Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Saturday, June 11, 2011

Hakikat Perkawinan di Bawah Umur


Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang pada umumnya berasal dari lingkungan yang berbeda terutama dari lingkungan keluarga asalnnya, kemudia mengikatkan diri untuk mencapai tujuan keluarga yang kekal dan bahagia. Maka dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan berlakunya secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yaitu sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang NO. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mana dalam pasal1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarka Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]  

Kedewasaan dalam hal fisik dan rohani dalam perkawinan merupakan dasar untuk mencapai tujuan dan cita-cita dari perkawinan, walaupun demikian masih banyak juga anggota masyarakat yang kurang memperhatikan atau menyadarinya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh lingkunngan dan perkembangan social yang tidak memadai. Perkawinan tersebut harus ada persetujuan, dari kedua belah pihak calon mempelai secara sukarela tanpa ada paksaan dari pihak lain. Hal ini demi kebahagiaan hidup yang diinginkan dalam perkawinan tersebut.
Definisi perkawinan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam berumah tangga.[2]
Segala sesuatu yang akan dilaksanakan perlu direncanakan dahulu agar membuahkan hasil yang baik, demikian pula dengan hidup berkeluarga (perkawinan). Salah satu yang perlu direncanakan sebelum berkeluarga atau menikah adalah berapa usia yang pantas bagi seorang pria maupun seorang wanita untuk melangsungkan pernikahan.
Menurut ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 “bahwa perkawinan itu hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun dalam ketentuan ayat (2) undang-undang No. 1 tahun 1974 menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Dengan demikian perkawinan usia muda ini adalah perkawinan yang para pihaknya masih realitf muda. Dengan demikian yang dimaksud dengan perkawinan usia dini dalam penelitian ini adalah sebagaimana disebut dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang No. tahun 1974, dengan demikian perkawinan usia dini ini adalah perkawinan yang para pihaknya masih sangat muda dan belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam melakukan perkawinan. Sebagaimana telah diketahui bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang pada umumnya berasal dari lingkungan yang berbeda terutama dari lingkungan keluarga asalnya, kemudian mengikatkan diri untuk mencapai tujuan keluarga yang kekal dan bahagia. Secara umum tidak ada seorangpun yang menginginkan perkawinannya berakhir dengan suatu perceraian, namun demikian sering kali lingkungan yang berbeda, serta perbedaan-perbedaan yang lain sifatnya pribadi mengakibatkan perkawinan tidak bisa dipertahankan keutuhannya.
Dalam membina kelangsungan suatu perkawinan diperlukan kasih sayang, persesuaian pendapat dan pandangan hidup, seia dan sekata, bersatu dalam tujuan, sehingga perbedaan pendapat lainnya sering menimbulkan kerenggangan, kejenuhan, kebosanan bahkan ketegangan.
Disamping hal tersebut di atas sering pula tujuan perkawinan tidak dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita yang diimpikan sewaktu mereka belum melangsungkan perkawinan sehingga mengakibatkan timbulnya ketegangan sampai pada permusuhan sehingga keutuhan rumah tangga (perkawinan) tidak dapat dipertahankan lagi. Maka untuk mempertahankan suatu perkawinan agar perkawinan tersebut bisa kekal dan bahagia diperlukan persiapan yang sangat matang dari kedua calon mempelai baik fisik maupun mental, sehingga mereka menjadi suami istri dengan mudah mendapatkan suatu bentuk persesuaian pendapat dalam mencapai tujuan yang dicita-citkan dalam suatu perkawinan. Dengan demikian terjadinya perkawinan itu diharapkan agar didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu atau garis orang tua. Adanya silsilah yang menggantikan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat adalah merupakan barometer dari asal usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang sakinah, sejahtera, selama-lamanya berdasarkan Ketuhanan Yanga Maha Esa. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Setiap orang menginginkan terciptanya tujuan perkawinan tersebut, dalam memperoleh keselamatan hidup dunia dan akhirat.
Dari keluarga sakinah inilah kelak akan terwujud masyarakat yang rukun, damai dan makmur baik material dan spiritual. Bahkan menjadi cita-cita dan tujuan pembangunan nasional yang sedang dan akan terus dilaksanakan pemerintah dan rakyat Indonesia. Agar cita-cita dan tujuan tersebut dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya maka suami isteri yang memegang peranan utama dalam mewujudkan keluarga sakinah.
Namun dalam kenyataan peranan suami isteri tidak terlepas dari ujian dan tidak sedikit yang tergoyahkan atau bahkan mengalami kehancuran rumah tangganya. Setiap bulan perceraian cenderung selalu terjadi. Ini bisa diamati dari putusan atau penetapan perceraian yang didaftarkan di Kantor Urusan Agama. Informasi di media massa atau media cetak dapat kita baca setiap hari peristiwa  terjadinya keluarga bermasalah dan tentunya masih banyak lagi peristiwa itu yang tidak terekspos. Tujuan perkawinan pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subyektif (menurut pandangan sendiri). Namun demikian, ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang melakukan perkawinan.
