Welcome to www.jamal.com
go to my homepage
Go to homepage
WELLCOME TO SITUS LO HULONDHALO

Saturday, April 2, 2011

Al-Qur'an dan Konsep Ketuhanan (1)


Sebelum menyebutkan ayat-ayat yang berkenaan dengan ketuhanan, kami terlebih dahulu ingin menjelaskan bahwa Al-Qur,an tidak pernah melarang umat manusia menggunakan akalnya. Bahkan, menganjurkan mereka menggunakan akalnya.
Allah Ta'ala berfirman, "Sungguh, Kami turunkan al-Qur,an dengan (berbahasa) Arab, agar kalian berpikir."(QS.Yusuf.2). Banyak ayat-ayat senada lainnya yang diakhiri dengan kalimat afala ta'qilun, afala tatafakkarun, afala ta'lamun, atau Iafala yafqahun."
Selain itu, al-Qur,an menganggap orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang, dengan ungkapan, "Mereka memiliki akal, tetapi mereka tidak memahami (berpikir). Mereka mempunyai mata, tapi mereka tidak melihat, mereka mempunyai telinga, tetapi mereka tidak mendengar. Mereka bagaikan binatang. Mereka adalah orang-orang yang lengah." (QS.al A,raf: 179).
Al-Qur’an sendiri menguji kebenaran dirinya kepada akal, "Tidakkah mereka merenungkan al-Qur’an. Sekiranya ia bukan dari Allah, pasti mereka mendapatkan perselisihan yang banyak didalamnya."(QS.an-Nisa: 82)
Ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang meyakini wujud Allah, namun mereka masih ragu apakah al-Qur’an itu kalamullah atau bukan. Karena itulah Allah berfirman, "Sekiranya al-Qur’an itu bukan dari Allah, maka pasti mereka menemukan perselisihan yang banyak di dalamnya."
Akan tetapi, karena tidak ditemukan perselisihan di dalamnya, berarti al-Qur,an itu benar-benar dari Allah. Argumentasi yang dipakai al-Qur’an semacam ini, dalam istilah para ahli mantiq (logika), dinamakan Qiyas Istitsna’i.
Jadi, akal dijadikan sebagai alat yang digunakan untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan sebatas ruang lingkup diri sendirinya.

Dengan demikian, benarkah al-Qur,an melarang penggunaan akal? Bagaimana pulakah al-Qur’an berbicara tentang ketuhanan?
Perlu diketahui, bahwa al-Qur’an dijadikan sebagai dalil atas wujud Allah setelah terbuktikan keberadaan-Nya melalui akal. Oleh karena itu, kalangan Syi’ah Imamiah menjadikan al-Qur’an sebagai penguat dan pendukung dalil-dalil aqli (lihat Buletin RISALATUNA, edisi nomor 3).
Terdapat beberapa metode pendekatan yang dipakai al-Qur'an dalam membahas tentang wujud Allah Ta’ala, antara lain, sebagai berikut :

Fitrah
Pada beberapa ayat al-Qur’an, masalah tauhid atau ketuhanan dianggap sebagai masalah fitrah, sehingga tidak perlu lagi dicari dalilnya, karena ia merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Betapa seringnya al-Qur’an berusaha membangkitkan fitrah ketuhanan ini dari kedalaman hati orang-orang yang mengingkari wujud Allah Ta’ala.
Simaklah ayat-ayat berikut, yang berbicara mengenai ketuhanan :
1. Surat Rum ayat 30:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama sebagi fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan (fitrah) Allah."
Pada ayat ini jelas sekali, bahwa Din merupakan fitrah manusia dan bagian dari fitrah manusia yang tidak akan pernah berubah.
Syekh Muhammad Taqi Mishbah, seorang mujtahid dan filosuf kontemporer, ketika mengomentari ayat di atas menyatakan, bahwa ada duia penafsiran yang dapat diambil dari ayat ini, (1) Pertama, maksud ayat ini ialah, bahwa prinsip-prinsip agama, seperti tauhid dan hari akhir, dan hukum-hukum agama secara global, seperti membantu orang-orang miskin, menegakkan keadilan dan lainnya, sejalan sengan kecenderungan manusia. (2)Kedua, tunduk kepada Allah Ta’ala mempunyai akar dalam diri manusia. Lantaran manusia secara fitrah, cenderung untuk bergantung dan mencintai Kesempurnaan yang mutlak
Kedua penafsiran di atas bisa diselaraskan. Penafsiran pertama mengatakan, bahwa mengenal agama adalah fitrah, sedangkan penafsiran kedua menyatakan bahwa yang fitri adalah ketergantungan, cinta dan menyembah kepada Yang Sempurna. Namun menyembah kepada Yang Sempurna tidak mungkin dilakukan tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu. Dengan demikian, penafsiran kedua kembali kepada yang pertama. (Ma’arif al-Qur’an, juz 1 halaman 31-32).
Allamah Thaba’thabai memberikan penjelasan mengapa Din itu merupakan fitrah. Dalam kitab Tafsir al-Mizan, beliau berkata,"(Lantaran) Din tidak lain kecuali tradisi kehidupan dan jalan yang harus dilalui manusia, sehingga dia bahagia dalam hidupnya. Tidak ada tujuan yang ingin dicapai manusia, melainkan kebahagiaaan."
Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa setiap fitrah mendapat bimbingan untuk sampai kepada tujuannya masing-masing. Sebagaimana terungkap dalam firman Allah berikut, "Tuhan kami yang menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk."(QS. Thaha: 50).
Manusia, seperti juga makhluk lainnya, mempunyai tujuan dan mendapat bimbingan agar sampai kepada tujuannya. Bimbingan tersebut berupa fitrah yang akan mengantarkan dirinya kepada tujuan hidupnya." (Tafsir al-Mizan, juz 21 halaman 178-179).

