dianggap kenyataan yang hidup.
Semakin seseorang di bawah pengaruh pemikiran  filsa­fatnya  mengenal diri sebagai manusia, semakin  dia  menjadi “orang  beriman”.  Di pihak lain,  kalau  seseorang  sungguh beriman dalam artikata religius, dan memikirkan serta  mere­nungkan hidupnya sebagai manusia, maka dengan sendirinya  ia akan memperhitungkan masukan agamanya, berupa pandangan atas hidup. Itu sesuatu yang logis. Sebab filsafat adalah  berna­larnya  manusia atas dirinya sebagaimana adanya. Jadi  kalau dia  beriman, ia tidak boleh melepaskan iman dalam  tinjauan dan permenungannya.  Orang beriman percaya bahwa justru yang difirmankan Allah dapat dan harus menjadi modal pikiran yang bernilai. Hidup beriman akan memberi suatu pengarahan kepada filsafatnya  dan  menghadapkan  dia  secara  lebih  intensif dengan masalah-masalah tertentu. Sebab, sebagai orang  beri­man ia merenungkan hidupnya sebagai manusia.

No comments:

Post a Comment