Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Tuesday, October 25, 2011

Pengertian Gender


Secara etimologis, gender berasal dari bahasa Inggris, ”gender”, yang berarti jenis kelamin.[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gender juga diartikan dengan jenis kelamin.[2] Arti demikian sebenarnya kurang tepat, karena menyamakan dengan seks, yang berarti jenis kelamin.[3] Gender dan seks adalah dua hal yang berbeda. Menurut Moh. Yasir Alimi, seks adalah atribut yang dilekatkan secara biologis kepada laki-laki atau perempuan.[4] Misalnya perempuan memiliki vagina, berpayudara, berahim, mengalami menstruasi, melahirkan dan menyusui. Semua kondisi ini tidak mungkin terjadi terhadap laki-laki. Sebaliknya, laki-laki mempunyai jakun, sperma, dan beralat pital penis, yang tidak mungkin pula dipertukarkan dengan perempuan. Semua kondisi ini merupakan kodrat. Oleh karenanya, jenis kelamin, tidak berubah dan tidak dapat dipertukarkan, dan selalu sama, dimana pun dan kapan pun. Ia bersifat universal .[5] Dengan demikian, seks adalah adalah pemberian Tuhan yang bersifat kordati, universal, tidak berubah dan tidak dapat dipertukarkan. Karena itu, seks dipahami sebagai pemaknaan terhadap jenis kelamin yang bersifat biologis, alamiah dan tidak dapat diubah dalam kondisi, situasi, dan budaya serta tradisi apapun. Pemahaman seks sesungguhnya tidak mengenal batas ruang dan waktu.[6]
Dalam konteks perempuan, seks atau jenis kelamin sangat terkait dengan hak-hak reproduksi yang sangat natural. Hak-hak reproduksi menyangkut persoalan menyusui, menstruasi, mengandung dan melahirkan. Perempuan mengalami menstruasi, mengandung, dan melahirkan, namun berbeda dengan laki-laki yang tidak pernah mengalami kejadian alamiah seperti itu. Artinya, ada banyak perbedaan mendasar antara seks dan gender. Seks lebih pada bentuk pelabelan jenis kelamin dan kebiasaan-kebiasaan aktivitas seseorang secara alamiah, serta bersifat mutlak, sedangkan gender merupakan pemetaan peran seseorang yang sewaktu-waktu dilakukan oleh kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan, karenanya gender lebih bersifat nisbih dan relatif. Ia dapat berubah dan dapat pula dipertukarkan, tidak universal dan kodrati. Sebab ia merupakan konstruksi sosial dan kultural. Karena itu, gender dipahami sebagai atribut yang dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan secara sosial maupun kultural kepada perempuan dan laki-laki. Ia berkaitan dengan pikiran dan harapan masyarakat tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan.[7]
Itu berarti, gender adalah konstruksi sosial dan konsep kultural masyarakat. Karena itu, ia dapat berubah dari satu waktu ke waktu lain; berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain; dan dari kelas tertentu ke kelas lain. Sifat gender yang berubah dan berbeda ini menunjukkan bahwa ia tidak bersifat universal dan kodrati.[8] Oleh karena itu, gender hanya merupakan pelabelan yang pada kenyataan bisa dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, sifat lembut, kasar, menangis, dan marah. Sebab gender sesungguhnya bukanlah kodrat, tetapi merupakan modifikasi-modifikasi tertentu dari konstruksi sosial dimana laki-laki dan perempuan hidup. Dengan kata lain, gender merupakan hasil konstruksi tradisi, budaya, agama dan idiologi tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu serta langsung membentuk karakteristik laki-laki maupun perempuan. Gender memiliki ketergantungan terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat. Dengan demikian, gender dapat berubah dari situasi atau tradisi tertentu pada kondisi yang lain. [9]
Dengan demikian, gender merupakan perbedaan yang sifatnya bukan biologis dan bukan pula kodrat Tuhan. Perbedaan-perbedaan biologis, seperti perbedaan jenis kelamin (seks), merupakan kodrat Tuhan sehingga memiliki perbedaan-perbedaan secara permanen. Sementara itu gender adalah behavioral difference antara laki-laki dan perempuan. Yang socially constructed, yakni sesuatu yang diciptakan melalui proses social dan budaya yang panjang, bukan kodrat dan bukan ciptaan Tuhan, tegas Ann Oakley sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar. [10]
Pandangan yang sama dikemukakan Mansoer Fakih. Menurutnya, gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang konstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya, perempuan itu biasanya dikenal lebih lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Oleh karenanya, ada tiga karakteristik yang bisa dikedepankan dalam gender.
Pertama, gender adalah sifat-sifat yang bisa dipertukarkan. Misalnya, laki-laki yang bersifat emosional, lemah lembut, dan keibuan. Disamping itu, ada juga perempuan yang kuat, rasional dan perkasa.
Kedua, adanya perubahan yang terjadi daari waktu ke waktu dan dari tepat ke tempat yang lain. Misalnya, zaman dahulu disuatu suku tertentu, perempuan lebih kuat dari pada laki-laki, tetapi pada zaman yang lain dan tempat yang berbeda laki-laki yang lebih kuat.
Ketiga, dari kelas ke kelas masyarakat yang lain juga berbeda. Ada perempuan kelas bawah di pedesaan pada suku tertentu lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki. Semua sifat yang bisa ditukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari tempat ke tempat yang lain. Demikian juga berbeda dengan suatu kelas ke kelas yang lain. Konsep itulah yang kemudian dikenal dengan konsep gender.[11]
Dengan demikian, gender adalah suatu konsep yang dipergunakan untuk menunjukan perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional yang dianggap tepat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh lingkungan sosial dan psikologis, termasuk historis dan budaya (non biologis). Gender lebih menentukan aspek maskulinitas dan feminitas, bukan jenis kelamin dan biologis. Konsep kultural tersebut berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karateristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[12]


[1]Jhon M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 265.
[2]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 353.
[3]Ibid., h. 1014; Jhon M. Echol dan Hasan Shadily, op. cit., h. 517.
[4]Moh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan Lintas Batas Tafsir Agama (Yogyakarta: Yayasan Kajian dan Layanan Informasi untuk Kedaulatan Rakyat,  2002), h. 5.
[5]Ibid., h. 4.
[6]Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan Dalam Islam (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000), h. 14.
[7]Moh. Yasir Alimi, op. cit., h. 3.
[8]Ibid,, h. 3.
[9]Nasaruddin Umar, op. cit., h. 14.
[10]Ibid.
[11]Mansoer Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 8-9.
[12]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 33-34.

No comments:

Post a Comment