Guru dalam proses belajar-mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses pendidikan tidak akan terjadi bilamana proses belajar mengajar atau pembelajaran tidak ada. Peristiwa belajar-mengajar banyak berakar pada berbagai pandangan dan konsep. Oleh karena itu, perwujudan proses belajar-mengajar dapat terjadi dalam berbagai model. Bruce Joyce dan Marshal Weil mengemukakan 22 model mengajar yang dikelompokkan ke dalam 4 hal, yaitu (1) proses informasi, (2) perkembangan pribadi, (3) interaksi sosial, dan (4) modifikasi tingkah laku.[1]
Menurut W.H. Burton, dalam bukunya The Gidance of Laerning Activities, belajar adalah; “Learning is a change in individual due to instruction of that individual and this environment, wich fells a need and makes him more capable of dealing adequately with his environment,”( Pelajaran adalah suatu perubahan di (dalam) individu dalam kaitan dengan instruksi (menyangkut) individu itu dan lingkungan ini, wich jatuh suatu kebutuhan dan membuat dia [yang] lebih mampu untuk berhadapan cukup dengan lingkungannya). Dalam pengertian ini terdapat kata change atau “perubahan” yang berarti bahwa seseorang setelah mengalami proses belajar, akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek sikapnya. Kriteria keberhasilan dalam belajar di antaranya ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar.[2]
Sedangkan mengajar adalah merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar merupakan suatu perbuatan atau pekerjaan yang bersifat unik, dan sederhana. Dikatakan unik karena hal itu berkenaan dengan manusia yang belajar, yakni siswa, dan yang mengajar yakni guru, dan berkaitan erat dengan manusia didalam masyarakat yang semuanya menunjukkan keunikan. Dikatakan sederhana karena mengajar dilaksanakan dalam keadaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mudah dihayati oleh siapa saja. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar-mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasikan lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar.[3] Dengan demikian, kegiatan belajar-mengajar adalah dapat dikatan sebagai “pembelajaran”.
Dalam pembelajaran akan terjadi hubungan interaksi antara guru dengan siswa, oleh karenanya interaksi tersebut dapat berlangsung secara efektif dan efesien apabila dilakukan dengan suatu strategi atau siasat. Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efesien.
Prinsip dasar kegiatan belajar mengajar (KBM) atau pembelajaran adalah mengembangkan keterampilan berpikir logis, kritis, kreatif, bersikap dan bertanggung jawab pada kebiasaan dan perilaku sehari-hari melalui aktifitas pembelajaran secara aktif. Hal itu dapat diwujudkan melalui strategi atau metode pembelajaran[4] sebagai berikut;
1. Pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana bahwa dalam pembelajaran harus mempertimbangkan perbedaan siswa, dari segi minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, kecepatan dan gaya belajar.
2. Mengembangkan keingintahuan dan imajinasi, yaitu bahwa stiap siswa memiliki rasa ingin tahu dan daya imajinasi. Oleh karenanya, pembelajaran hendaknya mendorong dan menjadikan mereka bersikap peka, kritis, mandiri, kreatif dan bertanggung jawab, seperti dalam bagan berikut;
Masukan Proses Hasil
Keingintahuan imajinasi |
Pembelajaran |
Peka, kritis, mandiri, kreatif bertanggung jawab |
3. Memiliki semangat mandiri, bekerja sama, dan berkompetisi, maksudnya bahwa siswa harus dilatih untuk terbiasa bekerja mandiri, bekerja sama, dan berkompetisi,dalam hal KBM perlu menyediakan tugas yang mengarah pada aspek tersebut..
4. Menciptakan kondisi yang kondusif, artinya bahwa siswa akan belajar dengan jika pembelajaran dibuat menyenangkan, nyaman dan jauh dari perilaku yang menyikatkan perasaan siswa.
5. Mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar, sehingga siswa akan belajar secara optimal.
6. Memperhatikan karakteristik mata pelajaran, dan khususnya pendidikan agama kepada moral dan perbuatan baik sebagai orang yang beragama.[5]
[5]Sudjatmiko, Lili Nurlaili, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan dasar Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan, 2003), h. 10-13
No comments:
Post a Comment