Di dunia yang serba modern ini, banyak orang yang sudah tidak memperdulikan lagi upaya mempersiapkan diri dan cara memilih seseoranng yang akan dijadikan pendamping hidupnya, yang sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam. Padahal ini sangat penting, sebab ketenangan , kesejahteraan dan ketentraman hidup dalam keluarga sangat bergantung pada sejauh mana kesiapan dan cara memilih pasangan hidup. Apabila dalam hal ini terjadi kesalahan dan kekeliruan, maka tidak mustahil dalam perkawinan tersebut akan menimbulkan malapetaka dan kehancuram.
Dari hasil penelitian BP4 pusat Jakarta pada tahun 2004 didapatkan bahwa banyak sekali permasalahan yang terjadi dalam keluarga disebabkan antara suami dan isteri tidak mendapatkan kesepahaman dalam membentuk keluarga. Akibatnya keretakan dalam rumah tangga tangga sering terjadi karena dipicu oleh faktor ketidak sepahaman tersebut. Ketidak sepahaman yang dimaksud adalah perencanaan pembentukan keluarga yang matang antara calon suami dan isteri dari memilih dan menentukan jodoh, pembagian peran dalam rumah tangga sampai pada perencanaan masa depan untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman dalam berkeluarga.[3]
Oleh karenanya perkawinan bagi setiap manusia menurut ajaran Islam bukan saja sangat dianjurkan manakala sudak memenuhi persyaratan. Tapi juga penuh dengan tuntunan yang diharapkan dapat menjadi jalan lurus menuju pembentukan keluarga yang diharapkan. Di samping itu perkawinan juga merupakan naluri manusia dan sebagai sunnah demi mempertahankan keturunan. Kalau bukan karena syahwat yang menggelora di dalam diri setiap laki-laki dan perempuan, maka siapa pun tidak akan berfikir untuk menikah.[4] Islam senantiasa mengingatkan agar sebelum melaksanakan perkawinan hendaknya berhati-hati dan memperhatikan petunjuk-petunjuk yang benar, untuk mewujudkan perkawinan yang sakinah dan diridhai Allah Swt. Pembentukan keluarga yang tentram dan sejahtera diatur pula dalam pemdidikan Islam. Istilah yang sering dipakai dalam kasus ini adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Islam mengatur dalam mencapai kehidupan keluarga yang tentram dan sejahtera, dengan memperhatikan kesamaan dan kesepadanan calon suami atau isteri atau dikenal dengan kafa’ah perkawinan. Hal ini menjadi sangat penting, sebab ukuran seseorang dapat menjalankan kehidupan berkeluarga yangs sesuai dengan ajaran dan tuntunan Islam adalah dengan memenuhi kesepadanan (kafa’ah) yang diatur dalam perkawinan sebagai pintu gerbang kehidupan berkeluarga.[5]
Sebagaimana dipahami bahwa perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Perkawinan, selain sebagai salah satu sarana yang disediakan Allah kepada umatNya untuk saling kenal mengenal dan meneruskan keturunan, juga memiliki banyak fungsi yang memberi efek sosial di dalam masyarakat diantaranya sebagai media untuk penyebaran dakwah Islamiyah. Contoh paling dekat yang bisa dikedepankan dalam hal ini adalah perkawinan Rasulullah Saw dengan isteri-isterinya yang kalau diteliti lebih jauh akan ditemukan adanya unsur dakwah di dalamnya. Dengan adanya unsur Al-Mawaddah dan Al-Rahmah dalam perkawinan akan menyebabkan realisasi antar manusia itu semakin intens dan akan memudahkan terjadinya internalisasi nilai-nilai posotif keagamaan dan karenanya dakwah menemukan jalannya melalui media perkawinan.
Dalam sejarah kita sudah melihat bagaimana perkawinan memegang peranan yang urgen dalam penyebaran dakwah Islamiyah. Contoh yang paling signifikan untuk dikedepankan dalam hal ini adalah perkawinan Rasulullah dengan isteri-isterinya. Dalam sejarah keberadaan Islam di Indonesia pun tidak dapat dilepaskan dari perkawinan para pedagang muslim dengan penduduk lokal.
Secara etimologis perkawinan berasal dari bahasa Arab “Zawwaja” yang tersusun dari tiga komponen hurufnya yaitu za’, waw dan jim. Kata ini menurut ibnu Faris menunjuk kepada makna menyertakan atau mengikatkan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dengan kata lain mengikatkan atau menyertakan seseorang (wanita) kepada seorang (pria) yang lain.
Sejalan dengan pengertian di atas, dikatakan bahwa perkawinan itu bukan hanya berarti sebuah perikatan biologis semata, tapi mengandung arti kesetiaan pada perintah Allah dan sunnah Nabi, menciptakan kehidupan yang tenteram dan meneruskan keturunan yang hidup dibawah tanggung jawab orang tua yang beriman.[6]
Kedua uraian di atas telah memberikan gambaran kepada kita tentang makna perkawinan sebagai sebuah keterikatan antara dua pihak dengan tujuan untuk mencari ketentraman hidup dan melahirkan keturunan yang menjadi generasi penerus eksistensi manusia di atas dunia ini sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.
Sebagai salah satu bagian integral dari syari’ah Islam, perkawinan dalam berbagai aspek dan tujuannya banyak diungkap dalam dua sumber utama syariat Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw. Hal ini tidaklah mengherankan, karena perkawinan merupakan suatu hal yang penting dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia, kususnya bagi umat Islam.


 DAFTAR PUSTAKA

[1] Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004), h. 80
[2] Abiding, Slamet dan H. Aminuddi, Fiqih Munakahat, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h. 12.
[3] Chodidjah Djumali, Wanita Karir dalam Perspektif al-Qur’an al-Karim: Antara Idealita dan Realita, (www.eramuslim.artikel.co.id) diakses 25 Juni 2010.

[4] Muhammad Ali As-Shabuni, Pernikahan Dini, Solusi Praktis Menghadapi Perilaku Seks Bebas,  ( Jakarta : Pustaka An-Naba` 2002), h. 6.

[5] Muh. Thalib, Tuntunan dan Keutamaan Pernikahan dalam Islam, (Bandung : Irsyad Baitul Salam, 2001), h. 67-70.
[6] Muhaimin, Dakwah di Di Tengah Transformasi Sosial, (Surabaya ; Karya Abdi Utama, t.th), h. 265.

No comments:

Post a Comment