2. Surat al-A’raf ayat 172: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak-anak Adam keturunan mereka dan mengambil kesaksian dari mereka atas diri mereka sendiri, ‘Bukankah Aku ini Tuhan kalian? Seraya mereka menjawab, ‘Benar (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi.’ (Hal ini Kami lakukan), agar dihari kiamat kalian tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami lengah atas ini (wujud Allah).
Dalam ayat tersebut dikatakan, bahwa setiap manusia sebelum lahir ke muka bumi ini pernah dimintai kesaksiannya atas wujud Allah Ta’ala dan mereka menyaksikan atau mengenal-Nya dengan baik. Kemudian, hal itu mereka bawa terus hingga lahir ke dunia.
Oleh karena itu, manusia betapapun besarnya dia, kuat dan kaya, namun dia tetap tidak dapat mengingkari bahwa dirinya tidak memiliki wujud dirinya sendiri dan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya. Sekiranya dia memiliki dirinya sendiri, niscaya dia dapat mengatasi berbagai kesulitan dan kematian. Dan sekiranya dia pun berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya, maka dia tidak akan membutuhkan fasilitas-fasilitas alam.
Ketidakberdayaan manusia dan ketergantungannya kepada yang lain, merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Jadi, selamanya manusia membutuhkan dan bergantung kepada yang lain. Dan dia tidak akan mendapatkan tempat bergantung yang sempurna, kecuali Allah Ta’ala semata. Itulah yang dinamakan fitrah bertuhan (fitrah Ilahiyah). (Lihat kitab Tafisr al-Mizan, juz 9 halaman 306-323).
Selanjutnya ayat tersebut menyatakan, bahwa dengan dibekalinya manusia (dengan) fitrah, maka ia tidak mempunyai alasan untuk mengingkari dan lengah atas wujud Allah Ta’ala.
Syekh Taqi Misbah berpendapat, bahwa pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya huduri-syuhudi (ilmu huduri) dan bukan hushuli (Lihat kitab Ma’arif al-Qur’an, juz 1 halaman 33).

3. Surat Yasin, ayat 60-61:
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus."
Sebagian ulama, seperti Ayatullah Syahid Muthahhari berpendapat, bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia, dan dijadikan sebagai bukti, bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah (Kitab Fitrat, halaman 245).

4. Surat al-Ankabut ayat 65:
"Dikala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kembali berbuat syirik."
Ayat ini menjelaskan, bagaimana fitrah itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya, fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan.
Dalam kitab tafsir Namuneh disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah manusia tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup, disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang, atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta. (Tafsir Namuneh, juz 16 halaman 340-341)
Oleh karena itu, para ahli ma’rifat dan ahli hikmah meyakini, bahwa dalam suatu musibah besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali.

Ayat-ayat Afaqi
Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, al-Qur’an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.
Allamah al-Hilly dalam kitab Bab Hadi al-Asyr halaman 7 menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya, adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena-fenomena alam yang membutuhkan ‘sebab’, seperti diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq)."(QS. Fush-shilat: 53).
Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya beliau tujukan untuk mengajak kaumnya berpikir, merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. tersebut dalam al-Qur’an, surat al-An’am ayat 75 sampai 79.
Ayat-ayat al-Qur’an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya, sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikan kepada dua kelompok:
Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya, ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal." (QS. Ali Imran:190).
Atau ayat lain berbunyi,"Sesungguhnya, pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa." (QS. Yunus: 6). Untuk menambah wawasan tentang ayat-ayat semacam ini bacalah pula surat an-Nahl ayat 3 sampai 17.
Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah Ta'ala. Karena secara akal, tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semuanya itu akan mengalami perubahan atau hadits (lihat pembahasan burhan huduts pada risaltuna edisi 3).
Demikian pula, yang terdapat pada peristiwa peredaran matahari dan bulan serta benda-benda langit lainnya yang teratur, tanaman-tanaman di dalam bumi yang disirami air yang tumbuh besar, lalu mengeluarkan ranting-ranting yang dihiasi dengan dedaunan yang rindang dan memberikan berbagai buah-buahan dengan seribu rasa, subhanallah.
Begitulah, semuanya terus berlangsung dengan sangat teratur.. Tiada lain, hal itu semua menunjukkan wujud Allah Ta'ala semata. (Lihat burhan an-nidham dalam buletin Risalatuna nomor 3).
Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Diantaranya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah berikut ini,"Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan, dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. (Lalu) dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir." (QS. An-Nahl : 68-69)
Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga kepada bunga yang lain, untuk menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu (darinya) dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.

No comments:

Post a Comment